Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 168818 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dearikha Karina Mayashinta
"ABSTRAK
Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler yang memiliki persebaran di alam cukup luas dan dapat menginfeksi berbagai jenis unggas dan mamalia. Informasi genetik mengenai tipe T. gondii yang menyebabkan toksoplasmosis pada manusia masih sangat terbatas. Analisis genetik dari lokus SAG2 digunakan untuk menentukan prevalensi ketiga genotip T. gondii tipe I, II, dan III yang terkait dengan infeksi toksoplasmosis serebral dan okular di Indonesia. Penentuan genotip ini dilakukan secara langsung pada sampel klinis, tanpa terlebih dahulu melalui proses isolasi pada mencit atau kultur sel. Sebanyak 28 sampel cairan serebrospinal dan 8 sampel cairan mata yang telah dinyatakan positif terinfeksi T. gondii melalui PCR gen B1 digunakan pada penelitian ini. Metode restriction fragment length polymorphism RFLP digunakan untuk mengelompokkan setiap isolat ke dalam satu dari tiga genotip T. gondii. Tipe I merupakan strain yang paling banyak didapatkan pada sampel cairan serebrospinal dan cairan mata. Data tersebut menunjukkan bahwa toksoplasmosis serebral dan okular yang terjadi di Indonesia di dominasi oleh tipe I yang merupakan jenis tipe yang virulen.Kata Kunci: cairan mata, cairan serebrospinal, genotip, PCR-RFLP, Toxoplasma gondi.

ABSTRACT
Toxoplasma gondii is an obligate intracellular protozoan that has a wide distribution in nature and can infect many kinds of birds and mammals. Genetic information about the type of Toxoplasma gondii that causes toxoplasmosis in humans is still limited. Genetic analysis of the SAG2 locus was performed to determine the prevalence of the three genotypes of T. gondii associated with cerebral and ocular toxoplasmosis infection in Indonesia. This genotyping is performed directly on clinical samples, without passing the isolation process in mice or cell cultures. A total of 28 samples of cerebrospinal fluid and 8 samples of vitreous fluid which had been confirmed positive for T. gondii infection through B1 gene PCR, used in this study. Restriction fragment length polymorphism RFLP was used to determine each isolate into one of the three genotypes of T. gondii. Type I was the predominant strain found in cerebrospinal and ocular fluid. This data showed that cerebral and ocular toxoplasmosis in Indonesia is dominated by a virulant type I strain.Keywords cerebrospinal fluid, genotype, ocular fluid, PCR RFLP, Toxoplasma gondii."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nora Harminarti
"Latar Belakang: Prevalensi penderita HIV/AIDS masih tinggi dan masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, apabila terkena infeksi Toxoplasma gondii bisa memperberat kondisi klinis. Manifestasi klinis yang sering muncul adalah Toxoplasma ensefalitis (TE). T. gondii memiliki tipe tertentu dan terdapat hubungan antara manifestasi klinis yang muncul dengan tipe T. gondii. Sampai saat ini belum ditemukan adanya laporan tipe T. gondii pada TE di Indonesia. Penentuan tipe memerlukan penanda genetik, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mencari penanda genetik pada cairan serebrospinal untuk penentuan tipe T. gondii serta melihat proporsi tipe T. gondii pada penderita TE.
Metode: Sebanyak 160 sampel cairan serebrospinal yang tersimpan di laboratorium Parasitologi FKUI dan telah dikarakterisasi positif IgG anti T. gondii dan 69 diantaranya positif pada pemeriksaan PCR, dilakukan penentuan tipe T. gondii dengan penanda genetik yaitu SAG2 3’ dan SAG2 5’, GRA6, GRA7 dan BTUB. Hasil PCR yang positif dari keempat gen tersebut selanjutnya disekuensing; hasil sekuensing diolah menggunakan MEGA XI, dibuat analisis filogenetik dengan sekuens rujukan T. gondii tipe I,II,III dan atipikal dari NCBI genbank. Penentuan tipe T. gondii sampel TE ditentukan berdasarkan konsensus dari hasil analisis filogenetik gen SAG2 3’, SAG2 5’, GRA6, GRA7 dan BTUB.
Hasil: Penanda genetik yang digunakan untuk penentuan tipe T. gondii adalah SAG2 3’, SAG2 5’, GRA6, GRA7, dan BTUB. Hasil positif nested PCR gen GRA7 sebanyak 34/69 (50.7%). Sebanyak 6 sampel positif pada PCR gen SAG2 3’ dan SAG2 5’ dari 34 sampel positif GRA7 . PCR gen GRA 6 dan BTUB tidak memberikan hasil positif pada sampel kecuali kontrol positif yang berasal dari isolat T. gondii hasil kultur. Hasil konsensus dari 6 sampel berdasarkan 3 gen penanda SAG2 5’, SAG2 3’ dan GRA7 adalah 3/6 tipe I, 2/6 tipe I varian dan 1/6 tipe I/III.
Kesimpulan: Toxoplasma gondii tipe I/tipe I varian dan tipe III merupakan tipe T. gondii penyebab toxoplasma ensefalitis pada HIV/AIDS di Indonesia. Gen SAG2 5’, SAG2 3’, dan GRA7 dapat digunakan sebagai penanda genetik untuk penentuan tipe T. gondii dari sampel klinis langsung.

Background: The prevalence of HIV/AIDS in Indonesia remains high and continues to be a significant health concern. Infection with Toxoplasma gondii can exacerbate clinical conditions for these patients. Toxoplasma encephalitis (TE) is a common clinical manifestation. Different types of T. gondii are associated with distinct clinical manifestations. Currently, there are no reports of T. gondii types in TE in Indonesia. However, determining the type requires genetic markers. Therefore, this study aimed to identify genetic markers in cerebrospinal fluid to determine T. gondii type and assess the proportion of T. gondii types in TE patients.
Methods: A total of 160 cerebrospinal fluid samples deposited in the FKUI Parasitology laboratory and had been tested positive for anti T. gondii IgG and sixty-nine out of one hundred and sixty were positive in the PCR examination. Toxoplasma gondii genotype was determined using genetic markers, namely SAG2 3' and SAG2 5', GRA6, GRA7 and BTUB. Positive nested PCR results from these four genes were then sequenced; the sequencing results were processed using MEGA-XI. Phylogenetic analysis was made with reference sequences were T. gondii type I, II, III and atypical from NCBI GenBank. Determination of the type of T. gondii was determined based on the consensus from the results of phylogenetic analysis of the SAG2 3', SAG2 5', GRA6, GRA7 and BTUB genes.
Results: The genetic markers used for T. gondii type determination were SAG2 3', SAG2 5', GRA6, GRA7, and BTUB. Positive PCR results for the GRA7 gene were 34/69 (50.7%), furthermore 6/34 were positive for PCR of the SAG2 3' and SAG2 5' genes. PCR for the GRA6 and BTUB genes did not give any positive results with the LCS samples except the positive control which came from cultured T. gondii isolate. The consensus results of T. gondii type determination from 6 samples based on the 3 marker genes SAG2 5', SAG2 3' and GRA7 are 3/6 type I, 2/6 type I variant and 1/6 type I/III.
Conclusion:
Toxoplasma gondii type I/ type I variant and type I/III is a type of T. gondii associated with toxoplasma encephalitis in HIV/AIDS in Indonesia. The SAG2 5', SAG2 3', and GRA7 genes can be used as genetic markers for T. gondii type determination directly from clinical samples.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadar Sukri
"Ruang lingkup dan Cara penelitian : Toksoplasmosis adalah suatu penyakit pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Parasit ini merupakan parasit intraselular. Pada manusia pertama kali ditemukan oleh Janku (1923). Pada wanita hamil, infeksi akut primer dapat menyebabkan kelainan bawaan, kerusakan jaringan otak janin, kematian fetus dan abortus. Penentuan terjadinya infeksi akut sangat penting karena pengobatan yang dilakukan terutama pada ibu hamil, neonatus dengan toksoplasmosis kongenital dan pasien dengan imunosupresi sangat bermanfaat dan akan mengurangi akibat infeksi. Metoda standar penentuan infeksi akut biasanya dengan pemeriksaan antibodi spesifik IgG dan IgM. IgM merupakan petanda infeksi baru sedangkan IgG petanda infeksi Iampau. Tetapi deteksi ini tidak adekuat pada pasien yang imunosupresi karena respons imun terhambat. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metoda diagnosis toksoplasmosis yang lebih sensitif dan dapat menentukan fase akut Deteksi antigen toksoplasma adalah suatu cara yang lebih sensitif dan dapat mendeteksi fase akut. Dua kelompok sampel, kelompok pertama mernpunyai IgM (+), IgG (+) dan kelompok kedua 1gM (-), IgG (+) masing-masing 30 sampel digunakan untuk deteksi antigen beredar, yang dapat digunakan sebagai penentu fase akut infeksi Toxoplasma.
Hasil dan Kesimpulan : Dari 30 sampel yang mengandung IgM (+) dan IgG (+) ada 27 (90%) antigen positif sedangkan pada kelompok IgM (-) IgG (+) diperoleh hasil 28 (93 %) antigen negatif. Dengan Uji Chi square dan koreksi Yates hasil yang antigen positif dan yang antigen negatif berbeda sangat bermakna. (X hitung = 38.4427 X tabel 0.05 = 3.841 0.01 = 6.635) (P < 0.01). Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan antigen dapat digunakan sebagai penentu fase infeksi dan dapat dilakukan dengan cepat, sensitif dan dapat menentukan fase akut."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T8210
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emanuel E. Setyo
"Toksopiasmosis yang disebabkan Toxoplasma gondii, merupakan parasit unisel Intraselular. Pada manusia khususnya wanita hamil dapat menyebabkan keguguran atau cacat bawaan, sedangkan pada penderita dengan gangguan sistem imun dapat menyebab kan kematian. Diagnosis toksoplasmosis pemeriksaan laboratorium mutlak diperlukan, karena berdasarkan gejala klinis saja sukar untuk di tegakkan. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan ialah pemeriksaan serologi dengan ELISA. Namun kit Toxonostika untuk pemeriksaan ELISA masih diimpor dari luar. Saat ini laboratorium Parasitologi FKUI telah berhasil membuat sendiri antigen untuk ELISA lokal, dan kemampuan deteksi IgG Toxoplasma sama dengan Toxonostika. Tetapi cara ELISA masih kurang akurat dan menggunakan crude antigen serta tidak dapat membedakan orang yang sakit dan tidak sakit. Selanjutnya untuk mengembangkan tes diagnosis toksoplasmosis yang lehih akurat, perlu dilakukan analisis atau karakterisasi antigen Toxoplasma gondii strain RH buatan sendiri dengan teknik Western blot, untuk mempelajari komponen antigen Toxoplasma yang bersifat imunogen, yang bereaksi dengan IgG dan IgM serum penderita toksoplasmosis berasal dari orang Indonesia.
Hasil penelitian Western blot antigen Toxoplasma gondhi strain RH yang bereaksi terhadap IgG dan IgM penderita terinfeksi toksoplasmosis, menunjukkan 3 komponen antigen Toxoplasma utama yang bereaksi terhadap IgG Toxoplasma dan IgM Toxoplasma, masing-masing dengan BM 41 kDa., 26kDa. 6 kDa. Sedangkan IgG Toxoplasma sendiri mengenali atau bereaksi paling sedikit 19 komponen antigen Toxoplasma yang berbentuk pita (bands) dari berbagai BM, mulai dari yang tertinggi 90 Ma, sampai yang terendah 6 kDa. Relatif sama dengan penelitian Sharma (60). IgG Toxoplasma selain bereaksi terhadap 3 komponen antigen utama.
Toxoplasma juga ditemukan sering bereaksi terhadap 4 komponen antigen Toxoplasma dengan BM masing-masing 90 kDa, 87 kDa, 82 kDa, 72 Ma. IgG Toxoplasma serum penderita bereaksi secara bervariasi terhadap komponen komponen antigen Toxoplasma diluar ke 7 komponen tersebut diatas (90 kDa, 87 kDa, 82 kDa, 72 kDa, 41 kDa, 26 kDa, 6 kDa), karena terdapat perbedaan pengenalan antibodi di antara serum penderita terhadap massa protein (BM) yang sama. Ditemukan adanya IgG Toxoplasma dengan titer tinggi ( 1:3200) pada orang yang diperiksa secara laboratorium tanpa gejala toksoplasmosis, menunjukan bahwa IgG Toxoplasma positif dapat dijumpai pada orang tergolong sehat tanpa gejala toksoplasmosis. Dalam pemeriksaan serologis kombinasi IgG Toxoplasma degan IgM Toxoplasma dalam satu serum dapat menimbulkan reaksi kompetitif inhibisi terhadap antigen Toxoplasma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadar Sukri
"Toksoplasmosis adalah suatu penyakit pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh Toxoplasma Gondii. Pada wanita hamil, infeksi akut primer dapat menyebabkan kelainan bawaan; kerusakan jaringan otak janin, kematian fetus dan abortus. Penentuan terjadinya infeksi akut sangat penting karena pengobatan yang dilakukan terutama pada ibu hamil, neonatus dengan toksoplasmosis kongenital dan pasien imunosupresi sangat bermanfaat dan akan mengurangi akibat infeksi. Metoda standar penentuan infeksi akut biasanya dengan pemeriksaan antibodi spesifik IgG dan Igm. IgM merupakan petanda infeksi baru sedangkan lgG petanda infeksi lampau. Tetapi deteksi ini tidak adekuat pada pasien yang imunosupresi karena respon imun terhambat. Peneiitian ini bertujuan untuk mendapatkan metoda diagnosis toksoplasmosis yang lebih sensitif dan dapat menentukan fase akut. Detensi antigen toksoplasma adalah suatu cara yang lebih sensitif dan dapat mendeteksi fase akut."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
"Toxoplasma gondii menyebabkan toksoplasmosis pada manusia. Parasit ini merupakan patogen penting selama masa hamil dan pada periode perinatal [1]. Pada wanita hamil yang mendapat infeksi primer dapat terjadi abortus, kelahiran mati atau bayi dilahirkan dengan toksoplasmosis kongenital, yaitu lahir cacat seperti hidrosefalus, retardasi mental dan motorik, kebutaan serta ketulian. Akhir-akhir ini parasit tersebut ditemukan sebagai salah satu penyebab utama penyakit susunan saraf pusat pada penderita AIDS. Prevalensi zat anti T. gondii di Indonesia berkisar antara 2-63% [3]. Kelainan kongenital karena T. gondii telah dilaporkan sejak tahun 1976 di Indonesia [3,4,5,6,7]. Dan dari 99 bayi dengan kelainan kongenital ternyata 18,2% menderita toksoplasmosis kongenital. Laporan tentang toksoplasmosis kongenital ini menunjukkan pentingnya infeksi ini [8].
Karena toksoplasmosis pads orang dewasa pada umumnya tanpa gejala klinis, sedangkan pada bayi gejala klinisnya beraneka ragam, maka untuk diagnosis toksoplasmosis perlu pemeriksaan laboratorium. Deteksi antibodi secara serologi dapat menentukan adanya infeksi akut atau kronis. Deteksi titer zat anti IgG dan IgM yang positif atau meningkat pada wanita hamil kurang dari 2 bulan menunjukkan adanya infeksi primer dan ada risiko janinnya terinfeksi sehingga pengobatan profilaktis dapat segera dimulai. Bila ditemukan IgM pada neonatus, diagnosis toksoplasmosis kongenital sudah pasti dan pengobatan dapat segera dimulai. Dengan analisis immunoblotting diharapkan suatu tes diagnostik yang lebih spesifik dan akurat.
Di Laboratorium Parasitologi diagnosis toksoplasmosis dilakukan dengan mendeteksi IgM dan IgG spesifik dengan teskit ELISA yang diimpor. Karena tingginya harga teskit tersebut dan karena ketergantungan pada pihak luar negeri, maka ingin dilakukan uji ELISA dapat dengan antigen buatan sendiri. Dengan demikian diharapkan biaya uji ELISA dapat lebih murah, sehingga lebih banyak kasus toksoplasmosis kongenital dan kasus wanita hamil yang mungkin terinfeksi dapat dibuat diagnosisnya dan dapat dipertimbangkan pengobatannya.
Walaupun hasil tes diagnostik yang dikembangkan mungkin tidak sama sensitivitasnya dengan teskit buatan luar negeri yang dianggap sebagai standard, namun diharapkan akan diperoleh sensitivitas sekitar 85-90%. Pada tahun pertama dari penelitian selama 3 tahun ini dikembangkan uji ELISA dengan antigen buatan sendiri untuk mendeteksi zat anti IgG. Antigen T. gondii dibuat di Bagian Parasitologi FKUI dengan membiak T. gondii strain RH pada mencit albino, mengumpulkan takizoit T. gondii, memecahkan takizoit T. gondii dengan ultrasonifikasi, memisahkan serpihan sel dengan sentrifuse dan menentukan kadar protein supernatan.
Konsentrasi antigen, serum dan konjugat yang akan dipakai ditentukan dulu dengan "checkerboard titration". Batas OD positif ditentukan dengan memeriksa sejumlah serum dengan titer IgG negatif terhadap Toxoplasma pada uji ELISA Toxonostika, dengan uji ELISA dengan antigen buatan sendiri. DD serum positif untuk serum kontrol ditentukan dengan menggunakan 10 serum dengan titer IgG terhadap Taxoplasma 1:3200 pada uji ELISA Toxonostika. OD masing-masing serum ditentukan dengan uji ELISA lokal dan digunakan untuk koreksi variasi pada setiap pemeriksaan.
Uji ELISA lokal dengan antigen buatan sendiri dilakukan dengan metoda Voller dkk. (9). Uji ELISA Toxonostika dilakukan di Laboratorium Makmal Terpadu Imunoendokrinologi FKUI. Besar sampel dihitung dengan rumus [1]. 2p x (100-p) x f (-I3 ). Darah vena diambil sebanyak 5 ml dari 363 penderita yang datang ke Laboratorium Makmal untuk pemeriksaan serologi terhadap Toxaplasma.
Hasil titrasi antigen ialah perbandingan OD tertinggi (9,35) antara pool serum positif kuat dan pool serum negatif pads konsentrasi protein antigen 5 ug/ml dan pengenceran serum 1/100. Pada titrasi konjugat didapatkan perbandingan tertinggi OD pool serum positif kuat dan negatif [8,9] pada pengenceran konjugat 1/5000. Batas OD positif uji ELISA lokal adalah 0,115.
Hasil uji statistik dengan cara Mc Nemar pada 363 serum adalah tidak ada perbedaan bermakna antara uji ELISA lokal dan uji ELISA Toxonostika. Sensitivitasnya 91,7%, spesifisitasnya 90,2%. Nilai duga positif 94,1%, nilai duga negatif 86,5%. Uji statistik korelasi dan regresi menunjukkan korelasi antara titer zat anti IgG pada uji ELISA lokal dan uji ELISA Toxonostika. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa telah dikembangkan uji ELISA dengan antigen buatan sendiri untuk deteksi IgG, yang tidak berbeda bermakna dengan teskit dari Organon. Perlu dikembangkan uji ELISA untuk deteksi IgM.

Development of a Diagnostik Test for Toxoplasma Gondii with Elisa and ImmunoblottingToxoplasma gondii is the cause of toxoplasmosis in man. This parasite is an important patogen in pregnancy and during the perinatal period [1]. When a pregnant woman acquires T. gondii infection, she may transmit it transpiancentally to her fetus, which may result in abortion, intrauterin fetal death and clinically manifest prenatal toxoplasmosis with hydrocephaly, mental and growth retardation, blindness or deafness. Recently this parasite is found as the primary cause of encephalitis in patients with AIDS. The prevalence of T. gondii antibodies in Indonesia ranges from 2--63% [3]. Congenital anomalies caused by T. gondii have been reported in Indonesia since 1976 [3,4,5,6,7]. And T. gondii is found as the cause of congenital anomalies in 18,2% of 99 babies. These reports indicate the importance of this infection [8].
Since toxoplasmosis in adults are usually asimptomatic, while there is a wide variety of nonspecific clinical manifestations in congenital toxoplasmosis, the diagnosis is made with laboratory test, finding of toxoplasma antibodies can aid diagnosis. Detection of positive or rising titers of IgG and IgM antibodies early in pregnancy indicates infection after the time of conception and the fetus is at high risk, so that the woman should be given prophylactic treatment. Detection of IgM antibodies in a newborn baby is evidence of active infection and treatment should be given immediately.
A more specific and acurate diagnostic test with immunoblotting analysis is desirable. In the Department of Parasitology the diagnosis of toxoplasmosis is done by detection of IgM and IgG antibodies with an imported ELISA testkit. Because these testkits are very expensive and because dependence upon importing, we would like to establish an ELISA test with Toxoplasma antigen prepared in our laboratory. This would likely lower the costprice of the test, so that more cases of congenital toxoplasmosis and pregnant women with primary infection may be diagnosed and treatment may immediately be given.
Although the developed testkit may be not as sensitive as the imported testkit, which is considered as the gold standard, a sensitivity of about 85-90% would be expected. In the first yesr of the 3 years study an ELISA test with prepared Toxoplasma antigen will be established for detection of IgG antibodies. T. gondli antigen is prepared in the Department of Parasitology, Medical Faculty, University of Indonesia, by breeding the RH strain of T. gondii in albino mice, harvesting the T. gondil tachizoites, sonification of the tachizoites, separation of cell debris by centrifugation and estimation of the protein content of the supernatant.
The concentration of antigen, serum and conjugate to be used in the test is determined by the checkerboard titration. The cut off titer is determined by testing a number of sera with negative IgG titer (tested with Toxonostika ELISA testkit) with the ELISA test using the prepared antigen. The number of the negative serum sample is calculated with this formula : Z2 x SD2. The optical density of positive control serum is determined by testing 10 sera with an IgG titer of 1 : 3200 (tested with Toxonostika ELISA testkit) with the ELISA test using the prepared antigen. This OD is used to correct the variation of each test.
The local ELISA test with the prepared antigen is performed according to the method of Voller ea. [9]. The Toxonostika ELISA test is performed in Makmal Terpadu Imunoendokrinologi Laboratory. The sample size is calculated with this formula [10]. 2p x (100-p) x f (0(6) n = Five ml venous blood is taken from 363 patients visiting the Makmal Laboratory for serologic detection of T. gondii antibodies. Antigen titration resulted in the highest OD ratio (9,35) of high positive serum samples to that of negative serum samples, when an antigen protein concentration of 5 ug/ml and a serum dilution of 1/100 is used.
The highest OD ratio (8,9) of high positive serum samples to that of negative serum samples in conjugate titration is obtained when a conjugate dilution of 1/5000 is used. The lowest positive OD for the local ELISA test is 0,115. Statistical evaluation of 363 sera according to Mc Nemar resulted in no significant difference between the local ELISA test and the Toxonostika ELISA teat. The sensitivity is 91,7%. The specificity is 90,2%. The positive predictive value is 94,1% and the negative predictive value is 86,5%. The statistical correlation and regression test indicates a correlation between IgG antibody titers with the local ELISA test and the Toxonostika ELISA test.
It is concluded that an ELISA test is established with prepared antigen to detect IgG antibody, which is not significant different from the ELISA testkit made by ORGANON. It is necessary to develop an ELISA test for detection of IgM antibodies.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Halleyantoro
"Toksoplasmosis yang disebabkan oleh parasit intraseluler Toxoplasma gondii merupakan salah satu penyakit dengan prevalensi yang cukup tinggi di dunia. Sepertiga dari populasi dunia diperkirakan terinfeksi protozoa ini. Sementara itu penyakit coronavirus 2019 (COVID-19), telah menyebabkan keadaan darurat kesehatan dunia. Sebagian besar pasien COVID-19 akan mengalami beberapa tingkat imunosupresi, sehingga diperkirakan mereka berisiko mengalami reaktivasi infeksi parasit seperti T. gondii. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi seroprevalensi dan karakteristik infeksi T. gondii di antara pasien dengan COVID-19. Metode pada penelitian ini adalah potong lintang (cross sectional). Sebanyak 130 sampel serum dari penderita yang telah diperiksa PCR COVID-19 terdiri dari 89 sampel positif dan 41 sampel negatif COVID-19.  Hasil serologi Toxoplasma pada sampel positif Covid-19 adalah 46,1 % positif IgG anti-Toxoplasma dan 12,4 % positif IgM anti-Toxoplasma. Sedangkan pada kelompok negatif COVID-19 didapatkan 61% IgG anti-Toxoplasma dan 4,9% IgM anti-Toxoplasma. Hasil pemeriksaan aviditas mendapatkan 4 sampel dengan aviditas rendah dan 9 sampel dengan aviditas tinggi. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa seroprevalensi Toxoplasma pada penderita Covid tinggi dan 4,5% diantaranya dengan toksoplasmosis aktif dan 33,7% dengan toksoplasmosis laten. Kondisi toksoplasmosis akut dan reaktivasi akan memperburuk kondisi klinis penderita COVID-19 dan bisa berakibat fatal.

Toxoplasmosis caused by the intracellular parasite Toxoplasma gondii is a disease with a high prevalence in the world, and one third of the world's population is infected with this protozoan. Meanwhile the coronavirus disease 2019 (COVID-19), has caused a world health emergency. Most COVID-19 patients are at risk for reactivation of parasitic infections such as T. gondii. This study aimed to evaluate the seroprevalence and characteristics of T. gondii infection among patients with COVID-19. Cross sectional methods were used in this study. A total of 130 serum samples from patients who had been tested by PCR for COVID-19 consisted of 89 positive samples and 41 negative samples for COVID-19. Serology results in COVID-19 positive samples were 46.1% positive for anti-Toxoplasma IgG and 12.4% positive for anti-Toxoplasma IgM. Meanwhile, in the negative COVID-19 group, 61% IgG and 4.9% anti-Toxoplasma IgM were obtained. The results of the avidity examination obtained 4 samples with low avidity and 9 samples with high avidity. This study conclusion is seroprevalence of Toxoplasma in COVID-19 patients is high and 4.5% of them have active toxoplasmosis and 33.7% with latent toxoplasmosis. Acute toxoplasmosis conditions and reactivation will worsen the clinical condition of COVID-19 sufferers and can be fatal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta
"Ruang lingkup dan Cara penelitian: Toxoplasma gondii adalah parasit yang menginfeksi burung dan mamalia termasuk manusia. Parasit ini dikembangkan untuk penelitian toksoplasmosis. Selama ini pengadaan takizoit di laboratorium FKUI dilakukan dengan cara inokulasi mencit setiap tiga hari. Penelitian ini ingin mengetahui metoda yang lebih praktis dan ekonomis untuk menyimpan takizoit T. gondii untuk menggantikan pengadaan takizoit cara lama. Telah diteliti dua jenis metoda penyimpanan takizoit dalam nitrogen cair, yaitu metoda Lin dan Booth. Sampel adalah takizoit T. gondii sebanyak 2,75x10 per tabung, terdiri dari 72 tabung. Terdapat perbedaan antara kedua metoda : Lin melakukan pencucian berulang dengan larutan NaCl 0,9%, media penyimpan hanya DMSO serta inkubasi sebelum masuk ke nitrogen cair adalah -20°C, -60°C, dilakukan pencairan langsung dalam water-bath. Booth melakukan pemanenan dengan larutan HESS, tanpa pemurnian, media penyimpanan: DMSO + BSA + DMEM, inkubasi: suhu kamar dan -70°C, serta mengalami 3 tahap mencairan dengan 3% FBS dalam DMEM. Parameter yang diamati: Jumlah takizoit mula-mula, persentase viabilitas dan virulensi parasit setelah 2, 4 dan 6 bulan penyimpanan.
Hasil dan kesimpulan: Dengan metoda Lin diperoleh viabilitas : 61,38%, 39,50% dan 36,09% setelah 2, 4 dan fi bulan penyimpanan serta hilangnya virulensi. Pada metoda Booth viabilitas setelah 2, 4 dan 6 bulan penyimpanan: 68,49%, 61,68% dan 56,99% dan virulensi tetap baik. Hal ini karena metoda Booth memakai HBSS sebagai larutan pembilas, BSA dan DMEM sebagai medium, serta adanya pencairan kembali secara bertahap, sehingga membran tetap stabil dan terhindar dari "shock osmotik". Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan : nitrogen cair dapat digunakan untuk penyimpanan takizoit jangka panjang dan metoda Booth merupakan metoda penyimpanan yang cukup baik untuk masa penyimpanan 6 bulan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Gustina Indriati
1999
T-pdf (Tesis sedang dalam proses digitalisasi)
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>