Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177026 dokumen yang sesuai dengan query
cover
La Ode Sahidin
"Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji Katingka dan Zikir dalam Tradisi Ritual Meagoliwu pada Masyarakat Koroni di Buton Utara. Hasil: Tradisi Ritual Meagoliwu pada Masyarakat Koroni saat ini masih terdapat di tiga desa: Lasiwa, Laeya, dan Maligano. Bentuk pelaksanaan di masing-masing desa mengandung persamaan dan perbedaan. Di Desa Laeya mengandung unsur kepercayaan Hindu dan di Desa Maligano mengandung unsur kepercayaan Islam. Pelaksanaan ritual meagoliwu di kedua desa tersebut tidak berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan oleh keterlibatan lembaga adat dalam permainan politik dalam desa.
Ritual meagoliwu yang ada di Desa Lasiwa menggunakan dua bentuk ritual yang berbeda, yaitu katingka dari unsur kepercayaan Hindu dan zikir dari unsur kepercayaan Islam. Namun unsur perbedaan bentuk dalam pelaksanaan ritual Meagoliwu tidak mengganggu keharmonisan hidup bermasyarakat. Terciptanya keharmonisan tersebut, berkat peran lembaga sara lembaga adat/imam desa dalam menyakinkan kepala desa mengenai pentingnya ritual meagoliwu adalah demi terciptanya ldquo;keamanan rdquo; dalam masyarakat. Kondisi tersebut tercipta berkat komunikasi yang baik antara lembaga sara dengan kepala desa. Kata kunci: Kabupaten Buton Utara, Katingka, Zikir Masyarakat Koroni, Ritual Meagoliwu

This research aimed to study about the Katingka and Zikir in Tradition of Meagoliwu Ritual of Koroni People in North Buton Regency. The result showed that today the tradition of Meagoliwu ritual can be seen in three villages, those are Lasiwa, Laeya and Maligano Villages. In each of these villages, there are differentiations and similarities during the implementation of this ritual. Tradition of Meagoliwu Ritual in Laeya Village has some elements from Hindu faith while in Maligano Village has some elements from Islamic teaching. The implementation of the ritual does not run well due to the involvement of traditional institution in political intrigue within the community.
Tradition of Meagoliwu Ritual in Lasiwa Village applies the two kinds of different ritual they are katingka with Hinduism elements and katingka with Islamic elements. Yet, those different elements do not bother the harmony within the society. The institution of Sara traditional institution traditional priest has the role to create the harmony within the society. The institution ensures Kepala Desa that the importance of ritual meagoliwu is for the society lsquo safety rsquo . The good communication between Sara Institution and Head of the Village embodied the safety. Keywords North Buton Regency, Katingka, Zikir of People in Koroni, Meagoliwu Ritual."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
D2041
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahman
"Tradisi maataa merupakan tradisi tahunan yang di dalamnya terdapat berbagai ritual, kabhanti, dan tarian. Tradisi maataa memiliki nilai yang dapat mempersatukan masyarakat pendukungnya. Nilai itu berupa nilai religius dan nilai sosial, bahkan secara filosofi tradisi maataa merupakan perwujudan dari siklus kehidupan terutama yang berhubungan dengan kelahiran dan perkawinan. Selain itu, masalah kelisanan ditemukan dalam kabhanti tradisi maataa.
Tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan kelisanan dan keberlangsungan tradisi maataa. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan etnografi. Hasil penelitian menunjukan bahwa kelisanan dalam tradisi maataa tercermin dari kabhanti yang dilantunkan yang sarat dengan repetisi dan penggunaan perumpamaan yang mengambil dari alam sekitar. Selain itu, kabhanti dalam tradisi maataa penciptaannya terjadi secara spontan sangat bergantung pada audiens dan penari. Dari segi formula kabhanti dalam tradisi maataa umumnya berbentuk frasa dan ketika dilantunkan terjadilah variasi yang berbentuk teks dan cara melantunkannya. Untuk mempertahankan eksistensinya tradisi maataa diwariskan dengan melalui tiga pola pewarisan yaitu pewarisan dalam pertunjukan, pewarisan secara langsung, dan pewarisan di kalangan sendiri.

Maataa is an annual tradition and has various ritual, kabhanti and dancing. Maataa tradition has value that could unite all the society. Those values are religious and social value, even philosophically maataa tradition is a life cycle which relates to natality and marriage. In other hand, orality problem is also found in kabhanti maataa tradition.
The objective of this research is to explore the orality and the sustainity of maataa tradition. It used qualitative method by ethnography approach. The result shows that orality in maataa tradition reflected from the sound of kabhanti which has repetition and using of metaphor from the environment. Then, kabhanti in maataa tradition created spontaneously depend on the audiences and the dancers. Kabhanti formula generally in phrase and there are is variations on text and the way of orality when it is orality. There are three inheritance ways in keeping the existence of maataa tradition which are by performance, direct and inheritance of the society itself.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
T29270
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Irianto Ibrahim
"Posuo adalah salah satu jenis upacara ritual dalam siklus hidup orang Buton. Ritual ini dikhususkan bagi perempuan, pelaksanaannya ditandai pada menstruasi pertama hingga masa sebelum menikah. Seiring perkembangan zaman, posuo yang semula merupakan tahap peralihan status perempuan dari kabua-bua (gadis remaja) menjadi kalambe (dewasa), sekarang ini telah mengalami perubahan. Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis proses perubahan tradisi tersebut, dengan terlebih dahulu melakukan deskripsi terperinci mengenai struktur posuo, sejarah, dan tanggapan masyarakat terhadap tradisi. Hal ini diharapkan dapat menjelaskan perubahan apa yang terjadi dalam tradisi posuo, bagaimana dinamika internal dan sejauh mana intervensi eksternal dalam proses perubahan tradisi posuo pada masyarakat Buton. Sebagai penelitian kualitatif, pendekatan etnografi digunakan untuk memperoleh sebanyak-banyaknya data dari berbagai sumber. Oleh sebab itu, penyajian hasil penelitian lapangan dalam bentuk deskripsi pelaksanaan ritual dan tanggapan responden menjadi data utama penelitian. Di samping itu, kajian tradisi lisan digunakan sebagai pijakan untuk mengurai metode transmisi kelisanan dan pola pewarisan tradisi, sehingga dapat menjawab mengapa posuo masih dapat bertahan sampai seperti sekarang ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan dalam tradisi posuo dipengaruhi oleh faktor dinamika internal masyarakat Buton itu sendiri sebagai pendukung tradisi, dan intervensi eksternal yakni pengaruh yang berasal dari luar dalam hal ini institusi negara atau geografi. Keberadaan tradisi posuo di antara dua pengaruh tersebut memunculkan strategi adaptasi tradisi untuk menjawab tuntutan internal dan tekanan eksternal pada waktu yang bersamaan.

Posuo is one of a ritual ceremony in Buton rites of passage. This ritual is a specific ritual intended for Butonese women, spanning from the menstrual period to the pre-wedding period. Originally it signified the transition of women’s status from kabua-bua (teenager) into kalambe (maturity), but nowadays it has changed. This research aimed to analyze the process of changing in posuo, by giving the detailed description about the structure of posuo, history and social response. The objection of this research is giving the information about the changes in posuo itself, how is the internal dynamics and how far the external intervention for the process of changing in Posuo at Buton local community. As the qualitative research, ethnography approach was used to gain the data as much as possible from many sources. Therefore, the main data of this research is presenting the result of this research; those are the description of the ritual and respondents’ responses. Besides, the study of oral tradition was used as the foothold to elaborate the method of oral transmission and the system of transmission to answer why posuo bears up to this day. The result of this research showed that the changes in posuo were affected by internal dynamics factor namely the Butoness who support posuo and external intervention which came from outside, such as state institution and geographical problem the existence of posuo between both effects presents strategy to adapt for answering the internal demands and external pressure at the same time. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutji Rahaju Shinto
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk Memberikan gambaran tentang ketahanan masyarakat dalam merawat pengetahuan tentang Tradisi dan Ritual Berladang serta pengetahuan tentang varietas padi lokal di Desa Tumbang Habangoi, Kecamatan Petak malai, Kabupaten Katingan tengah.
Berangkat dari pandangan Berkes tentang Pengetahuan tradisional dan ketahanan dari segala bentuk perubahan sosial yang ada. Masyarakat Habangoi sudah membuktikan tentang ketahanan mereka dalam mempertahankan tradisi dan ritual berladang mereka, yang menghasilkan pengetahuan tentang banyak sekali varietas padi lokal.
Hasil dari penelitian ini adalah, hingga saat ini para peladang masih melakukan ritual berladang dengan ritual dan tradisi yang lengkap. Padi yang masih diingat dan ditanam oleh para peladang sejumlah 64 paroy dan 16 pulut. Hal in menunjukkan bagaimana para peladang tetap berusaha menjalankan tradisinya meski berbagai perubahan sosial menggempur mereka. Agama/kepercayaan tradisional masyarakat menjadi kunci penting untuk ketahanan tradisi dan ritual berladang. Usaha maksimal tetap di lakukan, namun harapan agar pihak lain bisa membantu melestarikan pengetahuan masih diharapkan oleh para peladang.

ABSTRACT
This study aims to provide a description of the knowledge about the swidden Tradition and knowledge of local rice varieties in Tumbang Habangoi Village, Petak malai Subdistrict, Katingan Regency, Central Kalimantan.
Departing from Berkes's view of traditional Knowledge and the resilience of all forms of social change. The Habangois have proved their resilience in maintaining their farming traditions and rituals, which resulted in the knowledge of many local rice varieties.
The results of this study are, until now the cultivators are still doing farming process with complete rituals and traditions. Rice that is still remembered and planted by the cultivators of 64 paroy and 16 pulut. This shows how the cultivators continue to work on their traditions despite the various social changes that have struck them. The traditional religion / beliefs of society have become an important key to the survival of tradition and ritual farming. The maximum effort remains to be done, but the hope that others can help preserve knowledge is still expected by the cultivators."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
T48674
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitti Syahar Inayah
"Fokus penelitian ini adalah konstruksi nasionalisme masyarakat perbatasan dalam konteks komunikasi sosial. Penelitian ini menggunakan kerangka berpikir interaksionime simbolik yang dikembangkan oleh Mead 1967 mengenai konsep diri dan konstruksi realitas sosial dari Berger-Luckmann 1966 . Paradigma dalam penelitian ini adalah konstruktivis dan merupakan penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap masyarakat perbatasan yang tinggal di Desa Aji Kuning Kecamatan Sebatik Tengah Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara. Penelitian ini menghasilkan identifikasi konsep diri terkait nasionalisme masyarakat perbatasan dalam proses konstruksi nasionalisme pada konteks komunikasi sosial berupa kompromi. Konsep diri kompromi ini terbagi dalam dua 2 kategori yaitu kompromi pada hal-hal tertentu limited compromise dan kompromi pada semua hal unlimited compromise . Konsep diri tersebut cenderung ditunjukkan dalam pengambilan peran sebagai seorang bangsa Indonesia. Konsep diri tersebut juga menuntun mereka dalam berkomunikasi dan mewariskan realitas subjektifnya kepada lingkungannya.

The focus of this research is the construction of nationalism of border community in the context of social communication. This research using symbolic interactionism theoretical framework developed by Mead 1967 regarding self concept and construction of social reality by Berger Luckmann 1966 . The paradigm of this research is constructivist and it is qualitative research. The data were collected by conducting in depth interviews with border community in Aji Kuning Village, Sebatik Tengah District, Nunukan Regency, North Kalimantan. This research yielded identification of self concept in relation to the nationalism of border community in the process of nationalism construction in the context of social communication in the forms of compromise. This self concept in the forms of compromise is devided into two 2 categories, namely compromise in certain things or limited compromise and compromise in all things or unlimited compromise. The concept of self tends to show up in the assumption of a role as a member of Indonesian nation. This self concept also leads them in communicating and passing down the subjective reality to their environment."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
D2279
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joice Evelyn Ariesabeth
"Wilayah pesisir merupakan salah satu bagian dari sumberdaya alam yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Kegiatan pembangunan di wilayah tersebut secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak merugikan. Ekosistem mangrove yang termasuk dalam wilayah pesisir dan pertambangan emas yang menggunakan merkuri sebagai salah satu aktivitas pemenuhan kebutuhan hidup manusia adalah komponen lingkungan yang menjadi topik utama penelitan ini.
Pertambangan emas di Sulawesi Utara beberapa tahun terakhir ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Salah satu daerah yang menjadi pusat kegiatan penambangan tersebut adalah Kecamatan Ratatotok, di mana terdapat penambang emas berskala besar dan kecil, yaitu PT. Newmont Minahasa Raya dan penambang tradisional tanpa izin. Penambangan emas yang dilakukan oleh penduduk setempat masih menggunakan cara tradisional. Merkuri digunakan pada proses ekstraksi emas dan sisa pengolahan yang tidak terpakai lagi langsung dibuang ke Sungai Totok yang bermuara di Teluk Totok. Ekosistem pesisir, khususnya ekosistem mangrove dan pertambangan emas berskala kecil merupakan dua hal penting bagi penduduk yang berada di Kecamatan Ratatotok. Oleh karena itu, perlu diperhatikan keseimbangan keduanya agar tidak merugikan penduduk setempat, salah satunya mengembangkan penelitian yang menunjang, mengenai kemampuan absorpsi atau penyerapan logam berat khususnya merkuri pada ekosistem mangrove. Adapun lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah ekosistem mangrove di Desa Ratatotok Timur, Kecamatan Ratatotok, Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah peran ekosistem mangrove dalam mengabsorpsi logam berat merkuri yang akan memasuki perairan laut. Tujuan penelitian ini adalah: 1) Menganalisis konsentrasi merkuri pada air, sedimen, tumbuhan (akar dan daun) dan biota yang berada di ekosistem mangrove; 2) Mengetahui peran ekosistem mangrove dalam menyerap merkuri, terutama dalam hubungannya dengan sungai dan laut (khususnya pada air dan sedimen di ketiga lokasi). Bagian dari tumbuhan yang dijadikan sampel pada ekosistem mangrove adalah akar dan daun dari Rhizophora sp. dan Avicennia sp., dan biota (bivalvia: Polymesoda coaxans dan gastropoda: Telescopium mauritsi, T. telescoplum, Terebralia palustris) yang berasosiasi dan berada di sekitar tumbuhan tersebut. Data primer didapat dari analisis kandungan merkuri Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) tanpa nyala, sedangkan data yang dihasilkan dari analisis laboratorium akan dianalisis secara statistik menggunakan Uji Kruskal-Wallis dan Man-Whitney Test.
Pada ekosistem mangrove di Desa Ratatotok Timur, konsentrasi merkuri berturut-turut yang paling tinggi hingga yang paling rendah adalah biota, daun, sedimen, akar, air. Adapun kisaran konsentrasinya adalah sebagai berikut: biota (0,149-1,913 mg/kg), daun (0,086-0,121 mg/kg), sedimen (0,014-1,699 mg/kg) dan akar (0,008-0,018 mg/kg). Sedangkan dalam hubungannya dengan sungai dan laut (Sungai Totok dan Teluk Totok), ekosistem mangrove di Desa Ratatotok Timur tidak berperan dalam menyerap merkuri (khususnya pada air dan sedimen di ketiga lokasi). Konsentrasi merkuri pada sedimen berturut-turut dari yang tertinggi hingga terendah adalah di laut/Teluk Totok (1,147-19,549 mg/kg); di Sungai Totok (0,119-9,249 mg/kg); dan di ekosistem mangrove ((0,014-1,699 mg/kg). Sedangkan air, yang tertinggi ekosistem mangrove (1 μg/L), Sungai Totok (kurang dari 1-1 μg/L) dan Laut/Teluk Totok kurang dari 1 μg/L.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa biota merupakan komponen pada ekosistem mangrove yang menyerap atau mengabsorpsi merkuri paling banyak, diikuti oleh daun, sedimen, akar dan air. Merkuri yang terdapat pada ekosistem mangrove masuk melalui pasang surut air laut serta melalui deposisi dari atmosfer. Maka, ekosistem mangrove di Desa Ratatotok Timur tidak berperan dalam menyerap atau mengabsorpsi merkuri, karena masukan merkuri yang berasal dari sungai tidak secara langsung masuk ke dalam ekosistem mangrove melainkan terus ke laut.
Berdasarkan kesimpulan dari penelitian ini, maka dapat diberikan beberapa saran untuk dijadikan pertimbangan yaitu: perlunya penelitian lanjutan untuk melihat dampak merkuri dalam jaringan, baik pada tumbuhan mangrove maupun pada biota lain. Selain itu, bagi masyarakat yang berada di lokasi penelitian agar mendapatkan informasi yang cukup mengenai merkuri dan bahayanya dalam kehidupan sehari-hari.

Coastal regions are among the natural resources most vulnerable to the effect of human activities. Development activities in a coastal region will directly or indirectly affect the environment in a harmful way. The mangrove ecosystem of the coastal area and gold mining utilizing mercury - a means of livelihood for the population - are the environmental components focused in this research.
Gold mining in North Sulawesi has developed rapidly in the past few years. Ne of the areas that became the centre for the mining activities is located in Ratatotok Sub regency, where PT. Newmont Minahasa Raya and illegal traditional miners conduct large and small-scale mining operations. Mining by the local population is still performed through traditional means. Mercury is used at the extraction process and the unneeded waste directly disposed into the Totok River, which flows to the Totok Bay. The coastal ecosystem, in particular the mangrove ecosystem and small-scale gold mining are two essential factors for the Ratatotok population. Consequently, consideration must be given o the proper balance between these two factors to prevent damage to the local population, one of which is by conducting a research to determine the ability of the mangrove ecosystem to absorb heavy metals, in particular mercury. The location chosen for this research is the mangrove ecosystem at the East Ratatotok village, Ratatotok Subregency, South Minahasa Regency, North Sulawesi.
The main problem addressed in this research I the functional extent the mangrove in absorbing mercury heavy metals flowing to the sea. This research aims to: 1) Analyze the concentration of mercury in the water, sediments, plants (roots and leaves) and biota found in the mangrove ecosystem; 2) To determine the function of the mercury in the function of the mangrove ecosystem in absorbing mercury, mainly relating to the river and sea (in particular in the water and sediment at the three locations). Parts of the plants taken as sample from the mangrove ecosystem are the roots and leaves of Rhizophora mucronata and Avicennia marina, while biota associated and found around the surrounding plants are bivalvia: Polymesoda coaxans and gastropoda: Telescopium mauritsi, T. telescopium, Terebralia pallustris. Primary data are obtained from the mercury concentration analysis using nameless Atomic Absorption Spectrophotometer (SSA), while laboratory analysis values will be statistically analyzed using the Kruskal-Wallis and Man-Whitney Test.
At the East Ratatotok mangrove ecosystem, the highest to the lowest levels of concentration of mercury are respectively biota, leave, sediment, roots, water. The range of concentration is as follows: biota (0,149-1,913 mg/kg), leaves (0,086-0,121 mg/kg), sediment (0,014.1,699 mg/kg) and roots (0,008-0,018 mg/kg). While in connection with mercury concentrations of the river and sea (Totok River and Totok Bay), the mangrove ecosystem in East Ratatotok village in East Ratatotok village has no function in absorbing mercury (specifically in water and sediment at the three locations). Mercury concentrations found in sediment by order of high to low levels: Totok Bay (1,147-19,549 mg/kg), Totok River (0,119-9,249 mg/kg) and mangrove ecosystem ((0,014-1,699 mg/kg). While mercury concentrations in water are: mangrove ecosystem (1 μg/L), Totok River (less than 1-1 μg/L) and Teluk Totok (less than 1 μg/L).
Based on the research result, biota is the component in the mangrove ecosystem with the highest mercury absorption ability, followed by leaves, sediment, roots and water. The mercury found in the mangrove ecosystem entered trough the tidal waters of the sea, and through deposits from the atmosphere. Hence the mangrove ecosystem in East Ratatotok village does not function in the absorption of mercury problem of the area, as the source of mercury from the river does not directly enter the mangrove ecosystem, but flows directly to the sea.
Based on the research findings, several suggestions can be forwarded for consideration, which are: a further research is required to study the effects of mercury in tissues, in the mangrove plants as well as in other biota. In addition, adequate information should be made available to the population living in the research area, so that they obtain knowledge on mercury and its hazards to daily life.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi S. Tawari
"Togal adalah tradisi hiburan yang ada pada masyarakat Makian di Propinsi Maluku Utara. Tradisi ini menggabungkan beberapa unsur, yaitu musik, tarian, lantunan syair dan pantun. Dalam perkembangannya togal cenderung melemah, meskipun lemah tradisi ini masih bertahan sampai saat ini, dan dimungkinkan terus bertahan hingga di masa-masa mendatang. Hipotesanya adalah togal bisa bertahan karena memiliki kekuatan tertentu. Dengan demikian, penelitian ini bermaksud memeriksa kekuatan apa yang dimiliki togal sehingga tradisi tersebut dimungkinkan bisa terus bertahan.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan etnografi. Pilihan ini beradasarkan asumsi bahwa etnografi memanfaatkan tekhnik pengumpulan data pengamatan berperan serta (participant observation) yang memungkinkan togal bisa diungkapkan secara holistik.
Hasil penelitian menunjukkan kekuatan togal berada pada wilayah komunikasi, selain itu hakikat togal yang menampakkan kelenturannya pada berbagai aspek ternyata juga turut menjaga tradisi ini terus bertahan.

Togal is entertainment tradition of Makian society in North Maluku province. This tradition combines several elements, namely music, dance, syair, and pantun. In its development togal tends to be weakened, although togal is weak this tradition survived until now, and it is possible to continue to endure in the future. The hypothesis is togal can survive because it has certain strengths. Thus, this study intends to examine what powers belong to the traditions that made possible togal can continue to survive.
The research method used is qualitative with the ethnographic approach. This option base on the assumption that ethnographic utilize participant observation that allows togal can be disclosed holistically.
The result of the study showed strength of togal is at the communication, besides that, the essence of togal that appear flexible on various aspects is also take care of this tradition continue to survive."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
T34946
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismail Malik
"Tesis ini merupakan penelitian yang membahas tentang peranan kabolosi dalam tradisi lisan kande-kandea kabolosi pada masyarakat Baruta Analalaki di Buton. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari data lapangan dan data pustaka. Beberapa teori dan konsep yang digunakan antara lain peran, tradisi lisan, dan ritual. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode etnografi.
Dalam pembahasan tesis ini akan memaparkan tiga hal utama yakni kelisanan, ritual makan bersama, dan peranan kabolosi dalam kande-kandea kabolosi. Pada pembahasan pertama, masyarakat Baruta Analalaki merupakan salah satu masyarakat di Buton yang masih mempertahankan kadandio sebagai salah satu kelisanan dalam tradisi kande-kandea kabolosi. Dalam pertunjukannya, proses penciptaan lisan yang dilakukan sang pelantun lebih menitikberatkan pada penghafalan teks secara tetap, atau tidak secara spontanitas dan menolak kreasi baru. Untuk mempermudah hafalannya, sang pelantun menguasai dan memanfaatkan formula tetap dan tidak tetap. Pada pembahasan selanjutnya, masyarakat Baruta Analalaki merupakan salah satu masyarakat di Buton yang melaksanakan tradisi kande-kandea sebagai sebuah ritual. Kosep dasar ritual makan bersama yang mereka lakukan adalah makanan disajikan kepada masyarakat dan arwah leluhur, yang selanjutnya akan makan secara bersama-sama. Masyarakat Baruta Analalaki malaksanakan tradisi ini lebih menitikberatkan pada fungsi pemenuhan kebutuhan spiritual dan sosialnya. Pembahasan terakhir adalah peranan kabolosi dalam kande-kandea kabolosi. Dari hasil analisis, diketahui bahwa kabolosi memiliki peranan yang sentral dalam kehidupan kande-kandea kabolosi hingga hari ini. Selama masyarakat Baruta Analalaki masih memiliki kebutuhan spritual dan sosial, maka selama itu pula kabolosi akan diperlukan. Peranan kabolosi dalam kande-kandea kabolosi adalah memediasi masyarakat dengan arwah leluhur, mengelola masyarakat. dan melakukan pewarisan baik diluar maupun di dalam pelaksanaanmya.

This thesis is a study about the role of kabolosi in the oral tradition Kandea-kandea Kabolosi at Baruta Analaki society in Buton. Sources of data were obtained from field and reference. Some theories and concepts were used role, oral tradition, and ritual. The method used in this reserach is an ethnographic method.
The discussion of this thesis will describe three main things such as orality, ritual eating together, and the role of Kabolosi in Kande-Kandea Kabolosi. Firstly, Baruta Analaki society is one of the community in Buton that still maintains Kadandio as one of orality in the tradition of Kande-Kandea Kabolosi. In the show, the process of creation who performed by the singer is more focused on text memorization is fixed, or not spontaneously and denied new creation. For making easy on its memorization, the singer command and use the fixed and variable formula. Next, this study about Baruta Analalaki society is one of community in Buton who carry out Kande-Kandea tradition as a ritual. The basic concept of ritual of eating together is serve the food to the public and ancestral spirits, which in turn will feed together. They do this tradition to emphasize on fulfillment function of spiritual and social. The last discussion is about the role of Kande-Kandea Kabolosi. From the analysis, it is known that Kabolosi has a central role in Kande-Kandea Kabolosi’s life till this day. As long as they still have spiritual and social needs, then Kabolosi will be required. Kabolosi roles in Kande-Kandea were mediated society with acestral spirits, manage people, and do good tranmission even in outside and inside of its implementation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T41390
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurlin
"This article describes the relationship between power, history and identity in the processof division North Buton of Muna. In this article the presence of North Buton identity is seen asa phenomenon that refers to the identity of reproduction historical narrative where Kulisusuin historical context has a power relationship with the kingdom of Buton which lasted fromthe 17th century. This study found; that the presence of North Buton identity is a product ofdiscourse that legitimized by indigenous groups who identify themselves as descendants ofthe founder of the kingdom Kulisusu. it means that the identity of North Buton formed dueto higher power structures Barata Kulisusu surviving in culture Kulisusu People. This studyalso found that reproductive identity North Buton a political attempt to discover the identityof distinguishing between Kulisusu and People Muna (identity as a weapon of resistance).This distinctive identity in turn managed to attract popular support for the masses who feelconnected to that identity."
Depok: Jurnal Antropologi Indonesia, 2014
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Endin Saparudin
"

Penelitian ini membahas upaya pemertahanan ritual Larungan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan Suryabahari. Dengan menggunakan konsep ritual, tradisi lisan, dan performance studies, penelitian ini menelisik lebih dalam konteks sosial dan dinamika kehidupan masyarakat nelayan yang kompleks, khususnya yang berkaitan dengan kepercayaan, mitos, dan simbol-simbol sakral yang mereka yakini. Penelitian ini berupaya menunjukkan berbagai aspek yang turut menyokong pemertahanan ritual Larungan, sehingga ia dapat berlangsung secara berkesinambungan. Data diperoleh dari hasil penelitian etnografi yang dilakukan dalam beberapa kali kunjungan pada bulan Februari—Agustus 2017, dan dilanjutkan pada 25 Oktober—2 November 2017. Dari analisis yang dilakukan, penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat lima aspek penting yang berpengaruh terdapat pemertahanan ritual Larungan. Kelima aspek tersebut adalah: (1) kepercayaan/religi, (2) peranan langgan, (3) pengelolaan pendanaan, (4) mitos dan narasi kecelakaan, dan (5) prosesi ritual Larungan itu sendiri. Kelimanya saling berkelindan dan saling menguatkan satu sama lain.


This study discusses the efforts to Larungan ritual preserve, carried out by the Suryabahari fishing community. By using the concepts of ritual, oral tradition, and performance studies, this research examines the social context and the dynamics of the lives of complex fishing communities, especially those relating to beliefs, myths, and sacred symbols that they believe in. This research attempts to show various aspects that contribute to Larungan ritual preserve, so that it can take place continuously. Data were obtained from the results of ethnographic research conducted in several visits in February-August 2017, and continued on October 25th-November 2nd, 2017. From the analysis conducted, this study showed that there  were five important aspects that were influential in Larungan ritual preserving. The five aspects are: (1) believe in/religion, (2) langgan role, (3) funding management, (4) myth and narrative accident, and (5) Larungan ritual procession itself. The five are intertwined and mutually reinforcing each other. 

"
2019
T55147
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>