Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 78915 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ajeng Putri Pratiwi
"ABSTRAK
Kekuatan Jepang yang semula ofensif menjadi defensif di wilayah Pasifik, kekalahan Jepang oleh tentara Sekutu yang terjadi berturut-turut pada perang Pasifik mengakibatkan berkurangnya kekuatan militer Jepang. Hal tersebut menyebabkan Jepang membutuhkan tentara bantuan dari wilayah jajahannya termasuk Indonesia. Untuk Indonesia, Pada tanggal 3 Oktober 1943 melalui Undang-undang Bala Tentara Jepang atau Osamu Seirei, Jepang membentuk dan melatih Tentara Peta atau Tentara Sukarela Pembela Tanah Air. Pembentukan Peta dan pelatihan militer merupakan cita-cita bangsa Indonesia untuk membela tanah air dan mempercepat kemerdekaan. Sedangkan, Tujuan Jepang membentuk Tentara Peta semula untuk menambah kekuatan militer Jepang jika sekutu mendarat di Indonesia. Namun, pada akhirnya Tentara Peta berbalik melakukan perlawanan terhadap Jepang dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Karena menerima bantuan Jepang dalam bentuk pelatihan militer bukan berarti berkolaborasi untuk melawan Sekutu memenangkan perang Pasifik. Selanjutnya mantan prajurit Peta bergabung dan mayoritas menjadi pemimpin BKR Badan Keamanan Rakyat yang kemudian menjadi cikal bakal pertahanan militer Indonesia sebagai Tentara Nasional Indonesia.

ABSTRACT
Due to the originally offensive Japanese strength that became defensive in the Pacific region, also with their defeat against allied forces which occurred respectively in the Pacific War, Japan reduced their own military strength. It causes the Japanese army needed help for additional human resources from their own colonized territory including Indonesia. For Indonesia, on October 3, 1943 through the legislation of Japanese army or Osamu Seirei, Japan established and trained Peta Army or Tentara Sukarela Pembela Tanah Air homeland defense soldier . For Indonesia, the military training establishment and peta army represents the nation rsquo s aim to defend the homeland and accelerate for independence. Whereas, the Japanese original goal of forming Peta army was to increase the strength of the Japanese military to get set whenever the allies landed in Indonesia. But in the end, the Peta Army turned out to fight and set a war against Japan and strived for the independence. Receiving Japanese aid in the form of military training did not mean collaborating for allies to win Pacific War. Furthermore, the ex member of Peta army joined and became a leader of the Badan Keamanan Rakyat Citizenry Security Agencies who later became the forerunner of the military defense of Indonesia as the Indonesia National Army."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, 2005
355 PET
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nugroho Notosusanto
"ABSTRACT
Writing the contemporary history of one's own country is hazardous in two respects, firstly, in the academic field there are still plenty of people who think that the events experienced by one's own generation do not properly belong to the realm of history. They cite the oft repeated dictum that historians should have sufficient distance from the occurrences they sought to describe and not infrequently accuse the contemporary historian of engaging himself in political pamphleteering or journalism rather than performing scholarly pursuits. Secondly, it is indeed, true that too many people who were involved in the events treated are still around, and it is unfortunately so that many of them would attack a piece of contemporary historical writing if they think that their role has been described less favorably or less expansively than they would have wished. Or again, they would criticize the historical treatise because personages, whom they like or adulate, are put in a less than bright spotlight. Or, because they are disappointed for the historian's failure to adhere to their point of view about various things, or because of what they perceive as the historian's scorn for their favorite cause.
Although aware of the difficulties involved in the writing of contemporary history of Indonesia, I do belief that the study and writing of contemporary history, including Indonesian contemporary history, is not only justified but also necessary. In Indonesia, as in most new nations, the story of the processes leading towards independence is foremost in the minds of those generations who have witnessed the transition from colonial domination towards national self-determination. In Indonesia, these are the periods covering the National A wakening it the period of the Nationalist Movement from 1908 (which was the year of the founding of the Budi Utomo as the first modern Indonesian association) down till the Japanese occupation of 1942-1945, as well as the period of the Revolution or War of Independence of 1945-1949.
For the latest generations, even the periods following the end of the War of Independence are important to satisfy their thirst for an answer on the why of the present situation. To present-day Indonesians the questions asked about the latest periods in their nation's history are looming very large indeed, larger than the questions asked about long bygone periods like that of the 18 or 19 centuries and further back. Social change during those mere decades has been both sweeping and swift leaving in its wake bewilderment and confusion. The urge towards achieving understanding about the happenings speeding past is not generated solely by curiosity but also by the necessity of charting a course in the turbulent waters of the ocean of the future.
Under these circumstances the study of history has a strongly pragmatic character. There is a powerful urge to conceive what I propose to call by lack of a better term, the "visionary" use of history. With this I wish to denote the quality to give its students the meaning of the series of events it presents, giving them a vision, or outlook, or point of view, about the process, starting somewhere in the past, extending through the present and on towards the future. Without this quality, in the context of a new nation like Indonesia, history would be, I think, "meaningless" with the connotation of being "useless".
History has also, what might be called, a "technical" use. It provides for the empirical data as the product of its research to be employed both in other branches of learning -- particularly the social sciences -- and in more practical endeavors such as the instruction in tactics or arms development at military institutions. And finally, history has an "inspirational" use, needed particularly in the socialization process of succeeding generations to provide them with an image of their society, which, after all, will be theirs to develop further. ;The Peta Army During The Japanese Occupation Of Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1977
D250
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyana, translator
"Periode Perang Kemerdekaan merupakan masa terjadinya proses
pembentukan kekuatan bersenjata/militer Indonesia, militer merupakan Salah satu
unsur pendukung perjuangan bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan
sebagai cerminan dari perwujudan ketahanan nasional. Tetapi jarang sekali
ditemui hasil karya Studi empiris orang Indonesia yang membahas tentang hal
yang berhubungan dengan aspek militer negaranya sendiri kecuali berupa tulisan
mengenai sejarah kesatuan dan pengalaman pribadi atau otobiografi, dan lebih
jarang lagi yang melakukan Studi empiris mengenai tentara Indonesia bentukan
Jepang yang dikenal dengan sebutan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air atau
Tentara Pela. Lebra rnengatakan : ?Selama ini memang ada suatu pengabaian
yang cukup mencolok dalam mengadakan studi empiris mengenai tentara-tentara
yang dilalih Jepang di Asia Tenggara" (Lebra, 1988:8). Padahal dalam masa Perang Kemerdekaan bahkan sampai sesudahnya pun para eks Tentara Pela
memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam organisasi ketentaraan
Indonesia, baik itu dalam Tentara Keamanan Rakyat (FKR), Tentara
Keselamatan Rakyat (TKR), Tentara Republik Indonesia (TRI), maupun dalam
Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sebagian besar kedudukan mulai dari
Komandan Regu sampai Panglima Besar dijabat oleh para eks Tentara Peta,
sehingga memungkinkan para eks Tentara Peta memiliki peranan yang tidak kecil
dalam pembentukan kekuatan bersenjata bangsa Indonesia. Walaupun ada
bermacam-macam pendapat mengenai alasan diperolehnya kedudukan tersebut.
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1 . Untuk mendalami pengetahuan tentang asal-usul / latar belakang eks
Tentara Peta, sehingga dapat mengetahui keragaman yang ada dalam
Tentara Peta sebagai awal terwujudnya Integrasi Nasional di Indonesia.
2. Untuk mendalami pengetahuan tentang keberadaan sesungguhnya
eks Tentara Peta dalam pembentukan kekuatan bersenjata Republik
Indonesia/TNI.
3. Untuk mendalami pengetahuan tentang hal-hal yang menyebabkan
eks Tentara Peta banyak yang berkedudukan sebagai pemimpin pasukan
di dalam kekuatan bersenjala Republik Indonesiaf / TNI.
4. Untuk mendalami pengetahuan tentrang peranan yang dilakukan
eks Tentara Peta dalam pembentukan Tentara Nasional Indonesia sebagai
Salah satu unsur pendukung Ketahanan Nasional.
Kegiatan merekonstruksi pembentukan suatu badan perjuangan
bersenjata pada masa Perang Kemerdekaan yang merupakan peleburan
dari berbagai macam kelompok perjuangan bersenjata/lasykar bentukan
spontan rakyat ini dilaksanakan dalam rangka untuk meneliti peranan eks
Tentara Peta di dalamnya. Maka metode yang dipergunakan dalam
penelitian ini ada dua jenis yaitu:
a. Metode Penelitian Sejarah, tujuannya untuk membuat
rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif dengan
cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasikan, serta
mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan
memperoleh kesimpulan yang kuat (Sumadi Suryabrata, 1995:16).
b. Metode Penelitian Deskriptii; tujuannya untuk menyelidiki
dan menjelaskan/menguraikan mengenai sesuatu fenomena atau
kenyataan sosial dan kaitannya dengan fenornena lainnya dalam
suatu perkembangan sosial masyarakat, dengan jalan
mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenan dengan
masalah dan unit yang diteliti (Sanapiah Faizal, 1992:20)."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T10868
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mestika Zed, 1955-
Jakarta: LP3ES, 2005
355.095 98 MES g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Jamaluddin
"Kelas pedagang di Jepang pada masa Tokugawa secara politik tidak berada dalam posisi menentukan. Kalau kelas pedagang di Eropa merupakan kelas yang memimpin, maka di Jepang mereka adalah yang dipimpin. Bukti-bukti historis, seperti diuraikan dalam skripsi ini, membuktikan hal itu. Kelurga Tokugawa, yang menguasai pemerintahan Bakufu, setelah jatuhnya keluarga Toyatomi, menjalankan politik konfusianisme membentuk masyarakat feodal. Masyarakat dipilah-pilah menjadi empat kelas, yaitu: militer, petani, tukang, dan pedagang. Dan satu lagi yang tidak masuk hitungan sebagai manusia, yaitu eta/hinin. Petani dan tukang dianggap kelas produktif sehingga mereka berada dalam urutan kedua dan ketiga setelah kaum samurai. Pedagang tidak termasuk kelompok sosial terhormat di mata Bakufu, walaupun ia mengakui akan pentingnya kelas ini. Peraturan-peraturan yang membatasi gerak pedagang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka proses refeodalisasi yang disempurnakan dengan penstabilan negara. Ditinjau dari segi status sosial kelas pedagang memang berada dalam urutan paling bawah, tetapi sesungguhnya mereka memiliki kenikmatan hidup yang lebih daripada petani dan tukang. Para petani senantiasa dibebani berbagai pajak oleh pemerintah yang sangat merugikan. Kondisi politis yang demikian mengakibatkan para petani banyak yang berubah status menjadi pedagang. Bahkan samurai banyak yang meninggalkan pedang-nya (pedang sebagai lambang ketinggian status bagi kaum samurai) berubah menjadi pedagang, hanya untuk memperoleh keuntungan dan kenikmatan hidup. Diberlakukannya sistem Sankin Kotai telah menaikkan pamor pedagang. Para penguasa daerah, akibat sistem tersebut, dan mengalami kesulitan keuangan. Mereka sering kali meminjam uang kepada para pedagang. Karena itu tidaklah heran bila para Daimyo (penguasa daerah) lebih menarik simpati kepada pedagang dari pada kepada para petani. Sistem ekonomi uang yang mulai nampak pada masa Tokugawa menambah kuatnya posisi kelas kaum pedagang dan sekaligus mengancam sistem feodal. Petani juga terkena dampak dari pada sistem ekonomi uang ini. Melihat kenyataan ini, muncul beberapa pemikiran, yaitu beberapa orang mengusulkan agar ekonomi uang dibatasi, dan agar sistem monopoli dibatasi. Usul lain: Alat tukar bukan menggunakan uang tetapi menggunakan biji-bijian. Walaupun ada usul agar para pedagang dibatasi dan ekonomi feodal dikembalikan, para pedagang tetap melaju, nenikmati keuntungan yang banyak. Kaum usahawan, industiawan, para bankir semakin bermunculan. Timbulnya hal ini sedikit banyak menjadi ancaman bagi Bakufu. Atau paling tidak menjadi kesulitan bagi Bakufu, disamping Bakufu menyadari akan pentingnya kedudukan para pedagang. Problematik yang dialami oleh Bakufu terutama apakah monopoli diijinkan dan menarik pajak dari buruh atau dihapuskannya (monopoli, pajak, kenaikan harga). Ini adalah sebuah dilema karena sumber pendapatan feodal tidak lagi memenuhi kebutuhan, terutama setelah para petani meninggalkan ladang-ladang. Walaupun kesulitan-kesulitan dialami Bakufu, akan tetapi supremasi politiknya tetap bertahan. Para pedagang masih tetap tidak menduduki posisi yang menentukan secara politis. Bahkan para pedagang pada masa Tokugawa sering kali terbentur sebagai akibat kebijaksanaan Bakufu. Pada permulaan abad ke-17, misalnya, sistem monopoli dihapuskan sehingga mengacaukan para pedagang. Dari sini nampak bahwa para pedagang atau pengusaha Jepang sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan para pedagang/pengusaha di Eropa. Para pengusaha di Eropa, seperti sudah disebutkan, memiliki posisi yang menentukan dan memiliki kemerdekaan politis, sehingga mampu mengadakan perubahan secara fundamental. Para pengusaha di Jepang tidak demikian. Sistem feodal konfusianisme telah menempatkan pedagang pada posisi yang tidak menguntungkan, sebaliknya kaum samurai yang menguasai pemerintanan Bakufu telah mapan."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bunga Pertiwi Tontowi Puteri
"ABSTRACT
Pendidikan Agro-ekologi adalah pembelajaran terkait agrikultur yang tidak hanya mempelajari aspek ilmu alam namun juga sosial dari kehidupan pertanian yang kompleks, dengan menekankan pada prinsip pertanian yang memperhatikan ekologi. Pendidikan Agro-ekologi dalam perkembangannya menerapkan pendidikan kritis untuk menumbuhkan kesadaran kritis peserta didik terkait permasalahan agrikultur, khususnya pendidikan agroekologi yang ditujukan untuk masyarakat petani. Pesantren Agro-ekologis Biharul Ulum Bogor merupakan salah satu contoh bentuk pendidikan alternatif swakelola masyarakat yang menerapkan hal tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses pembelajaran dalam Pendidikan Agro-ekologi di pesantren Biharul Ulum dilakukan, serta apakah model pendidikan tersebut mampu menumbuhkan kesadaran kritis kepada para peserta didiknya. Penelitian ini menggunkan metode kualitatif, dengan Pesantren Agroekologis Biharul Ulum Bogor sebagai subjek penelitian. Hasil temuan penelitian ini adalah bahwa proses pembelajaran di Pesantren Agro-ekologis Biharul Ulum Bogor menunjukkan beberapa karakteristik pendidikan kritis, namun masih terdapat beragai hambatan yang menyebabkan proses pembelajaran kurang berjalan dengan baik dan menjadi kendala tumbuhnya kesadaran kritis pada peserta didik.

ABSTRACT
Education of Agro ecology is agriculture related learning that not only related learning aspects of the natural sciences but also social from complex farming life, with emphasis on ecological agriculture. Education of Agro ecology in its development implements critical education to foster students 39 critical awareness of agriculture issues, especially agroecological education aimed at peasant communities. Pesantren Agro ekologis Biharul Ulum Bogor is one example of an alternative education implement it, and managed by the community itself. This study aims to find out how the learning process in Education of Agro ecology at Pesantren Biharul Ulum, and whether the model of education is able to cultivate critical awareness to learners. This research uses qualitative method, with Pesantren Agro ekologis Biharul Ulum Bogor as subject of research. The findings of this research is that the learning process in Pesantren Agro ekologis Biharul Ulum Bogor shows some characteristics of critical education, but there are still many obstacles that make the learning process less well run and become a constraint of the growth of critical awareness in the learners."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nugroho Notosusanto
Tokyo: Waseda University Press, 1979
992.06 NUG p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nugroho Notosusanto
Waseda, University, Tokiyo Japan
992.06 N 320 p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>