Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145817 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Latifa Hernisa
"ABSTRAK
Latar belakang: Kardioplegia merupakan komponen penting dalam proteksi miokard operasi jantung. Meskipun telah banyak penelitian yang mencoba membuktikan keunggulan kardioplegia darah dibanding kardioplegia kristaloid, namun kesepakatan kardioplegia terbaik untuk operasi jantung bawaan asianotik belum tercapai. Metode: Penelitian eksperimental dengan simple randomization pada 54 populasi pasien VSD, AVSD dan gangguan katup mitral yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 24 pasien kelompok crystalloid cardioplegia CC sebagai kontrol, dan 30 pasien kelompok blood cardioplegia BC . Dilakukan pemeriksaan selisih kadar laktat darah arteri dan sinus koronarius, serta ekstraksi oksigen koroner segera, menit ke-15 dan menit ke-30 setelah CPB dihentikan. Dilakukan observasi terhadap durasi ventilasi mekanik, penggunaan inotropik, aritmia jantung, lama rawat icu dan lama rawat rumah sakit. Hasil: Selisih kadar laktat darah dan ekstraksi oksigen koroner tidak berbeda bermakna p>0,05 . Pada pasien tutup VSD, penggunaan intoropik lebih sedikit pada kelompok BC. Pasien tanpa inotropik kelompok BC dan CC yaitu 9/25 dan 2/22, 1 jenis inotropik 12/25 dan 13/22, dan lebih dari satu jenis inotropik 4/25 dan 7/22

ABSTRACT
Backgrounds Cardioplegia is an important myocardial protection in cardiac surgery. Many studies conducted to prove blood cardioplegia rsquo s superiority to crystalloid cardioplegia, but no agreement established for which cardioplegia is the best for acyanotic cardiac surgery. Methods Experimental study with simple randomization in 54 VSD, AVSD, and mitral valve disease patients, 24 crystalloid cardioplegia CC , and 30 blood cardioplegia BC . Lactate levels in arterial blood and coronary sinus, also coronary oxygen extractions were measured immediate, 15 and 30 minutes after CPB deactivated. Postoperative mechanical ventilation durations, inotropic administrations, arrhytmias, ICU and hospital length of stay were observed. Results No significant difference in the difference of lactate levels and coronary oxygen extractions immediate, 15 and 30 minutes after CPB P 0.05 . Less inotropics needed in VSD closure patients in BC group. No inotropic needed in 9 25 BC group to 2 22 in CC group, 1 inotropic needed in 12 25 BC group to 13 22 in CC group, and more than 1 intropic needed in 4 25 BC group to 7 22 in CC group p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58896
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Verrel Wibisono Surjatin
"Latar Belakang Kateterisasi jantung adalah prosedur diagnostik atau terapeutik yang penting bagi pasien penyakit jantung bawaan (PJB). Meskipun prosedur ini efektif, prosedur ini mempunyai risiko komplikasi dengan minimnya informasi yang dipublikasikan dari negara-negara berpendapatan menengah ke bawah di Asia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian komplikasi mayor saat kateterisasi jantung pada pasien PJB di pusat rujukan nasional di Indonesia. Metode Data cross-sectional pasien anak PJB yang menjalani kateterisasi jantung dengan anestesi umum pada bulan Januari 2020 hingga Februari 2022 di Pelayanan Jantung Terpadu, rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dikumpulkan melalui rekam medis. Data yang dikumpulkan meliputi demografi pasien, jenis PJB, laporan prosedur, dan komplikasi. Kami meninjau dan menjelaskan data kateterisasi jantung anak untuk PJB selama periode 14 bulan. Hasil Tercatat sebanyak 179 prosedur kateterisasi jantung, dengan total 13 komplikasi yang terjadi pada 9 (5,0%) kasus. Dari jumlah tersebut, 7 merupakan komplikasi mayor, yang terjadi pada 5 (2,79%) prosedur. Komplikasi mayor meliputi bradikardia, desaturasi dan hipotensi yang menyebabkan upaya resusitasi atau pemindahan ke unit perawatan intensif jantung (CICU), serta aritmia, dan hipoksemia berat. Komplikasi minor terjadi pada 4 tindakan (2,23%). Komplikasi mayor lebih sering terjadi pada penyakit jantung bawaan yang kompleks dan memiliki median usia dan berat badan yang lebih rendah dibandingkan prosedur tanpa komplikasi. Kesimpulan Insiden prosedur dengan komplikasi mayor selama kateterisasi jantung untuk PJB dengan anestesi umum dalam penelitian ini adalah 2,79%, hal ini konsisten dengan studi lain. Komplikasi mayor masih dapat terjadi dalam prosedur diagnostik, hal ini menyoroti pentingnya kehati-hatian dalam penempatan staf, persiapan, dan pemantauan peri-prosedural, terutama pada pasien berisiko tinggi dan penyakit jantung bawaan kompleks.

Introduction Cardiac catheterisation is an essential diagnostic and therapeutic tool in patients with congenital heart disease (CHD). While it is effective, the procedure carries a risk of complications, with little information published from low-middle income countries in Asia. This study aimed to investigate the incidence of major complications during cardiac catheterisation in patients with CHD at a national referral centre in Indonesia. Method Cross sectional data for paediatric patients with CHD who underwent cardiac catheterisation under general anaesthesia from January 2020 to February 2022 at Pelayanan Jantung Terpadu, Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, were collected via medical records. Data on patient demographics, types of CHD, procedural details, and complications were collected. We review and describe the data on paediatric cardiac catheterisations for CHD over a period of 14 months. Results A total of 179 cardiac catheterisation procedures were recorded, with a total of 13 complications which occurred in 9 (5.0%) cases. Of these, 7 were major complications, which occurred in 5 (2.79%) procedures. Major complications included bradycardia, desaturation and hypotension leading to resuscitation efforts or transfer to cardiac intensive care unit, as well as arrhythmias, and severe hypoxemia. Minor complications occurred in 4 procedures (2.23%). Major complications occurred more often in complex congenital heart disease cases and had a lower median age and weight relative to procedures without complications. Conclusion The incidence of procedures with major complications during cardiac catheterisation for CHD under general anaesthesia in this study was 2.79%, which is consistent with other studies. Major complications can still occur in diagnostic procedures, highlighting the importance of careful staffing, preparation and peri-procedural monitoring, especially in higher risk patients and complex congenital heart disease."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harvey Romolo
"Latar belakang: Kardioplegia merupakan komponen penting proteksi miokard. Pada pasien dewasa, kardioplegia darah dinyatakan unggul dibanding kardioplegia kristaloid. Pada bedah jantung anak belum ada penelitian yang membuktikan hal ini, khususnya pada operasi jantung bawaan sianotik. Metode: Penelitian eksperimental dengan simple randomization pada 70 populasi pasien TOF yang dibagi menjadi dua kelompok; 35 pasien kelompok kardioplegia kristaloid CC sebagai kontrol dan 35 pasien kelompok kardioplegia darah BC . Dilakukan pemeriksaan metabolik jantung: selisih kadar laktat dan ekstraksi oksigen darah arteri dan sinus koronarius ; segera, menit ke-15 dan menit ke-30 setelah CPB dihentikan. Dilakukan juga observasi klinis terhadap; mortalitas, penggunaan inotropik, durasi ventilasi mekanik, aritmia, fungsi jantung kanan, lama rawat ICU, lama rawat rumah sakit dan major adverse cardiac events. Hasil: Selisih kadar laktat tidak berbeda bermakna p>0,05 . Selisih ekstraksi oksigen koroner ditemukan berbeda bermakna pada menit ke-0 dan menit ke-15 p=0,038 dan p=0,015 . Tidak ada perbedaan pada luaran klinis. Kesimpulan: Tidak ditemukan perbedaan klinis maupun cedera miokard yang bermakna antara kedua kardioplegia. Kardioplegia darah ditemukan unggul secara metabolik pascabedah dan dapat dipakai sebagai alternatif untuk operasi jantung pasien sianosis.

Backgrounds Cardioplegia is an integral part of myocardial protection. Several authors reported the superiority of blood cardioplegia in adult patients. However, this is yet to be studied in cyanotic pediatric patients. Methods This study is a double blind randomized controlled trial. 70 TOF patients were devided into two groups 35 patients in crystalloid cardioplegia group CC as control, and 35 in blood cardioplegia group BC . Lactate and coronary oxygen extraction in arterial blood and coronary sinu, were measured immediate, 15 and 30 minutes after CPB caessation. Postoperative mortality, major adverse cardiac events, mechanical ventilation time, inotropic administrations, arrhytmias, right ventricular function, ICU and hospital length of stay were observed. Results There were no significant difference in clinical outcomes and difference in lactate levels p 0.05 . There is a significant difference in coronary oxygen extraction immediate and 15 minutes post CPB off p 0,038 dan p 0,015 . Conclusions Blood cardioplegia gave a better postoperative myocardial metabolism value. However, there are no statistical difference in myocardial damage or clinical outcome between the two groups."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eunike Ita Susanti Pramono Widjojo
"Latar belakang: Operasi jantung membutuhkan larutan kardioplegia untuk menghentikan jantung. Saat ini sebagian besar larutan kardioplegia menggunakan mekanisme depolarisasi membran yang berisiko menyebabkan gangguan keseimbangan ion transmembran, aritmia, vasokonstriksi koroner, gangguan kontraktilitas, dan sindrom curah jantung rendah. Menunjukkan proteksi miokardium masih belum optimal. Henti jantung melalui polarisasi membran secara teori dapat memberikan proteksi miokardium yang lebih baik.
Tujuan: Diketahui kualitas proteksi miokardium henti jantung terpolarisasi dibandingkan dengan henti jantung terdepolarisasi.
Metode: Tinjauan sistematik dengan menerapkan protokol PRISMA-P. Data didapatkan melalui pencarian dalam basis data Cochrane Library, PubMed, Scopus, ScienceDirect, dan Embase.
Hasil: Dari penelusuran diperoleh empat studi yang memenuhi kriteria. Tiga studi dengan desain uji acak terkontrol, satu studi dengan desain kohort retrospektif. Jumlah sampel bervariasi dari 60 sampai 1000 subjek. Kualitas proteksi miokardium dinilai dari kejadian aritmia pascaoperasi, infark miokardium pascaoperasi, dan sindrom curah jantung rendah pascaoperasi. Satu studi melaporkan angka kejadian aritmia pascaoperasi yang lebih rendah secara bermakna pada kelompok henti jantung terpolarisasi (p 0,010). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada kejadian infark miokardium pascaoperasi. Tiga studi melaporkan angka kejadian sindrom curah jantung rendah pascaoperasi yang lebih rendah pada kelompok henti jantung terpolarisasi namun tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Henti jantung terpolarisasi berpotensi memberikan kualitas proteksi miokardium yang lebih baik dibandingkan dengan henti jantung terdepolarisasi.

Background: Cardioplegia is needed in cardiac surgery to arrest the heart to achieve a quiet and bloodless field. Depolarized cardiac arrest is widely used despite the risk of ionic imbalances, arrhythmias, coronary vasoconstriction, contractility dysfunction, and low cardiac output syndrome leading to suboptimal myocardial protection. Polarized cardiac arrest has a more physiological mechanism to arrest the heart, thus giving better cardioprotection qualities.
Objective: To assess the myocardial protection quality of polarized cardiac arrest compared with depolarized cardiac arrest.
Method: Systematic review with PRISMA-P protocol. The literature search was performed using Cochrane Library, PubMed, Scopus, ScienceDirect, and Embase databases.
Result: Three randomized controlled trials and one retrospective cohort study were identified, with sample sizes varied between 60 to 1000 subjects. The quality of myocardial protection was assessed from postoperative arrhythmias, postoperative myocardial infarction, and postoperative low cardiac output syndrome. One study reported significantly lower postoperative arrhythmias in the polarized arrest group (p 0.010). There were no differences in postoperative myocardial infarction between the two intervention groups. Three studies reported lower postoperative low cardiac output syndrome in the polarized arrest group although not statistically significant.
Conclusion: Polarized cardiac arrest may give better myocardial protection than depolarized cardiac arrest.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kathrine
"Latar belakang: Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah kelainan kongenital dengan insidens tertinggi dan memerlukan pemantauan berkala. Pemeriksaan ekokardiografi memerlukan fasilitas dan tenaga ahli yang belum tersedia secara luas di Indonesia. Troponin I merupakan biomarker spesifik jantung yang terdeteksi pada awal terjadinya kerusakan miokardium. Data mengenai penggunaan biomarker jantung pada pasien anak dengan PJB masih terbatas.
Tujuan: Mengetahui korelasi antara kadar troponin I dengan parameter hemodinamik pasien PJB asianotik dengan pirau kiri ke kanan.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang terhadap 53 subyek dengan PJB asianotik pirau kiri ke kanan yang berobat di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan untuk menilai jenis PJB, ukuran defek, dan parameter hemodinamik yaitu Qp/Qs, tekanan sistolik arteri pulmoner, fraksi ejeksi ventrikel kiri, dan tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE). Kadar troponin I dinilai melalui enzyme linked fluorescent assay (ELISA) dengan sampel darah diambil pada hari yang sama dengan ekokardiografi..
Hasil: Median usia subyek adalah 16 (3-135) bulan dengan jenis kelamin perempuan 54,7% (n=53). Diagnosis PJB terbanyak adalah ASD (45,3%), dengan proporsi terbanyak defek berukuran sedang (43,4%). Peningkatan kadar troponin I didapatkan pada 7 (13,2%) subyek. Tidak ada perbedaan bermakna kadar troponin I pada berbagai jenis PJB. Ada korelasi negatif lemah antara kadar troponin I dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri (r=-0,391, p=0,002).
Kesimpulan: Terdapat korelasi negatif lemah antara kadar troponin I dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri, sementara tidak ada korelasi bermakna dengan parameter hemodinamik lainnya

Background: Congenital heart disease (CHD) is the most frequent congenital abnormality and requires regular monitoring. Echocardiographic examination requires facilities and experts which are not widely available in Indonesia. Troponin I is a heart-specific biomarker that is detected early in myocardial damage. Data regarding the use of cardiac biomarker in pediatric CHD patients are still limited.
Objective: To determine the correlation between troponin I level and hemodynamic parameters in acyanotic CHD patients with left-to-right shunts.
Methods: A cross-sectional study of 53 subjects with left-to-right shunt acyanotic CHD as inpatient or outpatient at dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Hospital. Echocardiography was performed to assess the type and size of CHD, as weel as hemodynanic parameters (Qp/Qs, pulmonary artery systolic pressure, left ventricular ejection fraction/EF, and tricuspid annular plane systolic excursion/TAPSE). Troponin I level was determined by enzyme linked fluorescent assay (ELISA) with blood samples taken on the same day as echocardiography.
Results: The median age of the subjects was 16 (3-135) months, with 54.7% female (n=53). Most prevalent of the CHD type was ASD (45.3%), most of the defect were medium-sized (43.4%). Increased troponin I levels were found in 7 (13.2%) subjects. There was no significant difference in troponin I level in various CHD types. There was a weak negative correlation between troponin I level and EF (r=-0.391, p=0.002).
Conclusion: There was a weak negatif correlation between troponin I level and EF, while there was no significant correlation with other hemodynamic parameters.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Nur Aini
"Latar belakang. Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan penyebab kelainan kongenital dengan 9 per 1.000 kelahiran hidup bayi dengan PJB per tahun. Angka kematian karena PJB sendiri mencapai 250.000 kematian per tahun di seluruh dunia. Pasien PJB memiliki risiko lebih tinggi terkena infeksi, terutama infeksi respirasi. Penyakit infeksi pada pasien PJB berisiko untuk berprogres menjadi komplikasi yang serius. Penyakit menular seperti pneumonia merupakan sumber utama morbiditas dan angka kematian pada anak-anak penderita PJB di bawah usia lima tahun, oleh karena itu, menghindari infeksi sangat penting bagi populasi PJB. Imunisasi merupakan salah satu strategi yang penting untuk mencegah timbulnya morbiditas dan mortalitas pada anak dengan PJB. Masih ditemukan banyak anak dengan PJB yang belum mendapatkan imunisasi secara lengkap. Studi di berbagai negara menunjukkan bahwa cakupan imunisasi pada anak PJB hanya mencapai 34%. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kelengkapan imunisasi pada pasien PJB dan faktor yang berhubungan. Metode. Penelitian merupakan studi potong lintang yang melibatkan anak PJB berusia 6 bulan hingga 5 tahun yang berobat ke RSCM. Pengambilan data dilakukan dengan kuesioner dan wawancara, serta rekam medis. Analisis dengan regresi logistik dilakukan untuk mendapatkan akurasi pengaruh gabungan dari parameter yang diuji. Hasil. Penelitian melibatkan 127 pasien dengan PJB. Imunisasi yang lengkap didapatkan pada 26,77% subyek. Dari subyek yang memiliki imunisasi lengkap, 35,29% diantaranya diberikan imunisasi tepat waktu. Imunisasi dengan cakupan yang paling tinggi adalah Hepatitis B yang diberikan segera setelah lahir. Pengetahuan, sikap, dan perilaku orang tua terhadap imunisasi secara umum baik. Lama rawat, perilaku orang tua, dan penundaan imunisasi oleh tenaga kesehatan berhubungan dengan kelengkapan imunisasi. Simpulan. Kelengkapan dan ketepatan waktu imunisasi pada pasien PJB di Indonesia masih rendah. Rawat inap, perilaku orang tua terhadap imunisasi, dan penundaan oleh tenaga kesehatan merupakan faktor yang berhubungan dengan kelengkapan imunisasi.

Background. Congenital heart disease (CHD) is a most common cause of congenital abnormalities, accounting for 9 per 1,000 live births each year. CHD causes 250,000 mortalities per year worldwide. CHD patients have an increased risk of infections, particularly respiratory infections. Infectious illnesses in CHD patients can lead to significant consequences. Infectious infections such as pneumonia are the leading cause of morbidity and mortality in children with PJB under the age of five; hence, avoiding infection is critical for the CHD patients. Immunization is an important strategy for reducing morbidity and mortality in children with CHD. There are still many children with CHD who have not been fully immunized. Studies in various countries show that the scope of immunization in children only reaches 34%. Objectives. This study aims to assess the completeness of immunization in PJB CHD and related factors. Method. This research was a cross sectional study of pediatric patients aged 6 months to 5 years who came to Cipto Mangunkusumo Hospital. Data were collected via questionnaires, interviews, and medical records. Analysis with logistic regression was used to determine of the combined effect of the parameters investigated. Result. The study involved 127 patients with CHD. Complete immunization was obtained in 26.77% of subjects. Of the subjects who had complete immunization, 35.29% were given timely immunization. The immunization with the highest coverage was Hepatitis B which was given immediately after birth. Parental knowledge, attitudes, and behavior towards immunization were generally good. Length of stay, parental practice towards immunization, and delays in immunization by health workers were associated with completeness of immunization. Conclusion. The completeness and timeliness of immunization in CHD patients in Indonesia are still low. Hospitalization length of stay, parents' attitude towards immunization, and delay by health workers are factors related to immunization completeness."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ace Trantika
"Pemberian air susu ibu ASI merupakan bentuk pemberian makanan yang paling disarankan untuk semua bayi, termasuk bayi dengan kebutuhan medis khusus seperti penyakit jantung bawaan. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan perilaku pemberian ASI pada 165 ibu yang memiliki bayi penderita penyakit jantung bawaan. Metode penelitian menggunakan survey deskriptif kuantitatif. Pengumpulan data menggunakan kuesioner pemberian ASI dan kuesioner perilaku pemberian ASI yang dimodifikasi dari penelitian Rickman 2017. Pemberian ASI eksklusif pada bayi penderita penyakit jantung bawaan hanya sebesar 36,4. Responden berusia 21-39 tahun tidak memberikan ASI eksklusif, begitupun dengan responden berpendidikan tinggi, tidak bekerja, berpendapatan cukup, multipara, dan berpengetahuan baik. Berdasarkan riwayat persalinan, responden yang melahirkan di fasilitas kesehatan, melahirkan secara sesar, melakukan inisiasi menyusu dini IMD. dan yang dirawat gabung tidak memberikan ASI eksklusif. Pada variabel dukungan sosial, responden yang mendapat dukungan suami dan ibu/mertua tidak memberikan ASI ekslusif. Sebanyak 62,2 bayi penderita kelainan asianotik dan 65,3 bayi penderita kelainan sianotik tidak mendapatkan ASI eksklusif. Kondisi medis bayi yang menyebabkan kendala menyusu pada bayi merupakan faktor utama tidak berhasilnya pemberian ASI eksklusif pada bayi penderita penyakit jantung bawaan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tenaga kesehatan kurang memberikan motivasi dan dukungan pada responden untuk memberikan ASI secara eksklusif. Hasil studi ini dapat menjadi informasi untuk menerapkan konseling ASI yang efektif dan tenaga kesehatan diharapkan mampu memberikan dukungan dan motivasi pada ibu untuk memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya.

Breastfeeding is the most recommended feeding for all infants, including infants with special medical needs such as congenital heart disease. This study aims to describe the breastfeeding behavior in 165 mothers who have infants with congenital heart disease. This research method used. quantitative descriptive survey. Data were collected using. modified breastfeeding and breastfeeding behavior questionnaire from Rickman 2017 study. Exclusive breastfeeding in infants with congenital heart disease is only 36.4. Respondents aged 21 39 years old did not provide exclusive breastfeeding, as did high educated, unemployed, fair income, multiparent, and knowledgeable respondents. Based on the history of labor, respondents who gave birth at. health facility, delivered by cesarean section, initiated breastfeeding, and who were treated together with their infants did not provide exclusive breastfeeding. In social support variables, respondents who have the support of husband and mother mother in law did not provide exclusive breastfeeding. As many as 62.2 of infants with asianotic abnormalities and 65.3 of infants with cyanotic abnormalities were not exclusively breastfed. The infant 39. medical condition that causes breastfeeding difficulties in infants is. major factor in the failure of exclusive breastfeeding in infants with congenital heart disease. The results also show that health workers less motivation and support to respondents to exclusively breastfeed. The results of this study can become an information to implement effective breastfeeding counseling and health workers are expected to provide support and motivation in mothers to exclusively breastfeed their babies.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendy Armanda Zaintama
"Sekitar 1% anak terlahir dengan penyakit jantung bawaan (PJB). Sebagian akan memerlukan kateterisasi jantung baik diagnosis maupun terapeutik. Prosedur ini memerlukan kooperasi pasien dan imobilisasi sehingga dibutuhkan anestesia yang mungkin berulang. Penelitian ini bertujuan melihat efek anestesia umum terhadap fungsi kontraktilitas jantung anak dengan PJB. Kontraktilitas jantung dilihat dari fraksi ejeksi dan TAPSE yang diukur dengan ekokardiografi. Pengukuran dilakukan sebelum anestesia umum, 5 menit pascaintubasi dan akhir tindakan kateterisasi. Metode penelitian kohort observasional dengan consecutive sampling telah dilakukan. Analisis dilakukan terhadap 42 anak berusia 6 bulan hingga 18 tahun dengan PJB yang menjalani kateterisasi jantung dalam anestesia umum pada periode Juni – Agustus 2018. Uji T-test berpasangan dilakukan untuk analisis perubahan fraksi ejeksi dan TAPSE dan analisis multivariat untuk melihat pengaruh usia, jenis PJB, lama dan jenis tindakan kardiologi terhadap perubahan kontraksi. Perubahan fraksi ejeksi turun bermakna pada 5 menit pascaintubasi dan akhir tindakan kardiologi dan TAPSE turun bermakna hanya pada 5 menit pascaintubasi. Pengaruh usia, jenis PJB, lama dan jenis tindakan kardiologi tidak bermakna terhadap perubahan fraksi ejeksi dan TAPSE. Dengan demikian diharapkan kewaspadaan dalam penanganan pasien PJB, termasuk ketika memberikan informasi sebelum persetujuan tindakan medis (informed consent), dan jika memungkinkan menghindari tindakan anestesia umum yang berulang.

Approximately 1% of children borned with congenital heart disease (CHD). Some will require cardiac catheterization which repeated anesthesia may be needed. This study aims to see the effect of general anesthesia on the cardiac contractility in children with CHD. Cardiac contractility seen from ejection fraction and TAPSE as measured by echocardiography. Measurements were taken before general anesthesia, 5 minutes post-intubation and at the end of the catheterization. An observational cohort with consecutive sampling was conducted. Analysis was carried out on 42 children aged 6 months to 18 years with CHD who underwent cardiac catheterization under general anesthesia in the period June - August 2018. Paired T-test was performed to analyze changes in ejection fraction and TAPSE and multivariate analysis to analyze the effect of age, type of CHD, duration and type of cardiology intervention. Ejection fraction decreased significantly at 5 minutes post-intubation and at the end of cardiology intervention and TAPSE decreased significantly only at 5 minutes post-intubation. Changes of contratility was not significant affected by age, type of CHD, duration and type of cardiology intervention. Therefore, alertness in handling patients with CHD is expected, including when providing information prior to informed consent, and if possible avoid repeated general anesthesia."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvina Christine
"ABSTRAK
Penyakit jantung bawaan (PJB) mengakibatkan morbiditas yang signifikan pada anak dan merupakan penyebab kematian utama dari antara kelainan kongenital lainnya. Usaha preventif PJB dengan cara identifikasi faktor risiko maternal diharapkan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas PJB.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) karakteristik (usia saat pertama kali terdiagnosis, jenis kelamin, status gizi, dan status ekonomi keluarga) penderita PJB anak di Poliklinik Kardiologi Ilmu Kesehatan Anak (IKA) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), (2) faktor risiko maternal yang diperkirakan mempengaruhi terjadinya PJB pada anak, yaitu: merokok aktif dan pasif selama kehamilan, diabetes melitus, obesitas, infeksi rubela saat kehamilan, usia saat kehamilan, dan pendidikan.
Metode. Penelitian kasus kontrol dengan consecutive sampling dilakukan di Poliklinik Kardiologi IKA RSCM pada bulan Januari-Maret 2014. Pemeriksaan klinis, ekokardiografi, dan wawancara dilakukan terhadap 68 subjek PJB (kelompok kasus) dan 68 subjek anak sehat (kelompok kontrol).
Hasil. Jumlah subjek penelitian sebanyak 136 subjek, dengan perbandingan kasus:kontrol adalah 1:1. Median (rentang) usia subjek saat diagnosis PJB adalah 5,5 (0,5-180) bulan, sebesar 80,9% terdiagnosis saat berusia kurang dari 1 tahun. Sebagian besar subjek PJB adalah perempuan (57,4%), mengalami malnutrisi (51,5%), dengan 7,4% di antaranya merupakan gizi buruk, dan memiliki status ekonomi keluarga menengah ke bawah (76,5%). Defek PJB non sianotik terbanyak adalah defek septum ventrikel (44,1%) dan PJB sianotik terbanyak adalah Tetralogi Fallot (14,7%). Faktor risiko maternal yang terbukti berhubungan bermakna dengan PJB anak adalah tingkat pendidikan ibu yang rendah. Faktor risiko merokok aktif dan pasif saat kehamilan, obesitas, dan usia ibu saat kehamilan tidak terbukti berhubungan dengan PJB anak, sedangkan faktor diabetes melitus dan infeksi rubela saat kehamilan tidak dapat dianalisis pada penelitian ini.
Simpulan. Median (rentang) usia subjek saat diagnosis PJB adalah 5,5 (0,5-180) bulan, sebagian besar subjek terdiagnosis saat berusia kurang dari 1 tahun (80,9%). Sebagian besar subjek PJB adalah perempuan (57,4%), mengalami malnutrisi (51,5%), dan 7,4% di antaranya merupakan gizi buruk, dengan status ekonomi keluarga menengah ke bawah (76,5%). Faktor risiko maternal yang terbukti berhubungan bermakna dengan PJB anak adalah tingkat pendidikan ibu yang rendah.

ABSTRACT
Congenital heart defects (CHD) cause significant morbidities and are the leading cause of death among other congenital anomalies. Preventive measures with identification of maternal risk factors are expected to decrease morbidity and mortality rate in children due to CHD.
Objectives. This study aimed to define: (1) characteristics (age at diagnosis, gender, nutritional status, and family’s economy status) of CHD patients in Pediatric Cardiology Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH), (2) maternal risk factors that may influence CHD in children, namely: active and passive smoking in pregnancy, diabetes mellitus, obesity, rubella infection in pregnancy, age at pregnancy, and education.
Method. Case-control study with consecutive sampling was performed in Pediatric Cardiology Clinic CMH in January-March 2014. Clinical examination, echocardiography, and interview were performed in 68 CHD subjects (case group) and 68 healthy subjects (control group).
Results. Total subject in this study was 136, with ratio of case:control is 1:1. Median (range) of subject’s age at diagnosis was 5.5 (0.5-180) months, and 80.9% were diagnosed in the first year of age. Most of the subjects were female (57.4%), were malnourished (51.5%) with 7.4% were severe malnourished, and were from middle to low income family (76.5%). The most prevalent non cyanotic CHD was ventricle septal defect (44.1%), and the most prevalent cyanotic CHD was Tetralogy of Fallot (14.7%). Maternal risk factor that was significantly associated with CHD was low maternal education. Active and passive smoking in pregnancy, obesity, and maternal age at pregnancy were not associated with CHD, whereas diabetes mellitus and rubella infection in pregnancy could not be analyzed in this study.
Conclusion. Median (range) of subject’s age at diagnosis was 5.5 (0.5-180) months, and mostly were diagnosed in the first year of age (80.9%). Most of the subjects were female (57.4%), were malnourished (51.5%) with 7.4% were severe malnourished, and were from middle to low income family (76.5%). Maternal risk factor that was significantly associated with CHD was low maternal education."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prasojo
"Pendahuluan: Kembar siam adalah gangguan kongenital yang langka dengan insiden 1/50.000 hingga 1/500.000 kelahiran di seluruh dunia.1 Operasi pemisahan adalah pengobatan utama yang memiliki tingkat kematian tinggi hingga 60%. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kembar siam memiliki tingkat kejadian penyakit jantung kongenital hingga 66%, dengan kejadian tertinggi terlihat pada kembar siam thorakopagus.2 Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan antara penyakit jantung kongenital (PJK) dan mortalitas kembar siam setelah operasi pemisahan.
Metode: Kami melakukan studi retrospektif, pada semua pasien kembar siam yang menjalani operasi pemisahan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dari tahun 2009 hingga 2022. Dua puluh enam subjek ditemukan telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi kami. Kompleksitas penyakit jantung kongenital didefinisikan oleh klasifikasi kompleksitas penyakit Bethesda. Hubungan antara kompleksitas PJK dan mortalitas dalam satu tahun pada pasien kembar siam yang menjalani operasi pemisahan dianalisis menggunakan uji Fisher.
Hasil: Penyakit jantung kongenital terjadi pada kembar omfalopagus di RSCM. Tingkat kematian kembar siam dengan PJK yang menjalani operasi pemisahan di pusat kami adalah 40%, menunjukkan tidak adanya korelasi signifikan antara PJK dan mortalitas setelah operasi pemisahan, (p= 0,369).
Kesimpulan: Kembar siam dengan PJK tidak menunjukkan korelasi dengan tingkat mortalitas setelah operasi pemisahan dalam studi awal ini. Penelitian lebih lanjut diperlukan dengan lebih banyak subjek untuk mendapatkan hasil yang lebih konklusif.

Introduction: Conjoined twins are a rare congenital disorder with an incidence of 1/50.000 up to 1/500.000 births around the world.1 Separation surgery is the mainstay treatment which yields a high mortality rate of up to 60%. Previous studies show conjoined twins have a high incidence of congenital heart disease up to 66%, with the highest incidence evident in thoracopagus conjoined twins.2 This study aimed to evaluate the relationship between congenital heart disease (CHD) and conjoined twins mortality after separation surgery.
Methods: We performed a retrospective study, on all conjoined twin patients who underwent separation surgery in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) from 2009 until 2022. Twenty-six subjects were found to have fulfilled our inclusion and exclusion criteria. Congenital heart disease complexity was defined by Bethesda disease complexity classification. The relationship between CHD complexity within one-year mortality in conjoined twins patients who underwent separation surgery was analysed using Fischer’s exact test.
Results: Congenital heart disease occurs in omphalopagus twins in CMH. The mortality rate of conjoined twins with CHD who underwent separation surgery in our centre was 40%, showing no significant correlation between CHD and mortality after separation surgery, (p= 0,369).
Conclusion: Conjoined twins with CHD showed no correlation to mortality rates following separation surgery in this preliminary study. Further research is needed with more subjects to make more conclusive results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>