Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 73521 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putri Astuti
"Latar Belakang: Propofol adalah salah satu agen induksi yang sering digunakan dalam anestesia umum. Efek samping yang sering menimbulkan rasa tidak nyaman pada pasien adalah nyeri injeksi. Telah dilakukan beberapa penelitian untuk mengatasi nyeri injeksi propofol. Lidokain 40 mg disertai dengan oklusi vena menggunakan turniket adalah metode yang banyak digunakan dan paling efektif. Ondansetron rutin digunakan sebagai pencegahan PONV pada pasien anestesia umum dan terbukti memiliki potensi analgesia serta efektif dalam mencegah nyeri injeksi propofol. Penelitian uji klinis acak tersamar ganda ini membandingkan efektivitas pemberian premedikasi lidokain 40 mg dengan ondansetron 8 mg disertai penggunaan turniket untuk mencegah nyeri injeksi propofol.
Metode: Penelitian ini bersifat uji klinis acak tersamar ganda pada pasien yang menjalani anesthesia umum di Instalasi Bedah Kirana RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Setelah mendapatkan izin komite etik dan informed consent, sebanyak 104 subyek didapatkan dengan consecutive sampling pada bulan Juli hingga September 2016. Setelah pemasangan turniket selama 60 detik diikuti dengan pemberian liodakin 40 mg atau ondansetron 8 mg, dilakukan penilaian nyeri menggunakan verbal rating scale pada detik 0 injeksi propofol 0,5 mg/kg dan 20 detik pascainjeksi propofol. Dengan menggunakan uji Chi square dengan alternatif fisher dilakukan perbandingan keefektifan antara kedua kelompok.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna kekerapan nyeri injeksi propofol pada kelompok lidokain 40 mg disertai turniket dan ondanetron 8 mg disertai turniket pada detik 0 dan detik 20 pascainjeksi propofol p 0,051 dan p 0,062.
Simpulan: Pemberian ondansetron 8 mg intravena disertai dengan penggunaan turniket memiliki efektivitas yang sama dengan lidokain 40 mg intravena disertai dengan penggunaan turniket untuk mencegah nyeri injeksi propofol.

Background: Propofol is one of the induction agent that is often used in general anesthesia. Pain on injection propofol often cause discomfort in patient. A number of research has been done to solve this problem. Lidocaine 40 mg accompanied by venous occlusion using a tourniquet is a method that is widely used and most effective. Ondansetron routinely used as PONV prevention in patients with general anesthesia and shown to have analgesia potential as well as effective in preventing propofol injection pain. This randomized double blind clinical trial compared the effectiveness of premedication with lidocaine 40 mg ondansetron 8 mg with the use of a tourniquet to prevent pain on injection propofol.
Methods: This study was a double blind randomized clinical trial in patients undergoing general anesthesia in at Kirana surgical center Cipto Mangunkusumo. The study has been approved by FKUI RSCM Research Ethical Committee Jakarta. A total of 104 obtained by consecutive sampling in July until September 2016. After placement a tourniquet for 60 seconds followed by administration of 40 mg lidocaine or 8 mg ondansetron, an assessment of pain using a verbal rating scale is done at seconds 0 propofol injection of 0.5 mg kg and 20 seconds after the injection. By using the chi square test and fisher as an alternatives, were compared effectiveness between the two groups.
Result: There were no significant differences in the incidence of propofol injection pain in group lidocaine 40 mg with the use of tourniquet and 8 mg ondansetron with a tourniquet in seconds 0 and 20 seconds after injection of propofol p 0.051 and p 0.062.
Conclusion: Ondansetron 8 mg with the use of a tourniquet has the same effectiveness with Lidocaine 40 mg with the use of a tourniquet to prevent pain on injection propofol
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Ayu Marina S.A.
"Latar Belakang: Nyeri penyuntikan propofol merupakan efek samping yang paling sering dikeluhkan dan memberikan trauma pada pasien anestesi umum. Metode paling efektif mengurangi nyeri penyuntikan propofol adalah penggunaan turniket dan lidokain 40 mg. Terapi vibrasi digunakan untuk mencegah nyeri penyuntikan. Penelitian ini bertujuan membandingkan keefektifan terapi vibrasi dengan penggunaan turniket dan lidokain 40 mg untuk mencegah nyeri penyuntikan propofol.
Metode:Penelitian ini bersifat uji klinis acak tersamar tunggal terhadap pasien usia 18-65 tahun yang menjalani anestesia umum dengan menggunakan propofol di Instalasi Bedah Kirana RSCM pada bulan Juni-Juli 2018. Sebanyak 104 subyek didapatkan dengan metode consecutive sampling dirandomsasi menjadi kelompok terapi vibrasi (n=52) dan kelompok turniket dan lidokain 40 mg (n=52).  Kekerapan nyeri dan derajat nyeri berdasarkan NRS (Numerical Rating Scale dicatat. Analisa data menggunakan uji Chi Square.
Hasil: Kekerapan nyeri berbeda signifikan terapi vibrasi sebesar 15,4% sedangkan turniket dan lidokain 40 mg sebesar 3,8% (p 0,046). Derajat nyeri penggunaan turniket dan lidokain 40 mg yaitu nyeri ringan 3,8% dan tidak nyeri 96,2%, sedangkan penggunaan terapi vibrasi yaitu nyeri ringan 15,4% dan tidak nyeri 84,6%.
Simpulan: Penggunaan terapi vibrasi secara statistik tidak lebih efektif dibandingkan penggunaan turniket dan lidokain 40 mg.

Background: Pain during the Propofol injection is the most frequently complained and adverse side effect in general anesthesia patients. Currently, the most effective method of reducing pain in propofol injections is to combine application of tourniquet and lidocaine 40 mg. therapy can be used to prevent pain during injection pain. This study aims to compare the effectiveness of vibration therapy with the use of tourniquet and lidocaine 40 mg to prevent pain in injecting propofol.
Method: This study was a single blind randomized clinical trial of patients aged 18-65 years who underwent general anesthesia using propofol in the Kirana RSCM Surgical Installation in June-July 2018. A total of 104 patients were obtained by consecutive sampling method, then divided onto two groups, a vibration therapy group ( n = 52) and the tourniquet group and lidocaine 40 mg (n = 52). The frequency of pain and the degree of pain based on the Numerical Rating Scale (NRS) were recorded. Data analysis were done using Chi Square test.
Results: Pain frequency was significantly different from vibration therapy by 15.4%, while tourniquet and lidocaine 40 mg was 3.8% (p 0.046). Degree of pain based on NRS use of tourniquet and lidocaine 40 mg is mild pain 3.8% and painless 96.2%, while the use of vibration therapy is mild pain 15.4% and no pain 84.6 % .
Conclusion: The use of vibration therapy is not statistically more effective than the use of tourniquet and lidocaine 40 mg."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Edhie Renanta
"Latar Belakang : Pemberian tiopental intravena dengan turniket selama 30 detik sebelum penyuntikan propofol akan mengurangi nyeri yang diakibatkan propofol. Penelitian ini akan membandingkan keefektifan antara tiopental dan lidokain dalarn pencegahan nyeri yang disebabkan oleh penyuntikan propofol.
Metode : Acak, tersamar ganda . Sebanyak 124 pasien (N=62) , ASA 1-2 dibagi dalam 2 kelompok secara acak. Kelompok L mendapat Lidokain 2% (30 mg), Kelompok T mendapat Tiopental 37.5mg , kedua kelompok obat dibuat daiam L5 ml. Propofol diberikan setelah oklusi pada lengan atas dilepas. Penilaian nyeri 10 detik setelah penyuntikan propofol, dinilai dengan Verbal Kategori Scoring dan VAS (Visual Analog Scale).
Hasil :Sebelas pasien (19,4%) mengeluh nyeri pada kelompok lidokain, pada kelompok tiopental dua pasien (3,2%), 1 pasien nyeri ringan dan 1 pasien nyeri sedang Hasil statistik didapat perbedaan bermakna dengan p < 0.05.
Kesimpulan : Pemberian tiopental 37.5 mg dengan oklusi selarna 30 detik dapat digunakan sebagai altematif untuk mencegah nyeri akibat penyuntikan propofol .

Background : Thiopental administered intravenously (IV) after tourniquet for 30 second immediately before injection of propofol, will reduce pain induced by propofol injection. In this study, these two different techniques in reducing propofol injection pain with thiopental were compared with lidocaine to evaluate the most effective method in reducing propofol injection pain.
Methods : In a randomized, double blind treatment, 124 patients were included into this study. Patients in group L were pretreated with lidocaine 2% (30 mg) IV , and group T received thiopental 2.5% (37.5 mg). All pretreatment drugs were made in 1.5 ml and were accompanied by manual venous occlusion for 30 second. Propofol was administered after release of venous occlusion. Pain was assessed with a verbal category scoring system and VAS .
Result : In group of Lidocaine 12 (19.4%) patients were complained pain. Thiopental group 2 (3.2 %) patients complained pain , 1 patient with mild pain , and 1 patient moderate pain. There was significant difference between thiopental and lidocaine in reducing propofol injection pain using a tourniquet technique.
Conclusion : We conclude that IV retention of thiopental is better than lidocaine and may be a usefull alternative for reducing pain on propofol injection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18041
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eriza Tjahjono
"Propofol merupakan agen anestesi intravena yang paling banyak digunakan karena menghasilkan anestesi yang baik dengan masa pulih singkat. Namun sering disertai nyeri saat injeksi sampai dengan 70-90% pasien. Di Rumah Sakit Saiful Anwar Malang, nyeri sering diatasi dengan pencampuran lidokain tetapi angka kegagalannya masih mencapai 32%. Sedangkan ondansetron (diberikan sebagai anti muntah) terbukti mengurangi nyeri akibat injeksi propofol sehingga dipilih untuk diujikan pada penelitian ini karena tidak menambah biaya tetapi hanya merubah waktu pemberian.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan nyeri premedikasi ondansetron dengan pencampuran lidokain saat induksi anestesi menggunakan propofol di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang. Pasien ASA I dan II sejumlah 50 orang yang menjalani operasi elektif dengan pembiusan umum menggunakan Propofol di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang. Sampel dirandomisasi sederhana menjadi dua kelompok perlakuan yaitu kelompok Lidokain (lidokain 40 mg dicampurkan dalam 100 mg Propofol yang kemudian disuntikkan intra vena) dan kelompok Ondansetron (injeksi ondansetron 4 mg intra vena 1 menit sebelum propofol). Derajad nyeri kemudian dinilai berdasarkan Observer Pain Scale (OPS) oleh peneliti.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ondansentron (68% pasien tidak nyeri, 20% nyeri ringan, 8% nyeri sedang, dan 4% nyeri berat) mengurangi nyeri yang sebanding dengan pencampuran lidokain (72% pasien tidak nyeri, 20% nyeri ringan, dan 8% nyeri sedang) dengan nilai p = 0,700 (p bermakna < 0,05) pada uji Mann Whitney. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa premedikasi ondansetron mengurangi nyeri yang sebanding dengan pencampuran lidokain saat induksi anestesi menggunakan propofol di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang.

Propofol is the most popular intravenous anesthetic agent used. Propofol is a good anesthetic agent with short recovery time but often accompanied with pain in 70-90% patient. Lidocaine mixture is often used in Saiful Anwar Hospital Malang to relief pain but still with 32% failure. While ondansetron (antivomiting agent) proven to reduce pain caused by propofol injection, therefore chosen to be used because it will not increase medical cost by only changing time of injection.
Purpose of this research is to compare pain score between ondansentron premedication with lidocaine mixture during anesthesia induction with propofol in Saiful Anwar Hospital Malang. All 50 patients diagnosed with ASA I and II undergo elective surgery in Sentral Operating Theater Saiful Anwar General Hospital with general anesthesia using Propofol is our sample. All sample undergo simple randomization into two groups. First is Lidocaine Group (Lidocaine 40 mg mixed in 100 mg Propofol and injected intravenously). Second is Ondansetron Group (Ondansetron 4 mg injected intravenously 1 minute before propofol). Pain score is evaluated with Observer Pain Scale (OPS) by the researcher.
Our result shows that ondansentron (68% patient has no pain, 20% mild pain, 8% moderate pain, and 4% severe pain) reduce pain similar with lidocaine mixture (72% patient has no pain, 20% mild pain, and 8% moderate pain) with p value = 0,700 (p significant < 0,05) with Mann Whitney test. Conclusion of this research is that ondansetron premedication reduce pain similar with lidocaine mixture during anesthesia induction using propofol in Saiful Anwar Hospital Malang.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arnaz Fahdika
"Latar Belakang: Post Aneshesia Shivering (PAS) adalah gerakan involunter satu otot rangka atau lebih yang biasanya terjadi pada masa awal pemulihan pascaanestesia. Kekerapannya mencapai 60% pada pasien yang mendapatkan anestesia umum. PAS dapat menyebabkan hipoksia arterial, meningkatnya curah jantung, risiko terjadinya infark miokard, dan mengganggu interpretasi alat-alat pemantauan tanda vital. Tatalaksana kejadian PAS diantaranya dengan menggunakan metode farmakologi diantaranya dengan pemberian ondansetron dan meperidin. Penelitian ini bertujuan membandingkan keefektifan pencegahan PAS dengan pemberian ondansetron 4 mg dengan meperidin 0.35 mg/kgBB intravena.
Metode:Uji klinis, acak, tersamar ganda pada 92 pasien yang menjalani operasi elektif sederhana di kamar operasi RSCM Kirana. Pasien dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok ondansetron dan kelompok meperidin. Pasien mendapatkan ondansetron atau meperidin sesaat sebelum anestesia, lalu seluruh pasien mendapatkan anestesia yang distandarisasi (premedikasi dengan midazolam 0.05 mg/kgBB dan fentanyl 2 mcg/kgBB, induksi dengan propofol 12.5 mg/kgbb, intubasi atau insersi LMA difasilitasi rokuronium 0.6 mg/kgBB, pemeliharaan dengan sevofluran 2 vol% dengan compressed air:O2 = 2:1). Kekerapan dan derajat menggigil dicatat tiap lima menit selama tiga puluh menit pascaanestesia. Efek samping pascapemberian juga dicatat.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p>0.05) dalam kekerapan PAS pada kedua kelompok. Kekerapan kelompok ondansetron sebesar 15.2%, sedangkan kekerapan kelompok meperidin sebesar 6.5%.
Kesimpulan: Ondansetron 4 mg intravena sama efektifnya dengan meperidin 0.35 mg/kgBB dalam mencegah kejadian PAS.

Background: Post Anesthesia Shivering (PAS) is the involuntary movements of one or more skeletal muscles that usually occur in the early time of postanesthesia recovery. The incidence reached 60% in patients receiving general anesthesia. PAS can cause arterial hypoxia, cardiac output increased, the risk of myocardial infarction, and interfere with interpretation tools vital sign monitoring. Management of the incidence of PAS such as by using pharmacological methods such as by administration of ondansetron and meperidine. This study aimed to compare the effectiveness of prevention PAS by administering ondansetron 4 mg with meperidine 0.35 mg / kg intravenously.
Methods: Clinical trials, randomized, double-blind on 92 patients undergoing elective surgery in the RSCM-Kirana operating room. Patients were divided into two groups: group ondansetron and meperidine. Patients received ondansetron or meperidine shortly before anesthesia and all patients receive standardized anesthesia (premedication with midazolam 0.05 mg / kg and fentanyl 2 mcg / kg, induced with propofol 1-2.5 mg / kg, intubation or LMA insertion is facilitated with rocuronium or 0.6 mg / kg, maintenance with sevoflurane 2 vol% to compressed air: O2 = 2: 1). The frequency and degree of shivering recorded every five minutes for thirty minutes post-anesthesia. The side effects were also recorded.
Result: There was no statistically significant difference (p> 0.05) in the frequency of PAS in both groups. Ondansetron group frequency of 15.2%, while the frequency of meperidine group was 6.5%.
Conclusion: Ondansetron 4 mg intravenously as effective as meperidine 0.35 mg/kgBW in preventing the incidence of PAS."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mefri Yulia
"Latar Belakang. Laringoskopi dan intubasi dilakukan untuk memfasilitasi tindakan anestesia umum. Prosedur ini mengakibatkan nyeri dan memicu pelepasan katekolamin yang dapat menimbulkan respon hemodinamik berupa hipertensi dan takikardia. Berbagai macam obat digunakan untuk menekan respon hemodinamik salah satunya lidokain namun masih tidak dapat meniadakan respon hemodinamik. MgSO4 memiliki banyak manfaat salah satunya untuk menekan hipertensi dan takikardia yang dicetuskan oleh tindakan intubasi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas MgSO4 dibandingkan lidokain dalam menekan respon hemodinamik saat intubasi.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak tersamar ganda, dengan 42 pasien yang menjalani anestesia umum dengan intubasi endotrakeal dan dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu MgSO4 dan lidokain. Kriteria inklusi adalah usia 18-65 tahun dengan status klinis ASA 1-2. MgSO4 25 mg/kg intravena diberikan dengan syringe pump selama 10 menit sebelum induksi dan lidokain 1,5 mg/kg diberikan secara bolus setelah pemberian atrakurium. Respon hemodinamik diukur pada saat awal, pasca induksi, saat intubasi, menit ke-1,3 dan 5 setelah intubasi. Data hemodinamik kemudian ditentukan selisihnya dari nilai pasca induksi dan dibandingkan antara kedua kelompok.
Hasil. Uji General Linear Model menunjukkan MgSO4 25 mg/kg intravena tidak lebih efektif dibandingkan lidokain 1,5 mg/kg intravena dalam menekan respon hemodinamik saat intubasi dinilai dari sistolik, diastolik, MAP dan laju jantung dengan p > 0,05 pada saat intubasi dan menit ke-1,3,5 setelah intubasi dibandingkan nilai pasca induksi pada semua variabel hemodinamik antara kedua kelompok.
Simpulan. MgSO4 25 mg/kg intravena tidak lebih efektif dibandingkan lidokain 1,5 mg/kg intravena dalam menekan respon hemodinamik saat intubasi.

Background. Laringoscopy and intubation is performed for facilitating general anesthesia procedure. This procedure induces pain and stimulate cathecolamine release which gives rise to a hemodynamic response such as hypertension and tachycardia. Many methods has been used to prevent this response such as lidocain, but still there is no method that can eliminate the hemodynamic response. MgSO4 has a lot of benefit effect including supressing hypertension and tachycardia which is induced by intubation procedure. This study aims to compare the effectiveness of MgSO4 with lidocain in supressing hemodynamic response during intubation.
Methods. This study is double blind clinical study on 42 patients undergoing general anesthesia with endotracheal intubation and is divided into two groups: MgSO4 and lidocaine. Inclusion criteria were age 18-65 years old with physical status ASA 1-2. Intravenous MgSO4 25 mg/kg was given by syringe pump for 10 minutes before induction and lidocaine 1,5 mg/kg was given by bolus injection after atrakurium was administered. Hemodynamic response were recorded at baseline, post induction, intubation, 1,3,5 minutes after intubation. Hemodynamic data is determined by the difference from the post induction value and is compared between two groups.
Results. General Linear Model Test shows intravenous MgSO4 25 mg/kg is not more effective than intravenous lidokain 1,5 mg/kg in supressing hemodynamic response during intubation from systolic, diatolic, MAP and heart rate variable with p > 0,05 during intubation, and 1,3,5 mintues after intubation between two groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Panji Adinugroho
"Latar belakang. Kombinasi spray lidokain dan anestetika intravena saat ini merupakan pilihan utama pada prosedur endoskopi saluran cerna, namun spray lidokain mempunyai kekurangan berupa iritasi lokal, mual, muntah dan rasa pahit. Gel lidokain merupakan alternatif pilihan anestetik lokal. Gel lidokain memiliki keuntungan karena dapat mengurangi gesekan mukosa dengan endoskop saat insersi serta memungkinkan pemberian lidokain yang tebal dan lengket sehingga menghasilkan anestesia lokal yang lebih baik pada rongga mulut dan orofaring dibandingkan spray lidokain. Pada penelitian ini kami ingin mengetahui perbandingan keefektifan gel lidokain dengan spray lidokain dalam mengurangi jumlah penggunaan propofol.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda terhadap pasien endoskopi saluran cerna atas dengan sedasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada bulan Juli-September 2015. Sebanyak 52 subyek diambil dengan metode consecutive sampling dan dibagi ke dalam 2 kelompok (kelompok gel lidokain 2% dan spray lidokain 10%). Pasien secara acak diberikan gel lidokain 2% atau spray lidokain 10% sebagai anestetik lokal. Total dosis propofol, angka kejadian gag refleks, hipotensi, bradikardia, dan desaturasi dicatat pada masing-masing kelompok. Analisis data dilakukan dengan uji t-test tidak berpasangan.
Hasil. Rerata dosis propofol berbeda bermakna diantara 2 kelompok, dimana rerata dosis propofol pada grup gel lidokain 2% adalah 186,92±43,52 mg, sedangkan rerata dosis propofol pada grup spray lidokain 10% adalah 218,85±61,01 mg (p=0.035, IK 95%=31,92).
Simpulan. Gel lidokain 2% lebih efektif dibandingkan spray lidokain 10% dalam mengurangi dosis propofol pada pasien endoskopi saluran cerna atas.

Background. A combination of lidocaine spray and intravenous anesthetics is currently the common choice in gastrointestinal endoscopy procedures, but lidocaine spray has some side efects like local irritation, nausea, vomiting and bitter taste. Lidocaine jelly is an alternative choice of local anesthetic. Lidocain jelly reduce friction of endoscope and enables to apply thick and sticky lidocaine resulting in better local anesthesia in the oral cavity and oropharynx compared to lidocaine spray. In this study, we want to compare the effectiveness between lidocaine jelly and lidocaine spray to reduce the propofol dose.
Methods. This study was a randomized double-blind control trial on upper gastrointestinal endoscopy patiens with sedation in Cipto Mangunkusumo Hospital in July to September 2015. A total of 52 subjects were taken with consecutive sampling method and divided into 2 groups (2 % lidocaine jelly group and 10% lidocaine spray group). Patients were randomly given 2% lidocaine jelly or 10% lidocaine spray as a local anesthetic. Total propofol dose, the incidence of gag reflex, hypotension, bradycardia and desaturation recorded in each group. Data analysis was performed by unpaired t-test.
Results. Mean propofol dose significantly different between 2 groups. The Mean propofol dose 2% lidocaine jelly was 186.92 ±43.52 mg, while the mean propofol dose in10% lidocaine spray group was 218.85 ± 61.01 mg (p = 0.035, CI 95% = 31.92).
Conclusion. 2% Lidocaine gel was more effective than 10% lidocaine spray in reducing the propofol dose in patients with upper gastrointestinal endoscopy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Niluh Archi Sri Ramandari
"Penelitian ini bertujuan menilai dan membandingkan efektivitas injeksi subkonjungtiva bevacizumab dosis 5 mg dengan dosis 2.5 mg dalam menurunkan area neovaskularisasi kornea. Sampel adalah dua puluh empat pasien dengan neovaskularisasi kornea oleh karena berbagai etiologi. Pemeriksaan pada sampel dilakukan sebelum, satu minggu setelah injeksi dan empat minggu setelah injeksi yang meliputi penilaian area neovaskularisasi kornea dengan menggunakan image J analysis, pemeriksaan tajam penglihatan tanpa dan dengan koreksi, derajat kekeruhan kornea serta kadar vascular endothelial growth factor (VEGF) air mata. Pada satu minggu dan empat minggu paska injeksi perubahan area neovaskularisasi kornea pada dosis 5 mg (5.21% dan 5.37%) lebih besar dibandingkan dosis 2.5 mg (3.77% dan 4.13%). Hasil yang serupa juga didapatkan pada etiologi non-infeksi dan area neovaskularisasi kornea yang melibatkan lebih dari dua kuadran kornea. Pada keluaran sekunder yaitu tajam penglihatan, derajat kekeruhan kornea dan kadar VEGF air mata di kedua dosis cenderung stabil jika dibandingkan sebelum dan sesudah injeksi. Injeksi subkonjungtiva bevacizumab dosis 5 mg menurunkan area neovaskularisasi kornea lebih banyak dibandingkan dosis 2.5 mg terutama pada etiologi non-infeksi dan keterlibatan kuadran kornea yang meliputi lebih dari dua kuadran.

This study aim to assess and compare the effectiveness of subconjunctival bevacizumab injection 5 mg with 2.5 mg in decreasing the area of corneal neovascularization. Samples consist of twenty-four patients with corneal neovascularization due to various etiologies. The examinations were taken at each visit before injection, 1 week after injection and 4 weeks after injection . Changes in neovascularization evaluated by using image J analysis, visual acuity, density of corneal haziness and level of vascular endothelial growth factor (VEGF) in tears were documented every visit. At 1 week and 4 weeks after injection, changes of neovascularization were higher in 5 mg (5.21% and 5.37%) compare to 2.5 mg (3.77% and 4.13%). The same results were also found in non-infection patient and patient involving more than two quadrants cornea. All of the secondary outcomes showed a stable result before and after injection between the two injections dose. Subconjunctival bevacizumab injection 5 mg is more effective in decreasing corneal neovascularization compare to 2.5 mg especially in non-infection patient and patient involving more than two quadrants cornea. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Riyadh Firdaus
"Studi ini bertujuan untuk mengetahui keefeletifan parecoxib 40 mg intravena dibandingkan dengan morfin 5 mg intravena sebagai analgesik pada 24 jam pertama pascalaparotomi ginekologi. Enampuluh empat pasien laparotomi ginekologi mendapatkan intervensi parecoxib 40 mg iv atau morfin 5 mg iv pascabedah. Nilai VAS, waktu untuk kebutuhan petidin pertama, jumlah kebutuhan petidin dan efek samping opioid dicatat sampai 24 jam setelah intervensi.
Didapatkan nilai rerata penurunan intensitas nyeri (PID) antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p>0,05), dengan rerata PID 0-6 jam sebesar 33,3 (SE 3,3) untuk? kelompok parecoxib dan 38,4 (SE 4,2) untuk kelompok morfin. Rerata waktu pemberian petidin pertama tidak berbeda bermakna yaitu 2 jam 53 menit (parecoxib) dan 1 jam 44 menit (morfin); p>0,05). Rerata kebutuhan petidin 24 jam juga tidak berbeda bermakna yaitu 51,6 mg (SE 5,8) dan 55,5 mg (SE 4,6); p>0,05. Efek samping opioid berupa sedasi lebih banyak pada kelompok morfin yaitu 21 pasien (65,6%) vs 12 (37,5%); p=0,024. Efek samping opioid berupa mual, muntah dan pusing tidak berbeda bermakna.
Disimpulkan bahwa parecoxib 40 mg iv tidak lebih baik(daripada morfin 5 mg iv dalam memberikan efek analgesia untuk nyeri pasacalaparotorni ginekologi.

Objective: The purpose of this study was to compare the analgesic activity of parecoxib 40 mg iv and morphine 5 mg iv in 24 hours after gynecologic surgery that requires laparotomy.
Study design: In a randomized, controlled, double-blind, 64 patiets after gynecoloogic laparotomy surgery received single-dose intravenous parecoxib 40 mg or morphine .5 mg followed by repeated 25 mg iv pethidine as analgesic rescue drugs.Primary efficacy variables were pain intensity difference (PID), time to first recue/remedication, total pethidin dose over 24 hours, and opioid-sparring side effects were recorded.
Results: Parecoxib 40 mg iv did not provide better pain responses than morphine 5 mg iv. Zero to 6 hours PID between parecoxib group and morphine grows were 33.3 (SE 3,3) versus 38,4 (SE 4,2; p>0,05). Mean time to first recuelremedication were 2h53min (parecoxib group) versus lh44min (morphine graup); p>0,05. Mean total pethidine dose in 24 hours were 51.6 mg (SE 5,8) versus 55,5 mg (SE 4,6) for parecoxib group and morphine group respectively; p>0,05. Morphine group showed more sedation parecoxib group; 21 pis (65,6%) versus 12 (37.5%); p-0,024. Other opioid-sparring side effects were comparable between both groups.
Conclusion: Parecoxib 40 mg iv did not provide better analgesic activity than morphine 5 mg iv in 24 hours after gynecologic surgery that requires laparotomy.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18001
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cipta Suryadinata
"ABSTRAK
Latar Belakang: Nyeri pascaoperasi meningkatkan morbiditas, komplikasi pulmonal dan meningkatkan lama perawatan di rumah sakit. Teknik anestesia perioperatif dapat meningkatkan manajemen nyeri dan tingkat kepuasan pasien. Anestesia epidural dapat dikombinasikan dengan ajuvan untuk meningkatkan kualitas analgesia, memperpanjang durasi analgesia, mengurangi kebutuhan opiod dan efek sampingnya. Morfin memberikan kualitas analgesia yang baik tapi berkaitan dengan sering munculnya efek samping. Deksametason merupakan glukokortikoid yang dapat digunakan sebagai ajuvan anestesia epidural. Penelitian ini mencoba mengetahui perbandingan efektivitas penambahan ajuvan deksametason 8 mg dan morfin 2 mg pada bupivakain 0,125 12,5 mg epidural untuk analgesia pascaoperasi ekstremitas bawah.Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar ganda untuk menilai efektivitas penambahan ajuvan deksametason 8 mg dan morfin 2 mg pada bupivakain 0,125 12,5 mg epidural untuk analgesia pascaoperasi ekstremitas bawah. Setelah mendapat izin komite etik dan informed consent sebanyak 64 subyek dengan consecutive sampling, subyek dirandomisasi menjadi dua kelompok untuk mendapatkan regimen epidural bupivakain 0,125 12,5 mg deksametason 8 mg kelompok bupivakain-deksametason dan bupivakain 0,125 12,5 mg morfin 2 mg pascaoperasi kelompok bupivakain-morfin . Subyek kemudian mendapatkan anestesia umum tanpa pemberian regimen epidural intraoperatif. Sesaat sebelum operasi belum selesai subyek diberikan parasetamol 1 gr iv. PCA morfin pascaoperasi diberikan bila VAS >4. Pasien dilakukan penilaian kebutuhan opioid, saat pertama membutuhkan analgesia tambahan, rerata derajat nyeri dan efek samping analgesia epidural pada kedua kelompok dalam 24 jam pertama pascaoperasi.Hasil: Kebutuhan opioid 24 jam pascaoperasi, saat pertama membutuhkan analgesia tambahan dan rerata derajat nyeri 24 jam pascaoperasi antara kedua kelompok didapatkan hasil tidak berbeda bermakna dengan nilai p 0,701, 0,729, dan 0,817. Kejadian mual/muntah didapatkan pada kelompok bupivakain-morfin 1,6 .Simpulan: Penambahan ajuvan deksametason 8 mg memiliki efektivitas yang sama dengan penambahan morfin 2 mg pada bupivakain 0,125 12,5 mg epidural untuk analgesia pascaoperasi ekstremitas bawah. Dosis deksametason 8 mg tidak berkaitan dengan timbulnya efek samping.Kata Kunci: ekstremitas bawah, pascaoperasi, epidural, bupivakain, morfin, deksametason, nyeri

ABSTRACT
Background Post operative pain enhances morbidity, pulmonary complications and increases hospital length. The technique of perioperative anesthesia can improve pain management and patient satisfaction. Epidural anesthesia can be combined with adjuvants to improve the quality of analgesia, prolong the duration analgesia, reduce opioid requirements and side effects. Morphine provides good quality analgesia but it associated with adverse effects. Dexamethasone is a glucocorticoid that can be used as an adjuvant of epidural anesthesia. This study attempt to determine the effectiveness comparison of dexamethasone 8 mg and morphine 2 mg addition as adjuvants in bupivacaine 0,125 12,5 mg epidural for post operative analgesia of the lower extremity.Methods In this double blinded randomized clinical trial, we evaluate the effectiveness of adjuvant addition of dexamethasone 8 mg and morphine 2 mg in bupivacaine 0,125 12,5 mg epidural for post operative analgesia of the lower extremity surgery. After obtaining permission from the ethic committee and informed consent, a total 64 subjects with consecutive sampling were randomly allocated to two groups to receive a total volume of 10 ml epidural plain bupivacaine 0,125 12,5 mg with either 8 mg dexamethasone in the bupicaine dexamethasone group or 2 mg morphine in bupivacaine morphine group. Subjects then receive general anesthesia without epidural regimen administration intraoperatively. Shortly before the end of operation subjects were given intravenous paracetamol 1 gr. Patient Controlled Analgesia PCA of morphine was given when Visual Analog Scale VAS 4. Post operative opioid consumption, the time to first analgetic requirement, pain score and adverse effects in both group were recorded within the first 24 hours postoperatively.Result Post operative opioid consumption, the time to first analgetic requirement and pain score between the two groups showed no significant difference with p value respectively 0.701, 0.729 and 0.817. The incidence of nausea vomiting was found in the bupivacaine morphine group 1,6 .Conclusion The addition of dexamethasone 8 mg had the same effectiveness as morphine 2 mg in bupivacaine 0,125 12.5 mg epidural for post operative analgesia in the lower extremity surgery. Dosage of dexamethasone 8 mg was not associated with adverse events.Keywords lower extremity, post operative, epidural, bupivacaine, morphine, dexamethasone, pain "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>