Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 115222 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ade Imasanti
"Latar belakang: Program rehabilitasi jantung pada pasien pasca bedah pintas arterikoroner BPAK dapat dilaksanakan baik di rumah sakit maupun di luar rumah sakit,dimana hambatan utama pada program rehabilitasi di rumah sakit adalah jarak tempattinggal yang jauh. Mengingat kesulitan ini, untuk meningkatkan jangkauan pelayananprogram rehabilitasi jantung perlu dikembangkan ke arah program latihan mandiri dirumahdengan menggunakan pemantauan jarak jauh / telemonitor elektrokardiografi Tele-EKG .Pemantauan ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien terhadap programlatihan mandiri dirumah.
Tujuan: Menilai efek pemantauan jarak jauh untuk meningkatkan kepatuhan pasien pascaBPAK yang menjalani program latihan mandiri.
Metode: Pasien BPAK yang masuk kriteria inklusi dirandomisasi dan dibagi dua kelompok dengan dan tanpa alat pemantauan jarak jauh . Dilakukan dua kali uji latih treadmilldengan metode bruce, yaitu setelah kedua kelompok menyelesaikan program rehabilitasifase II dirumah sakit sebagai baseline, dan setelah latihan dirumah selama 12 minggupasca-intervensi sebagai evaluasi akhir program. Selanjutnya dilakukan analisis statistikantara kedua kelompok untuk melihat pengaruh pemantauan jarak jauh terhadap kepatuhanprogram latihan mandiri.
Hasil penelitian: Sebanyak 44 pasien diikut sertakan pada penelitian ini. Dari hasilevaluasi, tidak didapatkan tingkat kepatuhan yang lebih baik antara kelompok intervensi n= 20 dan kontrol n = 24 95 vs 70,8 ; p = 0,054 , demikian pula peningkatan durasidan kapasitas aerobik uji latih [ 57,90 81,14 detik vs 21,67 61,22 detik; p = 0,099 , dan 0,77 1,19 METs vs 0,33 1,05 METs; p = 0,193 ].
Kesimpulan: Pasien pasca bedah pintas arteri koroner yang menjalani program latihanmandiri dengan pemantauan jarak jauh tidak mempunyai kepatuhan yang lebih baikterhadap program latihan mandiri.

Background: Cardiac rehabilitation CR program in patient who had coronary artery bypass surgery CABG surgery could be institution based or home based, but there were many barriers for home based CR program that influence the patient's adherence to the program. As an effort to overcome the barrier of distance, confidence, and safe feeling, electrocardiography telemonitoring ECGTM could be used But there wes no data regarding the effect of the electrocardiography telemonitoring to the adherence to the home based CR program in Indonesia.
Aim: To assess the effect of electrocardiography telemonitoring to the adherence to homebased CR program for the patients who have had CABG surgery.
Methods: Patients after having CABG surgery in National Cardiovascular Center Harapan Kita Jakarta who have finished phase II CR program were recruited consecutively and were radomized to the intervention group which used ECGTM and to the control group which did not use ECGTM for 3 months home based CR program. Home based exercise was based on the result of exercise stress testing using Bruce Protocol. Adherence was defined as compliance to the minimum of 3 sessions per week for 12 weeks CR program.
Results: A total of 44 patients completed the study, The adherence to the CR program of the intervention group n 20 and control group n 24 was not different 95 vs 70,8 p 0.054 , and neither was the exercise testing duration 57.9 81.1 vs 21.7 61.2 seconds, p 0.099 , and the improvement of functional capacity 0.77 1.2 vs 0.33 1.05 METS, p 0.193.
Conclusion: The aplication of electrocardiography telemonitoring did not increase the patients adherence to home based CR program.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57640
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Dwiputra
"Latar Belakang: Proprotein convertase subtilisin kexin-9 PCSK-9 merupakan protein yang menghancurkan reseptor low density lipoprotein LDL sehingga penurunan kadarnya dapat menurunkan kadar LDL. Sebagai bagian dari pencegahan sekunder, latihan resistensi direkomendasikan pada pasien pasca bedah pintas arteri koroner BPAK.
Tujuan: Mengetahui efek tambahan latihan resistensi terhadap kadar PCSK-9 pada pasien pasca bedah pintas arteri koroner yang menjalani rehabilitasi fase II.
Metode: Studi eksperimental randomisasi acak tersamar tunggal membagi 87 pasien pasca BPAK menjadi dua kelompok. Kelompok kontrol n=43 adalah pasien yang menjalani rehabilitasi fase II standar sementara kelompok intervensi n=44 adalah pasien yang menjalani rehabilitasi fase II ditambah dengan latihan resistensi tersupervisi. Kadar PCSK-9 diperiksa sebelum dan sesudah rehabilitasi fase II pada kedua kelompok.
Hasil: Setelah menyelesaikan rehabilitasi fase II, didapatkan perbedaan kadar PCSK-9 yang bermakna antara kelompok kontrol dan intervensi 377,1 SD 125 vs 316,6 111,1 ng/ml, ?= -60,5 ng/ml, 95 CI -7,5 -113,4, p=0.026. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kadar LDL p=0,07, kolesterol total p=0,99, high density lipoprotein HDL p=0,44, dan trigliserid p=0,56 antara kedua kelompok pada akhir rehabilitasi fase II.
Kesimpulan: Tambahan latihan resistensi dapat menurunkan kadar PCSK-9 secara bermakna pada pasien pasca bedah pintas arteri koroner yang menjalani rehabilitasi fase II.

Background: Pro protein Convertase Subtilisin Kexin 9 PCSK 9 is a protein degrading low density lipoprotein LDL receptor that lower LDL. As secondary prevention, resistance training is recommended after coronary artery bypass surgery CABG as a complement to aerobic exercise.
Objective: To determine the effects of additional resistance training on PCSK 9 levels and lipid profile in post CABG patients who undergo phase II cardiac rehabilitation.
Methods: A single blinded randomized clinical trial of 87 post CABG patients was devided into two groups. The control group n 43 consisted of patients who received standard phase II cardiac rehabilitation while intervention group n 44 received standard program and supervised resistance training. PCSK 9 level and lipid profile examination were performed pre and post training.
Results: After completion of phase II cardiac rehabilitation, mean PCSK9 levels in intervention group decrease significantly compared to control group control vs intervention, 377,1 SD 125 vs 316,6 111,1 ng ml, 60,5 ng ml, 95 CI 7,5 113,4 , p 0.026 . Nonetheless, there are still no significant changes in terms of LDL level p 0,07 , total cholesterol p 0,99 , high density lipoprotein p 0,44 and triglyseride levels p 0,56 pre and post intervention between two groups.
Conclusion: The additional resistance training can reduce significantly PCSK 9 levels in patients after CABG surgery who underwent phase II cardiac rehabilitation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58904
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Gilang Pamungkas
"Pendahuluan: Pasien pasca Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK) dapat mengalami penurunan kapasitas fungsional dan produktivitas. Hal ini dikarenakan adanya penurunan curah jantung dan penghancuran protein otot (aktin dan miosin). Latihan berjalan dilakukan untuk meningkatkan pompa jantung dan keseimbangan metabolisme. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh latihan berjalan terhadap kapasitas fungsional dan produktivitas ada pasien pasca BPAK.
Metode: Penelitian ini menggunakan Randomized Controlled Trial (RCT) dengan single blind pada outcome assessor. Jumlah responden pada penelitian ini berjumlah 42 orang yang dibagi menjadi 21 orang di kelompok intervensi maupun kontrol.
Hasil: Penelitian ini menunjukkan hasil adanya pengaruh yang bermakna antara latihan berjalan terhadap kapasitas fungsional (0,008<0,05), gangguan dalam bekerja (0,011<0,05), dan gangguan aktivitas(0,044<0,05). Hasil juga menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna antara latihan berjalan terhadap kehilangan waktu kerja (0,967>0,05) dan gangguan pekerjaan keseluruhan (0,696).
Diskusi: Latihan berjalan meningkatkan pompa jantung dan metabolisme. hal tersebut meningkatkan pengeluaran Adenosine Triphospat (ATP) sehingga meningkatkan kapasitas fungsional dan produktivitas pada pasien.
Kesimpulan: Latihan berjalan meningkatkan kapasitas fungsional dan produktivitas pada pasien pasca BPAK.

Introduction: Patients after coronary artery bypass graft (CABG) may experience reduced functional capacity and productivity. This is due to decreased cardiac output and destruction of muscle proteins (actin and myosin). Walking exercise is performed to improve cardiac pump and metabolic balance. This study aims to assess the effect of walking training on functional capacity and productivity in patients after BPAK.
Methods: This study used a Randomized Controlled Trial (RCT) with a single blind on the outcome assessor. The number of respondents in this study amounted to 42 people who were divided into 21 people in the intervention and control groups.
Results: This study showed a significant effect of walking training on functional capacity(0,008<0,05), work interference(0,011<0,05), and activity interference(0,044<0,05). The results also showed no significant difference between walking training on lost work time (0,967>0,05)and overall work interference(0,696>0,05).
Discussion: Walking exercise improves cardiac pump and metabolism, which increases Adenosine Triphosphate (ATP) expenditure, thereby improving functional capacity and productivity in patients.
Conclusion: Walking exercise improves functional capacity and productivity in patients after BPAK.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wenny Fitrina Dewi
"Background:
Cardiac rehabilitation in patients with Coronary Artery Bypass Surgery (CABG) is an effective way in reducing mortality in patients with coronary heart disease (CHD). The presence of impaired cardiac autonomic function is increase the risk of arrhythmias and sudden death. Exercise training as one component of cardiac rehabilitation can improve autonomic function that can be measured indirectly with Heart Rate Recovery (HRR). The aim of this study is to assess the effect of the frequency of physical exercise on improved of HRR.
Metod:
The data used for this analysis include 100 patients who underwent second phase of cardiac rehabilitation after CABG at Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta between July and October 2013. Patients were categorized into group I (exercise 3 times a week) : 40 people and group II (5 times a week exercise) : 60 people. Heart rate recovery was measured with a 6 minute walk test (6MWT). Measurements were performed 2 times, in the early phase and the evaluation phase after 12 times. Increased HRR from both groups were analyzed by linear regression analysis.
Result :
In our study, age, gender, diabetes mellitus, psychological, smoking, coronary artery bypass surgery and the duration of aortic cross clamp did not affect the increase of HRR. Five times a week exercise training gives significant increase of HRR compare to 3 times a week exercise training after analyzed multivariate linear regression ( RR 2.9, 95% KI 1.53 to 4.40, p <0.001 ).
Conclusion:
Frequency of physical exercise 5 times a week give a better response to the increase in HRR than exercise 3 times a week.

Latar Belakang:
Rehabilitasi jantung pada pasien Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK) merupakan tindakan efektif dalam menurunkan mortalitas pada pasien dengan Penyakit Jantung Koroner (PJK). Adanya gangguan fungsi otonom jantung dikatakan meningkatkan risiko aritmia dan kematian mendadak. Latihan fisik sebagai salah satu komponen rehabilitasi jantung dapat meningkatkan fungsi otonom yang dapat diukur secara tidak langsung dengan Heart Rate Recovery (HRR). Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh frekuensi latihan fisik terhadap peningkatan HRR.
Metode:
Sebanyak 100 pasien pasca BPAK yang melakukan rehabilitasi jantung fase II dipilih secara konsekutif sejak 1 Juli ? 15 Oktober 2013 di Pusat Jantung nasional Harapan Kita, Jakarta. Pasien dikelompokkan menjadi kelompok I (3 kali latihan seminggu) sebanyak 40 orang dan kelompok II (5 kali latihan seminggu) sebanyak 60 orang. Heart rate recovery satu menit diukur dengan uji jalan 6 menit/6 minute walk test (6MWT). Pengukuran dilakukan 2 kali, pada fase awal dan fase evaluasi setelah 12 kali. Peningkatan HRR dari kedua kelompok dianalisa dengan analisa regresi linier.
Hasil:
Pada studi kami, usia, gender, diabetes melitus, psikologis, merokok, bedah pintas arteri koroner dan lamanya aortic cross clamp setelah dianalisa tidak mempengaruhi peningkatan HRR secara bermakna. Frekuensi latihan 5 kali seminggu memberikan peningkatan HRR yang bermakna secara statistik dibandingkan 3 kali seminggu setelah dianalisa dengan regresi linier multivariate (RR 2,9; 95 % IK 1,53-4,40, p<0,001)
Kesimpulan: Frekuensi latihan fisik 5 kali seminggu memberikan respon yang lebih baik terhadap peningkatan HRR dibandingkan latihan 5 kali seminggu."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58695
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Aditya
"Latar Belakang : Morbiditas pasca operasi bedah pintas koroner BPAK masih cukuptinggi. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan inflamasi 48 ndash; 72 jam pasca BPAK danpeningkatan pada sistem renin angiotensin dan aldosteron RAAS. Penyekat EKA diketahuidapat menghambat RAAS dan inflamasi. Namun belum ada penelitian yang membuktikanbahwa penyekat EKA dapat menurunkan inflamasi pada pasien pasca BPAK
Tujuan : Mengetahui efek captopril dalam menurunkan inflamasi yang diukur menggunakanhsCRP pada pasien yang menjalani BPAK elektif.
Metode : Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif. Dilakukan di Rumah SakitJantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita RSJPDHK pada subyek yang menjalani BPAKelektif. Durasi penelitian dilakukan pada bulan Mei hingga Oktober 2016. Subyek dibagidalam dua kelompok yaitu kelompok yang mendapatkan captorpil pasca BPAK dan tanpacaptopril. Dilakukan pemeriksaan hsCRP serial sebanyak tiga kali yaitu sebelum operasi,hari ketiga pasca operasi dan sebelum pulang rawat.
Hasil Penelitian : Terdapat total 85 subyek, 49 subyek pada kelompok mendapat captoprildan 36 subyek pada kelompok tanpa captopril. Pemeriksaan hsCRP sebelum operasi dan H 3pasca BPAK menunjukkan tidak ada perbedaan pada kedua kelompok. Pemeriksaan hsCRPH 6 pasca BPAK menunjukkan hsCRP pada kelompok yang mendapatkan captopril lebihrendah 31,4 mg/L 10,5 ndash; 154 vs 46,7 mg/L 10,3 ndash; 318 dengan nilai signifikansi P=0,018.
Kesimpulan : Subyek yang mendapatkan captopril mempunyai tingkat inflamasi yang lebihrendah pada H 6 pasca BPAK yang dinilai dengan hsCRP dibandingkan kelompok yangtidak mendapat captopril.

Background Postoperative morbidity of coronary artery bypass surgery CABG is fairlyhigh. This is due to increased of inflammatory response 48 ndash 72 hour after surgery andincreased of renin angiotensin aldosteron system RAAS. ACE inhibitors are known toinhibit inflammation and RAAS. However, no study has proved that ACE inhibitors canreduce inflammation in post operative CABG.
Objective To determine the effect of captopril in reducing hsCRP post CABG surgery.
Methods This is a cohort prospective study that was conducted in Harapan Kita Hospital, on post operative elective CABG subjects on May until October 2016. Subject divided intotwo groups, the group with captopril and the other is without captopril. High sensitive CRPwas measured 3 times day 0 before surgery, day 3 post CABG, day 6 post CABG.
Results There are total 85 subjects, 49 subjects with captopril and 36 subjects withoutcaptopril. There was no difference in hsCRP results before surgery and day 3 post CABG. Inday 6 post CABG, hsCRP examination in captopril group is lower than the group withoutcaptopril 31,4 mg L 10,5 ndash 154 vs 46,7 mg L 10,3 ndash 318 with P 0,018.
Conclusion Subjects with captopril has lower hsCRP at day 6 post CABG than the subjectswithout captopril.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55620
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nana Maya Suryana
"Latar Belakang: Reperfusi koroner sangat penting untuk menyelamatkan miokardium yang mengalami iskemia namun tindakan ini ternyata juga dapat mengakibatkan cedera miokardium yang dikenal sebagai jejas reperfusi Manifestasi klinisnya berupa komplikasi pasca BPAK diantaranya aritmia penurunan curah jantung dan perioperatif infark miokard Stres oksidatif merupakan salah satu inisiator utama kejadian jejas reperfusi Allopurinol sebagai inhibitor efektif enzim xantin oksidase dapat menurunkan stres oksidatif dengan menghambat pembentukan reactive oxygen species Sehingga diharapkan pemberian allopurinol pada pasien PJK dengan disfungsi ventrikel kiri yang akan menjalani BPAK dapat menurunkan kejadian komplikasi pasca operasi
Tujuan: Mengetahui efek allopurinol terhadap komplikasi pasca operasi BPAK low cardiac output syndrome yang dinilai dengan penggunaan inotropik dan IABP pasca operasi kematian dalam masa rawat perioperatif infark miokard dan aritmia pada pasien PJK dengan disfungsi ventrikel kiri
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis tersamar ganda 34 subjek dipilih secara konsekutif pada September November 2015 Subjek dibagi menjadi dua kelompok yaitu 16 orang mendapat allopurinol 600mg dan 18 orang mendapat plasebo Obat per oral diberikan 1 hari sebelum dan 6 jam sebelum operasi Pengamatan kejadian komplikasi pasca operasi dimulai sejak pelepasan klem silang aorta hingga pasien selesai perawatan
Hasil: Penggunaan inotropik dan IABP pasca operasi menunjukkan perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok p 0 047 Ini berarti penggunaan allopurinol berpotensi mengurangi penggunaan inotropik dan IABP pasca operasi BPAK Proporsi kematian dalam masa rawat pasca operasi BPAK pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna yaitu 6 25 vs 5 6 p 1 000 Sedangkan untuk kejadian aritmia pada kedua kelompok terdapat perbedaan bermakna dengan total proporsi 31 vs 66 p 0 039 dengan jumlah aritmia terbanyak pada kedua kelompok adalah fibrilasi atrium Kejadian perioperatif infark miokard tidak didapatkan pada penelitian ini sehingga efek pemberian allopurinol terhadap kejadian tersebut tidak dapat dinilai
Kesimpulan: Pemberian allopurinol sebelum operasi pada pasien PJK dengan disfungsi ventrikel kiri berpotensi menurunkan kejadian low cardiac output syndrome LCOS yang terlihat dari rendahnya penggunaan obat inotropik dan IABP pasca operasi dan menurunkan kejadian aritmia pasca operasi BPAK

Background: Reperfusion of coronary blood flow is important to resuscitate the ischemic or hypoxic myocardium However the return of blood flow to the ischemic area can result paradoxical cardiomyocyte dysfunction this is referred to as ldquo reperfusion injury rdquo Clinical manifestations of reperfusion injury post CABG surgery are arrhythmias decrease cardiac output and perioperative myocardial infarct Oxidative stress has been confirmed as one of the main initiator in myocardial injury at ischemic and reperfusion state Allopurinol as an effective inhibitor of xanthine oxidase XO can reduce the oxidative stress by blocking the formation of reactive oxygen species ROS Pre operative allopurinol on CAD's patient with LV dysfunction is expected reduce the complications of post CABG surgery
Objective: To analyze effects of pre operative administration of allopurinol on complications of post CABG surgery low cardiac output syndrome which is measured by the use of post surgery inotropic and IABP hospital mortality perioperative myocardial infarction and arrhythmias in CAD's patient with LV dysfunction
Methods: This study is a double randomized clinical trial 34 CAD's patients with LV dysfunction were randomly selected by consecutive sampling methods from September November 2015 They were divided into two groups Sixteen patients were given 600 mg dose of allopurinol per oral one day before and 6 hours before surgery and the rest received placebo Complications of post CABG surgery were observed since the aortic cross clamp off until discharged
Results: The use of post surgery inotropic and IABP found significantly lower in allopurinol group p 0 047 There was no significant difference in proportion of death in post operative hospitalization period in both groups 6 25 vs 5 6 p 1 000 While for the incidence of arrhythmias was found significantly different in the two groups 31 vs 66 p 0 039 with atrial fibrillation as the most common arrhythmia No perioperative myocardial infarction was found in this study therefore effects of allopurinol to the event is unknown
Conclusions: Pre operative administration of allopurinol may reduce the complications of post CABG especially the use of inotropic and IABP and occurrence of arrhythmias
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vienna Rossimarina
"Latar belakang: Pasien pascabedah pintas arteri koroner (BPAK) mengalami penurunan fungsi paru akibat inflamasi perioperatif sehingga terjadi ketidakcocokan ventilasi/perfusi dan kelemahan otot pernapasan. Akibatnya saat beraktivitas, terjadi keterbatasan oksigen sehingga terjadi kelelahan otot lebih cepat dan kapasitas fungsional rendah. Latihan pernapasan diharapkan membantu memperbaiki kapasitas fungsional melalui perbaikan fungsi paru.
Tujuan: Membuktikan manfaat latihan pernapasan terhadap kapasitas fungsional yang diukur dengan 6 Minutes walk test (6MWT) pada pasien pasca-BPAK yang menjalani rehabilitasi kardiovaskular fase II.
Metode: Uji klinis dengan merandomisasi subjek pada kelompok perlakuan yang mendapat adjuvan latihan pernapasan atau menjalani program rehabilitasi standard. Diukur kapasitas inspirasi dan 6MWT pada awal dan akhir rehabilitasi fase II.
Hasil: Dua puluh delapan subjek dirandomisasi menjadi 14 kelompok perlakuan dan 14 kelompok standard. Setelah menjalani program rehabilitasi, kelompok perlakuan dan standard mengalami peningkatan jarak 6MWT yang tidak berbeda bermakna (67 ± 62.9 meter VS. 53 ± 65.7 meter; p = 0.556 ) walau kelompok perlakuan mengalami peningkatan kapasitas inspirasi lebih baik daripada kelompok standard (1357 ± 691.4 mL VS 589 ± 411.5 mL; p = <0.001 ).
Simpulan: Latihan pernapasan sebagai latihan adjuvan rehabilitasi kardiovaskular fase II pasca-BPAK tidak memperbaiki jarak 6MWT secara bermakna dibandingkan program rehabilitasi standard, hanya mempercepat perbaikan fungsi paru.

Background : Patients undergoing coronary artery bypass graft (CABG) surgery develop pulmonary dysfunction due to inflammation and respiratory muscle weakness, hence ventilation/perfusion mismatch occurs then leads to low functional capacity. Respiratory training has been identified to improve functional capacity by recovering pulmonary function faster.
Objectives : To study respiratory training benefit as adjuvant training in 2 phase of cardiovascular rehabilitation program after CABG for improving functional capacity measured by 6 minutes walk test/6MWT distance.
Methods : This single blind clinical trial randomized subjects into intervention group or standard group. Intervention group received respiratory training up to 60% of maximum inspiratory volume (MIV) as an adjuvant to the standard program. Then MIV and 6MWT distance were evaluated.
Result : Twenty eight subjects participated, 14 subjects were in intervention group and others were in standard group. Six MWT distance improvement is not significantly different between groups (67 ± 62.9 VS. 53 ± 65.7 meters respectively; p = 0.556 ). However, intervention group experienced better MIV improvement compared to standard group (1357 ± 691.4 VS. 589 ± 411.5 mL; p = <0.001 ).
Conclusion : Respiratory training as adjuvant training did not improve 6MWT distance among patients undergoing CABG surgery significantly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andhiky Raymonanda Madangsai
"Latar belakang: Bedah pintas arteri koroner merupakan tindakan yang memiliki risiko kematian. Terdapat beberapa skor prediksi mortalitas jangka pendek yang saat ini digunakan untuk memprediksi risiko kematian 30 hari pasien pasca-bedah pintas arteri koroner salah satunya skor ACEF. Namun skor yang telah digunakan saat ini masih memerlukan penyempurnaan karena kemampuan prediksinya yang belum optimal. Peningkatan kadar glukosa darah berkaitan erat dengan peningkatan mortalitas. Namun peranan glukosa darah sebagai prediktor mortalitas belum terdapat dalam skoring ACEF.
Tujuan: Mengetahui kemampuan kadar glukosa darah satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner sebagai prediktor mortalitas 30 hari dan kemampuan sebagai modifikator skor ACEF.
Metode: Studi kohort retrospektif dengan menelusuri rekam medis pasien yang menjalani prosedur bedah pintas arteri koroner di RSUPN Cipto Mangunkusumo periode januari 2015 hingga desember 2022. Pada data umur, kreatinin, fraksi ejeksi, glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner dan kematian dari rekam medis pasien dibuat model prediksi dan dilakukan analisis performa diskriminasi dan kalibrasi.
Hasil: Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner dan variabel ACEF dari 322 pasien dikaji dan dianalisis. Terdapat 11,8% pasien meninggal dengan median Glukosa Darah Sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner 220.  Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner memiliki AUC terbesar 0,537. Skor ACEF memiliki AUC 0,843. Modifikasi skor ACEF dengan glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner berupa skor prediksi baru memiliki AUC 0,843
Simpulan: Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner tidak dapat memprediksi mortalitas 30 hari.

Background: Coronary Artery Bypass Graft Surgery (CABG) is one of cardiac surgery with risk of mortality. There are already many scores to predict mortality in 30 days after CABG, one of them is ACEF score. Although it is relatively easy to use, ACEF score is still considered imperfect. Other studies have shown that hyperglycemia increases risk of mortality, including post CABG. Hyperglycemia or blood glucose is still rarely found in established scoring systems.
Objective: To find added predictive value of adding blood glucose to ACEF score in predicting 30-days post CABG mortality.
Methods: This study is a retrospective cohort study. Data was collected from medical records of patients who went CABG in RSUPN Cipto Mangunkusumo from January 2015 to December 2022. Age, creatinine, ejection fraction, and mortality were analyzed and synthesized to make new models. We calibrated and found the discrimination of new model.
Results: We analyzed one hour-post CABG blood glucose level and ACEF score component from 322 patients. Thity-day mortality following surgery was observed in 38 subjects (11.8%). The median blood glucose was 220. The AUC of blood glucose to predict 30-days mortality is 0,537. The AUC of ACEF score in this study is 0,843. The model of adding blood glucose to ACEF score has AUC 0,843.
Conclusion: One hour post CABG blood glucose level didn’t add predictive value to ACEF of 30 days post CABG mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Brema Suranta Prakarsa Utama P.
"Latar belakang: Bedah pintas arteri koroner konvensional memiliki angka morbiditas pascaoperasi yang tidak rendah pada populasi rentan seperti pasien usia lanjut, yang dipercaya disebabkan oleh penggunaan mesin jantung paru. Studi ini bertujuan untuk membandingkan morbiditas pascaoperasi bedah pintas arteri koroner konvensional dan off-pump pada pasien penyakit jantung koroner usia lanjut. Metode: Studi ini menggunakan desain kohort yang dilakukan terhadap 192 subjek yang telah menjalani BPAK elektif tanpa penyakit jantung lainnya di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Karakteristik demografis dan klinis, luaran pascaoperasi serta morbiditas dikumpulkan secara konsekutif dan dianalisis. Hasil: Durasi intubasi 620 vs 840 menit, durasi penggunaan obat inotropik 1,5 vs 27,5 jam, jumlah transfusi PRC 0 vs 210,5 mL dan jumlah penggunaan obat inotropik 53,4 vs 76,5 secara signifikan lebih rendah pada kelompok off-pump p

Backgrounds On pump coronary artery bypas graft CABG has unfavorable postoperative morbidity in elderly patients, as the effect of the use of cardiopulmonary bypass CPB machine. The purpose of this study is to compare postoperative morbidities in elderly patients undergoing CABG with and without CPB. Methods This is a cohort study on 192 elderly patients undergoing solitary elective CABG in our hospital. Demographical and clinical characteristics, early postoperative outcomes and morbidities were consecutively gathered from the medical records and then analised. Results Intubation time 620 vs 840 minutes, duration of inotropic drugs given 1.5 vs 27.5 hours, amount of packed red cell PRC given 0 vs 210.5 mL, and amount of inotropic grugs given 53.4 vs 76.5 are significantly lower in the off pump group p"
Depok: Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Trisetyo Nugroho
"Latar belakang : Konduit vena lebih rentan mengalami trombosis dini dalam satu tahun pertama pasca bedah pintas arteri koroner sehingga meningkatkan risiko morbiditas maupun mortalitas. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti ada tidaknya perbedaan kejadian trombosis dini konduit vena pascabedah pintas arteri koroner (BPAK) dengan teknik on-pump dan off-pump pada pasien non-resisten aspirin.
Metode : Dilakukan suatu studi kohort prospektif pada pasien yang menjalani operasi BPAK elektif di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dari bulan September 2019 hingga September 2020. Penelitan ini membandingkan kejadian trombosis pada satu bulan pascabedah pada kelompok on-pump dan off-pump dengan menggunakan pemeriksaan MSCT, serta membandingkan nilai MGF dan PI pada kedua kelompok tersebut.
Hasil : Sebanyak 60 konduit vena dari 28 pasien yang menjalani BPAK dilibatkan dalam penelitian ini. Sebanyak masing-masing 30 konduit pada kelompok off-pump dan on-pump. Hasil penelitian ini menunjukan tidak ada perbedaan bermakna pada kejadian trombosis dini antara kedua kelompok. Kejadian trombosis dini pada BPAK on-pump sebanyak 13,3% dan pada BPAK off-pump 13,3% (p=1). Evaluasi nilai MGF dan PI juga menunjukan hasil tidak berbeda bermakna antara kedua teknik operasi maupun pada kelompok konduit yang paten atau oklusi.
Simpulan : Tidak ada perbedaan bermakna pada kejadian trombosis dini antara BPAK baik secara on pump maupun off pump

Introduction : Early thrombosis is more common in vein grafts and may occur within the first year after coronary artery bypass graft surgery and can increase morbidity and mortality rate. This study aims to establish whether there is a difference of the incidence of early thrombosis after on-pump and off-pump CABG in non-aspirin resistant patient population.
Method : Patients who undergone elective CABG surgery from September 2019 to September 2020 in single center was included in this prospective cohort study. This study compares the incidence of vein graft thrombosis at one month postoperative in both groups on pump and off pump using MSCT, and compares MGF and PI value of in on pump and off pump group also in patent and occluded vein grafts.
Results : A total of 60 vein grafts (30 on-pump and 30 off-pump) from 28 patients were analyzed in this study. There was no significant difference on the incidence of early vein graft thrombosis between two groups (13,3% in on pump vs 13,3% in off pump, p:1). MGF and PI value showed no difference in both techniques also no difference in patent group and occluded group
Conclusion : There is no significant difference in early vein graft thrombosis after on-pump or off-pump CABG.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>