Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 111060 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cynthia Afriany
"Latar Belakang: Laparoskopi merupakan prosedur yang menguntungkan pada operasi transplantasi ginjal . Namun teknik ini dapat menyebabkan perubahan pada sistem pernafasan. Pengaturan volume tidal merupakan salah satu strategi proteksi untuk mencegah komplikasi paru pascaoperatif. Penelitian ini berusaha membandingkan efek volume tidal 6 mL/kgbb dan 10 mL/kgbb terhadap distribusi ventilasi pada pasien donor transplantasi ginjal yang menjalani nefrektomi per laparoskopi menggunakan EIT.
Metoda: Uji klinis ini dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Cipto Mangunkusumo dan ruang operasi RSCM Kencana Jakarta terhadap 30 pasien donor transplantasi ginjal yang menjalani laparoskopi nefrektomi. Subjek dirandomisasi ke dalam 2 kelompok intervensi: ventilasi mekanik intraoperatif dengan volume tidal 6 mL/kgbb dan 10 mL/kgbb. Hipotesis penelitian adalah distribusi ventilasi volume tidal 6 mL/kg lebih baik dibandingkan 10 mL/kg. Parameter yang dinilai adalah ?TIV, ?EELI global dan regional dan ?CR diambil dari monitor EIT PulmoVista 500.
Hasil: Nilai ∆TIV paru dependen dan nondependen antara kedua kelompok berbeda bermakna secara statistik pada posisi supine pascadesuflasi (p =0,008), dimana volume tidal 6 mL/kgbb menunjukkan distribusi ventilasi tidak homogen. Nilai ∆EELI global dan regional volume tidal 10 mL/kg lebih tinggi dan bermakna secara statistik pada posisi lateral dekubitus sebelum insuflasi (p <0,005). Tidak ditemukan perbedaan bermakna nilai ∆CR (paru dependen dan nondependen).
Simpulan. Pemberian volume tidal 6 mL/kgbb tidak memberikan gambaran distribusi ventilasi yang lebih baik dibandingkan dengan volume tidal 10 mL/kgbb pada pasien donor ginjal yang menjalani operasi laparoskopi nefrektomi berdasarkan parameter EIT.

Background: Laparoscopy is a procedure that is profitable on a kidney transplant operation. However, this technique may cause changes in the respiratory system. Tidal volume setting is one of protection strategies for preventing pulmonary complications postoperative. This study attempted to compare the effects of tidal volume 6 mL kgbw and 10 mL kgbb kgbw against distribution of ventilation in kidney transplant donor patients who underwent laparoscopic nephrectomy using EIT.
Method: This randomized clinical trial conducted in the Surgical Center Installation RSUPN Cipto Mangunkusumo and operating room RSCM Kencana Jakarta against 30 kidney transplant donor patients who underwent laparoscopic nephrectomy. Subjects were randomized into two intervention groups mechanical ventilation with intraoperative tidal volume 6 mL kgbw and 10 mL kgbw. The hypothesis is distribution of ventilation tidal volume 6 mL kgbw is better than 10 mL kgbw. Parameter TIV, EELI global and regional and CR were taken from a monitor EIT PulmoVista 500.
Result: The value of TIV between dependent and nondependent parts of lung statistically significant difference on postdesuflation supine position p 0,008 , where the tidal volume of6 mL kgbw indicates distribution of ventilation is not homogenous. The value of EELI global and regional tidal volume 10 mL kg is higher and meaningful statistically on lateral decubitus before insuflation p 0,005 . There is no meaningful difference in CR value the dependent and nondependent parts of lung.
Conclusion: Tidal volume 6 mL kgbw does not give a better distribution of ventilation compared with 10 mL kgbw in kidney donor patient undergoing laparoscopic nephrectomy based on the parameters of the EIT.Keywords Distribution of ventilation, EIT, kidney donor, laparoscopic nephrectomy, intraoperative volume tidal.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Baskoro
"ABSTRAK
Tujuan:
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis variabel yang berhubungan
dengan kondisi intra-operatif dan pasca-operasi selama proses pembelajaran dan
melakukan evaluasi hasil dari metode berbasis
mentor-initiated pada LDN di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Indonesia.
Material dan Metode: Penelitian retrospektif ini menggambarkan pengalaman pada 140 prosedur LDN yang dilakukan di RSCM sejak November 2011 sampai Agustus 2014. Sebanyak 66 kasus LDN pertama, dilakukan oleh seorang ahli bedah laparoskopi sebagai operator utama (mentor) dan secara bersamaan, membimbing operator kedua (trainee). Setelah itu, operasi dilakukan secara bergantian oleh kedua ahli bedah. Dilakukan analisis pada variabel yang berhubungan dengan kondisi intra-operatif dan pasca operasi pada 66 kasus LDN pertama, serta analisa perbandingan antara prosedur operasi yang dikerjakan oleh masing-masing ahli bedah.
Hasil: Rerata usia pendonor adalah 32.97 tahun dengan rasio jenis kelamin 6:4 (laki-laki:perempuan). Sebanyak 64% pendonor tidak memiliki hubungan keluarga dengan resipien. Donor ginjal kiri dilakukan pada 82.1% (n=112) prosedur, dan kanan sebanyak 17.9% (n=28). Tidak ada perbedaan signifikan pada waktu operasi (p=0.36), Warm Ischemia Time (WIT) 1 (p=0.66), jumlah perdarahan intra-operatif (p=0.46) antara kedua operator. Hanya satu variable (time to clip) yang ditemukan secara statistik bermakna, p = 0.024. Perbandingan antara grup pertama (1-50 LDN) dan grup terakhir (100-140 LDN) hanya variable WIT 1 dan time to clip; p = 0.029, p = 0.029 yang ditemukan signifikan secara statistik.
Kesimpulan: LDN merupakan suatu prosedur yang cukup menjanjikan dan aman untuk meningkatkan jumlah pendonor ginjal. Kesulitan untuk mencapai suatu learning curve menjadi permasalahan utama yang harus dihadapi oleh setiap ahli bedah laparoskopik, terutama karena dampak yang potensial terhadap keberhasilan suatu transplantasi ginjal. Pengalaman yang cukup pada operasi laparoskopi saluran kemih bagian atas sangat diperlukan sebelum melakukan LDN. Pendekatan berbasis mentor-initiated akan membantu peserta latihan untuk mengenali dan melakukan keseluruhan operasi dengan baik tanpa membahayakan patient safety.

ABSTRACT
Objective: variables related to both surgical and postoperative outcome during the learning curve and evaluate the result of mentor-initiated approach of laparoscopic donor nephrectomies at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia.
Materials and Methods: This retrospective study describes our experiences on 140 laparoscopic nephrectomies in living donors performed in Cipto Mangunkusumo Hospital from November 2011 to August 2014. First sixty-six LDN was performed by one experienced laparoscopic surgeon as the main operator while mentoring the second operator. Afterward the surgery was performed alternately between the two surgeons. Variables related to both the surgical and postoperative outcome during the initial phase and comparisons of the procedures performed by each surgeon were analyzed.
Results: Donors’ average age was 32.97 years with male female ratio 6 : 4. About 64% patients were not family related. The left kidney procedures was performed 112 times (82.1%), whereas the right kidney 28 procedures (17.9%). No significant difference in operating time done by both operators (p= 0.36), WIT 1 (p=0.66), and intraoperative blood loss (p=0.46) with only time to clip as single statistically significant variable with p=0.024. Comparison between 1-50 LDN group and the 100-140 LDN group on WIT 1 and time to clip were found statistically significant with p = 0.029, p = 0.029. Conclusion: Laparoscopic donor nephrectomy (LDN) is a fairly safe and a promising procedure to increase the kidney donation pool. A steep learning curve is still the main problem that every surgeon had to deal with, mainly due to the concern of its potential impact on graft survival. Experience in laparoscopic upper urinary tract surgery is recommended to start with LDN. A mentor-initiated approach allows the introduction of this procedure to trainees with good results on
the overall surgery without compromising patient safety.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peri Eriad Yunir
"ABSTRAK
Laparoscopic Living Donor Nephrectomy LLDN menjadi prosedur standar donor ginjal hidup di beberapa negara, termasuk Indonesia, khususnya di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Pada LLDN digunakan drain sebagai alat monitoring pasca operasi. Penelitian Randomized Controlled Trial ini dilaksanakan pada 40 pasien donor ginjal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta yang dibagi ke dalam dua grup; grup tanpa drain dan yang menggunakan drain grup kontrol , untuk membandingkan lama rawatan, skala nyeri, kondisi luka operasi, dan keluhan saluran cerna pasca operasi pada kedua grup. Tidak didapatkan perbedaan pada semua parameter antara LLDN menggunakan drain dan tanpa menggunakan drain.

ABSTRACT
Laparoscopic Living Donor Nephrectomy LLDN has become the standard procedure for living kidney donor in several countries, including Indonesia, especially in Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta. Drainage tube in LLDN is intended as a tool of postoperative monitoring. This randomized controlled trial was performed in 40 LLDN patients in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, divided into two groups without drainage tube and using drainage tube control group , in order to compare postoperative length of stay, pain scale, surgical wound condition and gastrointestinal tract complaints. There were no differences found in all evaluated parameters within the two groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58715
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aritonang, Ronald Christian Agustinus
"

Latar Belakang: Nyeri pascaoperasi pada laparotomi transplantasi ginjal dikategorikan pada nyeri sedang sampai berat. Tatalaksana nyeri yang efektif dapat membantu pemulihan yang lebih baik. Epidural kontinyu merupakan pilihan analgesia yang digunakan pada operasi laparotomi transplantasi ginjal di RSCM  namun ditemukan masih adanya pasien yang merasakan nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara blok Quadratus Lumborum (QL) bilateral dengan blok epidural kontinyu terhadap derajat nyeri dan kebutuhan morfin pascaoperasi.

Metode: Penelitian ini merupakan uji kontrol acak pada 38 pasien yang menjalani operasi laparotomi resipien transplantasi ginjal di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Sesaat sebelum pasien diekstubasi, 20 subjek dalam kelompok blok QL bilateral mendapatkan ropivacaine 0,375% sebanyak 20 mL bilateral dan 18 subjek pada kelompok epidural kontinyu mendapatkan infus epidural ropivakain 0,2% 6 mL/jam. Hasil dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji statistik Mann Whitney. 

Hasil: Penelitian ini tidak menemukan perbedaan bermakna derajat nyeri VAS istirahat antara kelompok blok epidural dan kelompok blok QL pada saat di RR, jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12, dan jam ke-24 (p = 0,228; 0,108; 0,224; 0,056 dan 0,179). Tidak terdapat perbedaan VAS bergerak antara kedua kelompok saat di RR, jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12, dan jam ke-24 (p = 0,813; 0,865; 0,947; 0,063; dan 0,408). Kebutuhan morfin pada 24 jam pascaoperasi tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada semua jam pengukuran (p = 0,380; 0,425; 0,664; 0,854). Waktu saat pertama kali menekan PCA morfin juga tidak bermakna dengan p 0,814. Ketinggian blok pada 1 jam pascaoperasi pada kedua kelompok sama, yaitu blokade 100% pada T10-L1. Tidak terdapat perbedaan dosis minimal dan maksimal dobutamin dan norepinefrin antara kelompok QL dan epidural kontinyu. Jumlah produksi urin 24 jam, skor Bromage, dan skor Ramsay tidak berbeda pada kedua kelompok.

Simpulan: Blok QL tidak memberikan efek analgesia yang lebih baik daripada blok epidural kontinyu.


Background: Postoperative pain in laparatomy for kidney transplant is moderate to severe. Effective postoperative pain promotes better recovery. Continuous epidural is the current analgesia of choice in laparatomy for kidney transplant in Cipto Mangunkusumo Hospital; however, undermanaged pain was still reported. This study aims to compare the effectivity between bilateral Quadratus Lumborum block and continuous epidural in managing pain and reducing morphine requirement.

Methods: This is a randomized controlled study on 38 patients undergoing laparatomy for kidney transplant in Cipto Mangunkusumo Hospital. Before extubation, 20 subjects in QL group received 20 ml 0.375% ropivacaine while 18 subjects in continuous epidural group received epidural infusion of 0.2% ropivacaine at 6 ml/hour. The result was analysed using Mann Whitney test.

Results: This study found no difference between resting VAS score of QL and epidural group in recovery room, at 2nd, 6th, 12th, and 24th hour (p = 0,228; 0,108; 0,224; 0,056 dan 0,179). There was no difference between moving VAS of both groups in recovery room, at 2nd, 6th, 12th, and 24th hour (p = 0,813; 0,865; 0,947; 0,063; dan 0,408). Morphine requirement on 24th hour post surgery showed no difference in all observed hours (p = 0,380; 0,425; 0,664; 0,854). Time to first PCA press was also insignificant (p 0,814). Block height at 1st hour post surgery was the same in both groups, with 100% blockade at T10-L1. There were no difference at minimal and maximal dobutamine and norepinephrine dose in between the two groups. Total 24 hour urine production, Bromage score, and Ramsay score was not different in both groups.

 

Conclusion: QL block did not provide better analgesia compared to continuous epidural.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58711
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astari Arum Sari
"Latar Belakang: Laparoskopi nefrektomi merupakan teknik pembedahan pilihan untuk pasien donor ginjal di RSCM karena memiliki beberapa keunggulan dibandingkan laparotomi. Pembedahan akan mengaktivasi respon stress yang mempengaruhi perubahan hemodinamik intraoperatif. Kombinasi anestesi regional epidural dengan anestesi umum dapat mengurangi respon stress intraoperatif. Teknik yang digunakan adalah epidural. Blok Quadratus Lumborum (QL) merupakan blok interfasia efektif sebagai analgesia pasca bedah abdomen. Penelitian ini bertujuan untuk menilai respon stress hemodinamik intraoperatif antara blok QL dan epidural pada pasien laparoskopi nefrektomi. Parameter yang dinilai adalah tekanan arteri rata-rata (MAP), laju nadi, indeks kardiak (CI), dan gula darah. Kebutuhan fentanyl intraoperatif juga turut dinilai.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis acak tidak tersamar terhadap pasien donor ginjal yang menjalani laparoskopi nefrektomi di RSCM selama bulan Juni hingga September 2018. Dilakukan randomisasi sebanyak 36 subjek menjadi 2 kelompok. Setelah induksi, kelompok epidural diberikan epidural kontinyu bupivacain 0.25% sebanyak 6 ml/jam dan pada kelompok QL diberikan 20 ml bupivacain 0.25% secara bilateral. Variabel MAP, laju nadi, CI, gula darah dan kebutuhan fentanyl intraoperatif dicatat. Analisis data dilakukan melalui uji bivariat t-test tidak berpasangan, Mann-Whitney serta uji multivariat general linear model.
Hasil: Perubahan MAP pada kelompok QL lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan epidural. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada variabel laju nadi, CI, gula darah dan kebutuhan fentanyl intraoperatif.
Kesimpulan: Blok QL tidak lebih baik dari epidural dalam menurunkan respon stress intraoperatif pada laparoskopi nefrektomi. Akan tetapi perubahan MAP pada blok QL lebih stabil.

Background: Laparoscopic nephrectomy is a surgical technique preferred for renal donor in RSCM because of its advantages over laparotomy. Surgery activated stress responses thus affected intraoperative hemodynamics. Regional epidural anesthesia often combined with general anesthesia to reduce stress responses. Quadratus Lumborum (QL) block is an interfacial block and effective as abdominal surgery analgesia. This study was aimed to assess intraoperative hemodynamic stress response between QL and epidural block in laparoscopic nephrectomy patients. Mean arterial pressure (MAP), pulse rate, cardiac index (CI), and blood sugar was collected. Intraoperative fentanyl consumption also noted.
Methods: This was a randomized clinical trial of renal donor patients who underwent laparoscopic nephrectomy at RSCM during June to September 2018. A total of 36 subjects were randomized into 2 groups. After induction of general anesthesia, the epidural group received continuous epidural infusion of 0.25% 6 ml / hour of bupivacaine and QL group received 20 ml of 0.25% bupivacaine. MAP variables, pulse rate, CI, blood sugar and intraoperative fentanyl consumption were recorded in both groups. Data was analyzed with bivariate paired t-test, Mann-Whitney and multivariate general linear model test.
Results: MAP changes in QL group is significantly better than epidural group. There was no difference in heart rate, CI, blood glucose and fentanyl consumption intraoperative between two groups.
Conclusion : QL block compared to epidural did not have better result in reducing intraoperative stress response. However, MAP changes in QL group have better stability than epidural group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Albertus Marcelino
"Obesitas adalah masalah kesehatan di seluruh dunia, menyebabkan 3,4 juta kematian per tahun. Obesitas dinilai merupakan kontraindikasi relatif untuk operasi laparoskopi. Nefrektomi donor hidup per laparoskopi merupakan prosedur baku emas untuk pengangkatan ginjal pada beberapa pusat transplantasi. Namun pemilihan donor obesitas untuk menjalani laparoskopi nefrektomi masih menjadi perdebatan. Tujuan penulisan ini adalah untuk membandingkan hasil jangka pendek donor obesitas dan non-obesitas yang menjalani nefrektomi donor hidup per laparoskopi. Pada penelitian ini dilakukan analisa retrospektif pada 259 donor hidup antara November 2011 dan Agustus 2015. Indeks massa tubuh lebih dari 30 kg/m2 dikategorikan obesitas. Dua puluh subjek termasuk dalam kategori donor obesitas. Kami melakukan pengambilan sampel acak untuk 30 donor non- obesitas sebagai kelompok kontrol. Data intraoperatif dan pascaoperatif dibandingan antara kedua kelompok. Nilai p ≤0,05 menunjukkan perbedaan bermakna. Karakteristik yang sama terdapat pada kedua kelompok donor. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada waktu iskemik pertama, perkiraan kehilangan darah intraoperatif, dan nyeri pascaoperatif pada kedua kelompok. Waktu operasi pada donor obesitas lebih lama daripada kelompok kontrol (270 vs 245 menit, p≤0,05). Waktu lama rawat lebih panjang pada kelompok obesitas (4 vs 3 hari, p≤0,05). Pada rumah sakit kami, donor obesitas menunjukkan hasil jangka pendek yang sebanding dengan donor non-obesitas pada nefrektomi donor hidup per laparoskopi. Meskipun ditemukan waktu operasi yang lebih lama dan lama rawat yang lebih panjang, tidak terdapat komplikasi yang bermakna pada donor obesitas. Masih diperlukan evaluasi hasil jangka panjang untuk rasionalisasi donor obesitas.

Obesity is a major worldwide health problem, causing up to 3.4 million deaths per year. it was considered as a relative contraindication for laparoscopic surgery. Nowadays, Laparoscopic living donor nephrectomy is the gold standard procedure for kidney procurement in many transplant centers. However, the selection of the obese donors undergoes laparoscopic nephrectomies is still debatable. The objective of this study is to compare short-term results of obese donors and non- obese donors undergoing laparoscopic living donor nephrectomies. A retrospective analysis of 259 live donors between November 2011 and August 2015 was performed. Body mass index equal or more than 30 kg/m2 was categorized as obese. Twenty subjects were categorized as obese donors. We randomly assigned for 30 non-obese donors for the control group. Intra-operative and post-operative data were compared between these two groups. A p-value ≤0.05 was considered significant. There were same donors’ characteristics between two groups. No significant differences were found in the first warm ischemic time, estimated blood loss, and postoperative pain. The operative time in the obese group was significantly longer than in the control group (270 vs 245 minutes, p≤0.05). The hospital stay was also significantly longer in the obese group (4 vs 3 days, p≤0.05). At our hospital, obese donors show comparable short-term results to non-obese donors in laparoscopic living nephrectomy. While longer operative time and length of stay were found, there was no significant complication observed. Long-term outcomes should be evaluated for the rationalization of these obese donors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidabutar, Karina Evelyn
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk menilai keamanan penggunaan klip polimer untuk kontrol vaskular pada nefrektomi donor hidup per laparoskopi. Kami mengumpulkan data secara retrospektif dari semua donor nefrektomi ginjal hidup per laparoskopi yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia. Klip polimer digunakan untuk ligasi kedua arteri dan vena ginjal. Insidensi kegagalan klip polimer didokumentasikan untuk pendataan. Antara November 2011 dan Agustus 2015, kami mengevaluasi 260 pasien donor hidup dengan nefrektomi per laparoskopi. Ginjal kiri diambil dari 219 84,5 pasien. Arteri ginjal multipel ditemukan pada 25 9,6 pasien. Untuk semua kasus, kami menggunakan klip polimer untuk mengendalikan arteri ginjal XL dan L dan vena ginjal XL . Kami menempatkan 2 klip seproksimal mungkin ke aorta atau vena kava. Median estimasi perdarahan adalah 100 20 - 2000 ml. Perdarahan sebesar 2000 ml terjadi pada satu kasus, yaitu kasus klip terlepas. Rata-rata time to clip yaitu lamanya waktu dari sayatan pertama sampai ligasi arteri ginjal adalah 155 68 - 318 menit. Median warm ischemic time yaitu lamanya waktu dari ligasi arteri hingga cold ischemic time adalah 3,01 1,22 - 30,43 menit. Ada 10 kasus dengan warm ischemic time yang lebih dari 10 menit. Selain itu, terdapat 3 kasus 1,2 dengan kegagalan klip. Satu pasien membutuhkan konversi menjadi operasi terbuka untuk kontrol vaskular yang memadai. Dua pasien mengalami penguncian klip polimer yang tidak tepat, yang memerlukan pemasangan ulang klip. Penggunaan klip polimer untuk pengendalian vaskular pada nefrektomi donor hidup per laparoskopi relatif aman bila diterapkan dengan benar. Namun evaluasi tunggul vaskular ginjal setelah pengambilan ginjal donor merupakan langkah yang penting untuk memastikan penempatan dan keamanan klip polimer yang tepat.

ABSTRACT
This study was conducted to assess the reliability and safety of polymer clips for vascular control in laparoscopic living donor nephrectomy. We collected data retrospectively from all laparoscopic living donor nephrectomy performed in Ciptomangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia. Polymer clips was applied for both renal artery and renal vein ligation. The incidence of polymer clip failure was recorded accordingly. Between November 2011 and August 2015, we evaluated 260 patients of laparoscopic living donor nephrectomy. The left kidney was harvested from 219 84.5 patients. Multiple renal arteries was discovered in 25 9.6 patients. For all cases we used polymer clips to control the renal artery XL and L and renal vein XL . We placed 2 clips as proximal as possible to the aorta or caval vein. The median estimated blood loss was 100 20 ndash 2000 ml. A blood loss of 2000 ml occurred in one case of clip dislodgement. The median time to clip the length of time from first incision to renal artery clamping was 155 68 ndash 318 minutes. The median warm ischemic time the length of time from clamping to cold ischemic time was 3.01 1.22 ndash 30.43 minutes. There were 10 cases with warm ischemic time of more than 10 minutes. Three cases 1.2 of clip failures occurred. One patient needed conversion to open surgery to achieve adequate vascular control. Two patients experienced improper locking of the polymer clips, necessitating clips reapplication. The use of polymer clips for vascular control in laparoscopic living donor nephrectomy is reliable and safe when properly applied. However the evaluation of renal vascular stump after harvesting donor kidney is an important step to ensure the right placement and safety of polymer clips."
2017
T55535
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryo Indah Widhyanti
"Latar Belakang. Kejadian PONV (Postoperative Nausea and Vomiting) masih menjadi salah satu gejala paling umum pascaanestesia dan pembedahan, di samping nyeri. Terkadang mual dan muntah lebih menyulitkan terutama pada bedah minor atau pasien rawat jalan, karena dapat memperpanjang lama rawat inap di rumah sakit. Patofisiologi dan farmakologi mual muntah pascaoperasi cukup kompleks.Mual dan muntah telah dikaitkan selama bertahun-tahun dengan penggunaan anestesi umum. Kejadian mual muntah meningkat pada operasi laparoskopi, kejadian meningkat sampai 46% - 75%. Kejadian mual muntah pascalaparoskopi di Instalasi Bedah Pusat (IBP) RSCM bulan November 2019 sebesar 45%. Tujuan dari profilaksis kejadian mual muntah ialah untuk mencegah timbulnya kejadian mual muntah sehingga mengurangi biaya perawatan kesehatan di rumah sakit. Di RSCM sedang digalakkan program KMKB (Kendali Mutu Kendali Biaya), haloperidol memiliki keunggulan dibandingkan dengan deksametason, diantaranya lama kerja yang lebih lama dibanding deksametason sehingga mengurangi kejadian mual muntah pada pasien pada lebih dari 24 jam pascaoperasi dan harga haloperidol yang lebih murah dibandingkan dengan harga deksametason. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui efektifitas haloperidol 1 mg intravena dengan dan deksametason 5 mg intravena untuk mencegah kejadian mual muntah pada pasien dewasa pascabedah laparoskopi.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda untuk membandingkan keefektivitasan haloperidol 1 mg intravena dengan deksametason 5 mg intravena untuk mencegah kejadian mual muntah pada pasien dewasa pascabedah laparoskopi. 80 subjek dilakukan pendataan angka NRS mual muntah dan kejadian mual muntah pascalaparoskopi.
Hasil. Penelitian ini menunjukkan angka kejadian mual terdapat perbedaan bermakna (P<0,05) pada 2-6 jam, 6-12 jam, dan 12-24 jam pascabedah laparoskopi. Untuk angka kejadian muntah pascabedah laparoskopi antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (P>0,05). Angka NRS (Numeric Rating Scale) mual muntah secara statistik tidak ada perbedaan bermakna pada kedua kelompok jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12, dan jam ke-24.
Simpulan. Pemberian haloperidol 1 mg intravena berbeda secara bermakna dibandingkan pemberian deksametason 5 mg intravena secara stastistik untuk mencegah kejadian mual dan tidak berbeda secara bermakna untuk mencegah kejadian muntah pascabedah pada pasien dewasa pascabedah laparoskopi.

Background. The incidence of PONV (Postoperative Nausea and Vomiting) is still one of the most common symptoms of post-surgery, in addition to pain. Sometimes nausea and vomiting are more difficult, especially in minor surgery or outpatients, because it can extend the length of stay in hospital. The pathophysiology and pharmacology of post-operative nausea and vomiting are complex. The incidence of nausea and vomiting increases in laparoscopic surgery, the incidence increases to 46% - 75%. The aim of prophylaxis on the occurrence of nausea and vomiting is to reduce the incidence of this event, thereby reducing the cost of health care in hospitals. In RSCM the KMKB program is being promoted, haloperidol has advantages compared to dexamethasone, including a longer work time than dexamethasone, thereby reducing the incidence of nausea and vomiting in patients for more than 24 hours postoperatively and haloperidol prices which are cheaper compared to the price of dexamethasone. Therefore, the researchers wanted to know the effectiveness of intravenous haloperidol 1 mg with dexamethasone and 5 mg intravenously to prevent the occurrence of nausea and vomiting in adult patients after laparoscopic surgery.
Methods. This study was a double blind randomized clinical trial to compare the effectiveness of intravenous haloperidol 1 mg with dexamethasone 5 mg intravenously to prevent the occurrence of nausea and vomiting in adult patients after laparoscopic surgery. 80 subjects were collected NRS data collection and post-laparoscopic nausea vomiting.
Results. This study showed a significant difference in the incidence of nausea (P <0.05) at 2-6 hours, 6-12 hours, and 12-24 hours after laparoscopic surgery. The incidence of vomiting after laparoscopic surgery between the two groups was not significantly different (P> 0.05). Number of NRS (Numeric Rating Scale) nausea vomiting statistically there were no significant differences in the two groups of hours 2, 6 hours, 12 hours, and 24 hours.
Conclusion. The administration of haloperidol 1 mg intravenously is significantly different than dexamethasone 5 mg intravenously to prevent the occurrence of nausea and not significantly different to prevent the incidence of postoperative vomiting in adult patients after laparoscopic surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ferry Valerian Harjito
"Latar Belakang: Transplantasi ginjal adalah modalitas terapi pengganti ginjal yang paling baik bagi pasien dengan Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA). Saat ini di Indonesia transplantasi ginjal dengan donor hidup mulai semakin sering dilakukan, terutama di RSUPN Cipto Mangunkusumo, di mana dalam beberapa tahun terakhir lebih dari 50% kasus transplantasi ginjal di Indonesia dilakukan di rumah sakit ini. Walaupun demikian, data mengenai hasil transplantasi di Indonesia, baik kesintasan 1 tahun graft maupun pasien, serta faktor yang diduga mempengaruhinya masih belum ada. Diharapkan hasil transplantasi di rumah sakit ini dapat menggambarkan hasil secara keseluruhan di Indonesia.
Metode: Studi kohort retrospektif pada resipien transplantasi ginjal di RSUPN-CM dari Januari 2010 hingga Mei 2014. Data didapatkan dari penelusuran rekam medis serta menghubungi pasien secara langsung. Masing-masing resipien diikuti sejak tanggal transplantasi hingga kematian atau Mei 2015. Proporsi kesintasan graft dan pasien pada 1 tahun post transplantasi dan pada akhir studi didokumentasikan. Kurva Kaplan-Meier digunakan untuk menggambarkan kesintasan pasien secara keseluruhan. Studi deskriptif dilakukan dengan melihat perbedaan proporsi variabel serta perbedaan rerata atau median pada pasien yang mengalami kegagalan graft 1 tahun serta tidak, serta pasien yang bertahan hidup atau meninggal.
Hasil: Berdasarkan hasil consecutive total sampling didapatkan 157 resipien yang menjalani transplantasi ginjal di RSUPN-CM, 137 resipien di antaranya memenuhi kriteria penelitian, seluruhnya mendapatkan ginjal dari donor hidup. Usia resipien rata-rata adalah 47,9 ± 13,9 tahun, rerata IMT 22,8 ± 3,7 kg/m2, dan proporsi resipien dengan diabetes 35,8%. Didapatkan 7 pasien mengalami disfungsi graft primer (kegagalan transplantasi), sehingga 130 pasien diikuti untuk melihat kesintasan jangka panjang. Pada akhir tahun pertama, didapatkan angka death-censored graft survival adalah 95,4%, all-cause graft survival 85,4%, kesintasan pasien 88,5%, dan death with a functioning graft sebesar 10%. Pada akhir studi, didapatkan angka kesintasan tersebut berturut-turut adalah 94,6%, 80%, 82,3%, dan 14,6%, dengan median waktu pengamatan 24 bulan (1 ? 64 bulan). Kurva Kaplan Meier menunjukkan angka mortalitas tertinggi didapatkan pada bulan-bulan awal post transplantasi. Kegagalan graft dan kematian didapatkan lebih banyak pada resipien yang berusia lebih tua, mengidap diabetes melitus, serta memiliki indeks komorbiditas yang tinggi. Penyebab kematian utama adalah infeksi (11,5%) diikuti dengan kejadian kardiovaskular (3,8%).
Simpulan: Death-censored graft survival 1 tahun resipien transplantasi ginjal di Indonesia sudah sangat memuaskan. Angka death with functioning graft masih cukup tinggi, sehingga menurunkan all-cause graft survival dan kesintasan pasien 1 tahun. Walaupun demikian, secara keseluruhan hasil ini masih sebanding dengan negara-negara berkembang lainnya.

Background: Kidney transplant is established as the preferred modality for end stage renal disease patients. Living donor kidney transplant is increasingly popular in Indonesia, especially in Cipto Mangunkusumo Hospital, comprising more than 50% of all transplant procedures performed in Indonesia. However, data regarding one-year graft and patient survival in Indonesia is still scarce. This single-center study is hoped to represent the characteristics and results of graft and patient survival of living donor kidney transplant in Indonesia.
Methods: A retrospective cohort study with total consecutive sampling is performed on all kidney transplant recipients in Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2010 until May 2014. Data is acquired by analysing medical records and contacting patients directly. Each recipient is followed from the day of transplant until death or May 2015, whichever comes first. One-year graft and patient survival is documented. Kaplan-Meier Curve is used to describe patient survival until the end of study. Descriptive studies on risk factors of graft and patient survival is also conducted, using differences in proportions, means, and medians appropriately.
Results: Within the timeframe there are 157 recipients of living donor kidney transplants, 137 of which fulfill the inclusion criteria. The mean age is 47.9 ± 13.9 years, mean BMI is 22.8 ± 3.7 kg/m2, and 35.8% of all recipients are diabetics. Primary non-function/early transplant failure is present in 7 patients, so that 130 recipients are included for long term survival descriptions. In the end of the first year post transplant, death-censored graft survival is 95.4%, all-cause graft survival is 85.4%, patient survival is 88.5%, and death with a functioning graft is 10%. By the end of the study, the corresponding survival results are 94.6%, 80%, 82.3%, and 14.6%, respectively, with a median observation time of 24 months (1 ? 64 months). Kaplan-Meier curve showed that the mortality rate is higher in the early months after transplant. More deaths and graft failures are found in older and diabetic recipients, as well as those with a high comorbidity index. The main causes of death are infections (11.5%) and cardiovascular diseases (3.5%).
Conclusions: The outcome of one-year death-censored graft survival in Indonesia is very satisfactory. The incidence of death with functioning graft is relatively high, causing a decline in one-year patient survival and all-cause graft survival. However, the overall results are still comparable to other developing countries.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Armelia
"Latar belakang: Transplantasi ginjal dapat memperbaiki fungsi endotel. Berbagai penelitian membuktikan bahwa peningkatan kadar eritropoietin (Epo) dapat mengaktifasi dan memobilisasi Endothelial Progenitor Cell (EPC) sehingga mampu memperbaiki fungsi endotel melalui proses angiogenesis dan neovaskularisasi. Membaiknya fungsi endotel akan menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit kardiovaskular pada penderita PGK.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan peningkatan kadar Epo dan jumlah EPC CD34+ serta CD133+ dengan perbaikan fungsi endotel pada penderita gagal ginjal 3 bulan setelah transplantasi ginjal.
Metode Penelitian: Potong lintang sebelum dengan 3 bulan setelah transplantasi ginjal pada penderita gagal ginjal yang menjalani transplantasi ginjal di RSCM. Jumlah subyek 21 orang yang dikumpulkan dalam kurun waktu Juli 2013 - Februari 2014. Pengambilan sampel darah untuk memeriksa kadar Epo, jumlah EPC CD34+ dan CD133+ dan kadar asimetrik dimetilarginin (ADMA) dilakukan sebelum dan 3 bulan setelah transplantasi ginjal. Analisis statistik dengan uji korelasi Pearson atau Spearman.
Hasil: Penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan kadar Epo tetapi tidak bermakna secara statistik (p>0.05), sedangkan jumlah EPC CD34+ dan CD133+ meningkat (p<0.05), serta kadar ADMA menurun yang bermakna secara statistik (p<0.05). Tiga bulan setelah transplantasi ada korelasi bermakna antara peningkatan kadar Epo dengan jumlah EPC CD34+ (r = 0.466 ; p < 0.05). Tidak ada hubungan peningkatan kadar Epo dan jumlah EPC CD34+ serta CD133+ dengan perbaikan fungsi endotel 3 bulan setelah transplantasi ginjal.
Kesimpulan: Tiga bulan setelah transplantasi ginjal didapatkan adanya peningkatan kadar Epo, jumlah EPC CD34+ dan CD133+ serta penurunan kadar ADMA. Tetapi tidak ada korelasi peningkatan kadar Epo dan jumlah EPC CD34+ serta CD133+ dengan perbaikan fungsi endotel dalam rentang 3 bulan setelah transplantasi ginjal.

Background: Kidney transplantation improved endothelial function. Various studies have shown that elevated level of erythropoietin (Epo) could activate and mobilize Endothelial Progenitor Cell (EPC), thus would improve endothelial function through the process of angiogenesis and neovascularization. The improvement of endothelial function will decrease morbidity and mortality from cardiovascular disease in patients with CKD.
Aim: To determine association between elevated level of Epo and the numbers of EPC CD34+ - CD133+ with the improvement of endothelial function in patients three months after kidney transplantation.
Methods: cross sectional study prior and 3 months after kidney transplantation in patients with renal failure who underwent kidney transplantation in RSCM. The study included 21 subjects who enrolled from July 2013 to February 2014. Blood samples prior and 3 months after kidney transplantation were collected to evaluate the level of Epo, numbers of EPC CD34+ and CD133+ and level of assymetric dimethylarginine (ADMA). Statistical analysis was performed using Pearson or Spearman correlation test.
Resulys: The results of the study showed that prior to kidney transplantation, level of Epo was increased but not statistically significant (p>0.05). The EPC numbers of CD34+ and CD133+ were significantly increased (p<0.05), whereas the ADMA level was significantly decreased (p<0.05). Three months after transplantation showed a significant association between elevated level of Epo and the numbers of EPC CD34+ (r = 0.466, p > 0.05). There was no association between the elevated level of Epo and the numbers of EPC CD34+ and CD133+ with the improvement of endothelial function three months after kidney transplantation.
Conclusion: Three months after kidney transplantation showed an elevated level of Epo, the numbers of EPC CD34+ and CD133+ and the decreased level of ADMA. However, there was no association between the elevated level of Epo and the numbers of EPC CD34+ and CD133+ with the improvement of endothelial function in patients 3 months after kidney transplantation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>