Ditemukan 1120 dokumen yang sesuai dengan query
Adhy Riadhy Arafah
"The potency and unique characteristics of GSO for placing communication satellites located only above equatorial states makes the GSO as part of natural resources. The equatorial states realized that the use of GSO has many advantages and has implications to their national interest. However, basic principle in space law, Outer Space Treaty 1967 (Art.II), states that equatorial states forbidden to claim ownership of any part of outer space, particularly claim in sovereignty. The principle ?first come first served? in placing of satellite on GSO, practically only gives the advantage to developed countries which have high satellite technology. Hence, the level of technology of a state plays important role in developing of space law internationally. The equatorial states which are mostly developing states (low and middle level in technology in outer space activities) claimed their right to use natural resources for their national interest based on equatorial position
principle."
University of Indonesia, Faculty of Law, 2012
pdf
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 1999
384 PEN
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Djulianto Rochadi
Jakarta: Universitas Indonesia, 1984
S25586
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"GSO segment above the Indonesia area was ever claimed by Indonesia's Government under its sovereignty, but in the subsequent development its sovereignty claim was changed to the preservation right claim in the use to put satellite in a certain place. Ratification of the 1967 space treaty made by Indonesia could influential to the position of Indonesia against the claimed to the GSO segment. The juridical and comparative method was used to examination the data above, the data was examined qualitatively. From the examination's data could be concluded that after the ratification's Indonesia cannot based on the reason again that Indonesia did not bound the 1967 Space Treaty against the Indonesian's claims in the GOS segment. Although Indonesia still have an interest for the sake of use in the GSO segment, but the Indonesia has to implement the Space Treaty 1967 in its activities."
2006
340 JEPX 26:1 (2006)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Lubis, Efridani
Depok: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
346.048 2 LUB p (1)
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Lutfi Suryawicaksono
"Tulisan ini hendak mengindentifikasi dan beragumen mengenai hak imunitas yang ada didalam Sovereign Wealth Fund. Menjelaskan kekhawatiran yang ada terhadap keberlakuan Sovereign Wealth Fund di dunia. Memberikan penjelasan mengenai doktrin terhadap imunitas terkait negara. Memberikan pemahaman mengenai struktur hukum dan generally accepted principles and practices (GAPP) yang dibuat oleh International Monetary Fund melalui International Working Group yang nantinya disebut Santiago Principles mengenai Sovereign Wealth Fund. Melakukan analisis kasus Janvey melawan Libiyan Investment Authority yang berkaitan dengan yurisdiksi suatu negara terhadap negara asing.
This paper will identify and giving an argument the immunities within sovereign wealth fund. to point out the concern of Sovereign Wealth Fund in global operations. Explain the state immunity doctrine. To define the legal frameworks and generally accepted principles and practices (GAPP) constituted by International Monetary Fund which later called Santiago Principles. Analise Janvey v. Libiyan Investment Authority case indicated with state jurisdiction upon foreign state."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T55252
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
"Satelit GSO merupakan satelit yang pada kondisi ideal akan memiliki inklinasi dan eksentrisitas nol serta berada pada posisi yang tetap di angkasa. Tapi pada kenyataannya terdapat berbagai macam gaya yang menghasilkan gangguan yang menyebabkan terjadinya perubahan pada orbit satelit GSO. Oleh karena itu perlu dikaji mengenai gangguan itu dan efeknya pada orbit satelit GSO. Pada tulisan ini akan dikaji gangguan dan efeknya yang terjadi pada satelit GSO."
620 DIR 2:2 (2007)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Lubis, Efridani
"Sumber daya genetik (SDG) pada awalnya secara natural berpindah dari satu daerah ke daerah lain dengan berbagai tujuan, terutama untuk ketahanan pangan. Perpindahan demikian semula tidak menjadi satu masalah, bahkan dianggap sebagai suatu kegiatan yang saling menguntungkan. Namun, seiring dengan perkembangan realitas sosial dan perkembangan nilai yang tumbuh dalam bangsa-bangsa dunia, SDG yang semula bebas akses karena warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind = CHM) pada perkembangannya menjadi hak berdaulat negara yang memberikan hak mengontrol akses dan pemanfaatan SDG yang berada di wilayahnya. Pergeseran ini dipicu oleh ketidakkonsistenan nilai yang diterapkan pada SDG: manakala mengakses, seluruh dunia menggunakan prinsip CHM, namun jika ada hasil komersial dari akses dimaksud, maka hasil tersebut merupakan hak individu berdasarkan prinsip hak kekayaan intelektual (HKI), yang secara tepat digambarkan oleh Olembo: ?what went out free, would return with a price tag? . Dengan mencermati perkembangan yang terjadi di tingkat internasioal dan nasional, pola perlindungan atas SDG Indonesia sekaligus pemanfaatannya secara berkelanjutan harus dilakukan melalui suatu sistem pengelolaan SDG yang responsif terhadap tuntutan global dan terutama nasional, dengan menggabungkan unsur perlindungan dan pemanfaatan yang memungkinkan beban biaya perlindungan turut juga ditanggung oleh hasil komersialisasi SDG."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
D1073
UI - Disertasi Open Universitas Indonesia Library
Isna Fatimah
"Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian (SDGT) merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan seluruh umat manusia sehingga pemanfaatannya menjadi kepentingan semua negara. Fakta bahwa persebaran SDGT tidak merata di seluruh dunia dan tingkat keragaman SDGT mengalami penurunan membuat negara-negara menginginkan akses ke SDGT harus dibuka untuk siapa saja. Meski demikian, negara-negara juga tidak sepakat untuk mengakui SDGT sebagai Common Heritage of Mankind. Sementara itu, karena nilainya yang sangat potensial, bioprospecting atas SDGT banyak dilakukan sehingga dorongan untuk menerapkan rezim Hak Kekayaan Intelektual atas SDGT tidak terelakkan. Sebagai upaya mengakomodir kepentingan semua negara atas SDGT, International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture mengakui bahwa negara mempunyai hak berdaulat atas SDGT yang diikuti dengan kewajiban membuka akses dan pembagian keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatannya melalui sistem multilateral.
Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan dari mulai latar belakang hingga diadopsinya prinsip hak berdaulat atas SDGT serta menganalisis penerapannya di Brazil, Amerika Serikat, Jerman, Cina dan Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif dengan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa negara-negara tersebut mengakui prinsip hak berdaulat atas SDGT yang diejawantahkan dalam kegiatan eksploitasi, mekanisme akses dan pembagian keuntungan, pemenuhan hak petani dan perlindungan atas pengetahuan tradisional. Namun, penerapan hak berdaulat di tiap-tiap negara tersebut belum dapat diimplementasikan secara utuh.
Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (PGRFA) are important commodities which needed by humankind so that their utilization becomes the interest of all countries. The fact that PGRFA are not spread evenly through all countries and the decrease of their diversities caused countries asking for open access to PGRFA. However, countries refused to consider PGRFA as Common Heritage of Mankind. On the other side, since PGRFA have great potential values, bioprospecting on PGRFA becomes popular; hence the involvement of Intellectual Property Rights regime becomes inevitable. In order to accommodate interest of all countries regarding PGRFA, International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture recognizes State’s Sovereign Right over PGRFA which followed by obligation to open access and benefit sharing from its utilization under the multilateral system. The object of this research is to explain background until Sovereign Right principle over PGRFA adopted and analyze its implementation in Brazil, United States of America, Germany, China and Indonesia. The research method used in this thesis is juridical normative method with literature studies. The result shows that aforementioned countries recognize sovereign right principle over PGRFA, which manifested in exploitation activities, open access and benefit sharing, fulfillment of farmers rights and protection of traditional knowledge. Hence, they have not been implemented thoroughly."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45938
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Diptanala Dimitri
"Setiap warganegara memiliki hak untuk memperoleh informasi. Untuk mendukung hal tersebut, keberadaan pers menjadi penting di dalam memenuhi informasi yang berkaitan dengan kepentingan umum. Namun, tidak jarang pengungkapan informasi yang dilakukan pers dalam suatu karya jurnalistik melanggar hak privasi yang jelas dilindungi oleh Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. Skripsi ini membahas bagaimana perlindungan hak privasi yang terdapat di Indonesia dengan melakukan perbandingan terhadap Amerika Serikat dan Prancis. Selain itu, akan dibahas pula mengenai pertanggungjawaban pers secara perdata atas pelanggaran hak privasi yang dilakukan dikaitkan dengan Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum.
Pokok permasalahan tersebut dijawab dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang menghasilkan kesimpulan bahwa Indonesia memang mengakui keberadaan hak privasi dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Namun pengaturannya, khususnya terkait dengan pers, masih belum spesifik dan perlu diatur lebih lanjut. Pengungkapan terhadap hal-hal yang berkenaan dengan hak privasi memang diperbolehkan, namun harus diatur dalam undang-undang. Pers yang melanggar hak privasi dapat dituntut ganti rugi dengan Pasal 1365 KUHPerdata, terutama atas dasar melanggar kepatutan dan pihak yang bertanggung jawab tidak terbatas pada Perusahaan Pers saja.
Each citizen has the right of information. In order to support this matter, the role of the press has become important to give any information related to public interest. However, in certain cases, the disclosure of information which had been gathered by press within journalistic works violates the right of privacy which is protected under Article 28 G section 1 Indonesia's Constitution 1945. This thesis discusses the protection of privacy right in Indonesia compared to those in the United States of America and France. Furthermore, this thesis discusses the civil liability if the press regarding violation of privacy right which associates with Article 1365 of Indonesia's Civil Code concerning tort claim. The principal problem is answered by using normative judicial method which brings into conclusion that Indonesia has recognized the right of privacy through several regulations. However, there is no exact rule about the right to privacy itself and it is important to make further regulation. The disclosures against matters related to privacy are allowed as long as it is governed by law. Press who violates someone's right to privacy can be liable for damages as it is stated under Article 1365 of Indonesia's Civil Code, especially on the basis of violation of equity (appropriateness). "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S269
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library