Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8371 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jung, Kyungja
New York: Routledge, 2014
305.420 951 JUN p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Putra Utama
"RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) telah menjadi arena pertarungan ideologis baru antara aktivis hak perempuan dan kelompok konservatif di Indonesia. Sebagai kubu yang menolak, kelompok perempuan Muslim konservatif, khususnya Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA), telah menghidupkan wacana anti-feminisme dengan menyebut bahwa RUU P-KS adalah proyek politik feminis yang bias Barat, anti-keluarga, sekaligus bertentangan dengan Islam, Pancasila, dan budaya bangsa. Melalui studi literatur dan wawancara dengan beberapa perwakilan organisasi perempuan yang menolak ataupun mendukung RUU P-KS, serta mengombinasikannya dengan argumen Meyer dan Staggenborg (1996) tentang countermovement, penelitian ini menemukan bahwa gerakan perempuan konservatif yang menguat di sepanjang pembahasan RUU P-KS adalah bentuk ekspresi kekhawatiran atas meluasnya paham feminisme, sekaligus hasil dari koalisi renggang beragam elemen Islam di Indonesia. Selain itu, penelitian ini mengungkap bahwa ide ketahanan keluarga dan pembelaan atas moralitas merupakan bentuk framing utama yang digunakan gerakan perempuan konservatif untuk terlibat dalam proses legislasi RUU P-KS, sekaligus memperoleh dukungan publik.

Sexual Violence Elimination Bill (RUU P-KS) has become the arena for a new ideological battle between women's rights activists and conservative groups in Indonesia. As a counter one, conservative Muslim women's groups, especially the Indonesian Family Love Alliance (AILA), has revived anti-feminism discourse by saying that RUU P-KS is a feminist political project that is Western biased, anti-family, and simultaneously contradicts Islam, Pancasila, and national culture. Through literature studies and interviews with several representatives of women's organizations who reject and support the RUU P-KS, as well as analyzing it with the arguments of Meyer and Staggenborg (1996) about countermovement, this study has found that strengthened conservative women’s movement throughout the deliberation of RUU P-KS was an expression of concern over the widespread feminism ideology. Besides that, it also affected by a coalition of various Islamic elements in Indonesia. On the other side, this research also shows that family resilience notion and the protection over morality are formed as main framing used by conservative Muslim women to be involved in RUU PKS legislation process, and at the same time, obtained supports from public."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"This text provides comprehensive coverage of the complex theoretical, methodological, and ethical issues surrounding violence against women."
Los Angeles: Sage , 2011
362.829 2 SOU
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rowbotham, Sheila
New York: Routledge, 1992
305.42 ROW w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Nabiela Tenriummu Ramly
"“Standar ganda seksual” merupakan konsep yang digunakan untuk menggambarkan adanya penilaian negatif oleh masyarakat patriarki kepada perempuan yang tidak tunduk dengan ekspektasi peran gender. Bentuk penerimaan diri para perempuan pendukung gerakan body positivity dilihat secara seksual dan dinilai negatif, khususnya di media sosial TikTok. Penelitian kualitatif ini menggunakan metode studi kasus untuk menjelaskan fenomena serangan “standar ganda seksual” terhadap perempuan content creator yang mendukung gerakan body positivity pada media sosial TikTok sebagai bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan di ruang siber. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa serangan “standar ganda seksual” hadir dan melanggengkan sistem patriarki yang memaksa perempuan untuk bungkam dan patuh dengan standar yang tidak realistis yang dikonstruksikan oleh ekspektasi masyarakat patriarki. Teori feminis radikal juga menjelaskan bagaimana serangan balik kepada perempuan pendukung gerakan body positivity dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan yang menimbulkan beberapa dampak dan juga berusaha untuk membungkam para perempuan yang melakukan perlawanan atas tuntutan sistem patriarki.

“Sexual double standards” is a concept that explain the negative assessment by patriarchal society of women who do not obey the expectations of the gender roles. Messages voiced by women through the content of the body positivity movement are viewed sexually and viewed negatively, especially on TikTok. This qualitative research will use case study method to explain the phenomenon of "sexual double standards" as a backlash against female content creators who promote the body positivity movement on TikTok as a form of sexual violence against women in cyberspace. The results of this study show that the "sexual double standards" attack exists and perpetuates a patriarchal system that forces women to remain silent and comply with unrealistic standards constructed by the expectations of a patriarchal society. Radical feminist theory also explains how the backlash against women who support the body positivity movement to be a form of sexual violence against women which has several impacts and also tries to silence women who fight against the demands of the patriarchal system."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nalar Gramsia Budiman
"Pengalaman kekerasan terhadap perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual di lingkungan universitas belum banyak didokumentasikan dalam penelitian sosial. Alih-alih mendapatkan dukungan karena sudah mendampingi korban/penyintas kekerasan seksual, para perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual ini justru mengalami kekerasan, yang salah satunya dilakukan oleh institusi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat faktor, pengalaman, dan dampak dari kekerasan yang dialami perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual di lingkungan universitas dengan menggunakan teori feminis radikal. Penelitian ini merupakan penelitian feminis naratif dengan melakukan wawancara mendalam terhadap enam perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual di Universitas Indonesia. Hasil penelitian ini menemukan bahwa nilai-nilai patriarki dan neoliberal di universitas menciptakan kondisi yang menindas perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual. Ancaman, intimidasi, rumor, hingga kekerasan fisik yang dialami oleh partisipan penelitian ini merupakan upaya kontrol yang dilakukan oleh laki-laki yang merasa terancam oleh perlawanan perempuan pendamping. Selain itu, universitas yang memprioritaskan reputasi demi keuntungan finansial juga melakukan kekerasan sebagai upaya kontrol untuk menghindari risiko publikasi negatif yang akan memengaruhi keuntungan finansial. Penelitian ini melihat bahwa pada dasarnya kekerasan yang dialami oleh perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual merupakan bentuk kontrol yang dilakukan oleh laki-laki, baik secara individu maupun secara institusi. Penelitian ini menemukan bahwa kekerasan yang dialami perempuan pendamping perempuan korban/penyintas kekerasan seksual menimbulkan dampak berupa perlukaan, seperti rasa takut, khawatir, dan ingin menyerah. Meski begitu, kekerasan yang mereka alami juga menumbuhkan amarah dan resistensi yang semakin menguatkan perlawanan mereka.

The experiences of violence faced by women supporting victims/survivors of sexual violence in university settings have not been extensively documented in social research. Rather than receiving support for advocating victims/survivors, these women often become targets of violence themselves, some of which is perpetrated by the institution itself. This study examines the factors, experiences, and impacts of violence encountered by women advocates for sexual violence victims/survivors in universities, using radical feminist theory as its framework. The research adopts a feminist narrative approach, conducting in-depth interviews with six women advocating victims/survivors of sexual violence at Universitas Indonesia. The findings reveal that patriarchal and neoliberal values within universities create oppressive conditions for these women. Threats, intimidation, rumors, and even physical violence experienced by participants are strategies of control employed by men who feel threatened by the resistance of these women. Furthermore, universities, driven by a desire to protect their reputation for financial gain, also engage in violence as a form of control to avoid the risk of negative publicity that could affect their profitability. The study highlights that the violence experienced by women advocates of victims/survivors of sexual violence is fundamentally a form of control exercised by men, both individually and institutionally. This violence results in harm, including feelings of fear, anxiety, and the desire to give up. However, it also fuels anger and resistance, ultimately strengthening their determination to continue their fight against injustice."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhilla Ratna Febrianti
"Penelitian ini membahas mengenai kekerasan terhadap perempuan yang terjadi secara online (online violence against women (online VAW)) di Korea Selatan, khususnya voyeurisme digital. Korban kejahatan voyeurisme digital mayoritas adalah perempuan, sedangkan pelakunya mayoritas laki-laki, baik yang dikenal korban maupun yang tidak dikenal. Perempuan dalam kasus voyeurisme digital mendapat tekanan tidak hanya dari pelaku, tetapi secara struktural ditekan oleh praktik budaya patriarki oleh petugas polisi, penyidik kasus, dan netizen. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi pengaruh apa saja yang ditimbulkan dari budaya patriarki dalam perilaku kekerasan terhadap perempuan secara online. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi pustaka dalam lingkup budaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa warisan budaya patriarki Konfusian menegaskan persistensi dominasi laki-laki terhadap perempuan dan subordinasi perempuan dalam online VAW yang terjadi.

This study discusses online violence against women (online VAW) in South Korea, particularly digital voyeurism. The majority of victims of digital voyeurism are women, while the perpetrators are mostly men, both known to the victim and unknown. Women in digital voyeurism cases are under pressure not only from perpetrators, but structurally by patriarchal cultural practices by police officers, case investigators, and netizens. The purpose of this study is to identify the effects of patriarchal culture on violent behavior against women online. The research method used in this research is descriptive qualitative with a literature study approach within the cultural scope. The results show that the Confucian patriarchal cultural heritage confirms the persistence of male domination over women and female subordination in the online VAW that occurs in South Korea.;Penelitian ini membahas mengenai kekerasan terhadap perempuan yang terjadi secara online (online violence against women (online VAW)) di Korea Selatan, khususnya voyeurisme digital. Korban kejahatan voyeurisme digital mayoritas adalah perempuan, sedangkan pelakunya mayoritas laki-laki, baik yang dikenal korban maupun yang tidak dikenal. Perempuan dalam kasus voyeurisme digital mendapat tekanan tidak hanya dari pelaku, tetapi secara struktural ditekan oleh praktik budaya patriarki oleh petugas polisi, penyidik kasus, dan netizen. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi pengaruh apa saja yang ditimbulkan dari budaya patriarki dalam perilaku kekerasan terhadap perempuan secara online. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi pustaka dalam lingkup budaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa warisan budaya patriarki Konfusian menegaskan persistensi dominasi laki-laki terhadap perempuan dan subordinasi perempuan dalam online VAW yang terjadi.

This study discusses online violence against women (online VAW) in South Korea, particularly digital voyeurism. The majority of victims of digital voyeurism are women, while the perpetrators are mostly men, both known to the victim and unknown. Women in digital voyeurism cases are under pressure not only from perpetrators, but structurally by patriarchal cultural practices by police officers, case investigators, and netizens. The purpose of this study is to identify the effects of patriarchal culture on violent behavior against women online. The research method used in this research is descriptive qualitative with a literature study approach within the cultural scope. The results show that the Confucian patriarchal cultural heritage confirms the persistence of male domination over women and female subordination in the online VAW that occurs in South Korea.;Penelitian ini membahas mengenai kekerasan terhadap perempuan yang terjadi secara online (online violence against women (online VAW)) di Korea Selatan, khususnya voyeurisme digital. Korban kejahatan voyeurisme digital mayoritas adalah perempuan, sedangkan pelakunya mayoritas laki-laki, baik yang dikenal korban maupun yang tidak dikenal. Perempuan dalam kasus voyeurisme digital mendapat tekanan tidak hanya dari pelaku, tetapi secara struktural ditekan oleh praktik budaya patriarki oleh petugas polisi, penyidik kasus, dan netizen. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi pengaruh apa saja yang ditimbulkan dari budaya patriarki dalam perilaku kekerasan terhadap perempuan secara online. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi pustaka dalam lingkup budaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa warisan budaya patriarki Konfusian menegaskan persistensi dominasi laki-laki terhadap perempuan dan subordinasi perempuan dalam online VAW yang terjadi.

This study discusses online violence against women (online VAW) in South Korea, particularly digital voyeurism. The majority of victims of digital voyeurism are women, while the perpetrators are mostly men, both known to the victim and unknown. Women in digital voyeurism cases are under pressure not only from perpetrators, but structurally by patriarchal cultural practices by police officers, case investigators, and netizens. The purpose of this study is to identify the effects of patriarchal culture on violent behavior against women online. The research method used in this research is descriptive qualitative with a literature study approach within the cultural scope. The results show that the Confucian patriarchal cultural heritage confirms the persistence of male domination over women and female subordination in the online VAW that occurs in South Korea.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pohlman, Annie
"The Indonesian massacres of 1965-1966 claimed the lives of an estimated half a million men, women and children. Histories of this period of mass violence in Indonesia's past have focused almost exclusively on top-level political and military actors, their roles in the violence, and their movements and mobilization of perpetrators. Based on extensive interviews with women survivors of the massacres and detention camps, this book provides the first in-depth analysis of sexualised forms of violence perpetrated against women and girl victims during this period"
New York: Routledge, Taylor & Francis Group, 2015
959.803 5 POH w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Pohlman, Annie
"The Indonesian massacres of 1965-1966 claimed the lives of an estimated half a million men, women and children. Histories of this period of mass violence in Indonesia’s past have focused almost exclusively on top-level political and military actors, their roles in the violence, and their movements and mobilization of perpetrators. Based on extensive interviews with women survivors of the massacres and detention camps, this book provides the first in-depth analysis of sexualised forms of violence perpetrated against women and girl victims during this period. It looks at the stories of individual women caught up in the massacres and mass arrests, focusing on their testimonies and their experiences of violence and survival. The book aims not only to redress the lack of scholarly attention but also to provide significant new analysis on the gendered and gendering effects of sexual violence against women and girls in situations of genocidal violence."
London: Routledge, 2015
e20500586
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Alvira Azzahra
"Karya akhir ini disusun untuk menganalisis penyebarluasan anti-feminisme di media sosial sebagai bentuk gendered hate online dan kekerasan terhadap perempuan. Penulisan karya akhir ini menggunakan analisis wacana kritis feminis oleh Lazar terhadap 11 cuitan akun Twitter @txtdarifeminis. Dengan menggunakan konsep gendered hate online, kekerasan terhadap perempuan, dan teori analisis wacana kritis feminis, karya akhir ini membuktikan bahwa cuitan akun Twitter @txtdarifeminis melakukan gendered hate online dan kekerasan terhadap perempuan. Gendered hate online dalam unggahan akun ini mulai dari tindakan yang mengandung sifat misoginistik dan seksis (shaming, labeling, stereotip gender, rape culture, dan victim blaming) sampai pada penyebaran gagasan yang salah tentang feminisme. Sedangkan, kekerasan terhadap perempuan dalam karya akhir ini terbagi dalam dua bentuk, yaitu kekerasan simbolik dan ancaman kekerasan fisik.

This paper discusses the analysis of the widespread of anti-feminism on social media as gendered hate online and violence against women. This paper uses feminist critical discourse analysis technique and data were collected from 11 tweets of Twitter account, @txtdarifeminis. This paper uses the concept of gendered hate online, violence against women, and the theory of feminist critical discourse analysis. This paper proves that tweets from account @txtdarifeminis did gendered hate online and violence against women. Gendered hate online on these tweets included actions that contained misogynistic and sexsism (such as shaming, labeling, gender stereotype, rape culture, and victim blaming) to disseminated false idea of feminism. Violence against women in this paper divided into symbolic violence and physical violence threat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>