Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101320 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen, 1999
324.7 Ind
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bogor: Pustaka Latin, 1998
333.75 KEH
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Vedi R. Hadiz, 1964-
"Process of economic and political changes in Indonesia since the fall of Suharto until the early period of Susilo Bambang Yuhoyono?s administration"
Jakarta : LP3ES, 2005
330.959 8 VED d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammd Rifki Abdi
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S6957
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pascal L. Mahendra
Jakarta: Golden Terayon Press, 1995
320.959 8 PAS i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Luluk Nur Hamidah
"Jatuhnya rezim Soeharto telah membawa harapan besar bahwa bangsa Indonesia akan segera menemui cahaya baru setelah 32 tahun lebih dalam kekuasaan otoritarian. Ekspektasi yang tinggi ditunjukkan melalui dukungan terhadap gerakan mahasiswa. Berbagai isu seperti penegakan hukum dan penghapusan KKN, reformasi politik dan ekonomi serta pengadilan Soeharto berikut kroninya menjadi spirit gerakan reformasi. Jatuhnya suatu rezim otoriter umumnya akan diikuti oleh proses demokratisasi. Dalam proses tersebut, elite politik memainkan peran sangat penting terutama dalam mengawal transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi. Dalam proses tersebut, sirkulasi elite diharapkan terjadi seiring dengan kejatuhan rezim otoriter.Tetapi proses sirkulasi elite mengalami banyak hambatan ketika panggung kekuasaan masih tampak didominasi oleh elite-elite lama dan sementara rezim pengganti yang diharapkan membawa Indonesia lebih baik, justru dianggap terlalu cepat mewarisi segenap watak dan perilaku Orde Baru.
Oleh karena itu, penelitian ini mencoba melihat lebih jauh kaitan antara jatuhnya rezim otoriter dengan perubahan sosial politik di Indonesia, dan secara spesifik hendak mengkaji: (a) bagaimana peran elite politik dalam sirkulasi kekuasaan di tiga rezim pemerintahan (BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri) pasca-Soeharto? (b) bagaimana terjadinya pola sirkulasi kekuasaan itu dan bagaimana konstribusinya terhadap proses konsolidasi demokrasi?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data digunakan dengan menggunakan tiga cara, yakni: studi pustaka, wawancara mendalam, dan focus group discussion. Informan dipilih secara purposif dan menggunakan teknik snow ball. Secara keseluruhan jumlah informan sebanyak 26 orang. Dalam melakukan analisis, digunakan empat tahap, yakni: seleksi, deskripsi, klasifikasi, dan interpretasi.
Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain teori rolling class dan sirkulasi elite dari Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca yang mengatakan bahwa ada sekelompok minoritas (elite) akan selalu menguasai mayoritas. Pareto juga mengatakan, "sings" (The lions) dan "serigala? (The Foxs) merupakan pola konflik elite politik yang senantiasa terjadi. Sirkulasi elite akan melahirkan elite-elite baru yang akan mengisi struktur dan bentuk organisasi yang baru pula. Jatuhnya suatu rezim seringkali diikuti oleh jatuhnya seluruh gerbong-gerbong yang menyertainya. Pola-pola pergantian rezim menggunakan teori Samuel Huntington yang mengatakan bahwa proses pergantian kekuasaan mengikuti tiga pola besar (transformation, replacement, dan transplacement). Terkait dengan Konsolidasi Demokrasi digunakan teori Juan J. Linz dan Alfred Stepan, yang mengatakan bahwa, ada lima arena untuk melakukan konsolidasi demokrasi (civil society, political society, rule of law, state apparatus, economic society). Selain pakar di atas, juga digunakan beberapa pendapat yang mendukung analisis dalam penelitian ini seperti Lyman T. Sargent, Robert A. Dahl, Rahman Tolleng, Comelis Lay, Susan Keller, Robison, Vedi Hadiz, Iwan Gardono, Philip C. Schmiter, dan lain-lain.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa: (a) peran elite dalam sirkulasi kekuasaan pada tiga rezim (BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri) pasca-Soeharto sangat kuat dan sangat paradoks. Di satu sisi mereka berperan sebagai penguasa untuk mempertahankan rezim, tetapi pada sisi yang lain ia pun berperan sebagai penentang untuk menjatuhkan rezim. (b) pola terjadinya sirkulasi kekuasaan terbagi ke dalam lima pola, yaitu transplacement (adanya tindakan bersama antara kelompok pemerintah/serigala dan oposisi/singa), ?mutungan" (suatu sikap tidak legawa dalam menerima kekalahan/kegagalan/kejatuhan dengan reaksi diam, tidak saling menyapa, mengisolasi diri, dan tidak memberikan dukungan politik secara terbuka terhadap kebijakan penguasa penggantinya), aksi massa (baik pihak yang mempertahankan maupun yang menentang sama-sama mengerahkan kekuatan massa, dan jatuhnya pun melalui tekanan massa), pengkhianatan Brutus (adanya elite-elite dalam rezim yang ikut mendorong, memfasilitasi jatuhnya kekuasaan dan mengambil kemanfaatan), dan Cengkeraman Beludru parlemen (parlemen sebagai aktor terakhir yang melakukan eksekusi sebagai dalih konstitusional); (c) konstribusi sirkulasi elite terhadap konsolidasi demokrasi bersifat menganggu dan menghambat karena tidak ada pemutusan yang tegas dengan masa lalu, terlalu dominannya elite-elite lama dalam kekuasaan yang baru (konflik kepentingan), dan terlalu sedikit munculnya elite-elite baru yang masih muda dan segar.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat direkomendasikan (a) perlu mendorong agar partai-partai politik berperan lebih besar dalam melakukan pendidikan politik dan memperbaiki sistem kaderisasi partai (b) perlu memperbesar kesempatan dalam rekruitmen elite baru dari kelompok yang lebih muda dan lebih segar (c) memperbaiki sistem pemilu agar tidak sekadar menjadi ajang pelestarian aktor-aktor lama dan partai-partai besar serta status quo (oligarki) dengan menyempurnakan UU PEMILU (tidak perlu ada pembatasan threshold) dalam pemilihan jabatan politik agar membuka kesempatan yang sama kepada calon non partai (d) sistem recall anggota parlemen sebaiknya tidak dilakukan oleh partai, tetapi oleh konstituen dengan cara pengumpulan sejumlah tanda tangan sesuai dengan ketentuan BBP (batas bilangan pembagi) sesuai daerah pemilihan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14399
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Rahman Alamsyah
"Tesis ini hendak meneliti demokratisasi pasca-Soeharto (2004-2006) yang terjadi di Serang, Banten, dengan menggunakan kerangka berpikir dialektika agen-struktur atau habitus ranah dari Bourdieu. Yang menjadi subyek penelitian adalah Partai Golkar dan jawara (PG-Jawara) serta Partai Keadilan Sejahtera dan tarbiyah (PKS-Tarbiyah). Mereka adalah agen-agen signifikan dalam ranah politik Serang. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi, penelusuran dokumen, dan studi pustaka. Dengan menggunakan kerangka berpikir dialektika agen-struktur, demokratisasi tersebut dapat diawali dengan penjelasan tentang posisi-posisi obyektif PG-Jawara dan PKS-Tarbiyah dalam ranah politik Serang. Berdasarkan ukuran jenis, volume dan bobot relatif dari empat jenis modal (ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik), PG-Jawara menempati posisi obyektif dominan daripada PKS-Tarbiyah. Sedangkan untuk habitus politik, yang melekat pada PG-Jawara adalah kekerasan, pragmatisme, dan Islam simbolik. Pada PKS-Tarbiyah, hal itu meliputi habitus politik islamisme dan modernis. Posisi-posisi obyektif dalam ranah mengondisikan habitus politik PG-Jawara dan PKS-Tarbiyah, tetapi habitus tersebut juga membantu mereka untuk menyesuaikan diri dengan ranah politik yang dihadapi. Hasil dari dialektika tersebut adalah praksis politik. Inilah dialektika habitus-ranah atau agen struktur, yang berbeda dengan determinisme pendekatan agen (Diamond) maupun pendekatan struktur (Huber dkk.). Ranah politik adalah medan pertarungan wacana (simbolik) antar agen untuk memperoleh kekuasaan simbolik (kekuasaan yang diakui keabsahannya). Wacana tersebut adalah praksis politik yang dihasilkan dari dialektika habitus-ranah dan ditawarkan oleh para agen politik kepada masyarakat demi memperoleh dukungan. Ia mencakup doxa (wacana dominan yang absah), orthodoxa (wacana yang mendukung doxa) dan heterodoxa (wacana yang menentang doxa). Doxa dalam ranah politik Serang adalah nasionalisme pasca-kolonial, keislaman tradisional, modernisasi, dan prosedur demokrasi. Ia didukung oleh PG-Jawara yang memproduksi dan mereproduksi orthodoxa, yang meliputi nasionalisme pasca-kolonial, Islam simbolik yang dekat dengan keislaman tradisional, modernisasi untuk kejayaan bangsa dan negara, dan demokrasi dalam kerangka Pancasila. PKS-Tarbiyah memproduksi heterodoxa, yang meliputi nasionalisme dalam kerangka Islam, Islam sebagai ajaran total yang memandu perilaku, dan prosedur demokrasi untuk kepentingan Islam. Wacana yang diproduksi para agen politik tersebut ada yang merupakan perwujudan dari habitus politiknya, namun ada juga yang merupakan hasil penyesuaian (dengan bantuan habitus politiknya), sesuai dengan batas-batas yang dimungkinkan oleh ranah yang memproduksi habitus politik tersebut, terhadap ranah politik yang dihadapinya. Inilah pertarungan wacana antara PG-Jawara dengan PKS-Tarbiyah yang terjadi dalam ranah politik Serang. Ranah politik Serang mengalami ?bantenisasi demokrasi? karena ia dirumuskan ulang oleh agen-agen politik yang ada di dalamnya, sesuai dengan habitus dan posisi obyektifnya dalam ranah politik. Alhasil, pada tingkat subyektif (wacana, simbolik), ranah politik Serang penuh sesak dengan aneka wacana dengan posisi yang berbeda-beda. Yang dominan adalah nasionalisme pasca-kolonial, keislaman tradisional, beberapa nilai demokrasi yang ditawarkan PG-Jawara, dan modernisasi dalam rangka nasionalisme. Ia memberi nuansa yang lebih tebal pada ranah politik tersebut. Namun, berbagai wacana yang diproduksi PKS-Tarbiyah, yaitu nasionalisme dalam kerangka Islam, islamisme, beberapa nilai demokrasi yang diusung PKS-Tarbiyah, modernisasi dalam konteks islamisme, juga mulai mengancam wacana-wacana dominan tersebut. Hal ini membuat demokratisasi dalam ranah politik Serang menjadi begitu dinamis. Wacana-wacana tersebut adalah dimensi subyektif yang berfungsi memberi legitimasi terhadap dimensi obyektif dari ranah politik. Pada tingkat obyektif, ?bantenisasi demokrasi? menghasilkan demokrasi yang ditandai dengan penerapan berbagai prosedur demokrasi (pilkada, pemilu, kontrol DPRD atas pemerintah kabupaten) dan beberapa prinsip demokrasi, seperti jaminan atas partisipasi publik, kebebasan berpendapat, berorganisasi, kebebasan pers, pengelolaan pemerintahan yang transparan, penghargaan terhadap keragaman, dan sebagainya. Namun pada saat yang bersamaan, ia juga kerap harus berhadapan dengan praksis politik kekerasan dan politik uang PG-Jawara, islamisme PKS-Tarbiyah yang cenderung memarjinalkan non-Islam, oligarki elit parpol, dan partisipasi publik yang sifatnya formalistis.

This thesis is about the democratization post-Soeharto (2004-2006) in Serang, Banten, using dialectical theory of agency-structure or habitus field from Bourdieu. The subjects are Partai Golkar and jawara (PG-Jawara), Partai Keadilan Sejahtera and tarbiyah (PKS-Tarbiyah). They are significant agencies in Serang political field. This research is using qualitative approach with case study. The datas are collected with deep interview, observation, document study, and literary study. Using dialectical theory of agency-structure, the democratization will begin with the explanation about the objective positions between PG-Jawara and PKS-Tarbiyah in Serang political field. According to form, volume and relative weight from four capital form (economic, social, cultural, and symbolic), PG-Jawara has more dominant objective position than PKS-Tarbiyah. Otherwise, the political habitus for PG-Jawara are violance, pragmatism, and Islam symbolic. The political habitus for PKS-Tarbiyah are islamism and modernism. The objective conditions in field conditioning the political habitus of PG-Jawara and PKS-Tarbiyah, but it also help them to make the adaptation to the political field. The result of dialectical is political praxis. This is the dialectical of habitus-field or agency structure, which is different from determinism of agency approach (Diamond) or structure approach (Huber and friends). Political field is the arena of discourse (symbolic) struggle between agencies to obtain symbolic power (the legitimate power). The discourse is political praxis which produced by dialectical habitus-field and offered by political agencies to the society to get their support. It consist of doxa (the legitimate discourse), orthodoxa (the discourse supporting doxa) and heterodoxa Bantenisasi demokrasi (the discourse aggainst doxa). Doxa in Serang political field are post-colonial nasionalism, traditional islamic, modernism, and procedure of democratization. It supported by PG-Jawara which produce and reproduce orthodoxa, including post-colonial nasionalism, Islam symbolic that close to traditional islamic, modernisation to the glory of nation and country, and democracy of Pancasila. PKS-Tarbiyah produce heterodoxa, consist of islamic nasionalism, Islam as a total religion to guide the attitude, and the procedure of democracy for islamic importance. There are some discourses which produced by the political agencies are manifestation from their political habitus, but there also are a production from adaptation (with their political habitus support), in accordance with the limitations that able by field which produce the political habitus, towards the political field. This is the discourse struggle between PG-Jawara with PKS-Tarbiyah that happen in Serang political field. Serang political field is becoming ?bantenisasi demokrasi? because it reinterpreted by their political agencies, in accordance with habitus and objective position in political field. At subjective level (discourse, symbolic), Serang political field is crowded with some discourses with different positons. The dominant are post-colonial nasionalism, traditional islamic, some democratic values that offered by PG-Jawara, and modernisation in nasionalism. It gives strong nuance in political field. Although some discourses that produced by PKS-Tarbiyah, such as nasionalism in islamic framework, islamism, some democratic values of PKS-Tarbiyah, modernisation in islamic framework, also threaten the dominant discourses. It makes democratization in Serang political field more dynamic. The discourses are subjective dimension that gives legitimation to objective dimension of political field. At objective level, ?bantenisasi demokrasi? produce a democracy that marked with the application of procedure of democracy (local election, general election, the controling of local government by DPRD) and some principles of democracy, such as guarantee on public participation, freedom of expression, freedom of organization, freedom of the press, transparent government, guarantee on pluralism, etc. But at the same circumtance, it also has to face political violance and money politic of PG-Jawara, the islamism of PKS-Tarbiyah that marginalize non-Islam, the elite oligarcy in political party, and pseudo-public participation."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T22749
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: The Asia Foundation, 2003
321.809 598 DEM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>