Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154087 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R. Achmad Sunjayadi
"When the first technology of photography came to the Netherlands-Indies in
the nineteenth century, it was only used for government purposes and was
not yet meant for public consumption. On the other hand, the rise of colonial
tourism in the Netherlands-Indies in the early twentieth century required a
medium for promotion. Photographs were the right choice because, as the saying
goes, pictures could tell more than words. Photographs for colonial tourism
promotions were produced in various forms such as postcards, illustrations in
magazines and guide books, and were published by the colonial government
as well as by private publishers. This article discusses the role of photography
in colonial tourism in the Netherlands-Indies and its influence in the process to
?find Indonesia?. The sources used are taken from published postcard collections,
magazines, guide books, and also published government archives."
University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2008
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
R. Achmad Sunjayadi
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Christina Suprihatin
"This article attempts to give a brief picture about the genre and themes in the
Dutch-Indies Literature from the VOC period. During the VOC-period, more
than six months was needed to embark on a journey by sea from the Netherlands
to Batavia. Undertaking this journey meant encountering many obstacles which
occurred through the work of man as well as nature. In addition, a successful
landing on the shores of the East did not always ensure a friendly reception. Due
to these obstacles which they encountered, only a small number of those who
had set sail from Europe were able to return home safely. Most of those who
managed to survive this long and dangerous journey to the land of spices, finally
chose to stay and start a new life in the East. Some of these men, in an effort to
establish their new life, were able to make contact and build relationships with
the local women. This paved the way for the emergence of the Mestis culture,
in which we find the elements of East and West."
University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2008
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Fajar Surya
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas upaya pemerintah kolonial terhadap pelestarian lingkungan di Hindia Belanda. Perusakan hutan dan perburuan hewan liar, merupakan masalah krusial yang mengancam kelestarian lingkungan hidup pada awal abad di Hindia Belanda. Hal tersebut dibuktikan dari musim pancaroba dan hujan yang tidak turun pada musim basah. Pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial Hindia Belanda membuat beberapa landasan kebijakan untuk membatasi kerusakan dan melestarikan alam. Landasan kebijakan tersebut merupakan hasil dari masukan dan aksi sekelompok ilmuwan yang peduli terhadap lingkungan. Ide pemikiran Ilmuwan di Hindia Belanda tidak terlepas dari upaya pelestarian alam yang ada di Belanda. Sebagai negara induk, Belanda mempunyai peran penting sebagai pemicu dari beridirinya gerakan pelestarian alam di Hindia Belanda. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode sejarah, yaitu: melalui tahap heuristik, dengan menelusuri Staatsblad lembaran negara , dan statuten yang melalui tahapan kritik. Sehingga dapat di interpretasi dan menghasilkan penulisan sejarah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemerintah kolonial Hindia Belanda telah membangun landasan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan yang konstruktif dengan membangun cagar alam dan suaka margasatwa.

ABSTRACT
This thesis discusses the efforts of the colonial government towards environmental conservation in the Dutch East Indies. The destruction of forests and the hunting of wild animals, was a crucial issue that threatened the preservation of the environment at the beginning of the century in the Dutch East Indies. This is evident during the transition season when the rain did not fall in the wet season. At the beginning of the 20th century, the Dutch East Indies colonial government made several policy platforms to limit environmental damage and preserve nature. The foundation of the policy is the result of input and action of a group of scientists who care about the environment. The ideas and thoughts of the scientists in the Dutch East Indies cannot be separated from the efforts of nature conservation in the Netherlands. As a mother country, the Netherlands had an important role as a trigger of the establishment of nature conservation movement in the Dutch East Indies. The method used in this research is the historical method, namely through the heuristic stage, by tracing the Staatsblad, and statuten through criticism stage. So that, can be interpreted and be writed as history. The results of this study indicate that the Dutch East Indies colonial government has built a constructive policy regarding environmental management by establishing nature reserves and wildlife sanctuaries. "
2017
S68382
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Multamia Retno Mayekti Tawangsih
"1.1 Latar Belakang Masalah
Penelitian bahasa daerah terutama di bidang pemetaannya, tidaklah sebanding dengan perkiraan penghitungan jumlah lima ratusan bahasa daerah yang terdapat di Indonesia. Dengan demikian, maka penelitian geografi dialek dalam hal ini pemetaan bahasa-bahasa daerah di Indonesia merupakan salah satu cabang ilmu linguistik yang perlu digarap. Pemetaan bahasa cukup penting untuk mendapat perhatian karena banyak hal yang dapat dipetik dari hasilnya. Antara lain peta bahasa-bahasa daerah di Indonesia dapat berfungsi sebagai alat untuk memonitor dua kepentingan nasional yang kontradiksi yaitu program pengembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu di satu pihak dan program pelestarian bahasa-bahasa daerah sebagai unsur kebudayaan nasional di lain pihak. Ditinjau dari sudut pengembangan bahasa, peta bahasa dapat memberikan gambaran umum mengenai situasi kebahasaan setempat. Sekurang-kurangnya memberikan jawaban berapa jumlah bahasa daerah di Indonesia dan bahasa apa saja yang ada di Indonesia. Sebagai hasilnya, dapat diketahui secara pasti berapa jumlah bahasa daerah yang harus dilestarikan dan bahasa-bahasa daerah mana yang perlu mendapatkan prioritas. Moeliono (1981:7) berpendapat bahwa:
"Bahasa-bahasa itu perlu diperikan sebelum menghilang dari muka bumi mengingat kenyataan bahwa angka kematian bahasa di dunia lebih besar daripada angka kelahirannya. Lajunya pengurangan bahasa itu tidak selalu harus diukur dalam satuan abad, sebab bahasa yang jumlah penuturnya sangat kecil, misalnya lima ribu orang, dapat musnah dalam satu dua generasi. Banyak pula di antara bahasa itu yang tidak mengenal ragam tulisan sehingga demi pengembangan teori linguistik, bahasa yang jumlah penuturnya sangat terbatas atau yang daerah pakainya sangat terpencil dan jalur komunikasi ramai perlu direkam baik dalam bentuk lisan maupun dalam bentuk tulisan".
Pendapat Moeliono mengenai musnahnya sebuah bahasa dalam satu dua generasi mungkin saja terjadi andaikata ada faktor-faktor luar bahasa yang mendorong hal itu terjadi. Misalnya, masyarakat bahasa Taogwe yang penuturnya diperkirakan berjumlah 50 orang (Wurm 1984: Peta 3 Northeastern Irianjaya), merupakan masyarakat "terasing" karena faktor alamnya di pedalaman Irian Jaya. Secara geografis mereka tinggal di suatu daerah di mana 4 buah sungai bertemu yaitu Sungai Rouffaer dan Sungai Van Daalen (dari arah Barat), Sungai Idenburg (dari arah Timur), dan Sungai Mamberamo (dari arah Utara). Seandainya Pemerintah, memindahkan mereka dari tempat asalnya ke pemukiman suku-suku terasing. Hal ini, memaksa masyarakat bahasa Taogwe untuk berkomunikasi dengan masyarakat bahasa lainnya di pemukiman itu ataupun dengan petugas pemerintah yang menangani pemukiman suku-suku terasing itu. Anak-anak masyarakat Bahasa Taogwe juga akan mulai masuk SD, tentunya mulai belajar bahasa Indonesia. Lambat laun pemakaian bahasa Taogwe akan berkurang apalagi jika beberapa penutur bahasa Taogwe itu menikah dengan orang yang berbahasa-ibu lain. Dalam satu dua generasi mungkin saja bahasa Taogwe--yang dikenal sebagai salah satu bahasa di dalam kelompok Dataran Danau Tengah-itu akan musnah.
Pemetaan bahasa perlu dilakukan baik pada daerah-daerah yang monolingual maupun pada daerah-daerah yang multilingual. Terlebih-lebih pada daerah-daerah tertentu yang multilingual agaknya masalah sentuh bahasa tidak dapat dihindarkan. Dapat diduga bahwa di daerah yang multilingual masalah kebahasaan akan lebih kompleks dibandingkan dengan di daerah yang monolingual. Pendataan bahasa-bahasa daerah di Indonesia sesungguhnya telah mulai dijajagi sejak tahun lima puluhan, hanya saja belum ada kesatuan pendapat. Perbedaan yang muncul mungkin disebabkan karena perbedaan metode penelitian yang dipergunakan serta dasar pemilahannya. Untuk mengatasi ketidaksamaan informasi mengenai jumlah bahasa daerah yang terdapat di Indonesia, Lembaga Bahasa Nasional (1972) berusaha..."
Depok: Universitas Indonesia, 1990
D188
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Multamia Retno Mayekti Tawangsih
1990
D1844
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Carey, Peter
"Penjajahan di Indonesia meninggalkan jejak panjang dan penuh kekerasan. Masa antara kedatangan Marsekal Daendels dan akhir Perang Jawa, yaitu antara 1808 dan 1830, adalah masa yang penuh dengan darah. Peralihan kekuasaan yang singkat dari rezim Prancis-Belanda Daendels (1808-11) ke pemerintahan Inggris di bawah Raffles (1811-16) dan pasca-1816 ketika pemerintahan jajahan Belanda kembali menguasai Nusantara diwarnai dengan pertempuran militer yang kadang sengit dan digerakkan oleh prasangka rasialis.
Masyarakat Jawa yang dipandang sebagai kaum yang “terpuruk” (dari masa keemasan-nya sebelum penjajahan) dan “terbelakang”, sudah selayaknya diberadab-kan, bukan hanya dengan cara-cara militeristik tetapi juga dengan perangkat pemerintahan jajahan yang baru. Pada masa ini, terbentuklah suatu panoptikon atau pemerintahan-Bung-Besar-Orwellian di bawah Raffles yang merancang peta tentang sumber-sumber alam dan infrastruktur Pulau Jawa. Di sisi lain, muncul juga suara-suara kritis yang mengecam praktik penjajahan, seperti disuarakan oleh seorang jurnalis dan politikus yang radikal, William Cobbett (1763-1835).
Buku Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda karya Peter Carey dan Farish A. Noor ini merupakan kumpulan tujuh esai yang memusatkan pembahasannya pada konstruksi kolonial atas ras dan identitas, dan bagaimana pemerintahan kolonial pada awal abad ke-19 di Jawa bersandar pada teori-teori rasial untuk mengobjektifkan perbedaan ras sebagai batu penjuru yang kokoh dalam mengelola masyarakat jajahan pada abad ke-19. "
Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2023
959.802 CAR r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hurgronje, Christiaan Snouck, 1857-1936
Jakarta: Bhatara Karya Aksara, [1983;1983;1983, 1983]
297.44 HUR i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Risqi Gusdita Rahmadi
"ABSTRAK
Revolusi telah berkontribusi dalam pembentukan masyarakat di dunia. Fenomena tersebut mengubah nilai-nilai fundamental dan memberikan suatu pandangan baru di dalam masyarakat. Dengan berubahnya nilai fundamental, masyarakat pun berubah, dan hal hal yang sebelumnya diterima sebelum revolusi, menjadi kurang menarik ataupun tidak lagi diterima di dalam masyarakat. Pandangan baru ini membentuk sebuah selera dan kebutuhan baru, seperti halnya sebuah tren. Hal ini tampak pada perubahan di dalam dunia seni dan arsitektur. Arsitektur dan Revolusi: Perkembangan Arsitektur di Hindia Belanda dan Perubahan dalam Masyarakat Kolonial tidak membahas revolusi kemerdekaan Indonesia, melainkan membahas bagaimana konteks dan isu sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi di Hindia Belanda membentuk sebuah revolusi dalam masyarakat kolonial pada periode akhir kolonial Belanda. Dimulai dengan analisis mengenai revolusi yang terjadi di Eropa, kemudian dilanjutkan dengan menganalisis korelasi antara revolusi tersebut dan perubahan di dalam gaya arsitektur di Eropa dan Rusia setelah revolusi. Akan tetapi, keadaan masyarakat kolonial di Hindia Belanda memiliki konteks yang berbeda dengan masyarakat Eropa. Oleh karena itu, saya menganalisis konteks tersebut dan bagaimana sebuah revolusi terbentuk. Pembahasan kemudian saya akhiri dengan menganalisis perubahan Arsitektur di Hindia Belanda untuk menekankan adanya sebuah upaya dalam merepresentasikan ide baru yang terbentuk pasca revolusi melalui sebuah bentuk yang konkrit, yaitu arsitektur.

ABSTRACT
Revolution changes the fundamental values in the society. As the fundamental values change, the society also changes, and things that were used to be agreeable before the revolution may become less appealing, or no longer accepted. This new value formed a new taste and necessity in the society. As a result, the process of designing will be influenced by this newfound value. This writing does not discuss the revolution of Indonesian Independence. It discusses how the social, economy and political context and issues in the Dutch East Indies formed a revolution within the colonial society during the late colonial era. It starts with the analysis of revolutions throughout Europe & Russia, then continues to analyze changes in the Architectural Styles in Europe after the revolutions. However, the European and Russian society were essentially different than the Dutch East Indies society, which was, a colonial society. Therefore, I analyze the context of the Dutch East Indies society and how the revolution was formed. The discussion subsequently analyzes the changes in the Indies Architecture to further emphasize an effort to represent the new ideas that formed after the revolution into a concrete form, which is architecture.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Achmad Sunjayadi
"ABSTRACT
As a form of cultural process, acculturation serves as an important factor in tourism. Usually, the hosts borrow the results of acculturation generated from tourism activities more than the tourists or guests do. Acculturation in tourism occurs not only in tourism practices today, but also in those in the past, including the tourism practices in Indonesia during the Dutch colonial era. This article discusses acculturation which became part of tourism activities in the Dutch East Indies by applying historical methods and Nunez's concept of acculturation in tourism. By using guidebooks, newspapers, magazines, postcards, photographs, and travelogues as data sources, this article traced the result of acculturation at that time. Results show that acculturation really took place in the tourism activities in the Dutch East Indies. There were material objects and customs which served as tourism facilities and could be seen, performed, and enjoyed by the tourists. lt can be concluded that at that time the tourists or guests borrowed the results of acculturation more than the hosts did.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
907 UI-PJKB 8:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>