Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161823 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Koh, Young Hun
"Images of Japanese troops which drawn by Pramoedya in his works indeed related with his own experiences. Pramoedya through his characters portrays his view on humanities. Pramoedya depicted the brutality of Japanese troops in their occupation in Indonesia. All Japanese propaganda delivered false messages and caused disasters for Indonesian people. Japanese culture retardation and their brutality made the author suffer and down. Even though his novels associate with anti Japanese occupation and patriotism among the youth, humanities issues in fact appear as a strong theme in all his works."
Depok: Faculty of Humanities University of Indonesia, 2006
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Wicaksono
"Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan realitas sejarah sosial-politik Indonesia dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer dengan perspektif New Historicism. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif interpretif dengan paralel pembacaan antara karya sastra dengan teks sejarah dan desain analisis isi. Gambaran realitas sejarah sosial dan politik Indonesia (periode 1945 hingga 1966) dalam novel Larasati dengan perspektif New Historicism Greenblatt dianggap efektif untuk mengeksplorasi fenomena teks sastra. Novel ini secara langsung berkaitan dengan manifestasi politik Indonesia yang meliputi (1) struktur ideologi yang digunakan untuk memperkuat kekuatan berbasis negara, dan (2) praktik diskursif, bahasa politik yang mengacu pada konstruksi pengetahuan melalui bahasa yang memberi makna pada segi material dan praktik sosial-politik yang melingkupinya."
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018
810 JEN 7:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Agus R. Sarjono
"Pada dasarnya rumah dalam KG bukan rumah yang baik. Buruknya rumah KG disebabkan oleh perilaku dan sosok kaum tua keluarga Gerilya, yakni kopral Paidjan (sang ayah) dan Amilah (Sang Ibu). Meskipun demikian, peluang untuk menjadikan rumah keluarga gerilya sebagai rumah yang baik dan membuat krasan masih terbuka di tangan kaum muda. Namun, revolusi kemerdekaan mernbtrat semua kaum muda keluarga gerilya memilih untuk merelakan hancurnya rumah mereka demi rumah yang lebih besar dan lebih mulia yakni nasion. Hal yang berbeda terjadi pada JTU. Pada dasrnya rumah keluarga Guru Isa adalah rumah yang baik. Namun revolusi menebarkan ketakutan pada Guru Isa yang menyebabkan is mengalami impotensi. Impotensi guru Isa menjadikan rumah mereka sekedar menjadi rumah tanpa rasa krasan. Situasi ini diperparah oleh perselingkuhan Fatimah -istri Guru Isa- dengan Hazil, sahabat Guru Isa. Semua ini masih ditambah dengan ditangkapnya Guru Isa -juga Hazil- oleh Belanda sehingga keduanya mengalami penyiksaan di sana. Baik pada KG maupun JTU terdapat konflik antara kaum tua dengan kaum muda. Kaum tua dalam KG maupun JTU digambarkan sebagai hamba kolonial, buruk secara moral, dan tidak memiliki idealisme, sementara kaum muda digambarkan sebagai sosok yang penuh idealisme dan cita-cita. Baik pengarang KG maupun JTU berpihak pada kaum muda dan tidak bersimpati kepada kaum tua. Konflik antar generasi ini, Baik dalam KG maupun JTU, dimanifestasikan dengan kehendak untuk meniadakan (membunuh) kaum tua. Pada JTU kehendak itu hanya digagaskan, sementara dalam KG benar-benar dilaksanakan dengan membunuh ayah. Pembunuhan terhadap ayah menutup segala kemungkinan bagi sebuah rumah untuk menjadi tempat yang membuat krasan Di dalam rum' h dipersepsikan dalam KG maupun JTU sebagai tempat yang nyaman dan membuat krasan. Sekalipun dernikian, dalam KG di dalam rumah bukanlah tempat yang didambakan kalangan tua. Amilah beranggapan bahwa di luar rumah lah sumber rasa krasannya. Di dalam rumah, Amilah senantiasa membayangkan masa muda dan kebahagiaannya bertualang di luny rumah, yakni dari tangsi militer ke tangsi militer Belanda. Kaum muda keluarga gerilya justru beranggapan bahwa di dalam rumah lah semestinya rasa krasan itu berada. Namun para pemuda keluarga gerilya harus meninggalkan rumah dan berjuang di luar rumah demi rumah yang lebih besar yakni nasion. Meskipun di luar rumah penuh ancaman dan bahaya, mereka dengan antusias berjuang di luar rumah. Sementara rumah yang diidamkan semua kaum muda..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T37418
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumarwati Kramadibrata Poli
"Latar Belakang Masalah
Pembahasan atau kajian mengenai wanita pada masa kini makin banyak dilakukan dan diterbitkan hasilnya. Hal ini tidak terlepas dari kemajuan yang dicapai oleh wanita itu sendiri, khususnya pengarang wanita yang berusaha untuk menyuarakan masalah yang selama ini dihadapi kaumnya dalam keberadaannya di dunia.
Pada waktu hak dan kesempatan bagi wanita dan pria mulai menjadi kenyataan, muncul masalah yang justru menghambat masing-masing dalam memanfaatkan kebebasan dan peluang yang ada, yaitu memilih peran yang ingin dijalaninya dan kedudukannya baik dalam keluarga maupun masyarakat. Salah satu alasan yang cukup mendasar dari munculnya masalah ini mungkin merupakan akibat dari kesenjangan yang ada antara aspirasi baru dan gambaran tradisional, yang mau tak mau masih melekat pada diri kita sendiri, baik wanita maupun pria.
Penampilan wanita dalam masyarakat memainkan peranan penting dalam membentuk konsep keberadaan dan citra wanita. Penampilan ini ditentukan oleh gambaran yang dimiliki oleh para anggota masyarakat sendiri. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah bagaimanakah gambaran tentang wanita itu sendiri mengingat gambaran itu erat kaitannya dengan peran dan kedudukannya dalam lingkungan keluarga maupun dalam masyarakat. Konsep citra sendiri mengacu pada beberapa pengertian. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1992:192) mengatakan:
"Citra adalah gambaran yang dimiliki oleh orang banyak mengenai pribadi, orang, atau produk".
Penjelasan Noerhadi mengenai citra dihubungkan pada self concept atau self image. Penanggapan pada diri sendiri (pribadi) bisa terjadi karena intuitif, bisa juga sebagai hasil refleksi. "Citra" adalah suatu abstraksi dari penggambaran yang diwarnai rasa dan penghayatan (Noerhadi, 1981:54-56).
Definisi yang diberikan Noerhadi tidak jauh berbeda dari apa yang diuraikan oleh Lauwe dalam La Femme dans la Societe. Lauwe berpendapat bahwa gambaran tentang wanita harus dikaitkan dengan perilaku, situasi dan status wanita dalam kehidupan sosial. Selain dari pada itu, gambaran tentang wanita erat kaitannya dengan persepsi, representasi diri dan kesadaran diri yang memungkinkan setiap individu menangkap ketiga unsur ini lalu bila diperlukan, mengubahnya. Jadi, gambaran tentang wanita diperoleh dari gabungan unsur-unsur yang berbeda itu (1967:20-40).
Dengan demikian pendapat Lauwe menyiratkan adanya hubungan ketergantungan antara gambaran atau citra wanita dan cara pandang serta cara menampilkan diri di dalam masyarakat, di samping dengan pengalaman dan imajinasi atau bayangan rekaan yang muncul dari pengalaman tersebut.
Selanjutnya Lauwe mengatakan bahwa representasi atau penampilan diri dikondisikan oleh aturan-aturan bersikap yang berlaku dalam lingkungannya, oleh kebutuhan moral dan aspirasi pribadi masing-masing (wanita) (1967:1oc.cit).
Bahwa ada perubahan atau tidak, gambaran mengenai wanita ini tampaknya harus dikaitkan dengan cara memandang masalah tersebut. Ini berarti menyangkut masalah nilai-nilai dan moralitas. Dalam hal ini pengertian nilai-nilai atau values mengacu pada definisi Clyde Kluckhohn yang dikutip N. Reascher dalam bukunya An Introduction to The Theory of Values:
"A value is a conception, explicit or implicit, distinctive of an individual or characteristic of a group, of the desirable which influences the selection from available means and ends of actions"(1969: 2)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
D271
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Like poerbatjaraka, through in a very different style, pramoedya ananta toer was, and is, a rebel against the javanese culture he imbibed as a child and young man. So far as i know, he has never published a page in the language of his childhood home; but this does not mean that java and its culture are ever very far from his mind. "
MBSN 6:1 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
S. Amran Tasai
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1997
899.221 3 AMR c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI, 1993
370.992 IND s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Karsia
"Penelitian mengenai dialek Osaka dilakukan dengan menggunakan data yang diperoleh dari novel tersebut di atas dilakukan pada bulan September 1951-Desember 1991. Tujuannya untuk mengetahui Karakteristik dialek Osaka dan padanan Bahasa standar dialek tersebut. Pengumpulan data dilakukan melalui penyeleksian data-data dialek yang terdapat di dalam novel Tanabe Seiko berjudul Neko mo Shakushi mo dan dengan mengunakan metode wawancara yang dilanjutkan dengan metode penelitian kepustakaan. Hasil penelitian skripsi ini bukan merupakan gambaran menyeluruh yang mencakup semua karakteristik dialek Osaka. Akan tetapi, dari penelitian yang dilakukan telah dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : (1) Pos verba konklusi da/ desu dan/atau yo menjadi ya di dalam dialek Osaka. (2) Pos verba bentuk negatif kata kerja golongan Godankatsuyo mis. kakanai menjadi kakehen.(3) Pos verba bentuk dugaan daro menjadi yaro. (4) Bentuk hormat dialek Osaka memiliki nuansa yang berbeda dengan bentuk hormat di dalam bahasa standarnya. (5) Adanya perubahan pelafalan , penyingkatan pengucapan, penghilangan pada suku kata tertentu. (6) Kata tanya dadesuka dapat mengambil dua bentuk yaitu menjadi doyanon dan donaiya. (7) Penggunaan partikel yang berbeda dengan bahasa stan_darnya. (8) Bentuk _te iru_menjadi _yoru_ dengan fungsi khusus untuk menunjukkan yang melakukan pekerjaan tersebut adalah orang ketiga. (9) Kata sambung node, kara, menjadi sakai. (10)Bentuk kata kerja _to ager_ menjadi _taru_."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S13589
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jung In June
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas perbandingan karya sastra zaman Penjajahan Jepang di Indonesia dan Korea. Indonesia dijajah Jepang selama 3 tahun, tepatnya pada 1 Maret 1942. Berbeda dari Indonesia yang terbilang singkat, Korea dijajah Jepang selama 35 tahun, di era Joseon (1910--1945). Dalam rentang waktu tersebut, sebagian pengarang mengangkat tema kemerdekaan meskipun berada dalam tekanan Jepang. Pengarang dua negara tidak menyerah ataupun mundur, mereka tetap mengobarkan semangat kemerdekaan. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan dua novel, Kadarwati Wanita dengan Lima Nama karya Pandir Kelana dan Mister Sunshine karya Kim Eun Seuk. Aspek yang akan dibandingkan, antara lain latar, penokohan, alur, dan pesan yang terdapat dalam kedua karya.

ABSTRACT
This study discusses the comparison of literary works of Japanese occupation in Indonesia and Korea. Indonesia was colonized by Japan for 3 years, precisely on March 1, 1942. Different from Indonesia which was relatively short, Korea was colonized by Japan for 35 years, in the Joseon era (1910--1945). In this period, some authors raised the theme of independence despite being under Japanese pressure. Authors of two countries did not surrender or retreat, they still ignited the spirit of independence. The purpose of this study is to compare two novels, the Female Kadarwati with Five Names by Pandir Kelana and Mister Sunshine by Kim Eun Seuk. Aspects that will be compared include background, characterization, plot, and message contained in the two works."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Lilawati Kurnia
"Perjalanan telah dilakukan manusia sejak dahulu kala, baik ketika manusia sudah mengenal peradaban, maupun jauh sebelumnya. Perjalanan yang telah menjadi bagian dari hidup manusia, terlebih bagi manusia di abad modern kini. Dengan demikian, perjalanan tersebut seolah-olah tidak dapat dilepaskan dari eksistensi manusia. Orang tidak dapat membayangkan, bagaimana kehidupan manusia masa kini tanpa adanya suatu perjalanan. Pada abad pertengahan di dalam sistem pendidikan informal di Jerman, yaitu sistem magang, seorang Geselle diharuskan mengadakan perjalanan untuk mengumpulkan pengalaman. Pengalaman tersebut akan berguna baginya pada ujian untuk menjadi seorang Meister, seorang ahli dalam bidangnya. Di tanah air kita pun dikenal adat-istiadat yang mengharuskan seorang pemuda untuk mengembara. Jika ia pulang ke kampungnya di kemudian hari, ia dapat diterima sebagai anggota masyarakat yang dihormati.
Ketika orang melakukan perjalanan, orang sering menemukan pengalaman-pengalaman yang unik, mengasyikkan, menegangkan, dan menyedihkan. Di samping itu, di dalam perjalanan, orang juga bertemu dengan berbagai suku bangsa asing maupun bangsa-bangsa asing. Bagi mereka yang mempunyai kepiawaian menulis, semua itu dapat menjadi suatu bahan tulisan yang menarik.
Oleh karena itu, di dalam khazanah kesusastraan, kisah-kisah perjalanan merupakan salah satu genre yang tertua. Di Eropa, dimulai oleh Homer (Homerus) yang menulis Iliad (Illias) dan Ulysses (Odyssee). Tulisan mengenai suatu perjalanan itu sangat menarik dan menjadi sumber inspirasi bagi banyak tulisan lainnya .
Pada abad ketiga belas, Marco Polo melakukan sebuah perjalanan sensasional ke negeri jauh, Cina, yang pada waktu itu hampir tidak dapat dilakukan oleh masyarakat Eropa. Pengalaman Marco Polo di negeri asing yang hampir tak dikenal di Eropa itu, ditulis dalam bukunya Il Millone.
Selanjutnya, tulisan maupun laporan perjalanan tidak luput dari pengaruh fantasi pengarang. Akibatnya, timbul berbagai jenis cerita fiksi mengenai negeri asing beserta penduduknya dan, tentu saja, kebudayaannya. Kemudian, di dunia sastra muncul bentuk-bentuk roman perjalanan, atau yang lebih dikenal sebagai sastra perjalanan (Reiseliteratur).
Di dalam sastra perjalanan ini, tercermin pengalaman pertemuan antara bangsa Eropa dengan bangsa di filar Eropa. Misalnya, pada Odysseeditemukan berbagai gambaran atau citra mengenai bangsa dan suku bangsa yang hidup jauh dari Yunani. Suku bangsa Laistrygon, misalnya, digambarkan sebagai suku bangsa yang sangat agresif. Kebudayaan suku bangsa ini sangat berbeda dari kebudayaan Yunani yang dianggap sebagai kebudayaan yang beradab pada waktu itu. Oleh karena itu, suku bangsa Laistrygon dianggap berbahaya bagi bangsa Yunani.
Lain pula penggambaran citra suku bangsa Lotophagon yang sangat lemah lembut, tetapi dapat mengecoh orang. Atau, suku bangsa Kyklope yang sangat tidak ramah. Ada pula penggambaran suku bangsa Phaiake yang kebudayaannya mirip dengan kebudayaan Yunani sehingga citranya digambarkan dengan baik.
Pada masa itu, Homer telah mengatakan bahwa jarak peradaban asing terhadap peradaban Yunani yang tinggi dapat digunakan untuk menggambarkan citra bangsa primitif sebagai edle Wilde. Artinya, bangsa primitif yang mulia berdasarkan sifat-sifat alami yang dimilikinya. Di dalam Ilias, Homer menyebut orang-orang yang hidup di selatan Ethiopia sebagai bangsa peminum susu yang masih "murni". Orang-orang yang hidup di bagian utara disebutnya sebagai bangsa yang "adil". Bangsa peminum susu ini, seperti yang dijelaskan dalam beberapa buku tentang eksotisme, disamakan dengan bangsa Scyth. Persamaan in merupakan suatu kekeliruan. Namun, persamaan ini telah menjadi motif."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
D184
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>