Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145477 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R. Cecep Eka Permana, 1965-
"Cave pictures are one form of human culture found in old sites of dwelling caves of the pre-historical time. Cave pictures can be said to be universal in nature because they are found almost every where in the world, including Indonesia. One form or object of picture frequently found is hand stencils. In Indonesia, beside Kalimantan, the Moluccas, and Irian, it is also found in South Sulawesi, especially in the District of Pangkajene Islands (Pangkep). Twelve caves in Pangkep are studied where 326 hand stencils are found. The hand part, orientation, hand side, number of fingers, size, color, and context are analyzed. The analysis reveals a pattern of hand palms of adults with upward orientation. The analysis also reveals a pattern of hand palms that are brown in color, randomly arranged, within the context of pictures of other hands."
Depok: Faculty of Humanities University of Indonesia, 2005
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
R. Cecep Eka Permana, 1965-
Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2014
959.847 CEC g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
R. Cecep Eka Permana, 1965-
"Penelitian ini mengenai gambar tangan yang banyak terdapat pada gua-gua prasejarah di daerah Pangkep dan Maros Sulawesi Selatan. Gambar tangan yang banyak tersebut menunjukkan persamaan dan perbedaan baik bentuk maupun keletakannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola gambar tangan pada gua-gua prasejarah di daerah Pangkep dan Maros, Serta perbedaan antara gambar tangan di daerah Pangkep dan Maros yang menunjukkan dua subkebudayaan. Penelitian ini didasarkan atas pandangan normatif dari kebudayaan (normative view of culture), bahwa perilaku manusia itu berpola. Pola-pola itu ditentukan oleh kebudayaan dan bersifat normatif, yakni menunjukkan ketaatan pada suatu perangkat aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku yang diturunkan dari generasi ke generasi. Adapun gambar tangan yang dianalisis berjumlah S49 gambar dari 745 gambar yang teridentitikasi pada 36 situs gua dari 101 gua yang disurvei.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diketahui bahwa terdapat pola gambar tangan pada gua-gua prasejarah tersebut. Terdapatnya pola tersebut menunjukkan adanya norma-norma yang sama yang rnengarahkan dan menjadi landasan perilaku masyarakat di daerah Pangkep dan Maros pada masa Ialu dalam membuat gambar tangan dan penempatannya dalam gua-gua mereka. Pola gambar tangan di wilayah Pangkep-Maros itu ditunjukkan dengan bentuk negative hand stencil berupa telapak kiri atau kanan yang berorientasi ke atas, memiliki limajari, berukuran besar, dan berwarna cokelat. Seiain itu, diketahui pula terdapat dua pola penggambaran bentuk gambar tangan yang berbeda; di daerah Pangkep berdasarkan bagian guanya terbanyak terdapat pada bagian belakang gua, sedangkan di daerah Maros terbanyak terdapat pada bagian depan gua. Sementara itu, berdasarkan biclang guanya terbanyak di daerah Pangkep diternukan di langit-langit gua, sedangkan di daerah Maros terbanyak ditemukan di dinding gua. Pola yang berbeda tersebut diperkirakan merupakan dua subkebudayaan (subculture) dalarn satu wilayah kebudayaan yang sama (Sulawesi Selatan)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
D853
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Leihitu, Irsyad
"This article discusses the typology of a hand stencil pattern cave painting located in Leang Uhallie, Bone district, South Sulawesi. Irving Rouse's taxonomy classification methods were used to find typology of the hand stencil pattern. This study show that ther are three form of hand stencil with 21 variants. This typologycal study of the hand stencil also shows the dominant and the unique pattern form of Leang Uhallie."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
907 PJKB 6: 2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Muhammad Said
"Latar Belakang. Peninggalan arkeologi sebagai salah satu bagian dari sumberdaya budaya, khususnya di Indonesia pada saat ini secara kuantitas semakin bertambah jumlahnya, hal tersebut disebabkan oleh semakin banyaknya penemuan situs baru, baik yang ditemukan oleh para peneliti maupun yang merupakan laporan hasil penemuan dari masyarakat yang menemukan tinggalan arkeologis yang terdapat di sekitar tempat tinggalnya. Peningkatan jumlah tersebut merupakan suatu gejala positif yang menandakan bahwa masyarakat umum telah mulai mengenal tentang peninggalan arkeologi, namun masih disayangkan bahwa pengenalan tersebut masih belum mencapai taraf yang tergolong "peduli".
Sumberdaya budaya yang merupakan warisan leluhur bangsa adalah aset nasional yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat secara umum, baik untuk kepentingan ideologis, akademis maupun untuk kepentingan yang bersifat ekonomis (Cleere, 1989:5-1O). Sehubungan dengan hal tersebut maka sumberdaya budaya, khususnya sumberdaya budaya materi yang merupakan obyek kajian disiplin ilmu arkeologi, yang selanjutnya disebut sebagai sumberdaya arkeologi perlu mendapat penanganan (dikelola) secara tepat, sesuai dengan jenis dan kondisi keberadaannya. Hal tersebut dimaksudkan agar aset tersebut dapat tetap teriindungi dan terjaga kelestariannya. Dengan dilestarikannya sumberdaya arkeologi yang masih bertahan hingga saat ini, berarti akan membuka peluang yang lebar untuk tetap memiliki aset budaya bangsa yang mengandung nilai penting bagi sejarah, kebudayaan, dan Ilmu pengetahuan sebagai produk kebanggaan Bangsa Indonesia pada masa lalu.
Berkenaan dengan pengelolaan sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, diperlukan bentuk dan jenis pengelolaan yang merujuk langsung pada kepentingan perlindungan dan pelestarian terhadap sumberdaya arkeologi. Hal tersebut sangat dibutuhkan untuk tetap mempertahankan keberadaan situs yang merupakan sumber Jaya utama bagi kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, serta kepentingan penelitian bagi disiplin ilmu arkeologi pada khususnya. Selain itu, dengan tetap lestarinya peninggalan budaya tersebut?"
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T14591
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andika Devara Loeis
"ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji sisa pondasi dari kompleks Dharmasala yang terdapat pada dataran tinggi Dieng. Sejauh ini, tinjauan dalam penelitian ini dilihat dari bentuk rekonstruksi. Bentuk dari bangunan di Kompleks Dharmasala belum semua dapat direkonstruksi karena sisa bangunan yang hanya pondasi. Bagian atas bangunan dapat direkonstruksi dengan melakukan perbandingan relief candi sezaman dan etnografi rumah tradisional di Bali. Penelitian ini juga membahas hubungan kegiatan yang terdapat pada kompleks Dharmasala berdasarkan temuan permukaan yang tersisa. Selain itu juga penelitian ini mengkaji hubungan kompleks Dharmasala dengan candi lain berdasarkan jarak dari candi dan kompleks Dharmasala.

< b>ABSTRACT<>br>
This research describes the remaining Structure that lies in Dharmasala Complex Dieng Plateau. So far, the research mainly discuss about reconstructing the complete form of the structure in Dharmasala complex. All of the structure in Dharmasala Complex has not been reconstructed yet based on the fact that the reimanings of the structure is only the strucuture base. To reconstruct the structure, this research compares the piction of relief from Temples in the same era and also ethnography of traditional houses from Bali. This research also talks about the activity inside the complex judging by the remainings inside. Finally, this reseach examine the connection between Dharmasala Complex and other Temples in Dieng Plateau base on the distance."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Lucas Partanda Koestoro
Medan: Bina Media Perintis, 2015
930.1 LUC k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Akbar
"Sudah sejak lama diketahui bahwa Jakarta dan sekitarnya banyak terdapat temuan prasejarah seperti tembikar, terakota, beliung persegi, batu serpihan, batu asahan, gelang batu, manik-manik, alat logam, cetakan logam, dan lain-lain. Temuan-temuan tersebut berasal dari penduduk yang umumnya diperoleh di sawah atau ladang mereka. Berdasarkan informasi penduduk itulah maka lokasi temuan dapat diketahui. DMS DKI Jakarta dan PUSLITARKENAS kemudian melakukan penelitian berupa survei dan ekskavasi. Namun, tidak semua lokasi temuan telah diteliti baik berupa survei maupun ekskavasi. Bahkan sebagian besar temuan hasil penelitian arkeologi tersebut, kini tidak dapat dilacak lagi keberadaannya.
Atas dasar itulah, penelitian ini berusaha memilah lokasi-lokasi temuan prasejarah di wilayah ini. Lokasi-lokasi temuan dibagi ke dalam dua kategori yaitu situs permukiman dan bukan situs permukiman. Hasil pemilahan menunjukkan hanya 7 dari 39 lokasi temuan yang dapat dikategorikan sebagai situs permukiman. Kemudian, dari 7 situs permukiman tersebut hanya 4 situs yang temuannya dapat dilacak kembali keberadaannya, yaitu situs Kelapa Dua, Pejaten, Kampung Kramat, dan Buni.
Hasil analisis menunjukkan bentuk-bentuk tembikar yang ada adalah periuk, tempayan, cawan, cawan berkaki, piring, pasu, dan kendi. Teknik pembentukannya adalah teknik tangan, sambung, tatap pelandas, dan roda pemutar. Tahap penyelesaian akhir menggunakan pengupaman, pemberian slip warna merah, dan memberikan hiasan. Hiasan dihasilkan dengan teknik gores, tatap pukul, tekan, gabungan antara teknik tekan dan gores. Hiasan yang dihasilkan adalah garis sejajar, garis tak beraturan, garis silang, tumpal, jala, anyaman, duri ikan, lingkaran memusat, kerang, gabungan garis lengkung dan titik-titik. Mengenai persebarannya terlihat bahwa Kelapa Dua memiliki variasi yang paling sedikit, baik dalam hal bentuk, teknik pembuatan, teknik penyelesaian, teknik bias, dan hiasan. Pejaten dan Kampung Kramat memiliki variasi yang terbanyak. Tembikar dari Kelapa Dua berasal dari masa Bercocok Tanam atau lebih tua dari situs lainnya.
Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan yang mutlak antara tingkat porositas dan daya serap air baik terhadap tembikar tipis maupun yang tebaI. Hal tersebut tergantung dari penyelesaian akhir yang dilakukan. Kemudian, komposisi kimia tembikar dari keempat situs adalah sama, yaitu silikat, aluminium, kalsium, magnesium, dan besi dengan kadar yang relatif tidak berbeda. Bahan campurannya pun, yaitu lempung dan pasir berukuran relatif sama. Masyarakat tampaknya telah mempunyai standar tertentu dalam memilih bahan baku dan campurannya.
Sebagian besar situs yaitu Kelapa Dua, Pejaten, Kampung Kramat, Condet, Tanjung Barat, dan Serpong terletak pads satuan Kipas Gunung Api Bogor. Jenis-jenis mineral tanah di satuan ini dan jenis-jenis mineral tembikar dan situs-situs memperlihatkan cukup banyak persamaan. Sungai-sungai yang mengalir dikeenam situs menghasilkan endapan pasir atau lempung. Proses pengendapan ini membuat situs-situs itu mengandung sumber daya bahan untuk membuat tembikar. Tampaknya tembikar dari situs-situs tersebut menggunakan bahan baku yang diambil dari wilayahnya sendiri dan tembikar yang dihasilkan merupakan produksi lokal.
Bentuk atau tipe beliung persegi di wilayah ini ada 3 tipe. Bahan beliung persegi terdiri dari batuan Cheri, Metalimestane, Dacite, Horn fels, Jasper, Siltstone, dan Silisifiedwaod. Berdasarkan peta geologi, Kelapa Dua mengandung sumber bahan haku Cheri, Silisifedwaad, dan Siltstone, Sedangkan Pejaten, Kampung Kramat, dan Buni tidak mengandung batuan untuk pembuatan beliung persegi. Beliung persegi yang terbuat dari Chart, Silistfiedwood, dan Siltstone kemungkinan berasal dari Kelapa Dua. Sedangkan, yang terbuat dari batuan lainnya kemungkinan berasal dari luar wilayah ini. Beliung persegi yang terdapat di Kelapa Dua, Pejaten, dan Kampung Kramat sebagian besar menunjukkan bekas-bekas pemakaian untuk keperluan praktis yakni pengerjaan kayu seperti membuat ukiran kayo. Beliung persegi dari Buni semuanya. masih utuh dan mungkin digunakan untuk alat upacara serta digunakan sebagai hekal kubur.
Artefak logam berasal dari Pejaten, Kampung Kramat, dan Buni. Sedangkan, Kelapa Dua tidak mengandung artefak logam. Hasil analisis menunjukkan terdapat artefak besi dan perunggu di Pejaten serta terak logam di Kampung Kramat dan Buni. Di Pejaten dan Kampung Kramat terdapat temuan yang mengindikaslkan aktivitas pembuatan alat logam. Namun, berdasarkan keadaan geologi, wilayah ini tidak mengandung bahan baku untuk pembuatan alat logam.
Mengenai hubungan antara situs dan keadaan lingkungan alamnya terlihat bahwa iklim di wilayah ini relatif nyaman. Situs-situs umumnya terletak pada satuan morfologi yang banyak mengandung rempah-rempah gunung api dan membuat tanah menjadi subur. Sehingga, berbagai Penis flora dan fauna yang dibutuhkan manusia, dapat hidup dan berkembang dengan baik di wilayah ini.
Berdasarkan temuan dan keadaan lingkungan alamnya, situs-situs di wilayah ini terdiri atas 3 tipe. Tipe 1 yaitu Kelapa Dua dari masa Bercocok Tanam dan terdapat di bagian pedalaman Aktivitas di sites ini adalah perbengkelan beliung persegi tahap awal sampai akhir. Beliung persegi tersebut kemudian didisiribusikan ke situs lain yang berada di utara Kelapa Dua. Pejaten, Kampung Kramat, Condet, Tanjung Barat, dan Serpong tergolong Tipe 2 dari masa Barcacok Tanam dan terus berlanjut sampai Perundagian. Situs-situs itu terdapat di bagian tengah wilayah penelitian ini. Aktivitas yang terjadi di sini adalah perbengkelan beliung persegi tahap pembentukan dan penyelesaian akhir serta perbengkelan logam. Situs Tipe 3 yaitu Buni dari masa Perundagian dan terdapat di dekat pantai. Aktivitas yang terjadi di sini adalah sebagai tempat pertemuan atau interaksi antara masyarakat yang tinggal di sites ini dengan masyarakat lain dari luar situs.
Situs-situs permukiman prasejarah di wilayah ini menunjukkan suatu model bahwa pada awalnya permukiman ditempatkan pads suatu daerah yang mengandung bahan bake untuk membuat artefak. Kriteria itu hares dipenuhi, meskipun daerah yang mengandung bahan baku tersebut terietak di pedalaman_ Pada masa berilcutnya penempatan situs lebih mempertimbangkan faktor kemudahan berinteraksi dengan daerah luar. Sehingga, masyarakat pada masa itu lebih memilih daerah pantai, walaupun daerah ini miskin sumber bahan bake pembuatan artefak. Namun, suatu hal yang tidak berubah adalah perilaku masyarakat untuk tetap memilih daerah yang dekat aliran sungai."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T546
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zarmahenia Muhatta
"Penelitian ini adalah tentang toponimi tujuh kota bandar di Jalur Rempah Pantai Utara Pulau Jawa yang terkenal pada abad ke-15 sampai ke-19. Metode penelitian kualitatif, digunakan untuk pengumpulan data berdasarkan studi literatur atas sumber tertulis filologi, arkeologi-sejarah, sejarah, dan geografi. Penelitian ini dilakukan sebagai studi multidisiplin melalui analisis semantik, semiotik dan toponimi untuk mengeksplorasi toponimi tujuh bandar Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Jepara, Tuban, Gresik, dan Surabaya itu dari sudut pandang trans-linguistik dan arkeologi. Sumber data penelitian. Nama bandar-bandar di wilayah pesisir pantai Utara Pulau Jawa yang dikumpulkan dari sumber tertulis kuno berupa peta geografi, prasasti kuno, naskah kuno, dan hasil wawancara, dalam kaitannya dengan fitur arkeologi yang merupakan lanskap sosial budaya maritim di Jalur Rempah Pantai Utara Pulau Jawa. Toponim merupakan data rekaman yang dapat memperlihatkan sejarah, kontak budaya, dan perkembangan bahasa.
Hasil penelitian ini memperlihatkan kaitan hasil kajian toponimi dengan representasi budaya yang diperlihatkan melalui kajian mengenai peran nama tempat dalam kebudayaan sezaman dan pemaknaannya dalam sejarah yang melatarbelakangi bandar pelabuhan kuno pesisir pantai utara Jawa. Melalui sudut pandang linguistik dan arkeologi-sejarah, makna ketujuh toponim sepanjang pantai utara pulau Jawa dilihat sebagai kesinambungan dari siklus kebudayaan. Toponimi dari aspek linguistik memberikan petunjuk terhadap ciri sejarah dan kebudayaan dari suatu wilayah. Kemudian, ilmu sejarah berkontribusi dalam memberikan justifikasi dari temuan arkeologis dan temuan linguistik yang ada. Ilmu arkeologi juga menjadi data pendukung yang kuat untuk memberikan bukti fisik adanya kebudayaan yang pernah hidup dan kontak yang terjadi di bandar-bandar sepanjang pantai utara pulau Jawa. Fitur-fitur arkeologis yang ada menunjukkan konteks budaya berbagai bangsa yang melingkupi setiap bandar, dalam kaitannya dengan sebutan Nusantara sebagai poros maritim dunia pada masa dahulu. Istilah maritim merujuk kepada segala kegiatan manusia yang berhubungan dengan laut dalam menyangga kehidupan mereka. Dengan mempelajari budaya masyarakat pada masa lalu yang menyatukan Nusantara di masa kejayaan Jalur Rempah sebagai jalur perdagangan internasional, diharapkan kelak dapat memperkuat identitas bangsa Indonesia kembali sebagai poros maritim dunia.

This research is about the toponymy of the seven ancient port cities on the Spice Route of the North Coast of Java which were famous in the 15th to 19th century. Qualitative research methods were used to collect data based on literature studies on written sources of philology, archeology-history, history, and geography. This research is conducted as a linguistic trans-disciplinary study through semantic, semiotic and toponym analysis to explore the topography of the seven ancient port cities of Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Jepara, Tuban, Gresik, and Surabaya in a linguistic and archaeological approach. Names of ancient ports in the north coast region of Java Island are collected from ancient written sources in the form of geographic maps, ancient inscriptions, ancient manuscripts, and interview results, in relation to archeological features which constitute the social landscape of maritime culture on the Spice Route Ancient Ports in North Coast of Java. Toponyms are the recorded data that show history, cultural contact, and language development.
The results of this study show the link between the results of toponymy studies and cultural representations, as it is shown through the study of the role of place names in contemporary culture and its meaning in history. Through a linguistic and archaeological-historical perspective, the seven toponyms meaning along the North Coast of Java Island is seen as a continuation of the cultural cycle. Toponymy from the linguistic aspect provides clues to the historical and cultural characteristics of a region. Then, history contributes to justifying existed archeological and linguistic findings. Archeology is also a strong supporting data to provide physical evidence of the cultural existence that has lived and the cultural contact which occurred in the ports along the North Coast of Java Island. The existing archeological features show the various cultural contexts of the nations that surround each city, in relation to the term Nusantara as the world's maritime axis in the past. The term maritime refers to all human activities related to the sea in supporting their lives. By studying the culture of society in the past that united the archipelago in the glory of the Spice Route as an international trade route, it is hoped that in the future it can strengthen the identity of the Indonesian nation again as the world's maritime axis.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
D2603
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>