Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25183 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hargyono Sindhunata
"In early 2012, a civil-initiated movement called #IndonesiaTanpaFPI urged the government todisband an Islamic fundamentalist group called FPI (Front Pembela Islam) because of the violence to an Islamic minority group that FPI had commited earlier. #IndonesiaTanpaFPI heavily relied upon Twitter in organizing their movement, so when a counter-movement from the pro-FPI emerged, it was on Twitter as well; the counter-movement called themselves #IndonesiaTanpaJIL. This counter-movement believes that #IndonesiaTanpaFPI was actually initiated and organized by Jaringan Islam Liberal (JIL). Since then, #IndonesiaTanpaJIL and JIL have been fighting discursively on Twitter. This article concentrates on the formation of two religious publics constituted solely by their discourses articulated, particularly the topic related to suppressed of Islamic minority groups; namely: Ahmadiyah, Syiah, and Rohingya. Through tweets interpretation by seeking incision between intention of the text and model reader (that is constructed both by online and offline interaction), the writer has identified various discourse nexuses between ITJ and JIL. Both of the religious publics articulate interesting or controversial discourses on Twitter just to grasp the audience?s attention, because in the context of ideological war the number of supporters is the only important thing to bring their discourses to hegemonic domain. Furthermore, this article shows how the logic of modernity with its obsession to ideal order is a factor that can explain the culture of exclusivity inside a social arena that was designed for inclusivity."
2013
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Bennet
"Tulisan ini membahas hubungan yang kompleks antara Islam dan hak-hak reproduksi dan seksual perempuan Indonesia. Khususnya, tulisan ini mengangkat isu-isu penting bagi perempuan Indonesia, seperti hak-hak mereka di dalam perkawinan, akses terhadap keluarga berencana dan pelayanan kesehatan yang memadai, kebutuhan yang mendesak untuk mengurangi tingkat kematian ibu, serta pendidikan reproduksi dan seks bagi perempuan muda. Penulis menyoroti interpretasi progresif terhadap teks-teks Islam yang digunakan didalam konteks advokasi kesehatan oleh LSM-LSM Islam dan kelompok-kelompok pengajian untuk mengangkat kesadaran akan hak-hak perempuan mengenai kesehatan dan kebebasan reproduksi. Penulis juga membahas penentangan terhadap hak-hak perempuan yang terjadi dalam wacana-wacana sinkretik Islam dan saran-saran untuk mengatasi kendala tersebut. Hubungan antara hukum negara, adat regional and interpretasi lokal terhadap Islam berperan dalam membentuk kehidupan perempuan sehari-hari, serta kemampuan mereka untukmenyadari hak-hak reproduksi dan seksualnya. Oleh karena itu, pemahaman mengenaihubungan antara Islam dan hak-hak reproduksi mencakup kajian tentang cara Al Qur'an ditafsirkan pada tingkat komuniti, keluarga dan identitas pribadi, dan bukan hanya pada tataran argumen teologis para elit. Ruang demokratis yang semakin meluas di Indonesia juga merepresentasikan potensi yang meningkat dari perempuan-perempuan Muslim untuk melibatkan diri secara kritis dan positif baik pada lembaga-lembaga negara maupun keagamaan untuk memperjuangkan pengakuan dan perlindungan hak-hak reproduksi dan seksual mereka dalam kerangka Islam."
Depok: Jurnal Antropologi Indonesia, 2005
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Alatas, Syed Farid
"This paper provides an outline for the study of the role of the social sciences in the study of the workings of civil society in the context of Indonesian and Malaysian Islam. It begins with a discussion on the concepts of civil society and masyarakat madani, term often mistranslated and misunderstood as civil society. It is through a comparison of the two that the relevance of civil society in terms of its theory and practice to Islam is established. Next, I turn to a discussion of the types of use of the social sciences by the various components of civil society. This is followed by a discussion on the need for an account of the impact of the social sciences on public discourse, policy-makers, legislators and NGOs. To the extent that the social sciences do impact in the above arenas, how we may understand the relevance of Islam in this respect is addressed. I conclude by way of an exposition of the relationship between the concepts of civil society and masyarakat madani in the context of the need for a moral public."
2001
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lany Probojo
"
'Islam Lokal' orang Tidore, atau kebudayaan, hanya dapat dipahami dalam kaitan dengan roh personal, jin. Kepercayaan ini dianggap sebagai bukan Islam, terbelakang dan bukan orang Indonesia; bahkan sebagai penyembah berhala, alfuru, oleh beberapa pegawai pemerintah sipil Tidore yang berpengaruh, dan terlibat di dalam program pembangunan pemerintah. Program pembangunan tersebut mencakup aspek-aspek seperti perubahan industri perikanan regional yang bersifat tradisional menjadi industri perikanan yang bersifat modern dan melibatkan masyarakat ke dalam gotong royong desa. Perusahaan-perusahaan baru di bidang industri perikanan dan pertanian menghasilkan sebuah sistem moneter baru yang berpengaruh besar pada struktur sosial dan kebudayan lokal. Ideologi negara, Pancasila, menjadi sangat relevan dalam konteks ini. Masyarakat mulai memperdebatkan istilah Islam Pancasila, yang hanya menyembah Allah, dan Muslim yang hanya pergi ke mesjid. Menjadi modern tidak hanya berarti menjadi kaya. Ini adalah satu contoh kasus berimbasnya globalitas terhadap lokalitas. Di sisi lain, globalitas dapat memperkuat kesadaran lokalitas. Terdapat pula serangan-serangan terbuka terhadap kebudayaan sendiri yang diorganisasikan oleh para mubaliq di sekitar Ternate, yang mendukung gerakan keagamaan dalam melenyapkan rumah-rumah dan artefak-artefak roh,yang sangat menyinggung harga diri orang Tidore. Tetapi, keadiluhungan Orang Tidore lainnya yang bersifat tradisional menggarisbawahi 'bhinneka tunggal ika', serta 'menggali dan melestarikan kebudayaan setempat'. OrangTidore mendeklarasikan secara resmi bahwa 'Islam' di Tidore tidak akan pernah dapat dipisahkan dari Jin mereka. Tulisan ini mengulas perdebatan tersebut. Menyikapi hal ini, penulis berargumentasi bahwa ideologi pembangunan nasional dan negara bangsa telah mendorong masyarakat Tidore ke dalam kancah konflik dengan kebudayaannya sendiri. Gagasan 'kesatuan dalamkeragaman' hanya dapat direalisasikan, jika perbedaan dihormati dan diterima sebagai sebuah representasi sosial yang sahih dari setiap lokalitas."
2000
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sindhunata
"Pada awal tahun 2012 sebuah gerakan masyarakat sipil bernama #IndonesiaTanpaFPI menuntut negara untuk membubarkan sebuah ormas Islam fundamentalis bernama FPI (Front Pembela Islam) karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh ormas tersebut kepada kaum Islam minoritas. #IndonesiaTanpaFPI sangat mengandalkan penggunaan situs sosial media untuk mengorganisir gerakannya, sehingga sebuah gerakan balasan yang muncul dari kalangan Islam pro-FPI pun dimulai dari Twitter; gerakan tersebut bernama #IndonesiaTanpaJIL. Gerakan balasan ini percaya bahwa #IndonesiaTanpaFPI sebenarnya adalah gerakan yang diorganisir oleh kaum Jaringan Islam Liberal (JIL), sentimen ideologi yang sebelumnya sudah terakumulasi bertahun-tahun karena pemikiran JIL yang dianggap kontroversial akhirnya terjewantah dalam #IndonesiaTanpaJIL. Sejak saat itu, #IndonesiaTanpaJIL dan JIL terus bertikai secara diskursif di dalam Twitter. Skripsi ini berkonsentrasi kepada pembentukan dua publik religius yang semata-mata dikonstitusi oleh tiap diskursusnya lewat topik diskursif yang terkait dengan kaum minoritas Islam tertindas, yaitu: Ahmadiyah, Syiah, dan Rohingya. Lewat interpretasi teks dan penelusuran lapangan skripsi ini telah mengidentifikasi berbagai titik temu diskursif antara ITJ dan JIL. Kedua publik religius menggunakan berbagai topik diskursif yang mereka anggap menarik semata-mata untuk menarik perhatian audiens, karena dalam konteks perang pemikiran banyaknya dukungan audiens adalah hal yang paling penting untuk melambungkan diskursusnya ke domain hegemoni. Skripsi ini menunjukkan bagaimana logika modernitas yang terobsesi pada tatanan ideal adalah faktor yang dapat menjelaskan budaya eksklusif pada arena sosial yang sejatinya inklusif.;Pada awal tahun 2012 sebuah gerakan masyarakat sipil bernama #IndonesiaTanpaFPI menuntut negara untuk membubarkan sebuah ormas Islam fundamentalis bernama FPI (Front Pembela Islam) karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh ormas tersebut kepada kaum Islam minoritas. #IndonesiaTanpaFPI sangat mengandalkan penggunaan situs sosial media untuk mengorganisir gerakannya, sehingga sebuah gerakan balasan yang muncul dari kalangan Islam pro-FPI pun dimulai dari Twitter; gerakan tersebut bernama #IndonesiaTanpaJIL. Gerakan balasan ini percaya bahwa #IndonesiaTanpaFPI sebenarnya adalah gerakan yang diorganisir oleh kaum Jaringan Islam Liberal (JIL), sentimen ideologi yang sebelumnya sudah terakumulasi bertahun-tahun karena pemikiran JIL yang dianggap kontroversial akhirnya terjewantah dalam #IndonesiaTanpaJIL. Sejak saat itu, #IndonesiaTanpaJIL dan JIL terus bertikai secara diskursif di dalam Twitter. Skripsi ini berkonsentrasi kepada pembentukan dua publik religius yang semata-mata dikonstitusi oleh tiap diskursusnya lewat topik diskursif yang terkait dengan kaum minoritas Islam tertindas, yaitu: Ahmadiyah, Syiah, dan Rohingya. Lewat interpretasi teks dan penelusuran lapangan skripsi ini telah mengidentifikasi berbagai titik temu diskursif antara ITJ dan JIL. Kedua publik religius menggunakan berbagai topik diskursif yang mereka anggap menarik semata-mata untuk menarik perhatian audiens, karena dalam konteks perang pemikiran banyaknya dukungan audiens adalah hal yang paling penting untuk melambungkan diskursusnya ke domain hegemoni. Skripsi ini menunjukkan bagaimana logika modernitas yang terobsesi pada tatanan ideal adalah faktor yang dapat menjelaskan budaya eksklusif pada arena sosial yang sejatinya inklusif.

In early 2012, a civil-initiated movement called #IndonesiaTanpaFPI urged the government to disband an Islamic fundamentalist group called FPI (Front Pembela Islam) because of the violence to Islamic minority group that FPI had done earlier. #IndonesiaTanpaFPI heavily relied upon Twitter in organizing their movement, so when a counter-movement from the pro-FPI emerged, it was on Twitter as well; the counter-movement called themselves #IndonesiaTanpaJIL. This counter-movement believes that #IndonesiaTanpaFPI was actually initiated and organized by Jaringan Islam Liberal (JIL), the long accumulated negative ideological sentiment towards JIL then finally manifested in #IndonesiaTanpaJIL. Since then, #IndonesiaTanpaJIL and JIL have been fighting discursively on Twitter. This undergraduate thesis concentrates on the formation of two religious publics constituted solely by their discourses articulation, particularly topic related to suppressed Islamic minority groups; those are: Ahmadiyah, Syiah, and Rohingya. Through tweets interpretation and fieldwork, this undergraduate thesis has identified various discourse nexuses between ITJ and JIL. Both of the religious publics articulate interesting or controversial discourses on Twitter just to grasp the audience’s attention, because in the context of ideological war the number of support is the only important thing to toss their discourses to hegemonic domain. Furthermore, this undergraduate thesis shows how the logic of modernity with its obsession to ideal order is a factor that can explain the culture of exclusivity inside a social arena that was designed for inclusivity.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Kiptiyah
"Tesis ini meneliti mengenai kebudayaan pesantren, manajemen dan perilaku santri yang berkenaan dengan kesehatan dalam konteks penciptaan dan pemeliharaan kondisi lingkungan yang bersih dan sehat di pesantren. Status kesehatan seseorang dipengaruhi oleh faktor keturunan, kualitas dan kuantitas sarana pelayanan kesehatan, perilaku hidup sehat seseorang atau masyarakat dan keadaan lingkungan hidupnya. Hal ini sebagaimana dikatakan Foster (1986) bahwa di samping faktor biologis, faktor-faktor sosial-psikologi dan faktor budaya sering memainkan peran dalam.mencetuskan penyakit Namun begitu lingkungan bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi kesehatan, tetapi memiliki arti penting karena sampai batas tertentu dapat dikendalikan terutama yang diakibatkan perilaku atau perbuatan manusia. Adapun kebijakan sosial dan ekonomi untuk mendapatkan makanan yang cukup, air yang sehat, atau yang membuat orang lalai bahwa peralatan-peralatan sanitasi yang tak sempurna, tradisi kebudayaan, lembaga ekonomi, sanitasi dan kebijakan lain yang mempengaruhi munculnya penyakit semuanya turut mempengaruhi kesehatan.
Pesantren sebagai salah satu elemen pendidikan juga menempatkan masalah tersebut dalam kurikulumnya, menyangkut di dalamnya kitab-kitab yang menjadi rujukan dan dipelajari serta dipergunakan di pesantren. Pesantren yang notabene merupakan lembaga pendidikan Islam tentu saja dalam praktek kesehariannya berdasarkan ajaran Islam pula. Secara universal Islampun juga mengangkat isu mengenai masalah kesehatan maupun kebersihan dan bahkan anjuran memakan makanan- minuman yang thoyyib yaitu makanan atau minuman yang bagus kualitas gizinya maupun halal cara memperolehnya. Dalam hal ini pula ada makanan yang secara tegas dilarang untuk dikonsumsi. Dalam Hadits (sumber hukum kedua setelah Alquran) dengan jelas juga dikatakan bahwa kebersihan merupakan sebagian dari iman, mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah dan juga menganjurkan untuk menjaga kebersihan dengan segala usaha yang dapat dilakukan.
Pesantren memang merupakan suatu komunitas tersendiri dimana semua rambu-rambu yang mengatur kegiatan dan batas-batas perbuatan, misalnya halal-haram, wajib-sunah, baik-buruk dan sebagainya dipulangkan kepada hukum agama, dan semua kegiatan dipandang dan dilaksanakan sebagai bagian dan ibadah keagamaan dengan kata lain semua kegiatan kehidupan selalu dipandang dalam struktur relevansinya dengan hukum agama. Salah satunya dalam hal kebersihan atau kesehatan. Banyak hal-hal yang dianggap bersih dan suci oleh pesantren, karena dibolehkan oleh hukum agama tetapi tidak bersih atau tidak sehat menurut konsepsi ilmu kesehatan. Sehingga cara pandang ini tentu sangat membedakan antara komunitas pesantren dengan masyarakat "diluar" pesantren.
Masyarakat pada umumnya memberikan batasan tentang kesehatan adalah batasan yang diangkat dari batasan kesehatan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Kesehatan No.23 Tahun 1992, yaitu keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Sehingga secara normatif dan sistematik meskipun pesantren telah memiliki kurikulum dan pengajaran sebagaimana tersebut diatas, namun pada kenyataannya masalah-masalah kesehatan terutama hubungan mata rantai yang telah menyebabkan munculnya penyakit dapat terjadi. Hal ini disebabkan adanya pemahaman yang berbeda antara pesantren dengan masyarakat "diluar" pesantren terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah kesehatan. Masyarakat pesantren selalu mengembalikan pemahaman mereka kepada kaidah hukum Fiqh, sehingga mereka memiliki persepsi sendiri mengenai kebersihan lingkungannya terutama untuk sebagai sarana ibadah semata-mata kepada Allah SWT sehingga yang terpenting menurut pesantren adalah kesucian sarana tersebut, yaitu terbebas dari najis sehingga tidak menghalangi sahnya suatu ibadah. Hukum fiqh begitu menempati kedudukan yang dominan pada tata nilai dalam kehidupan di lingkungan pesantren. Sedangkan pengajaran mengenai fiqh ini sebagaian besar diperoleh pada kitab-kitab kuning. Kitab kuning merupakan kitab-kitab pengajaran Islam klasik, yang berbahasa Arab dan ditulis oleh para ulama abad pertengahan (7-13 Hijriah).Hal ini tentu turut menjadi pemicu terjadinya perbedaan pemahaman tentang kondisi pemeliharaan kebersihan dan kesehatan di pesantren dengan pemahaman masyarakat "diluar" pesantren. Demikian pula dengan kebudayaan pesantren dalam konteks ini yang merupakan keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh komunitas pesantren dimana di dalamnya berisi perangkat-perangkat, model-model pengetahuan yang terwujud dalam perilaku, tindakan, nilai-nilai yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan mengenai kesehatan lingkungan dan masalah-masalah kesehatan yang ditimbulkannya serta pengelolaan kebijakan-kebijakan pesantren yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan kondisi kebersihan dan kesehatan lingkungan.
Disamping itu, terjadi kontradiksi (penafsiran/ pemahaman yang bertolak belakang) perilaku sehari-hari di pesantren dengan cara pandang masyarakat "diluar' pesantren mengenai kesehatan lingkungan hidup sehari-hari juga didukung oleh kurang memadainya fasilitas-fasilitas bangunan maupun tempat tinggal santri sehingga kurang mendukung terbentuknya kondisi lingkungan yang kondusif dan sehat serta nyaman untuk belajar. Kondisi ruangan, kamar mandi dan sarana sanitasi lainnya termasuk pengelolaan sampah dan sebagainya. Kondisi ini sangat mempengaruhi perilaku keseharian mereka terutama dalam upaya pemeliharaan sanitasi dan kesehatan lingkungan yang optimal."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T13779
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johanna Debora Imelda
"Despite the growing number of new cases of HIV and AIDS in Indonesia, the progress ofprevention programs has been slow. Low prevalence is always stated as a reason for delayingHIV prevention programs and to justify slow progress in implementation. Prevention programsare moreover based on a high-risk group paradigm. They focus on female sex workers asresponsible for the spread of HIV, leading to its stigmatization as a hooker?s disease. This articledescribes how seropositive mothers interpret and respond to HIV and AIDS as women, in lightof the fact that most of them have not experienced full-blown AIDS. Some women had alreadyexperienced severe illnesses caused by HIV but defined their ill health by the symptoms theyexperienced, revealing that they did not really feel as if they were living with HIV and AIDS.Despite the fact that some members had died due to AIDS, many still could not believe thatthey were suffering from HIV and AIDS or that their illnesses were caused by it; rather, theirsymptoms were of other diseases such as diarrhoea, tuberculosis, or hepatitis. And thoughthey realized that their past (or present) behaviours put them at risk, they maintained thatthey were victims who had contracted the disease from their promiscuous or drug-injectinghusbands. Even when they did admit that their own behaviour had something to do with it,they did not consider HIV and AIDS as a disease but a curse from God, a punishment fortheir immoral behaviour.
Keywords: Women, Infectious Disease, Interpretation, HIV and AIDS, Support Group,Indonesia"
Depok: Jurnal Antropologi Indonesia, 2014
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"A medical system whether traditional or modern, is a long chain of processes of humanstrategy for adapting to their ecological bio-cultural environment. Naturally humans developtheir biological ability to sustain their kind and develop many adaptation strategies, creatingmedical systems, behavior, and belief sbased on culture as a natural response to the treat ofillness and disease, even though the result of certain behavior does not guarantee the healingof such illness and disease (Dunn in Foster-Anderson, 1986; p.41). under that circumstances,Minangkabau medical systems are seen as a result of a bio-eco-culturally adapting process.Local Etiology of the disease source is closely related to the logic of its healing. Cosmologicalviews influence public knowledge about the concepts of health, illness, disease, and healingmethods. The definition of health and illness is determined by culture, custom, or traditionand it is not always in agreement with the conditions defined by medical science."
[Place of publication not identified]: [Publisher not identified], 2014
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Resa Dandirwalu
[Place of publication not identified]: [Publisher not identified], 2014
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sulaiman Mamar
"This article analyzes the positive thinking culture of each ethnic group in Poso, CentralSulawesi. This article also examines the factors that cause degradation of ethnic culture ofpositive thinking so as to serve as guidelines for public behavior. The study was conductedby observation, in-depth interviews, and analysis of qualitative data. The research foundthe degradation of cultural values with several contributing factors. Finally, the model canbe described cultural transformation of positive thinking is right to apply to the youngergeneration. The transformational models of positive thinking culture are: parents need tocomprehend positive thinking culture and teach it to their children; the need to teach morals,positive thinking culture and the regional language in schools; an emphasis of parents andleaders as role-leader for the younger generation; the empowerment of traditional leadersin socializing positive thinking culture; the need for emerge individual to direct their thoughtand actions to positive matter."
2014
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>