Ditemukan 60697 dokumen yang sesuai dengan query
Merlyna Lim
"Internet, sebagai teknologi yang melalui proses pengalihan dari tempat lahirnya ke Indonesia, mengalami proses transformasi dan lokalisasi yang terjadi dalam arena perebutan kekuasaan politik antara negara, korporasi, dan masyarakat sipil. Di dalam arena perebutan kekuasaan ini, titik utama pergulatan ini adalah pembentukan dan penegasan identitas. Berdasarkan pengalaman historis di Indonesia, tulisan ini mengungkapkan bagaimana internet bersisian dengan pergulatan identitas dan pembentukan komunitas politik yang mandiri di luar negara dan korporasi. Studi kasus di Indonesia memperlihatkan bahwa internet dapat digunakan untuk mempersenjatai masyarakat sipil dalam menghadapi kekuatan politik dan ekonomi yang hegemonis. Internet memiliki potensi untuk menciptakan 'ruang publik' yang baru-yang berdiri terpisah dari campur-tangan negara (dan korporasi)-sehingga keberadaannya dapat menciptakan perubahan politik yang bisa menggiring Indonesia untuk menjadi masyarakat yang lebih demokratis. Namun demikian, pergulatan identitas dan politik kekuasaan yang diwadahi internet ternyata tak selamanya memiliki kontribusi terhadap pembentukan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat Indonesia. Mengetengahkan beberapa kasus yang diangkat dari penelitian empiris, tulisan ini memperlihatkan bahwa internet tidak netral terhadap kekuasaan. Dengan menempatkannya dalam segitiga negara,korporasi/bisnis dan masyarakat sipil, kajian ini lebih dari sekedar kajian sosio-teknikal yang menjelaskan bagaimana teknologi dan masyarakat saling membentuk. Kajian ini juga memperlihatkan bahwa internet sebagai teknologi juga bersifat politis. Dengan memasukkan pertanyaan mengenai demokrasi ke dalam wacana ini, kita dapat melihat internet dalam konteks politis dan juga menguji peran, pengaruh, potensi, serta artinya dalam fenomena politik, terlebih dalam pembaharuan politik sebuah negara, khususnya Indonesia."
2004
PDF
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Bräuchler, Birgit
"Tulisan ini membahas cyberspace dan konflik di Maluku untuk memperlihatkan sumbangan bagi cyber anthropology dan analisis mekanisme yang rumit pada situasi di Maluku. Konflik Maluku tidak cuma berlangsung pada tingkat lokal dan nasional, tetapi juga di cyberspace.Tampilan-tampilan di cyberspace sejajar dengan garis-garis agama sehingga memperkuat kesan perang agama antara umat Kristiani dan masyarakat Muslim. Internet menyediakan sarana bagi kelompok-kelompok yang bertikai untuk mengedepankan pandangan mereka mengenai konflik. Hal yang terpenting untuk kajian ini adalah paparan-paparan Internet dari kelompok-kelompok dan orang-orang yang langsung terlibat di dalam konflik, karena mereka mengakui memberikan informasi tangan pertama. Informasi itu membentuk persepsi konflik di luar Maluku dan di dunia internasional. Studi ini memfokuskan pada strategi-strategi dan argumentasi yang dipakai oleh kelompok-kelompok bertikai di Internet untuk menggambarkan pandangan mereka terhadap realitas, mengkonstruksikan komuniti-komuniti (communities) dan identitas-identitas mereka yang representatif. Lebih jauh, peran presentasi dalam konflik dan juga peran agama di dalam presentasi-presentasi itu juga diteliti. Webpage, milis dan newsletter terpilih yang mewakili pihak Kristen dan Muslim dianalisis untuk menunjukkan proses konstruksi itu. Setiap kelompok menggunakan bermacam-macam strategi-strategi dan modus-modus komunikasi Internet dan argumentasi teks dan visual untuk mengejar proyek identitas masing-masing. Materi-materi diambil baik dari cyberspace maupun dari konteks lokal Maluku, sehingga mengaburkan batas-batas antara realitas dan virtualitas."
2004
PDF
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Gabriele Weichart
"The geographic area I will focus on is the Minahasa region in North Sulawesi. There, in the eighteenth century the eight 'tribes' inhabiting the area were united into a single 'ethnic group' known as 'Minahasa' until today. Not only the Dutch colonial government but also the Protestant church put great efforts into this unifying and homogenizing process that was supposed to create a common identity for all Minahasan people. The effectiveness of those efforts can hardly be denied. Nevertheless, internal differences have continued to exist and they are based not only on 'traditional' concepts that divided the 'original' Minahasan tribes but also on the local population's experiences with immigrants from other parts of Indonesia and overseas (e.g. the Philippines and China). Although this is not a recent phenomenon, political and socio-economic developments during the last few years have had further impacts on demographic conditions and relations between different ethnic and religious 'groups'. Thus, the Minahasa-like other 'ethnic groups' in Indonesia-are confronted with a double binding of supposed needs and requests for diversity under a unifying umbrella-on the regional as well as national level. The paper will address the 'problem' from the perspective of a rural community in the south-eastern part of the region. Hence, local concepts of identity, their constructions and markers in everyday life, as being manifested in food and clothing for instance, will be given special consideration. It will also be taken into account that the media (esp. television) plays an important role in the formation and representation of ethnic and religious identity. The paper aims at showing how 'unity' and 'diversity' in this context are produced and reproduced on the village level and its relation to the national discourse."
2004
PDF
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Lugina Setyawati Setiono
"This paper explained the issue of inequality which appears in the process of democratization through the analysis of contestation, negotiation, and the reconstruction of Riau?s identity. Ideally, democratic principles respect equality; however, identity expresses inequality because it defines who is dominant and subordinate in a certain social group through ethnic category and gender identity. It separates the insiders and outsiders with different rights through cultural idioms. Moreover, the identity is not merely applied in the private domain, but also in the public sphere. This paper resulted from research conducted in Riau Province in a periode of decentralization process. The findings shown that In daily practice the collective sentiments manifested in the notion of ?Putra Daerah? may create problems, as this notion is not only used as a social category to define collective boundaries, but also as a strategic tool to control access to political and economic power in Riau. Quoting Worsley, Cultural traits are not absolute or simply intellectual categories, but are invoked to provide identities which legitimize claims to rights. They are strategies or weapons in competitions over scarce social goods Worsley (1994)."
2011
PDF
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Nuria W. Soeharto
"
Kepercayaan yang diberikan informan pada etnografer, dan sebaliknya, merupakan dasar utama sebuah penulisan etnografi. Dalam antropologi 'tradisional,' kepercayaan ini dibangun lewat interaksi tatap mata yang berlangsung lama dan konstan. Dalam antropologi cyberspace, interaksi terjadi di tengah identitas-identitas anonim di dunia maya. Lalu, apakah kepercayaan bisa diperoleh bila anonimiti menjadi dasar interaksi? Tulisan ini membahas pentingnya kepercayaan untuk melengkapi rangkaian puzzle permasalahan etnografi. Dalam mencapai hal ini, etnografer 'tradisional' atau etnografer cyberspace, tidak banyak melakukan perbedaan. Dengan kata lain, secara metodologi, antropologi 'tradisional' dan antropologi cyberspace tidak perlu banyak dibedakan."
2004
PDF
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Penelope Graham
"Berdasarkaan telaah atas edisi khusus Antropologi Indonesia no.56, penulis menyarankan agar Flores tidak dipandang sebagai suatu entitas tersendiri, tetapi sebagai suatu pulau yang terkait dalam suatu kepulauan. Lautan yang menghubungkan gugusan pulau-pulau itu memungkinkan terwujudnya hubungan-hubungan melalui perdagangan dan migrasi yang direfleksikan dalam mitos dan sejarah. 'ikatan-ikatan bahasa ' (linguistic linkages) dan hubungan-hubungan sejarah wilayah Flores Timur diacu oleh penulis untuk menunjang pandangan ini...[...] Penulis menyarankan agar kasus-kasus etnografi yang disajikan, dan kerangka-kerangka analisis yang dikaji dalam edisi khusus Antropologi Indonesia tentang Flores ini disimak oleh para pemerhati masalah bahasa, identitas, dan pembangunan di Indonesia."
1999
PDF
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
David Hakken
"Artikel ini berupaya menyimpulkan implikasi terhadap penelitian-penelitian antropologi terkini tentang identitas di dunia cyberspace, di luar Barat. Penelitian-penelitian ini, sebagian besar di antaranya berfokus pada formasi sosial di luar Indonesia, dikelompokkan berdasarkan pada: yang relatif telah terbentuk, yang lebih marjinal atau dunia 'keempat', dan diaspora. Dinamika yang dilaporkan dalam penelitian-penelitian ini dibandingkan dan dipertentangkan dengan dinamika Barat dalam 'Introduction'. Ketidakhadiran identitas personal dalam penelitian identitas-cyber di dunia Barat juga ditampilkan, dengan beberapa kewaspadaan. Ditempatkan dalam konteks isu yang akhir-akhir ini diberi label 'globalization' dan 'manifesto' antropologi cyberspace dari Arturo Escobar, permasalahan teoritis ini kemudian dihubungkan dengan pemunculan penting open computing pada bangsa-bangsa di luar Barat seperti Indonesia."
2004
PDF
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Christoph Antweiler
"Tulisan ini membahas situasi etnis yang khas di Sulawesi Selatan. Tradisi pertukaran antaretnis yang sudah lama berlaku, dan konflik terbuka yang relatif jarang terjadi, menjadi fokus kajian tulisan ini. Di lain pihak, secara politis, kota dan daerah sekitarnya baru saja terintegrasi ke dalam negara Indonesia. Karena itu, secara historis Sulawesi Selatan masih terkenal dengan jelas atas kecenderungannya untuk memisahkan diri dari, atau tidak sepenuhnya terintegrasi ke dalam negara Indonesia. Jika konsep dan gagasan otonomi daerah akan sungguh-sungguh diterapkan, Sulawesi Selatan merupakan tempat yang sangat tepat untuk uji coba. Bagian lain dari tulisan ini mengulas metode-metode untuk meningkatkan partisipasi lokal dalam pembangunan. Beberapa metode elicitation yang sederhana, namun dapat diandalkan, digambarkan dengan menggunakan contoh pengetahuan perkotaan dalam konteks pengambilan keputusan mengenai tempat tinggal di Makassar sebagai sebuah kota propinsi yang multietnis. Sebuah metode yang hampir tidak dipergunakan di Indonesia dan dalam program pembangunan, yakni repertory grid technique yang berasal dari Kelly's psychology of personal constructs, digambarkan dengan rinci. Metode tersebut terdiri dari perbandingan triadik yang dikombinasikan dengan prosedur peringkat (ranking procedure) yang menunjukkan suatu pola kognitif dari konstruk mental (a cognitive pattern of mental constructs). Dideskripsikan pula penyesuaian secara teknis dan budaya dari metode dan masalah-masalah praktis yang berkaitan dengan wawancara."
2001
PDF
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Phillip Winn
"Komunitas Lonthoir masa kini yang menetap di Kepulauan Banda terdiri dari penduduk dengan asal usul historis yang berbeda satu sama lain. Walau demikian, mereka mampu untuk menyatakan suatu identitas diri berdasarkan karakteristik lokal yang sangat kuat. Dalam tulisan ini penulis mengkaji suatu dimensi yang penting dari situasi tersebut. Dengan memfokus pada 'praktek sakral' ('sacred practice') di Lonthoir, penulis memperlihatkan bahwa aktivitas tersebut mewujudkan suatu tatanan moral dengan sangsi supernatural. Tatanan moral ini secara efektif melarutkan setiap perbedaan di antara gagasan-gagasan religi dan adat melalui reproduksi dari sosialitas lokal, dan suatu perasaan yang hidup mengenai 'tempat' (a lived sense of place). Penulis menyatakan bahwa istilah-istilah seperti 'sinkretisme' (syncretism) atau 'agama sinkretik' (syncretic religion) tidak bermanfaat dalam memahami proses yang kompleks ini. Lagipula, di samping menyebabkan adanya suatu visi dikotomi dari modern dan tradisional, 'sinkretisme' mengekalkan suatu gagasan murni tentang kebudayaan yang acap kali menemukan ekspresinya dalam wacana 'kesukubangsaan'. Penulis mengajukan istilah 'bricolage' sebagai suatu alternatif yang memungkinkan untuk memahamidinamika dari identifikasi lokal."
1998
PDF
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Nurul Ilmi Idrus
"okus dalam artikel ini adalah pada isu gender, seksualitas dan identitas diantara lesbian di Makassar (Sulawesi Selatan). Diskusi dalam artikel ini menyangkut bagaimana perempuan 'menjadi lesbian', bagaimana mereka mengkonseptualisasikan diri hunter dan lines, bagaimana lesbian menegosiasikan identitas gender mereka dalam konteks norma heteroseksual yang dominan, dan bagaimana seks dan seksualitas ditampilkan. Ini diillustrasikan dengan sejumlah studi kasus dari interaksi dengan hunter dan lines. Argumentasi dalam artikel ini adalah bahwa posisi subjektivitas lesbian telah secara relatif dipengaruhi oleh diskursus global. Akan tetapi, hunter dan lines menciptakan norma-norma unik berdasarkan norma-norma orang-orang di sekitar mereka (seperti 'budaya pop, agama, keluarga, media massa dll.)."
Depok: Jurnal Antropologi Indonesia, 2006
AJ-Pdf
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library