Ditemukan 51771 dokumen yang sesuai dengan query
Lorraine Aragon
"Sulawesi Tengah acapkali digambarkan sebagai wilayah yang secara agamawi 'mudahtersulut', yang terletak secara geografis dan sosial di antara propinsi Sulawesi Selatan yang mayoritas Islam dengan propinsi Sulawesi Utara yang mayoritas Kristen. Bahkan, sejak awal abad keduapuluh, kolonial Belanda telah memilah penduduk dataran tinggi yang animis dan potensial untuk menjadi pemeluk agama Kristen dari penduduk dataran rendah beragama Islam. Sesudah Perang Dunia II, wilayah itu mengalami arus pemberontakan Kahar Muzakar dan Permesta dari arah selatan dan utara Sulawesi yang berkerangka keagamaan...[...] Berdasarkan temuannya bahwa persaingan-persaingan religi tidaklah terlalu penting, bahkan ada toleransi serta perkawinan campuran, dan kompetisi untuk perolehan sumberdayalah yang terjadi di antarapenduduk lama dengan pendatang baru di kota atau daerah transmigrasi, maka ia mempertanyakan sejauh manakah konflik yang terjadi merupakan konflik agama atau bahkan 'etnis'? Kemiripan dalam sejumlah aspek agama Kristen dan Islam, toleransi timbal balik ,dan kesamaan sejarah sosial-ekonomi yang umumnya kurang dinilai penting, dikaji penulisnya sebagai usaha awal untuk memahami konflik, dan sebagai sumbang saran untuk meningkatkan keharmonisan dan kesejahteraan sosial di Sulawesi Tengah di masa datang."
2000
PDF
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Mattulada, H. Andi
"Elite modern itu, seperti dikatakan oleh Sartono (1947), adalah elite baru, sebagai pemimpin yang dapat diidentifikasikan sebagai organization man; elite modern yang bersikap idealistis dan yang sangat menyadari peranannya, simbolis sebagai pendukung ideologi-ideologi modern seperti anti-feodalisme, anti-kolonialisme, humanitarianisme, populisme, sosialisme, dan sebagainya. Pendek kata, elite modern itu harus dapat berfungsi sebagai akumulator ide-ide pembaruan, sedangkan tentang dari golongan mana akan munculnya dari segenap golongan bangsa Indonesia, tidaklah menjadi soal yang penting untuk diperdebatkan."
1991
PDF
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Mattulada, H. Andi
"In this article, the author describes the ethnography of the To-Kaili, the largest ethnics group in Central Sulawesi. To-Kaili had an important historical role in the period of Dutch colonization. At least four kingdoms tried to rebel against Dutch rule namely Moutong, Banawa, Sigi, and Kulawi. The author goes on to discuss the "modal personality" of Kaili people which covers social and religious life, ethos, language, art and literature. In the last section, he tries to predict how those people will face changes in the near future."
1991
PDF
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Nurul Ilmi Idrus
"Tulisan ini mengkaji mengenai seks, gender, dan siri' dalam budaya Bugis. Tulisan memerikan bagaimana gender dan seksualitas dipengaruhi oleh norma-norma adat yang berasal daritradisi tulisan, pepatah dan nasihat, serta menunjukkan beberapa studi kasus hasil penelitian etnografi di Sulawesi Selatan. Siri' (kehormatan/rasa malu) merupakan sebuah konsep mendasar dalam kehidupan masyarakat Bugis. Bagi orang Bugis, perempuan dipandang sebagai simbol dari siri' keluarga dan berkaitan dengan konsep laki-laki yaitu ' bi' (perilaku yang tepat). Akibatnya, perempuan harus dipantau secara ketat dan perilaku mereka tidak hanya diawasi oleh orangtua, tetapi juga oleh anggota keluarga dekat dan jauh atau bahkan oleh anggota-anggota masyarakat sekitar, yang lebih tepat disebut sebagai tomasiri' (orang yang bertanggung jawab menjaga siri' keluarga). Kenyataan ini didukung oleh adat Bugis yaitu seorang perempuan harus selalu di bawah perlindungan seseorang. Jika ia lajang,berapa pun usianya, ia berada dalam pengasuhan dan perlindungan orangtuanya, saudara laki-laki (bila ada), dan/atau kerabat laki-laki lainnya; ketika ia menikah, ia berada dibawah perlindungan suaminya. Kekuasaan parental ditransformasikan menjadi kekuasaan konjugal dan dialihkan kepada suaminya. Tulisan ini menggali bagaimana siri' berinteraksi dengan dan memperkuat identitas-identitas gender dan hubungan kekuasaan yang membentuk seksualitas perempuan dan laki-laki Bugis."
Depok: Jurnal Antropologi Indonesia, 2005
AJ-Pdf
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Jamilah Nuh
"Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, wilayah Sumatera Selatan telah menjadi ajang meningkatnya protes-protes para petani desa dataran rendah sehubungan dengan hilangnya hak-hak menyangkut tanah dan akses sumberdaya hutan. Protes-protes ini menjelma dalam bentuk kekerasan fisik dan perusakan kepemilikan para pemegang konsesi hutan,perkebunan kelapa sawit, tambak udang, pulp dan kertas. Makalah ini memfokus pada dua kasus konflik. Pertama, antara penduduk desa di Kundi, Bangka dengan PT Gunung Sawit Bina Lestari, perusahaan pemegang konsesi sawit. Konflik kedua berlangsung antara PT Musi Hutan Persada yang menguasai hampir 300.000 hektar lahan hutan di Sumatera Selatan dengan penduduk desa di Kabupaten Muara Enim. Kasus-kasus di kantung permukiman ini memberikan pemahaman tentang dampak serta hambatan dalam proses demokratisasi dan transisi menuju otonomi daerah."
2001
AJ-Pdf
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Bubandt, Nils
"The intention of this article is to discuss the relationship between the processes of fiscal and political decentralization, the outbreak of communal violence, and what I call 'the new politics of tradition' in Indonesia. In 1999 under the President Jusuf Habibie, the Indonesian parliament (DPR) voted in favour of two laws, No. 22 and 25 of 1999, which promised to leave a significant share of state revenues in the hands of the regional governments. Strongly supported by the liberal ideologues of the IMF and the World Bank, the two laws were envisaged within Indonesia as a necessary step towards devolving the centralized power of New Order patrimonialism and as a way of curbing separatism and demands for autonomy by giving the regional governments the constitutional and financial wherewithal to maintain a considerable degree of self-determination. Decentralization was in other words touted as the anti-dote to communal violence and separatist tendencies-an anti-dote administered or at least prescribed by multi-national development agencies in most conflict-prone areas of the world. This paper wishes to probe this idea by looking at the conflict and post-conflict situation in North Maluku. The conflict illustrates how local elites began jockeying for political control in anticipation of decentralization. The process of decentralization is in other words not merely an anti-dote but in some cases an implicated part in the production of violence. One reason for this is simply that the decentralization of financial and political control after three decades of centralization entails a significant shift in the parameters of hegemony-a shift towards which local political entrepreneurs in the regions are bound to react. The new 'politics of tradition' currently emerging in Indonesia is the combined result of changes in global forms of governance, a strong political focus on ethnic and religious identity in the 'era reformasi' and a local willingness to employ these identities to garner support in the new political landscape of decentralization."
Depok: Jurnal Antropologi Indonesia, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Bräuchler, Birgit
"Tulisan ini membahas cyberspace dan konflik di Maluku untuk memperlihatkan sumbangan bagi cyber anthropology dan analisis mekanisme yang rumit pada situasi di Maluku. Konflik Maluku tidak cuma berlangsung pada tingkat lokal dan nasional, tetapi juga di cyberspace.Tampilan-tampilan di cyberspace sejajar dengan garis-garis agama sehingga memperkuat kesan perang agama antara umat Kristiani dan masyarakat Muslim. Internet menyediakan sarana bagi kelompok-kelompok yang bertikai untuk mengedepankan pandangan mereka mengenai konflik. Hal yang terpenting untuk kajian ini adalah paparan-paparan Internet dari kelompok-kelompok dan orang-orang yang langsung terlibat di dalam konflik, karena mereka mengakui memberikan informasi tangan pertama. Informasi itu membentuk persepsi konflik di luar Maluku dan di dunia internasional. Studi ini memfokuskan pada strategi-strategi dan argumentasi yang dipakai oleh kelompok-kelompok bertikai di Internet untuk menggambarkan pandangan mereka terhadap realitas, mengkonstruksikan komuniti-komuniti (communities) dan identitas-identitas mereka yang representatif. Lebih jauh, peran presentasi dalam konflik dan juga peran agama di dalam presentasi-presentasi itu juga diteliti. Webpage, milis dan newsletter terpilih yang mewakili pihak Kristen dan Muslim dianalisis untuk menunjukkan proses konstruksi itu. Setiap kelompok menggunakan bermacam-macam strategi-strategi dan modus-modus komunikasi Internet dan argumentasi teks dan visual untuk mengejar proyek identitas masing-masing. Materi-materi diambil baik dari cyberspace maupun dari konteks lokal Maluku, sehingga mengaburkan batas-batas antara realitas dan virtualitas."
2004
PDF
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Elizabeth Morrell
"
Perceived opportunities for increased local power and control of resources in the early euphoria of post-Soeharto decentralization saw no less than four new province proposals within the present boundaries of South Sulawesi. Two of those developed into formal submissions which, at the time of writing, are being considered by the national government. These are for new provinces of West Sulawesi and Greater Luwu, which would encompass approximately fifty-five per cent of South Sulawesi's present land mass. This article discusses those movements and the rationale behind their emergence. Residents in each region express dissatisfaction at long-term neglect by the South Sulawesi government. In particular, kabupatens calling for the establishment of West Sulawesi have been ignored in the development process. Following calls for the new province, the South Sulawesi leadership has promised increased recognition of the western regions. West Sulawesi and Luwu Raya are viewed as possessing high potential for resource development, particularly in plantation agriculture, fisheries, and mineral exploration. Ethnic identity has also been a factor in the new province demands. In some cases, preexisting ethnic tensions have been exacerbated by debates centered upon proposed province boundaries. Calls for change should be seen as a sign of dissatisfaction with the South Sulawesi leadership rather than with national governance, as new structures would by-pass present provincial authority, strengthening ties with the centre by allowing direct interaction between the respective regions and Jakarta."
2002
PDF
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
W.J. Waworoentoe
"Artikel ini mengulas mengenai lingkungan hidup, habitat manusia dan pemukiman di Sulawesi Utara. Secara historis masih terdapat perbedaan asumsi mengenai asal mula pemukiman penduduk di daerah ini, apakah memang ada penduduk asli (indigenous) atau akibat datangnya para migrant. Selama masa kolonial Belanda terjadi perubahan di daerah pedesaan khususnya perkembangan ekonomi pertanian dari ekonomi subsisten ke ekonomi yang berorientasi ke ekspor yang mempengaruhi pula pola pemukiman dan organisasi sosial. pengaruh ini menimbulkan 3 pola pemukiman penduduk yang berbeda, Untuk daerah Sangir-Talaud pola pemukiman pantai, Bolaang-Mongondow pola pemukiman pantai dan pedalaman, dan Minahasa sendiri memperlihatkan pola pemukiman pantai dan pedalaman yang sudah menetap. Perkembangan pola pemukiman mulai berubah lagi dengan adanya proses urbanisasi yang terjadi karena pertumbuhan ekonomi moderen."
1995
PDF
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Martin Rössler
"Selama 4 dasawarsa kehidupan penduduk Sulawei Selatan mengalami perubahan-perubahan yang radikal karena pengaruh pemerintah kolonial maupun perubahan administratif. Seperti terlihat pada komunitas desa yang diteliti penulis di daerah dataran tinggi Gowa, masuknya Islam setelah 1910 turut mengubah kehidupan keagamaan dan paling penting adalah pemukiman kembali seluruh penduduk desa dari lembah sungai ke jalan utama pada sekitar tahun 1970. Penulis mengkaji tentang prinsip organisasi sosial dan keagamaan setempat, serta berbagai perubahan sosial pada tingkat makro dan mikro. Struktur normatif yang fundamental dari masyarakat setempat dapat dipahami sebagai model abstrak yang didasarkan atas beragam hubungan simbolis antara organisasi sosial dan dunia gaib (supernatural). Model apapun dari suatu komunitas sosial - apakah di formulasikan oleh antropolog atau informan lokal - dalam kenyataan merupakan sutau konstruksi yang didasarkan atas pengamatan dan panafsiran serta diekspresikan dalam bentuk verbal atau tulisan. Model budaya seperti itu dapat tidak sesuai dengan realitas sosial karena kehidupan sosial untuk sebagian besar ditentukan oleh norma-norma yang berbeda, konflik kepentingan dan ketidaksamaan pengetahuan yang dimiliki anggota masyarakat. Penulis berpendapat perlunya mengganti model yang dibentuk oleh anggota-anggota masyarakat dengan suatu model yang lebih terbuka sebagai titik tolak analisis bagi etnografer, yaitu apa yang disebutnya "open cultural model"."
1991
J-Pdf
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library