Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150612 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"On river ecology and management in Indonesia."
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press , 2017
577.64 PEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Chay Asdak
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press, 2007
551.48 CHA h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Chay Asdak
Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Press, 2002
551.48 CHA h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Chay Asdak
Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Press, 2002
551.48 CHA h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Chay Asdak
Bulaksumur, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2014
551.48 CHA h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Mukhoriyah
"Pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan kebutuhan penggunaan lahan mengalami peningkatan. Hal ini menyebabkan adanya konversi lahan khususnya tanah pertanian menjadi non pertanian di Kota Depok dimana tahun 2000 luas lahan sawah mencapai 3.118 ha dan pada tahun 2011 seluas 819,42 ha. Berdasarkan RTRW tahun 2000-2010 dijelaskan bahwa kawasan pertanian yang ada tetap dipertahankan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai ekologi dan ekonomi lahan sawah di Kota Depok secara spasial, mengetahui potensi lahan sawah dalam kaitannya dengan penyusunan RTRW 2030 Kota Depok. Metode yang digunakan untuk mengetahui perubahan lahan sawah, mengetahui potensi nilai ekologi-ekonomi lahan sawah dan kaitannya dengan RTRW 2030. Untuk menghitung nilai ekologi-ekonomi dilakukan dengan scoring dan pembobotan. Variabel yang digunakan dalam menghitung nilai ekologi adalah analisis konservasi air (curah hujan, penggunaan lahan, dan kemampuan tekstur tanah liat), analisis sebaran titik banjir, dan analisis ruang terbuka hijau. Variabel yang digunakan untuk menghitung nilai ekonomi adalah hasil produktivitas, lahan yang terkonversi, nilai produksi yang hilang, dan harga lahan berdasarkan NJOP. Hasil perubahan lahan sawah dari tahun 2000-2010 adalah sebesar 2.298,79 ha (11,49%).
Hasil analisis nilai ekologi-ekonomi lahan sawah diperoleh 3 kelas yaitu tinggi, sedang dan rendah. Kedua nilai tersebut menghasilkan potensi pada lahan sawah yaitu wilayah dengan nilai ekologi tinggi (luas lahan sawah 657,29 ha, mampu menyerap CO2 114.878,64 tonCO2/ha/tahun), nilai ekologi sedang (luas lahan sawah 145,41 ha, mampu menyerap CO2 25.165,73 tonCO2/ha/tahun), nilai ekologi rendah (luas lahan sawah 156,52 ha, mampu menyerap CO2 3.518,02 tonCO2/ha/tahun). Sedangkan nilai ekonomi tinggi (luas lahan sawah 6,7 ha), nilai ekonomi sedang (luas lahan sawah 62,39 ha), dan nilai ekonomi rendah (luas lahan sawah 750,33 ha). Hasil evaluasi RTRW 2030 terhadap perubahan lahan sawah tahun 2000-2011di fokuskan untuk kawasan terbangun, sedangkan peruntukan untuk lahan pertanian hanya seluas 607,35 ha sehingga harus dikaji ulang raperda tersebut. Lahan yang memiliki nilai ekonomi tinggi harus dipertahankan, karena fungsinya dalam jangkan panjang sebagai keseimbangan dan keberlanjutan ekosistem dengan membuat kebijakan yang tegas dengan membatasi perijinan pembangunan terutama pada lahan-lahan yang produktif, membatasi arus urbanisasi ke Kota Depok, dan meninjau kembali hasil Raperda RTRW 2030 tentang peruntukan lahan pertanian sehingga fungsi kawasan lindung dan budidaya dapat terpenuhi.

High growth population cause to increased needs land use. This cause to the conversion of agricultural land, especially non-agricultural land in the Depok city where paddy fields in 2000 reached 3118 ha and in 2011 an area of 819.42 ha. Based on the years 2000-2010 of regional spatial planning (RTRW) explained that the existing agricultural areas will be retained. This study aims to determine the ecological and economic value of paddy fields in spatially Depok City, knowing the potential of paddy fields in relation to the preparation spatial of the 2030 Depok city. The method used to determine changes in the paddy field, knowing the potential economic value of wetland ecology and its relation to RTRW 2030. To calculate the ecological and economic value is done by scoring and weighting. Variables used in calculating the value of conservation ecology is the analysis of water (rainfall, land use, and the ability of clay texture), analysis of the distribution of flood point, and analysis of green open space. Variables used to calculate the economic value is the result of productivity, land converted, the value of lost production, and land prices based on the Tax Object Sale Value.
The results of paddy fields changes from 2000-2010 year amounted to 2298.79 ha (11.49%). The results of the analysis of ecological and economic value of paddy fields obtained three classes, namely high, medium and low. Both of these values produce potential in the paddy fields areas with high ecological value (657.29 ha of paddy fields area, able to absorb CO2 tonCO2/ha/tahun 114,878.64), the ecological value was (145.41 ha of paddy fields area, able to absorb 25165.73 tonCO2/ha/tahun CO2), a low ecological value (156.52 ha of paddy fields, able to absorb CO2 tonCO2/ha/tahun 3518.02). While high economic value (6.7 ha of paddy fields ), economic value is (62.39 ha of paddy fields), and low economic value (750.33 ha of paddy fields ). Spatial evaluation results 2030 to changes in the paddy field in 2000-2011in focus for the wake, while the allocation to the agricultural land area of 607.35 ha only and should be reexamined the draft legislation. Land which has high economic value should be maintained, because its function in the outreach and sustainability long as the balance of the ecosystem by making a firm policy to limit the licensing of development, especially on lands that are productive, limiting urbanization to the Depok City, and review the draft results RTRW 2030 designation of agricultural lands so that the function of protected areas and aquaculture can be met."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T31806
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
B. Andang Prasetya A.
"Tesis ini adalah hasil dari penelitian yang dilakukan selama lebih kurang satu tahun. Titik berat penelitian ada pada perubahan fisik tata ruang dan tanggapan-tanggapan terhadap perubahan itu dalam konteks sejarah dan sosial politik yang sangat dinamis, dengan harapan dapat mengungkap wujud fisik perubahan tata ruang tersebut dari masa ke masa, faktor-faktor perubahan dan peran masing-masing golongan serta bagaimana perubahan terjadi dalam beragam tanggapan itu. Fokus penelitian ada pada perubahan wujud fisik suatu tata ruang dalam kaitannya dengan tanggapan masyarakat terhadap perubahan tersebut; membawa penelitian ke arah produksi dan konstruksi suatu tata ruang secara sosial.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menempuh jalur sebagaimana yang dilakukan Setha Low (1999) yaitu dengan melakukan pelacakan sejarah tata ruang dan memperhatikan dialektika antara konsep tata ruang (representation of space) yang mengejawantah dalam wujud fisik tata ruang dan wujud fsik yang digunakan atau dihidupi (representational space) oleh golongan-golongan dalam masyarakat, dalam konteks praktek-praktek keruangan. Metode yang digunakan dalam kerangka teori ini adalah metode kualitatif yang lebih menekankan pada pengamatan gejala-gejala sosial, praktekpraktek keruangan, dan wawancara mendalam terhadap informan.
Dari penelitian yang dilakukan ini terungkap bahwa terdapat berbagai tanggapan dalam masyarakat berkaitan dengan kepentingan masing-masing golongan. Fator-faktor perubahan yang paling utama adalah dinamika kehidupan sosial politik yang melingkupi masyarakat, kecenderungan pertumbuhan ekonomi, dan peran pelaku-pelaku dalam masing-masing golongan. Dalam praktek keruangan dengan beragam tanggapan diungkapkan bagaimana perubahan itu dapat terjadi. Di satu sisi terdapat kekuasaan yang menentukan dominasi dan digunakannya suatu konsepsi mengenai ruang, di sisi lain terdapat konsepsi yang berkembang sebagai hasil dari penggunaan suatu ruang. Keduanya saling mempengaruhi satu sama lain, hanya mekanisme kontestasi keduanya sepenuhnya dipengaruhi konteks sosial-politik yang sedang berlangsung. Selain itu karakter tata ruang yang liat, dapat diubah dan berubah sewaktu-waktu bersama dengan citra yang diemban kawasan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T13780
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"This article elaborates various challenges that Indonesia is facing in its efforts to narrow that social economic gap occurring in its border areas, both on land and waters . The focus of the article is that economic development that is based on each region's..."
DIPLU 2:4 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Supriatna
"Sumber daya alam gambut banyak tersebar di daerah-daerah rawa di Indonesia. Jumlahnya mencapai 17 juta hektar atau sekitar 50 persen dari total sebaran gambut di dunia. Karena potensinya yang cukup besar para pakar menilai gambut dapat dijadikan salah satu alternatif dalam upaya menanggulangi permasalahan berbagai sektor yang menghadapi kendala karena keterbatasan sumber daya. Namun penelitian yang dilakukan oleh para pakarpada umumnya terfokus kepada upaya pemanfaatan dan peningkatan produktivitas usaha di lahan gambut dan sedikit sekali perhatiannya terhadap segi pelestariannya. Dengan berbagai teknik tertentu usaha pemanfaatan gambut terus berkembang ke berbagai bidang usaha seperti pertanian, perkebunan, energi, dsb, sehingga makin mengancam ketestariannya. Di lain pihak, gambut memiliki fungsi konservasi terutama kaitannya sebagai penambat air. Sebagai kawasan yang terletak pada daerah dengan curah hujan yang sangat tinggi, lahan gambut merupakan kawasan tampung hujan yang sangat efektif. Dengan fungsi tersebut, gambut dapat mengendalikan siklus hidrologi pada wilayah yang bersangkutan.
Penelitian untuk menyusun model perilaku hidrologi lahan gambut ini dilakukan dengan menganalisis data unsur-unsur meteorologi dan daerah aliran sungai pada suatu DAS. Lokasi penelitian terletak di DAS Silaut, Sumatra Barat yang memiliki sebaran gambut seluas 17.500 hektar yang sebagian sudah direkiamasi. Data mengenai curah hujan dan klimatologi diperoleh dari stasiun Lunang dan Tapan yang berjarak sekitar 5 km dan 30 km dari lokasi penelitian. Sedangkan untuk analisis DAS dilakukan pengumpulan data dan peta-peta dari berbagai instansi sehingga dapat dibuat peta Daerah Aliran Sungai dan sebaran gambut berdasarkan ketebalan dan tingkat dekomposisinya. Untuk mengetahui besarnya daya tambat gambut terhadap air, maka diambil sejumlah sampel gambut di lapangan untuk dianalisis di Laboratorium Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 3 buah untuk masing-masing tingkat dekomposisi, yaitu saprik (matang), hemik (sedang), dan fibrik (mentah). Pengambilan sampel mewakili lahan gambut yang sudah maupun yang belum direklamasi.
Analisis terhadap data dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip keseimbangan air dalam suatu DAS dengan menggunakan modifikasi dan beberapa asumsi sesuai dengan kondisi dan sifat-sifat khususyang dimiliki oleh lahan gambut. Dari analisis tersebut dapat diketahui sisa air yang tidak tertambat dan kelebihan daya tambat gambut dalam periode waktu tertentu. Dengan membandingkan keseimbangan air sebelum dan sesudah reklamasi dapat diketahui perubahan-perubahan yang terjadi pada sifat-sifat gambut kaitannya sebagai penambat air.
Berdasarkan hasil analisis dan perhitungan, diketahui bahwa jumlah air yang tidak tertambat pada lahan gambut sesudah reklamasi lebih kecil dibandingkan sebelum relkamasi. Sedangkan sisa daya tambatnya menjadi lebih besar. Di samping itu terdapat kecendrungan bahwa sisa daya tambat semakin besar dengan semakin mentahnya tingkat dekomposisi. Hal ini berarti reklamasi dapat mengendalikan jumlah air liar (berupa genangan dari limpasan) sehingga lahan dapat diusahakan untuk pertanian. Namun dengan bertambahnya sisa daya tambat berarti terjadi penurunan kelengasan lahan gambut. Penurunan kelengasan yang paling besar dialami oleh gambut dengan tingkat dekomposisi yang mentah (fibrik). Terjadinya peningkatan periode penurunan kelengasan lahan gambut disebabkan oleh penurunan muka air tanah akibat dilakukannya drainase. Karena itu periode penurunan kelengasan lahan gambut akibat reklamasi dapat dikendalikan dengan pengaturan penurunan muka air tanah.
Hasil simulasi model menunjukkan bahwa untuk dapat mempertahankan kelestariannya, reklamasi (penurunan muka air) pada gambut saprik maksimum dapat dilakukan sampai kedalaman 40 cm. Pada kondisi ini akan terjadi periode penurunan kelengasan selama 8 bulan. Hal ini berarti dalam satu tahun masih terdapat periode kelengasan yang lebih tinggi selama 4 bulan. Dengan kondisi yang demikian diharapkan sifat-sifat fisik tidak akan terganggu. Jika dikaitkan dengan periode tanam, maka selama periode 8 bulan tersebut lahan gambut dapat diusahakan untuk budi daya 2 musim tanam palawija dan 4 bulan untuk tanaman padi. Sedangkan untuk gambut hemik dan fibrik, untuk mencapai periode penurunan kelengasan selama 8 bulan, muka air maksimum dapat diturunkan masing-masing sedalam 30 cm dan 25 cm. Pada penurunan muka air yang lebih dalam akan menyebabkan terjadinya periode penurunan kelengasan yang lebih panjang, sehingga diperkirakan gambut akan mengalami hidrofobi atau peristiwa kering tak terbalikan yang menyebabkan terjadinya kerusakan sifat fisik gambut sehingga sulit menambat air. Karena itu upaya pemanfaatan gambut melalui reklamasi rawa hendaknya hanya terbatas pada gambut dengan tingkat dekomposisi saprik. Sedangkan gambut dengan tingkat dekomposisi yang belum matang (hemik dan fibrik), sesuai batas maksimum penurunan muka airnya, pengusahaannya hanya terbatas untuk tanaman padi sawah. Namun mengingat kedua jenis gambut ini pada umumnya adalah berupa gambut tebal (> 3 meter) dan produktivitasnya sangat rendah, sebaiknya tetap dipertahankan sebagai daerah konservasi.
Hasil pengujian model di lapangan menunjukkan bahwa model inidinilai cukup baik karena telah sesuai dengan pola dan jadwal tanam yang biasa dilakukan para petani setempat selama lebih dari 10 tahun dengan produktivitas pertanian yang cukup baik.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dengan menggunakan model pendugaan perilaku hidrologi lahan gambut yang menggunakan pendekatan daya tambat gambut terhadap air dapat diketahui pengaruh reklamasi lahan gambut terhadap sifat-sifat fisik gambut sehingga reklamasi yang dilakukan sesuai dengan kemampuan daya dukung dan kelentingan lingkungannya. Dengan demikian model ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif kebijaksanaan pemanfaatan lahan gambut dari aspek lingkungan.

Peat natural resources was spread over on lowland areas in Indonesia. The total amount reaches about 17 million hectares or about 50 percent of the total existing peat land in the world. Then, the potency is big enough the experts have evaluate it as one of the alternative to solve problems of many sectors which faces lack of resources. Survey made by the experts has, however, generally focus on the efforts to utilize and enhance productivity of peat without or the little bit attention on the preservation. Through many particular techniques the effort to utilize peat have been ever expanding into several activities including agriculture, plantation, energy, etc., making its preservation more in crisis condition. On the other side, peat land has a conservation function in connection with the water retention. As an area with in an extremely high rainfall, peat land became the most effective cistern site, and thereby, peat land is able to control hydrological circle in the connecting area. investigation on peat land hydrological behavior model is made by analyzing data of meteorological elements and catchments river area. The research location is Silaut catchment area, West Sumatera, owning peat spread of 17,500 hectares which partially has been reclameted. Rainfall and climatological data are gained from Lunang and Tapan stations which are about 5 km and 30 km far away from research location. While catchments area analysis is done by several agencies is enable to make catchments area and peat spreading map based on the depth and decomposition degree. In order to recognize peat water retention capacity, a number of field peat samples should be taken to analyze in the Centre of Soil Research Laboratory and Agroclimate, Bogor. Three samples should be taken of each decomposition degree, namely, saprik (mature), hemik (sufficient), and fibrik (raw). The samples taken should be representing peat land both has already and has not ready in reclamation condition.
Data analysis is taken by applying principles of water balance in a Catchments Area and used modifications and a variety of assumption according peat conditions and specific characteristic. According the analysis the rest of the water which are not retent and the exceding tide capacity is known. Comparing water balancing before and after a reclamation, are known the changes which occur on the peat characteristics concerning with the peat water retention character.
Based on analysis and calculation result it is known that total untied-up water in peat lot after reclamation is smaller than before reclamation. While the rest capacity of becomes bigger. Besides, there is a tendency that the rest tether capacity becoming bigger due to the raw of decomposition degree. It means the reclamation is able to control wild water (puddle and run off) making the lot may be used for agriculture. However, the increasing capacity of tether will increase the degree and period of draught of peat lot. The most biggest draught faced by peat lot with a raw decomposition degree. The increasing degree and period of draught in peat lot is caused by the surface of ground water down turning resulted from drainage. It is, therefore, a draught of peat lot result from reclamation can be controlled by keeping down the ground water surface.
The simulation results model indicate that preservation is sustainable, reclamation (keeping down the water surface) of a saprik peat could be done at a maximum depth of 40 cm. in such condition a draught period will take place about 8 months. That mean yearly there are draught period of 4 months. Within this period a peat lot can be utilized for second crop cultivation. While for hemik and fibrik peat to reach 8 months draught period, water surface can be dropped at maximum 30 cm and 25 cm depth respectively. If deeper would cause longer draught period and hence will damage peat physical character. That's why utilization of peat by swamp reclamation should be confined for peat with saprik decomposition degree. While for hemik and fibrik degree, according to a maximum limit of the decrease of water surface, can only be used for paddy. But considering both types of peat are generally peat in (> 3 meters) and very low productivity, to sustain it as a conservation area is highly appreciated.
The result of the test in the field show that model is good enough, when it is already fit with the normal cultivation pattern and schedule which implemented by the local farmer for over 10 years with agood farm productivity.
The result of the investigation conclude, implementing prediction model of peat hydrological attitude with a peat water retention approach on water can prove that there are influence of peat reclamation on the peat physical character. So that the reclamation fit with the environmental carrying capacity and density. Then this model can be used as one of the alternatives policy in utilizing peat land from the environment aspect.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Loebis, Joesron
Jakarta: Puri Fadjar Mandiri , 1999
551.48 LOE h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>