Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139810 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Toto Sugiatno Samingan
"Berkembangnya perdagangan yang melewati batas-batas negara dan adanya perdagangan bebas mengakibatkan semakin terasa kebutuhan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual yang sifatnya tidak lagi timbal balik, tetapi sudah menjadi urusan masyarakat internasional. Organisasi Perdagangan Dunia WTO mengatur dan mewajibkan negara-negara anggotanya untuk memberikan perlindungan yang ketat terhadap hak kekayaan intelektual. Indonesia sebagai anggota WTO telah mengeluarkan undang-undang yang mengatur tentang hak kekayaan intelektual, selain itu negara-negara anggota WTO harus menetapkan otoritas kepabeanan untuk menegakkan hukum hak atas merek dan hak cipta. Dalam posisinya sebagai otoritas pengawas lalu lintas barang baik yang masuk maupun yang keluar dari wilayah pabean Indonesia, otoritas kepabeanan diwajibkan mengendalikan, mengawasi dan menegakkan hukum atas impor atau ekspor barang hasil pelanggaran hak intelektual sebagai lanjutan dari ratifikasi persetujuan WTO untuk memberikan perlindungan kepada pemilik hak. Dengan meningkatnya upaya perlindungan hak atas merek dan hak cipta, peran pihak otoritas kepabeanan dalam melaksanakan perlindungan hak kekayaan intelektual juga semakin penting, karena tugas dan wewenangnya yang sangat efektif dalam menghadapi perdagangan barang khususnya terhadap barang-barang yang diduga melanggar hak atas merek dan hak cipta, baik barang yang dipalsukan maupun barang hasil bajakan sebelum beredar ke pasar domestik atau sebelum barang tersebut di ekspor keluar wilayah pabean Indonesia. Praktek peredaran barang palsu atau bajakan menyebabkan sejumlah kerugian ekonomi. Selain itu, pemalsuan dan pembajakan memiliki efek merugikan bagi kesehatan publik dan keamanan produk. Selanjutnya, pemalsuan merek maupun pembajakan hak cipta merupakan masalah yang perlu dicarikan solusi tindakan untuk memberantasnya. Banyaknya pemalsuan merek, pembajakan hak cipta ataupun pelanggaran hak kekayaan intelektual, konsekuensi logisnya dapat menimbulkan sanksi masyarakat internasional terhadap Indonesia. Sanksi tersebut tidak hanya berdampak ekonomis serta moral yang dapat menurunkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Jika Indonesia tidak dapat melaksanakan penegakan hukum hak atas merek dan hak cipta secara efektif dan memadai, Indonesia akan dikucilkan dari pergaulan internasional. Terdapat beberapa kesimpulan hasil penelitian yang dicapai dari penelitian ini yakni: Pertama, bahwa penegakan hukum hak atas merek dan hak cipta yang dilaksanakan oleh otoritas kepabeanan belum efektif untuk memberikan perlindungan kepada pemilik hak ditinjau dari sudut pandang peraturannya; Kedua, penegakkan hukum hak atas merek dan hak cipta untuk memberikan perlindungan kepada pemilik hak belum efektif karena adanya hambatan dari faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penegakan hukum; Ketiga, dalam upaya mencegah pelanggaran hak atas merek dan hak cipta, perlu dipertimbangkan adanya sistem pengelolaan terintegrasi antar institusi yang berkaitan dengan efektivitas penegakkan hukum oleh otoritas kepabeanan dalam pelaksanaan perlindungan hak.

The development of cross border trade and the presence of free trade have resulted in more senses for the needs of protection against intellectual property rights which its character is no longer reciprocal, but it has become international community affairs. World Trade Organization WTO has regulated and obligated its member countries for providing tight protection against intellectual property rights. Therefore, Indonesia as a member of WTO has promulgated law regulating intellectual property rights. Apart from that, the member countries of WTO have to stipulate customs authorities for enforcing the law on intellectual property rights. In its position as supervisory authority for goods, both entering to as well as outgoing from the Indonesian customs territory, the customs authority is obligatory to control, supervise and enforce the law on import or export of goods resulting from violation to trademark and copyright as continuation from WTO approval ratification for providing protection to the rights holder. By increasing efforts of protection for trademark and copyright, the role of customs authority in implementing protection to trademark and copyright is also getting more important, because their duties and authorities are quite effective in facing trade of goods particularly against goods which are suspected to violate trademark and copyright, both goods which are falsified and goods resulting from the result of piracy prior to circulation to domestic market or before such goods are exported outside the Indonesia customs territories. The circulation of falsified or pirated goods has caused an amount of economic losses. Other than economic impact, falsification and piracy have adverse effect to public health and product safety. Trademark falsification as well as piracy of copyright goods constitutes a problem with needs to look for solution of action for fighting against it. The increasing number of counterfeit trademark, pirated copyright goods or violations to intellectual property rights may arise in international community sanction against Indonesia. Such sanction may have economic as well as moral impact which can reduce the dignity and prestige of the Indonesian nation. If Indonesia is unable to execute the enforcement against trademark and copyright effectively and sufficiently, Indonesia will be isolated from international society. The results as achieved from this research are Firstly that enforcement of trademark and copyright as executed by customs authority have not been effective to provide protection to the owner of right as viewed from the perspective of its regulation. Secondly apart from that, enforcement against trademark and copyright for providing protection to the rights holder has not been effective because there are obstacles from the factors which have influenced the effectiveness of enforcement. Thirdly in the efforts of preventing violation to the trademark and copyright it needs to be taken into account the presence of inter authorities integrated management system in the implementation of trademark and copyright protection.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
D2341
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toto Sugiatno Samingan
"Penegakan hukum hak kekayaan intelektual oleh otoritas kepabeanan ditujukan untuk melindungi pemilik atau pemegang hak dari segi ekonomi, melindungi konsumen terhadap barang-barang bermerek palsu maupun bajakan hak cipta dan untuk kepentingan negara dari segi perdagangan internasional serta penerimaan keuangan negara dilaksanakan dengan dua cara yaitu pasif dan aktif sesuai dengan ketentuan Persetujuan Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights tentang tindakan yang diambil di perbatasan negara walaupun sudah memperlihatkan hasilnya namun masih memerlukan dukungan berupa peran serta secara aktif pemilik atau pemegang hak, masyarakat konsumen, dan kerjasama para penegak hukum, serta perangkat peraturan yang memadai.

Enforcement of intellectual property rights by the Customs Authority is aimed to give economic protection to the owner or holder of the right, consumer protection against counterfeit trademark and pirated goods as well as for the benefit of international trade and national revenue performed by Customs Authority in two actions, that is passive action and active action based on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Agreement concerning with special requirements related to border measures although has been done successfully but it still need support in form of active participation by the owner or holder of the right, consumer as a whole, cooperation among law enforcement agencies and a set of reliable government regulation as well.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T26135
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ryanhar Arismoyo
"Merek dagang berperan penting dalam memberikan informasi yang dapat diandalkan kepada konsumen mengenai kualitas dari suatu barang dan reputasi dari produsennya. Pemalsuan terhadap suatu merek dapat merusak peran penting yag dimiliki suatu merek. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab kebutuhan itu dengan memeriksa secara komparatif bagaimana hukum merek dagang dan hukum kepabeanan yang relevan dapat digunakan sebagai mekanisme penegakan hukum yang efektif di Indonesia, Amerika Serikat, Jepang, dan Thailand. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai Otoritas Kompeten untuk melakukan penegakan merek dagang di perbatasan, akan menjaga sirkulasi barang impor dan ekspor dari pelanggaran merek dagang dan barang pemalsuan melalui rekaman dalam Skema Ex-Officio. Dalam penelitian ini, juga bertujuan menguji keuntungan dan kerugian mekanisme rekaman oleh Bea Cukai & Perlindungan Perbatasan Amerika Serikat, Bea Cukai Jepang, dan Bea Cukai Thailand untuk membuat perbandingan dengan mekanisme rekaman oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dengan melakukan upaya terbaik untuk menegakkan perlindungan merek dagang di wilayah perbatasan, juga akan membuat perlindungan maksimum kekayaan intelektual di dalam negeri dan internasional.

Trademarks play an important role in conveying reliable information to consumers about the quality of goods and the manufacturers reputation. Counterfeiting can destroy these important benefits. Despite difficulty in quantifying its scope and effects, many studies recognise the global prevalence of counterfeiting. Its invasion across product categories harms legitimate producers, economies and society. While there are many contributing factors, only government can make a difference is in setting up a responsive legal system that includes good enforcement against counterfeiting. This study aims to address that need by examining comparatively how the relevant trademark laws and customs laws can be used as effective enforcement mechanisms in Indonesia, United States, Japan, and Thailand. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai as Competent Authorities to do enforcement of trademark in border, will maintain the circulation of import and export goods from infringement of trademark and counterfeiting goods by recordation in Ex-Officio Scheme. In this study, also aims the examining of advantages and disadvantages  recordation mechanism by Customs & Border Protection United States, Japan Customs, and (Royal) Thai Customs, to make comparation with recordation mechanism by Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. By doing the best efforts to enforce trademark protection in border areas, will also make the maximum protection of intellectual property in domestically and internationally.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeremy Sebastian Abimanyu
"Skripsi ini membahas tentang karya seni tato dan kedudukannya dalam hukum hak cipta dengan membandingkan pengaturan dan penegakan hukum hak cipta di Amerika Serikat dan Indonesia. Tato telah menjadi bentuk seni yang semakin populer dan diakui secara luas di berbagai budaya bermasyarakat di seluruh dunia. Tato merupakan sebuah karya seni, sebuah karya seni sudah sepatutnya dilindungi oleh hak cipta. Namun yang menjadi permasalahan, dalam menentukan kedudukan hak ciptanya, tidak semudah dalam halnya karya seni lainnya. Karya seni tato merupakan karya seni yang dalam perwujudannya terfiksasi dalam tubuh individu orang lain. Dengan demikian, tentunya hal ini dapat berpotensi melanggar hak-hak yang dimiliki oleh individu yang ditato. Meskipun di Indonesia belum ditemukan kasus hak cipta pada karya seni tato, di Amerika Serikat sendiri telah muncul banyak kasus hak cipta yang berkaitan dengan karya seni tato.Penelitian ini dilakukan untuk menelaah dan memahami bagaimana kedudukan hukum hak cipta pada karya seni tato dengan turut membandingkan pengaturan dan penegakan hukum yang dipraktikkan di Amerika Serikat dengan turut mengkaji potensi yang dapat muncul dari penegakan hak cipta atas karya seni tato dan memecahkannya dengan solusi yang relevan. Skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan, yang mengkaji berbagai aspek hukum dari sumber kepustakaan. Amerika Serikat dipilih sebagai negara pembanding untuk menganalisis masalah yang dianggap penting. Metode kualitatif digunakan untuk mengumpulkan dan mengolah data secara alamiah, dengan analisis yuridis menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa pengaturan terkait penciptaan oleh lebih dari satu orang berbeda antara Indonesia dan Amerika Serikat. Pengecualian terjadi pada karya seni tato yang desainnya telah sepenuhnya dibuat oleh seniman tato dari awal atau pada flash tattoo. Dalam kasus ini, seniman tato menjadi satu-satunya pencipta karya tersebut. Solusi yang dapat dilakukan adalah dengan membuat perjanjian tertulis yang memungkinkan beberapa pelaksanaan hak moral, seperti penghapusan, modifikasi, distorsi, dan sebagainya.

This thesis examines the art of tattoo and its position within copyright law by comparing the regulation and enforcement of copyright law in the United States of America and Indonesia. Tattoos have become an increasingly popular and widely recognized art form in various societal cultures around the world. A tattoo is considered a work of art, and as such, should be protected by copyright. However, determining the position of copyright for tattoos is not as simple as in the case of other art forms. Tattoos are works of art that are fixed on the bodies of individuals, which can potentially infringe upon the rights of the individuals who are tattooed. This research aims to examine and understand the legal status of copyright for tattoos by comparing the regulation and enforcement practices in the United States of America, while also exploring potential issues that may arise from the enforcement of copyright on tattoo artworks and proposing relevant solutions. This thesis utilizes a normative juridical research method with a comparative approach, analyzing various aspects of the law through literature sources. The United States of America was selected as a comparative country to analyze important issues. Qualitative methods are employed to collect and process data naturally, along with juridical analysis using primary and secondary legal materials. Based on the research conducted, it can be concluded that there are differences in the regulations concerning the creation of tattoos by more than one person between Indonesia and the United States. The position of copyright, as established by the U.S. Copyright Act, provides rights to individuals who are tattooed, thus creating fair legal certainty by considering the interests of both tattoo artists and the individuals being tattooed. However, there is one exception, namely in the case of tattoo art where the design has been entirely created by the tattoo artist from the beginning or with flash tattoos. In this scenario, the tattoo artist is the sole creator. However, a possible solution is to establish a written agreement that allows for some moral rights implementation, such as removal, modification, distortion, etc."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Ghalia Indonesia , 1994
346.048 6 UND
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Boy Prawiranegara
"Kurangnya pemahaman mengenai perbedaan antara perlindungan Hak Cipta dan Merek menyebabkan munculnya sengketa Hak Cipta yang sesungguhnya merupakan sengketa Merek. Pada dasarnya Perlindungan Hak Cipta hanya diterapkan dalam kaitannya dengan komersialisasi Ciptaan. Ciptaan yang dimaksud dalam konteks perlindungan Hak Cipta adalah karya yang memiliki sifat khas dan pribadi yang menunjukan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. Dengan demikian yang menjadi objek adalah Ciptaan itu sendiri yang dikomersialkan melalui perbanyakan atau pengumuman. Sedangkan perlindungan Merek pada dasarnya bertujuan melindungi produk, baik itu berupa barang ataupun jasa, dari asosiasi yang keliru terkait sumber dari produk tersebut yang kemudian akan melindungi produsen maupun konsumen atas produk yang bersangkutan. Merek sendiri didefinisikan sebagai tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Perbedaan antara kedua perlindungan diatas sering menjadi kabur terutama ketika kekayaan intelektual yang disengketakan berupa logo yang dijadikan Merek. Perlindungan ganda memang dimungkinkan terhadap logo yang dijadikan Merek namun penerapannya haruslah melihat kembali kepentingan sebenarnya dibalik klaim yang diajukan penggugat. Jika ingin melindungi sebuah Ciptaan dari tindakan yang melanggar hak eksklusif seseorang atas sebuah Ciptaan (baik hak ekonomi maupun moral) maka gunakanlah perlindungan Hak Cipta. Namun gunakanlah perlindungan Merek apabila yang ingin dilindungi adalah sebuah produk (barang maupun jasa) dari adanya pemalsuan asosiasi oleh pihak lain (kompetitor) yang dapat mengganggu tingkat penjualan maupun reputasi produk tersebut.

Lack of understanding of the difference between the protection of Copyright and protection of Trademark led to Copyright disputes which actually, if correctly characterized, at the heart of Trademark domain. Copyright deals with protection of works in the domain of literature, science, and art. The set of rights copyright law offers creators all relate to exploitation of the work itself. On the other hand, Trademark law deals with association of a product, it gives the right holder the ability to attempt to control the association consumers make when they encounter a mark. Trademark law seek to protect a product (services or goods) from false association. Law No. 15 of 2001 regarding Marks defined Trademark as sign in the form of a picture, name, word, letters, numeral composition of colours, or a combination of said elements, having distinguishing features and used in the activities of trade in goods or services.The line between these two different regime is often blurred when it comes to logo. Logo, particularly when they are used as a mark, is one of those spaces of intellectual property where there is great deal of overlap between Copyright and Trademark. Even though Copyright and Trademark protection may be applied to such a logo, its application, when a dispute arise, should depend on the interest the claimant seek to protect. Copyright protection should be applied if the interest seek to protect are the incentives given by Copyright law and the economic rights that come form the limited monopoly copyright law grants. Trademark protection applied when the interest seek to protect inhere in integrity, reputation, or false association of a product."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S54485
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Adriel Devanza
"Dengan berkembangnya penerapan Hukum Kekayaan Intelektual dalam pasar, serta meningkatnya perdagangan internasional, muncul dua konsep hukum dalam rezim HKI, yaitu Exhaustion yang merupakan hilangnya hak distribusi barang terkait HKI, serta Impor Paralel, yang merupakan tindakan mengimpor barang terkait HKI masuk ke dalam sebuah negara yang mana HKI barang tersebut telah terdaftar. Terdapat dua bentuk prinsip Exhaustion; National Exhaustion dimana hak distribusi barang hanya hilang di dalam negeri, yang mana jika dilakukan penjualan dari luar negeri maka hak distribusi masih ada dan impor paralel dapat dilarang, dan International Exhaustion dimana hak distribusi barang dimanapun barang dijual dan Impor Paralel diperbolehkan. Dalam Penelitian ini Penulis akan mengkaji prinsip Exhaustion dan Impor Paralel yang dianut oleh rezim Hak Cipta, Hak Merek, dan Hak Paten di Indonesia, hasil penelitian yang ditemukan adalah terdapat kekosongan hukum prinsip Exhaustion serta pengaturan Impor Paralel dalam rezim Hak Cipta melalui UU 28/2014 dan Hak Merek melalui UU 20 2016. Dalam konteks UU Hak Paten secara eksplisit melarang Impor Paralel melalui ketentuan Pasal 160 ayat (1) dengan pengecualian obat-obatan, tetapi masih terdapat ambiguitas prinsip Exhaustion yang dianut apa dalam rezim Paten. Atas berbagai kekosongan hukum tersebut Penulis membandingkan ketentuan Hukum Indonesia dengan Hukum Amerika Serikat dalam ranah Intellectual Property bagi Hak Merek, Hak Paten, dan Hak Cipta untuk menemukan metode terbaik untuk mengisi kekosongan hukum tersebut. Hasil perbandingan dan analisa penulis adalah diperlukanya ketentuan Exhaustion dan Impor Paralel yang tegas dalam Hak Cipta Serta Hak Merek melalui penjelasan yang spesifik kapan terpicunya Exhaustion, dalam konteks Hak Merek juga dapat dicontoh ketentuan Lever Rule AS, bagi UU Hak Paten perlu kejelasan mengenai doktrin Exhaustion untuk memberi kejelasan mengenai kebolehan Post-sale Restriction atau perjanjian pengendalian distribusi setelah penjualan.

With the development of the application of Intellectual Property Law in the global market, as well as the increase in international trade, two legal concepts have emerged in the IPR regime, namely Exhaustion, which is the loss of distribution rights of IPR-related goods, and Parallel Importation, which is the act of importing IPR-related goods into a country where the IPR of the goods has been registered. There are two forms of the Exhaustion principle; National Exhaustion where the right to distribution of goods is only lost in the country of origin, which if sales are made from abroad then the distribution rights still exist and parallel imports can be prohibited, and International Exhaustion where the right to distribution of goods wherever the goods are sold and Parallel Imports are allowed. In this study, the author will examine how the principle of Exhaustion and Parallel Imports adopted by the Copyright, Trademark Rights, and Patent Rights regimes in Indonesia, the results of the research found are that there is a legal vacuum of the Exhaustion principle and Parallel Import arrangements in the Copyright regime through Law No. 28 of 2014 and Trademark Rights through Law No. 20 of 2016. In the context of the Patent Law, it explicitly prohibits Parallel Imports through the provisions of Article 160 paragraph (1) with the exception of medicines, but there is still ambiguity as to what Exhaustion principle is adopted in the Patent regime. For the various legal lacunae, the author compares the provisions of Indonesian Law with United States Law in the realm of Intellectual Property for Trademark Rights, Patent Rights, and Copyright to find the best method to fill the legal lacunae. The results of the comparison and the author's analysis are the need for strict Exhaustion and Parallel Import provisions in Copyright and Trademark Rights through a specific explanation of when Exhaustion is triggered, in the context of Trademark Rights can also be emulated by the provisions of the US Lever Rule, for the Patent Rights Act it is necessary to clarify the doctrine of Exhaustion to provide clarity on the permissibility of Post-sale Restriction or distribution control agreements after sales. "
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Setiawan Iteh
"Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2017 tentang Pengendalian Impor atau Ekspor Barang yang Diduga Merupakan atau Berasal dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut PP Pengendalian Impor Ekspor Pelanggaran HKI) mengatur prosedur Perekaman & Penegahan sebagai bagian dari penegakan HKI di kawasan pabean. Adapun Pasal 5 ayat (3) PP Pengendalian Impor Ekspor Pelanggaran HKI menyatakan bahwa perekaman hanya dapat diajukan oleh Pemilik atau Pemegang Hak yang merupakan badan usaha, yang berkedudukan di Indonesia. Di sisi lain, Persetujuan TRIPs sendiri mengatur prinsip national treatment. Dengan demikian Peneliti bermaksud untuk meninjau prinsip national treatment berdasarkan Persetujuan TRIPs dan pengaturan tindakan penegakan HKI di kawasan Pabean berdasarkan Persetujuan TRIPs, dan akhirnya mengkaji bagaimana ketentuan persyaratan pemohon perekaman ditinjau dari prinsip national treatment berdasarkan Persetujuan TRIPs. Penelitian ini dilakukan dalam bentuk penelitian hukum normatif (doktriner).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah ketentuan mengenai prinsip national treatment tidak diatur secara tegas maupun secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, namun penerapan prinsip tersebut tetap tersirat dalam peraturan perundang-undangan di bidang HKI. Persetujuan TRIPs mengatur tindakan penegakan di kawasan pabean, yaitu prosedur Penangguhan (suspension of release) dan prosedur Penegahan (ex officio action). Ketentuan persyaratan pemohon perekaman HKI sebagaimana diatur di dalam Pasal 5 ayat (3) PP Pengendalian Impor Ekspor Pelanggaran HKI bertentangan dengan prinsip national treatmentberdasarkan Persetujuan TRIPs karena telah mengakibatkan tertutupnya kesempatan bagi Pemilik atau Pemegang Hak atas Merek dan Hak Cipta asing mendapat perlindungan khsusunya dalam hal tindakan Penegahan. Saran dari Peneliti adalah agar Pasal 5 ayat (3) PP Pengendalian Impor Ekspor Pelanggaran HKI dapat dirubah sehingga tidak bertentangan dengan prinsip national treatment.

Government Regulation Number 20 of 2017 concerning Import or Export Control of Goods Allegedly are or Derived from Results of Intellectual Property Rights Infringement (hereafter refer to Regulation of Import Eksport of IP Infringement) regulate the procedure of recording & ex officio preliminary suspension as a part of the IP enforcement in customs area. Article 5 paragaraph (3) of the Regulation of Import Eksport of IP Infringement states that recording can only be submitted by the Owner or Rights Holder who is a business entity, domiciled in Indonesia. On the other hand, the TRIPs Agreement regulates the national treatment principle. Thus the Researcher intends to review the national treatment principle and the IP enforcement in the customs area according to the TRIPs Agreement, and finally review how the requirements for the recording applicant viewed from the national treatment principle according to the TRIPs Agreement. This research was conducted in the form of normative legal research (doctrinaire).
The conclusion of this study is that the provisions regarding the national treatment principle are not explicitly regulated in legislation, but the application of these principles remains implicit in the legislation of IP. The TRIPs Agreement regulate IP enforcement in the customs area, i.e. procedure of suspension of release and the procedure of ex officio action. The requirements for the applicant of trademark and copyright recordation in the recordation system of the Directorate General of Customs as stipulated in Article 5 paragraph (3) of the Regulation of Import Eksport of IP Infringement is in contrary to the national treatment principle according to the TRIPs Agreement, because it has resulted in the closed opportunity for foreign Owners or Rightsholders of Trademarks and Copyright to receive legal protection, namely the ex officio preliminary suspension. Therefore, the researcher recommend to chane the provision of Article 5 paragaraph (3) of the Regulation of Import Eksport of IP Infringement so it would not in contrary to the national treatment principle according to the TRIPs Agreement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T52026
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandy Budiman
"Kreatifitas merupakan modal bagi seseorang untuk menciptakan karyanya. Meski demikian kreatifitas haruslah dapat membawa manfaat. Individu yang menghasilkannya juga perlu mendapatkan kepastian hukum sehingga terjaminlah perlindungannya. Namun perlindungan yang bersifat domestik dianggap belumlah cukup. Komunitas internasionalpun akhirnya turun tangan dengan mengeluarkan dua hal terkait perlindungan hak cipta, yakni Berner Convention dan Universal Copyright Convention. Setiap individu maupun kelompok secara regulasi mendapatkan perlindungan hukum (UU No.28 Tahun 2014). Negara berkembang khawatir bahwa penerapan HKI yang ketat justru akan membuat harga royalti dan lisensi makin mahal, dan negara-negara berkembang banyak yang belum bisa mengikuti regulasi yang ada dalam melakukan pembayaran royalti dan lisensi dalam konteks ini adalah royalti dan lisensi hak cipta musik. Dalam beberapa pasal pada Undang-Undang Hak Cipta, diaturlah apa yang dinamakan aspek pidana. Mulai dari Pasal 112 sampai dengan Pasal 119. Diantara delapan buah pasal tersebut, yang berkaitan dengan usaha karaoke adalah Pasal 113, Pasal 117, dan Pasal 119. Pasal 113 dan Pasal 117 mengatur mengenai larangan menggunakan hak ekonomi untuk kepentingan komersil tanpa seizin pencipta atau pemegang hak cipta. Penegakan hukum aktual (actual enforcement) adalah gambaran yang tampak atau terealisir. Penegakan hukum aktual terjadi karena penegakan hukum total terhambat karena berbagai kendala seperti undang-undang yang tidak sempurna, kekurangan sarana dan prasarana penegakan hukum, kualitas sumber daya manusia yang kurang, juga partisipasi masyarakat yang rendah. Selain itu dalam penegakan hukum yang total terdapat diskresi dimana terdapat decision not to enforce. Situasi tersebut dinamakan diskresi polisi. Profesionalisme Polri dipertaruhkan dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum salah satunya dalam penegakan hukum tindak pidana Hak Cipta dalam usaha karaoke. Seorang polisi yang profesionalisme digambarkan sebagai seorang ahli yang memiliki pengetahuan khusus dalam suatu bidang tertentu yang dianggap penting dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu kemampuan penegakan hukum ideal dan aktual penting untuk mengetahui kondisi riil penegakan tindak pidana hak cipta dalam usaha karaoke oleh Polri.

Creativity is a capital for someone to create his work. Nevertheless creativity must be able to bring benefits. Individuals who produce it also need legal certainty so that protection is guaranteed. However, domestic protection is deemed insufficient. The international community finally intervened by issuing two things related to copyright protection, namely the Berner Convention and Universal Copyright Convention. Every individual or group in regulation gets legal protection (Law No.28 of 2014). Developing countries are concerned that the strict application of IPR will make royalties and licenses more expensive, and many developing countries that have not been able to follow existing regulations in paying royalties and licenses in this context are royalties and music copyright licenses. In several articles in the Copyright Act, what is called the criminal aspect is regulated. Starting from Article 112 to Article 119. Among the eight articles, those relating to karaoke business are Article 113, Article 117, and Article 119. Article 113 and Article 117 regulate the prohibition on using economic rights for commercial interests without the author's permission or holder Copyright. Actual law enforcement (actual enforcement) is a picture that appears or is realized. Actual law enforcement occurs because total law enforcement is hampered due to various obstacles such as imperfect laws, lack of facilities and infrastructure for law enforcement, lack of quality human resources, and low community participation. Besides that, in total law enforcement there is discretion where there is a decision not to enforce. This situation is called police discretion. The professionalism of the Indonesian National Police is at stake in carrying out its duties as a law enforcer, one of which is the enforcement of the law on Copyright in the karaoke business. A policeman whose professionalism is described as an expert who has special knowledge in a particular field that is considered important in people's lives. Therefore, the ability to enforce ideal and actual law is important to know the real conditions of enforcement of criminal acts of copyright in the karaoke business by the National Police."
Jakarta: Sekolah kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2018
T55478
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christine S.T. Kansil
Jakarta: Bumi Aksara, 1990
346.048 KAN h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>