Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173599 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ayu Lestari
"Kuersetin memiliki banyak aktivitas farmakologi tetapi bioavailabilitas dan absorpsi kuersetin rendah. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan formula mikrosfer fitosom kuersetin untuk pemberian secara oral mengevaluasi formulasi tersebut pada uji ketersediaan hayati menggunakan tikus Sprague Dawley. Optimasi formula fitosom telah dilakukan pada penelitian ini, yaitu F1, F2, F3 dengan konsentrasi kuersetin berturut-turut adalah 1%, 1,5%, dan 2%.
Hasil menunjukkan bahwa F1 adalah formula terbaik dengan morfologi vesikel sferis, efisiensi penjerapan 96,57 ± 5,61%, ukuran partikel rata-rata 266,6 ± 1,37 nm, indeks polidispersitas 0,388 ± 0,01 dan potensial zeta -29,43 ± 0,75 mV sehingga digunakan pada formulasi mikrosfer. Mikrosfer yang dibuat terdiri dari dua formula, yaitu mikrosfer fitosom (MF) dan mikrosfer non fitosom (MNF).
Pembuatan mikrosfer dilakukan dengan proses enkapsulasi menggunakan metode semprot kering. Formula MF yang dihasilkan berbentuk sferis, dengan ukuran partikel 1154,67 ± 69,10 nm dan efisiensi penjerapan 98,56 ± 0,05 %. Uji ketersediaan hayati dilakukan terhadap kedua formula dan suspensi oral kuersetin sebagai pembanding. Konsentrasi maksimum (Cmax) untuk MF, MNF, dan suspensi oral berturut-turut adalah 213,33 ± 73,51 ng/mL, 92,79 ± 16,88 ng/mL, 95,01 ± 2,66 ng/mL. Hasil uji ketersediaan hayati formula mikrosfer fitosom kuersetin memberikan profil farmakokinetik yang lebih baik dibandingkan mikrosfer non fitosom dan suspensi oral.

Quercetin has many pharmacological activities but it has low bioavailability and absorption. The purpose of this research is to get quercetin phytosome microspheres formula for oral administration and evaluate it in the bioavailability study using Sprague Dawley rats. Phytosome formula optimization has been done in this study, namely F1, F2, F3 with concentration of quercetin in a row is 1%, 1.5% and 2%.
The results show that F1 is the best formula with spherical vesicle morphology, entrapment efficiency 96.57 ± 5.61%, average particle size 266.6 ± 1.37 nm, polydispersity index 0.01 ± 0.388 and zeta potential -29,43 ± 0.75 mV, so it was incorporated into microspheres formulation. Microspheres made comprised of two formulas, namely phytosome microspheres (MF) and non phytosome microspheres (MNF).
Microspheres was made with the encapsulation process by spray drying method. MF formula produced has spherical morphology, with particle size 1154.67 ± 69.10 nm and the entrapment efficiency of 98.56 ± 0.05%. Bioavailability test conducted on both formula and oral suspension quercetin as a comparison. The maximum concentration (Cmax) for MF, MNF, and oral suspension respectively are 213.33 ± 73.51 ng/mL, 92.79 ± 16.88 ng/mL, 95.01 ± 2.66 ng/mL. The bioavailability study of quercetin phytosome microspheres formula provide a better pharmacokinetic profile than non phytosome microspheres and oral suspensions formula."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
T48904
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Delly Ramadon
"Kuersetin merupakan salah satu flavonoid dengan aktivitas antioksidan tinggi namun memiliki bioavailabilitas oral yang rendah. Tujuan dari penelitian ini adalah meningkatkan penetrasi dan ketersediaan hayati dari kuersetin. Pada penelitian ini telah dilakukan optimasi formula etosom, yaitu E1, E2 dan E3 dengan konsentrasi kuersetin berturut-turut adalah 1%; 1,5%; dan 2%.
Hasil menunjukkan E2 adalah formula terbaik dengan efisiensi penjerapan 97,26 ± 0,09 %, Dmean volume 128,73 ± 16,35 nm, indeks polidispersitas = 0,545 ± 0,05 dan potensial zeta = -34,83 ± 0,64 mV sehingga digunakan pada formulasi sediaan gel. Sediaan gel yang dibuat terdiri dari dua formula, yaitu gel etosom (GE) dan gel non etosom (GNE). Terhadap kedua gel tersebut dilakukan evaluasi stabilitas fisik, uji penetrasi in vitro menggunakan sel Difusi Franz dan uji ketersediaan hayati pada tikus jantan Sprague Dawley. Berdasarkan hasil uji stabilitas fisik GE lebih stabil daripada GNE.
Hasil uji penetrasi in vitro menunjukkan jumlah kumulatif kuersetin terpenetrasi dari GE lebih tinggi daripada GNE, yaitu 7264,71 ± 463,10 ng.cm-2 untuk GE dan 2545,98 ± 239,85 ng.cm-2 untuk GNE, dengan nilai fluks untuk GE dan GNE masing-masing adalah 343,35 ± 17,69 ng.cm-2.jam-1 dan 120,68 ± 11,92 ng.cm-2.jam-1. Pada uji ketersediaan hayati, GE memberikan konsentrasi maksimum (Cmax) yang lebih tinggi daripada GNE ataupun suspensi oral. Cmax untuk GE, GNE dan suspensi oral berturut-turut adalah 413,49 ± 28,64 ng/mL; 189,46 ± 49,68 ng/mL dan 61,92 ± 14,31 ng/mL.
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa GE dapat meningkatkan penetrasi dan ketersediaan hayati kuersetin bila dibandingkan dengan sediaan lainnya.

Quercetin is one of flavonoids with high antioxidant activity, but low oral bioavailability. The aim of this research is to increase quercetin penetration and bioavailability. In this research three ethosomes formulas were prepared and optimized, e.g. E1, E2 and E3 with quercetin concentration were 1%, 1.5% and 2%, respectively.
E2 is the best formula with highest entrapment eficiency (97.26 ± 0.09 %), Dmean volume 128.73 ± 16.35 nm, polydispersity index 0.545 ± 0.05 and zeta potential = -34.83 ± 0.64 mV, so it was incorporated into gel dosage forms. There were two gels prepared, e.g. ethosomal gel (GE) and non ethosomal gel (GNE). Both of them were evaluated their physical stability. In vitro penetration test using Franz Diffusion cells and bioavailability study in Sprague Dawley male rats were also performed to each dosage forms.
Results showed that GE was more physically stable than non GNE. According to in vitro penetration study, cumulative penetration of quercetin from GE was higher than GNE, which value for GE and GNE were 7264.71 ± 463.10 ng.cm-2 and 2545.98 ± 239.85 ng.cm-2, respectively. Flux for GE and GNE were 343.35 ± 17.69 ng.cm-2.hours-1 and 120.68 ± 11.92 ng.cm-2.hours-1, respectively. In bioavailability study GE showed the best result compared to GNE and oral suspension. Cmax from GE, GNE and oral suspension were 413.49 ± 28.64 ng.mL-1; 189.46 ± 49.68 ng.mL-1 and 61.92 ± 14.31 ng.mL-1.
It can be concluded that GE can increase penetration and bioavailability of quercetin compared to other dosage forms."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
T44530
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Andrew Raymizard
"ABSTRACT
Mikrosfer telah diaplikasikan pada berbagai bidang, salah satunya dalam drug delivery, hal ini dikarenakan mikrosfer dapat mengenkapsulasi banyak jenis obat termasuk molekul kecil, protein, dan asam, selain itu juga dapat mengontrol pelepasan obat di dalam tubuh. Untuk memperoleh pelepasan obat yang optimum di dalam tubuh, mikrosfer harus memiliki ukuran tidak melebihi 250 mm, dan distribusi ukuran yang sempit. Adapun parameter yang mempengaruhi hal tersebut antara lain: jenis surfaktan, konsentrasi surfaktan, kecepatan pengadukan, dan waktu pengadukan. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan karakterisasi dan optimasi mikrosfer polipaduan Poli (D-asam laktat) dan Polikaprolakton menggunakan surfaktan tween 80 dengan metode penguapan pelarut, kemudian mengkarakterisasi mikrosfer yang telah berhasil dibuat dengan FTIR, PSA, Mikroskop Optik. Penelitian ini melakukan beberapa variasi metode, yaitu variasi konsentrasi tween 80, variasi kecepatan pengadukan dispersi, dan variasi waktu pengadukan dispersi. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi optimum pembuatan mikrosfer dengan menggunakan surfaktan Tween 80 pada konsentrasi 1,5%, dengan kecepatan pengadukan dispersi sebesar 900 rpm, dan lama waktu pengadukan dispersi selama satu jam. Kondisi tersebut menghasilkan % padatan mikrosfer sebesar 71,5%, ukuran mikrosfer 0,451 mm, dan distribusi ukuran yang sempit.

ABSTRACT
Microspheres have been applied to various fields, one of which is in drug delivery systems, this is because the microspheres can encapsulate many types of drugs including small molecules, proteins, and acids, while also controlling drug release in the body. To obtain the optimum drug release in the body, microspheres must have a size not exceeding 250 µm, and a narrow size distribution. The parameters that affect this include: type of surfactant, surfactant concentration, stirring speed, and stirring time. This study aims to characterize and optimize Poly (D-lactic acid) and Polycaprolactone microspheres using tween 80 surfactant with solvent evaporation method, then characterize microspheres that have been successfully made with FTIR, PSA, Optical Microscope. This study carried out several variations of the method, namely variations in the concentration of tween 80, variations in the speed of dispersion stirring, and variations in time of stirring dispersion. In this study showed that the optimum conditions for making microspheres using Tween 80 surfactant at a concentration of 1.5%, with a dispersion stirring speed of 900 rpm, and the duration of stirring dispersion for one hour. This condition produces% microsphere solids of 71.5%, microspheres size of 0.451 µm, and narrow size distribution."
[, ]: 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Florencia Adeline Adiwinata
"Radikal bebas merupakan senyawa yang berperan penting dalam pengaturan fungsi tubuh dalam konsentrasi rendah, namun dapat memicu berbagai masalah kesehatan jika terakumulasi berlebih dalam tubuh. Kuersetin sebagai senyawa antioksidan alami dapat dikonsumsi untuk mengatur kadar senyawa radikal bebas dalam tubuh. Pemanfaatan kuersetin dalam bidang obat-obatan memiliki kendala akibat kelarutan dalam air, stabilitas, dan bioavailabilitas oralnya yang rendah, sehingga diperlukan matriks yang dapat melarutkan kuersetin dalam konsentrasi tinggi serta rute penghantaran yang tepat untuk meningkatkan penyerapan dan bioavailabilitasnya dalam tubuh. Penelitian ini mengenkapsulasi ekstrak kuersetin dari Sophora japonica dalam matriks nanopartikel lipid solid (QSLN) dengan asam palmitat sebagai lipid. QSLN dibuat dengan metode homogenisasi kecepatan tinggi dan ultrasonikasi serta dihantarkan melalui rute transdermal. Variasi konsentrasi surfaktan dan ekstrak kuersetin digunakan untuk mengevaluasi karakteristik fisikokimia, aktivitas antioksidan, dan profil rilis transdermal formula yang dibuat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak kuersetin dari Sophora japonica memiliki kandungan kuersetin hingga 89,53% dengan total konten flavonoid 770 mg kuersetin ekivalen/g ekstrak. QSLN yang dibuat memiliki ukuran partikel 587 – 1.390 nm dengan PDI 0,527 – 0,815 dan potensial zeta -25,2 sampai -29,43 mV. Kestabilan jangka panjang QSLN berada pada rentang 5,6 hingga 7,5 bulan. Formula terbaik berdasarkan ukuran partikel dan kestabilan, yaitu QSLN2 (0,5% ekstrak kuersetin dan 5% surfaktan) dan QSLN4 (0,7% ekstrak kuersetin dan 6% surfaktan) dihitung yield, kapasitas muat, dan efisiensi enkapsulasinya serta dikembangkan menjadi formula transdermal berbentuk krim dengan penambahan gelling agent. Kedua formula memiliki yield sekitar 81%, kapasitas muat 0,55% dan 0,78%, serta efisiensi enkapsulasi 99,2% dan 99,6%. Penambahan gelling agent pada formula meningkatkan umur simpannya sebanyak 12 – 25 hari. Uji rilis transdermal terhadap krim QSLN2 dan QSLN4 menghasilkan persen rilis kuersetin kumulatif sebesar 0,13% dan 0,12% setelah 8 jam. Uji aktivitas antioksidan DPPH dan FRAP menunjukkan bahwa ekstrak kuersetin yang digunakan memiliki IC50 sebesar 2,17 ppm dan nilai FRAP 1.113 ?mol Fe2+/g ekstrak, sementara perhitungan teoritis terhadap aktivitas antioksidan krim QSLN menghasilkan nilai FRAP 4,89 dan 6,98 ?mol Fe2+/g krim. Secara keseluruhan, formula yang didapatkan sudah berhasil mengenkapsulasi ekstrak kuersetin dengan baik, namun masih perlu pengembangan untuk dapat memenuhi parameter ukuran partikel dan kestabilan yang sesuai untuk penghantaran transdermal.

Free radicals have an essential role in regulating body functions at low concentrations but can trigger various health problems if they accumulate in excess in the body. Quercetin as a natural antioxidant compound can be consumed for free radicals regulation in the body. The use of quercetin in the pharmaceutical field is limited due to its low water solubility, stability, and oral bioavailability, therefore a matrix that can dissolve quercetin in high concentrations and appropriate delivery routes are needed to increase its absorption and bioavailability in the body. This study encapsulated quercetin extract from Sophora japonica in solid lipid nanoparticles (QSLN) with palmitic acid as the lipid. QSLN is made by high shear homogenization and ultrasonication and is delivered via the transdermal route. Variations of surfactant and quercetin extract concentrations were used to evaluate the physicochemical characteristics, antioxidant activity, and transdermal release profile of the formulated QSLN. The results showed that the quercetin extract from Sophora japonica has a quercetin content of up to 89.53% with a total flavonoid content of 770 mg quercetin equivalent/g of extract. The prepared QSLN has a particle size of 587 – 1,390 nm with a PDI of 0.527 – 0.815 and a zeta potential of -25.2 to -29.43 mV. The long-term stability of the QSLN ranges from 5.6 to 7.5 months. The best formulas based on particle size and stability, namely QSLN2 (0.5% quercetin extract and 5% surfactant) and QSLN4 (0.7% quercetin extract and 6% surfactant) were calculated for yield, loading capacity, and encapsulation efficiency and developed into a transdermal cream with the addition of a gelling agent. The two formulas have a yield of around 81%, loading capacity of 0.55% and 0.78%, and encapsulation efficiency of 99.2% and 99.6%. The addition of a gelling agent to the formulas increases their shelf life by 12 – 25 days. The transdermal release test of QSLN2 and QSLN4 creams resulted in a cumulative quercetin release percent of 0.13% and 0.12% after 8 hours. DPPH and FRAP antioxidant activity tests showed that the quercetin extract used had an IC50 of 2.17 ppm and a FRAP value of 1,113 ?mol Fe2+/g extract, while theoretical calculations of the antioxidant activity of QSLN cream yielded a FRAP value 4.89 dan 6.98 ?mol Fe2+/g cream. Overall, the formulas obtained have succeeded in encapsulating quercetin extract but still need further development to meet the appropriate particle size and stability parameters for transdermal delivery."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jusni Djatin
Jakarta: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 1977
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Bioavailabilitas suatu obat adalah laju dan jumlah relatif obat yang mencapai sirkulasi umum tubuh (sistem peredaran darah). Laju relatif obat yang mencapai sistem peredaran darah (laju absorbsi) dapat ditentukan dari konstanta laju absorbsi, sedangkan jumlah relatif obat yang terabsorbsi dapat ditentukan dari availabilitas absolut atau availabilitas relatif. Manfaat dari biavailabilitas diantaranya adalah dapat diketahui waktu yang dibutuhkan suatu obat agar dapat memberikan efek terapi dan seberapa banyak obat tersebut dapat terserap oleh tubuh. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah menggunakan parameter dan variabel farmakokinetik untuk menentukan bioavailbilitas suatu obat jika tubuh diasumsikan sebagai model farmakokinetik satu dan dua kompartemen untuk pemberian obat melalui oral dengan dosis tunggal. Data yang digunakan adalah data konsentrasi obat dalam plasma dan data banyak obat dalam urin. Pada akhir skripsi ini akan disimulasikan menentukan bioavailabilitas dengan menggunakan program Matlab 7. "
Universitas Indonesia, 2006
S27635
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zuliar Permana
"Telah dikembangkan formulasi sediaan transdermal gel glukosamin yang menggunakan senyawa enhancer: etanol,  propilen glikol,  dan  gliserin. Kemampuan penetrasi perkutan formulasi sediaan tersebut dievaluasi dengan uji penetrasi perkutan in vitro menggunakan sel difusi Franz melalui penambahan 1 g sediaan gel glukosamin 1% ke dalam kompartemen donor dan uji ketersediaan hayati in vivo pendahuluan menggunakan seorang subyek manusia sehat melalui aplikasi selama 10 jam dosis tunggal 10 g sediaan gel glukosamin 1% di kedua lututnya. Jumlah kumulatif glukosamin yang terpenetrasi dari formula kontrol, formula I (etanol 3%), formula II (etanol 5%), formula III (propilen glikol 1%), formula IV (propilen glikol 3%), formula V (gliserin 1%), dan formula VI (gliserin 3%) setelah 180 menit secara berturut-turut adalah sebanyak 76,4836 ± 2,3479; 417,8439 ± 18,9042; 583,1494 ± 5,9162; 152,1894 ± 1,5184; 515,1065 ± 14,0069; 83,0822 ± 0,0364; dan 478,6089 ± 3,7406 µg.cm-². Laju penetrasi atau fluks rata-rata glukosamin dari formula kontrol, formula I, formula II, formula III, formula IV, formula V, dan formula VI selama 180 menit secara berturut-turut adalah 24,4453; 123,608; 167,5478; 47,0377; 164,603; 28,7548; dan 139,3895 µg.cm-2.jam-1. Waktu laten dari formula kontrol, formula I, formula II, formula III, formula IV, formula V, dan formula VI secara berturut-turut adalah 13,89; 10,24; 9,75; 13,05; 10,04; 13,51 menit, dan tidak dapat diekstrapolasikan. Profil ketersediaan hayati menunjukkan Cmaks, tmaks, dan AUC0-10 dari formula II dan formula kontrol secara berturut-turut adalah 310,56 ng.mL-1, jam ke-5, dan 2079,85 ng.mL-1.jam; 285,79 ng.mL-1, jam ke-5, dan 1921,65 ng.mL-1.jam.

A transdermal formulation of glucosamine gel using skin penetration enhancers, i.e. ethanol, propylene glycol, and glycerin had been developed. Penetration ability of the formulation was evaluated by in vitro penetration study using Franz diffusion cell with 1 g glucosamine gel 1% applied into the donor compartment and in vivo preliminary bioavailability study of a healthy male subject received a single dose of 10 g glucosamine gel 1% on both knees as long as 10-hour applications. Cumulative amount of glucosamine penetrated from control, formula I (ethanol 3%), formula II (ethanol 5%), formula III (propylene glycol 1%), formula IV (propylene glycol 3%), formula V (glycerin 1%), and formula VI (glycerin 3%) after 180 minutes penetration study were 76.4836 ± 2.3479; 417.8439 ± 18.9042; 583.1494 ± 5.9162; 152.1894 ± 1.5184; 515.1065 ± 14.0069; 83.0822 ± 0.0364; and 478.6089 ± 3.7406 µg.cm-² respectively. Mean flux of glucosamine from control, formula I, formula II, formula III, formula IV, formula V, and formula VI within 180 minutes were 24.4453; 123.608; 167.5478; 47.0377; 164.603; 28.7548; and 139.3895 µg.cm-2.hour-1 respectively. Lag time for steady-state of control, formula I, formula II, formula III, formula IV, formula V, and formula VI were 13.89; 10.24; 9.75; 13.05; 10.04; 13.51 minutes, and unextrapolated one, respectively. The bioavailability profile showed the Cmax, tmax, and AUC0-10 of formula II and control were 310.56 ng.mL-1, 5 hours, and 2079.85 ng.mL-1.hour; 285.79 ng.mL-1, 5 hours, and 1921.65 ng.mL-1.hour respectively.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
T52831
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vera Ayu Rahmawati
"ABSTRAK
Kuersetin merupakan salah satu flavonoid subkelas flavonol yang berkhasiat bagi kesehatan. Apel malang merupakan buah yang kaya akan kandungan kuersetin, banyak dikonsumsi oleh masyarakat, serta mudah untuk didapatkan.Untuk meningkatkan penetrasi kuersetin, dapat digunakan etosom sebagai vesikel dan umumnya diaplikasikan ke dalam sediaan gel Pada penelitian ini, dibuat sediaan gel etosom dan gel kontrol (gel tanpa dibuat etosom) ekstrak kulit buah apel malang (Malus sylvestris Mill) yang mengandung kuersetin. Ekstrak diperoleh dengan metode ekstraksi maserasi, etosom-ekstrak dibuat dengan metode hidrasi lapis tipis, gel etosom dan gel kontrol dibuat menggunakan basis gel karbomer. Diperoleh kestabilan fisik sediaan paling baik yaitu pada penyimpanan suhu rendah (4 ± 20C). Kedua sediaan diuji daya penetrasinya dengan alat sel difusi franz menggunakan membran kulit bagian abdomen tikus galus Sprague-Dawley. Jumlah kumulatif kuersetin yang terpenetrasi dari sediaan gel etosom dan gel kontrol berturut-turut adalah 4913.46 ± 535.86 ng/cm2 dan 2434.84 ± 257.54 ng/cm2. Persentase jumlah kuersetin yang terpenetrasi dari sediaan gel etosom dan gel ekstrak berturut-turut adalah 4.33 ± 0.47 % dan 2.14 ± 0.23 % dengan fluks 204.9 ± 223 ng/cm2jam dan 101.45 ± 10.73 ng/cm2jam. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sediaan gel etosom memiliki daya penetrasi lebih besar dari sediaan gel kontrol.

ABSTRACT
Quercetin is kind of flavonoid, it’s flavonol class which can give benefits for health. Apple is one of fruits which contains abundant source of quercetin, being consumed generally and affordable by most people in the world. For enhance of penetration ability of it, Quercetin can applied into ethosomal system as vehicle and generally applied into gel dosage form. In this research, two kind of dosage form were made. They were ethosome gel and control gel (gel non ethosome) extract of peels of apple malang fruit (Malus sylvestris Mill) which contain quercetin. Extract was obtained using of maceration extraction method, ethosomeextract made using thin layer hydration method,ethosome gel and control gel made using carbomer base. Acquired the physical stability of the dosage form were most excellent in low temperature storage (4±20C). Both of dosage form were examined penetration ability by in vitro franz diffusion cell test using Sprague-Dawley rat skin abdomen as diffusion membrane. Total cumulative penetration of quercetin from ethosome gel and extract gel dosage form, respectively were 4913.46±535.86 ng/cm2 and 2434.84±257.54 ng/cm2. The percentage of penetrated quercetin from both of dosage form respectively were 4.33 ±0.47 % and 2.14±0.23 % with value offluks were 204.9 ± 223 ng/cm2jam and 101.45±10.73 ng/cm2jam. Base on thoseresult, it can conclude that penetration ability of ethosome gel dosage form is higher than control gel.
"
2015
S61082
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Adha Yuliani
"Mikrosfer merupakan salah satu bentuk sediaan yang banyak diteliti saat ini karena sifat unik yang dimilikinya. Penelitian ini bertujuan untuk membuat dan mengkarakterisasi mikrosfer kitosan suksinat tersambung silang natrium sitrat. Pada penelitian ini mikrosfer kitosan suksinat yang disambung silang dengan sitrat (KS-S) telah berhasil dibuat dengan metode semprot kering dan perbandingan obat-polimer yaitu 1:2. Polimer kitosan suksinat yang digunakan merupakan hasil modifikasi antara kitosan dengan anhidrida suksinat. Mikrosfer kemudian dievaluasi ukuran partikel, bentuk dan morfologi, efisiensi penjerapan,indeks mengembang, efiseiensi penjerapan, dan pelepasan obat secara in vitro. Dari hasil penelitian diperoleh, diameter rata-rata mikrosfer KS-S 29,29 μm dengan permukaan mikrosfer yang halus dan cekung pada sisinya. Efisiensi penjerapan mikrosfer KS-S sebesar 84,30%. Pelepasan teofilin pada medium asam dari mikrosfer KS-S pada jam ke-2 lebih cepat dibanding pada medium basa dengan nilai masing-masing 82,63% dan 69,24%.

Microsphere is one of the dosage form that is currently widely studied because of its unique properties. This study aims to create and characterize chitosan succinate microspheres crosslinked sodium citrate. In this study, micro-spheres chitosan succinctness cross-linked sodium citrate (CS-S) has been successfully prepared by spray drying method and the drug-polymer ratio 1:2. The used chitosan succinctness polymer was the modified-chitosan with succinct an-hydride. Then, the particle size, shape and morphology, entrapment efficiency, swelling behavior, and in vitro drug release of the microspheres were evaluated. Based on the results, the average volume diameter of CS-S was 29,29 μm with a smooth and concave surface on the side. The entrapment efficiency of CS-S micro-sphere was 84,30%. The release of theophylline from CS-S microsphere in acidic medium during 2h was faster than that in alkaline medium, which were 82,63% and 69,24%, respectively."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S1770
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gardiani Febri Hadiwibowo
"Pada penelitian ini mikrosfer telah dihasilkan dan terbentuk dari hasil reaksi sambung silang antara kitosan suksinat (KS) dan natrium tripolifosfat (STPP) pada pH 6 dengan menggunakan metode semprot kering. Teofilin digunakan sebagai model obat dengan perbandingan polimer dan obat 2:1. Kitosan suksinat yang digunakan merupakan hasil modifikasi kimia kitosan dengan reaksi substitusi gugus suksinat ke dalam gugus amin kitosan.
Modifikasi ini terbukti menambah kelarutan kitosan suksinat pada medium basa dibandingkan dengan kitosan. Reaksi sambung silang dilakukan untuk menghasilkan suatu polimer yang lebih dapat menahan obat dan mengubah profil pelepasan obat.
Dari hasil penelitian diperoleh diameter rata-rata mikrosfer sebesar 22,12 μm dengan efisiensi penjerapan teofilin berkisar antara 79-81%. Indeks mengembang mikrosfer KS-STPP pada medium basa lebih rendah jika dibandingkan dengan pada medium asam selama 2 jam.
Dari hasil penelitian, pelepasan teofilin dari mikrosfer kitosan suksinat-STPP pada medium basa (44,37%) lebih rendah daripada medium asam (51,61%). Selama 8 jam mikrosfer kitosan suksinat-STPP lebih dapat menahan pelepasan teofilin dibandingkan dengan mikrosfer kitosan-STPP dalam medium asam dan basa. Hal ini menunjukkan bahwa mikrosfer kitosan suksinat berpotensi digunakan sebagai matriks dalam sediaan lepas lambat."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2012
S1790
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>