Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123478 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adhitya Widyatama
"ABSTRAK
Teknologi digital atau Teknologi Informasi dan Komunikasi TIK telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan teknologi saat ini juga dipengaruhi atas konvergensinya layanan penyiaran, telekomunikasi dan informatika. Seiring dengan konvergensinya layanan TIK maka jumlah penggunaan perangkat telekomunikasi yang berupa terminal bagi pengguna akan semakin meningkat seperti contohnya smartphone. Seperti halnya negara lain, Indonesia menerapkan type approval untuk perangkat telekomunikasi. Kecenderungan type approval diperkirakan juga akan semakin meningkat mengingat tren Internet of Things IoT . Pengujian merupakan tahapan paling lama dalam proses sertifikasi yaitu selama 17 hari dari 23 hari waktu proses sertifikasi perangakat telekomunikasi. Untuk mempercepat proses sertifikasi dan simplifikasi regulasi maka dikeluarkan kebijakan sertifikasi dengan cara Deklarasi Kesesuaian Declaration of Conformity untuk pesawat telepon seluler, komputer genggam dan komputer tablet. Pemerintah fokus terhadap tiga jenis perangkat tersebut karena secara market share ketiga produk tersebut paling banyak digunakan masyarakat. Kebijakan tersebut dianggap mempercepat alternatif sertifikasi akan tetapi lebih menguntungkan merek asing dibandingkan merek lokal dalam hal kesiapan laboratorium uji.Pada tesis ini, kebijakan sertifikasi alat dan perangkat telekomuniksi akan dievaluasi. Metode yang digunakan adalah Regulatory Impact Analysis RIA dan menghasilkan usulan solusi alternatif berupa pengkategorian perangkat telekomunikasi menjadi dua kategori yang terdiri dari Kategori 1 untuk perangkat menggunakan teknologi baru dan perangkat yang risiko tinggi apabila tidak sesuai seperti aspek keamanan, kesehatan dan dampak lingkungan dimana untuk Kategori 1 akan menerapkan skema Sertifikasi sementara Kategori 2 untuk kategori perangkat risiko rendah dan produk yang telah mature dimana untuk Kategori 2 akan diterapkan skema Supplier Declaration of Conformity SDoC .

ABSTRACT
Digital Technology or Information and Communication Technology ICT has been progressing very rapidly. Current technological developments also affected on service convergence of broadcasting, telecommunications and informatics. As the convergence of ICT services, the number of telecommunications devices like customer premises equioment will be increased for example a smartphone. Like other countries, Indonesia applying for type approval for telecommunications equipment. The tendency of type approval expected to increase given the trend of the Internet of Things IoT . Testing is the longest stage of the certification process which is 17 days of the 23 day of telecommunication equipment certification time. To accelerate the certification process and simplification of regulation, certification policy is issued by Declaration of Conformity for mobile phone, handheld computer and tablet computer. The government focus on three types of these devices because the market share of these three products is the most widely used. The policy is considered to accelerate certification alternatives but more favorable to foreign brands than local brands in terms of test lab readiness.In this thesis, the certification policy of telecommunication equipment will be evaluated. The method used is Regulatory Impact Analysis RIA and developed the Alternative Solution the form of categorization of telecommunication equipment into two categories consisting of Category 1 for devices using new technologies and devices that are high risk if not appropriate such as aspects of safety, health and environmental impacts where Category 1 will apply the Certification Scheme and Category 2 for low risk device and mature products which for Category 2 will apply the Supplier Declaration of Conformity SDoC scheme."
2017
T47925
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widyanto Adinugroho
"Produksi dan peredaran perangkat telekomunikasi dewasa ini telah melonjak secara signifikan jumlahnya. Tingginya importasi perangkat menimbulkan kekhawatiran tersediri bagi otoritas terkait di Indonesia. Interoperabilitas dan keselamatan pengguna merupakan faktor yang menjadi perhatian utama dan merupakan tanggung jawab pemerintah. Oleh karena itu, layaknya di negara lain, Indonesia menerapkan sistem sertifikasi untuk perangkat telekomunikasi.
Namun sertifikasi yang berjalan di Indonesia seringkali mengalami kendala. Teguran demi teguran datang dari organisasi-organisasi perdagangan internasional seperti World Trade Organization (WTO) karena Indonesia dianggap menerapkan Technical Barriers to Trade (TBT) melalui sertifikasi perangkat telekomunikasi. Di sisi lain, publik seringkali mengalami permasalahan yang ditimbulkan oleh sertifikasi perangkat telekomunikasi. Mulai dari legalitas perangkat telekomunikasi tertentu yang beredar di pasar hingga peningkatan nilai ekonomi dari produk-produk impor tertentu ketika masuk ke pasar. Kondisi-kondisi tersebut merupakan indikasi bahwa sertifikasi perangkat telekomunikasi di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan dan membutuhkan perbaikan.
Menanggapi hal tersebut, dilakukan analisis terhadap sertifikasi perangkat telekomunikasi di Indonesia. Dengan menggunakan analisa SWOT dan balanced scorecard, dilakukan penilaian kondisi saat ini terhadap sasaran strategis yang telah dirumuskan. Analisis kesenjangan juga dilakukan untuk merumuskan rekomendasi guna peningkatan kinerja sertifikasi perangkat telekomunikasi di Indonesia.
Rekomendasi untuk sertifikasi perangkat telekomunikasi di Indonesia dari perspektif Regulatory Authority adalah dengan menerapkan Segregation of Duties. Terbentuknya lembaga atau instansi baru dapat meningkatkan fokus dan kinerja masing-masing fungsi serta mencegah conflict of interest yang merupakan kendala utama dalam penyelenggaraan sertifikasi.

The productions and distributions of telecommunication equipment nowadays has risen significantly. The soaring numbers of imported telecommunication equipment has generated concerns for related authorities in Indonesia. Interoperability and user?s safety are two factors which have become main consideration for government and are the responsibility of government to bear. Hence, like other countries, Indonesian government has been applying certification for telecommunication equipment.
However, Indonesian certification encounters some constraints at most of time. Monition after monition are coming from international trade organizations such as World Trade Organization (WTO) because Indonesian certification is considered practicing Technical Barriers to Trade (TBT) through telecommunication equipment certification. On the other hand, public often fall victim to telecommunication equipment certification. From legality issues of certain telecommunication equipment to the raising of economic value of certain imported products when entering the markets. These conditions are indeed indicatiors for many weaknesses of certification in Indonesia and its need for improvement.
Addresing these issues, it is need to conduct analysis to telecommunication equipment certifications in Indonesia. By using SWOT analysis and balanced scorecard, assessment between existing performance to pre-defined strategic objectives are conducted. Gap analysis is also used in formulating recommendation to improve the performance of telecommunication equipment certification in Indonesia.
Recommendation for telecommunication equipment certification in Indonesia from Regulatory Authority?s perspective is to implement Segregation of Duties. Establishment of new agencies will enhance focuses and performances of each functions and prevent conflict of interests which are the main constraints in certification.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
T48912
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bakti Santoso
"Indonesia dengan jumlah penduduk nomor empat terbanyak di dunia (setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat) akan menyambut bonus demografi yang diperkirakan akan terjadi pada tahun 2030. Bonus demografi adalah suatu fenomena dimana struktur penduduk sangat menguntungkan dari sisi pembangunan karena jumlah penduduk usia produktif sangat besar, sedang proporsi usia muda sudah semakin kecil dan proporsi usia lanjut belum banyak. Diperkirakan jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) mencapai sekitar 70 persen, sedangkan penduduk yang tidak produktif (usia 14 tahun ke bawah dan usia di atas 65 tahun) sekitar 30 persen (BKKBN, 2017). Namun, jika bangsa Indonesia tidak mampu menyiapkan diri menyambut bonus demografi tersebut, seperti penyediaan lapangan kerja dan peningkatan kualitas SDM, maka akan terjadi permasalahan, yaitu terjadinya pengangguran yang besar dan akan menjadi beban negara. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa broadband menjadi salah satu faktor penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menyediakan lapangan kerja baru dan layanan yang menunjang pendidikan dan kesehatan. World Bank menyampaikan bahwa penambahan 10% penetrasi broadband memicu pertumbuhan ekonomi sebesar 1,38% di negara berkembang dan 1,12% di negara maju (World Bank, 2010). Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis pengembangan permintaan (demand) layanan pitalebar bergerak (mobile broadband) di Indonesia menggunakan metode regulatory impact analysis (RIA). Hasil dari penelitian ini selanjutnya mengusulkan adanya intervensi regulasi dengan pemberian bantuan kepada masyarakat yang terkendala oleh biaya (affordability barrier) untuk berlangganan layanan pitalebar bergerak (mobile broadband). Bantuan yang diberikan berupa biaya pembelian perangkat pitalebar bergerak (smartphone) dan biaya berlangganan layanan pitalebar bergerak (layanan data). Dengan adanya intervensi regulasi ini diperkirakan penetrasi pelanggan pitalebar bergerak (mobile broadband) akan mencapai 77% pada tahun 2025 dan memberikan manfaat (net social benefit) sebesar US$ 43,81 milyar.

Indonesia with the fourth largest population in the world (after China, India, and the United States) will welcome the demographic bonus which is expected to occur in 2030. Demographic bonus is a phenomenon where the population structure is very beneficial in terms of development because the population of productive age is very large, while the proportion of young people is getting smaller and the proportion of elderly is not much. It is estimated that the age of the labor force (15-64 years) reaches around 70 percent, while the unproductive population (aged 14 years and under and aged over 65 years) is around 30 percent (BKKBN, 2017). However, if the Indonesian people are not able to prepare themselves to welcome the demographic bonus, such as providing employment and improving the quality of human resources, there will be problems, namely the occurrence of large unemployment and will be a burden on the state. From several studies that have been carried out it is known that broadband is one of the important factors in driving economic growth by providing new jobs and services that support education and health. World Bank said that the addition of 10% broadband penetration triggered economic growth of 1.38% in developing countries and 1.12% in developed countries (World Bank, 2010). This research aims to analyze the development of demand for mobile broadband services in Indonesia using the regulatory impact analysis (RIA) method. The results of this study further suggest a regulatory intervention by providing assistance to the public that is constrained by the cost (affordability barrier) to subscribe to mobile broadband services. Assistance is provided in the form of costs for purchasing mobile broadband devices (smartphones) and subscription fees for mobile broadband services (data services). With this regulatory intervention it is estimated that mobile broadband subscribers penetration will reach 77% by 2025 and provide a net social benefit of US $ 43.81 billion."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
T55113
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cicin Aslian
"Makin meningkatnya pemasukan dan peredaran alat dan perangkat telekomunikasi di Indonesia dari tahun ke tahun adalah sangat mengganggu pergerakan perekonomiaan dan berpontesi adanya kebocoran pajak dari sektor alat dan perangkat telekomunikasi. Hal ini membutuhkan peran pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk lebih intensif melakukan pengawasan dan pengendalian baik di pintu masuk impor di hulu maupun yang telah beredar di masyarakat di hilir.
Belum adanya sistem pengawasan dan pengendalian alat dan perangkat telekomunikasi yang baku dan terintegrasi antar Kementerian/Lembaga membuat belum efektifnya fungsi pengawasan alat dan perangkat telekomunikasi khususnya pada alat dan perangkat perangkat telekomunikasi kelompok Customer Premises Equipment CPE, banyak ditemukenali beredarnya alat dan perangkat telekomunikasi ilegal dipasaran.
Terkait hal tersebut, Tesis ini dalam rangka menyusun suatu sistem pengawasan dan pengendalian alat dan perangkat telekomunikasi yang lebih efektif dan efisien dengan mengintegrasikan pemangku kepentingan Kementerian/Lembaga terkait.
Metode yang digunakan dalam menyusun sistem pengawasan dan pengendalian alat dan perangkat telekomunikasi ini adalah dengan metode Gap Analysis dan Indepth Interview berupa penentuan kesenjangan antara sistem pengawasan dan pengendalian alat dan perangkat telekomunikasi saat ini dan yang diharapkan kedepannya. Data yang diperoleh dari berbagai sumber dan melalui wawancara dengan narasumber terkait diolah dan dianalisis untuk mendapatkan suatu sistem pengawasan dan pengendalian alat dan perangkat telekomunikasi yang optimal.
Tujuan dalam penelitian ini adalah mengevaluasi dan mengembangkan rekomendasi untuk peningkatan kualitas Sistem Pengawasan dan Pengendalian Alat dan Perangkat Telekomunikasi yang efektif dan efisien sehingga dapat mengurangi beredarnya alat dan perangkat telekomunikasi ilegal terutama telepon selular, yang berdasarkan data Mobile Crime Industry Action Forum MCIAF mencapai 20 dari total penjualan telepon selular di Indonesia.

The increasing revenue and circulation of telecommunication equipment and devices in Indonesia from year to year is very disturbing the economic movement and contribute to the leakage of taxes from the telecommunications equipment and devices sector. This requires the role of government and relevant stakeholders to intensively monitor and control both at the entrance of imports upstream and those already circulated in the community downstream.
The absence of a system of supervision and control of standard and integrated telecommunication equipment and devices between Ministries Institutions has not yet been effective in monitoring telecommunication equipment and devices especially in telecommunication equipment and appliance group of Customer Premises Equipment CPE, widely known as illegal telecommunication equipment and equipment in the market.
Related to this matter, this Thesis in order to arrange a system of supervision and control of telecommunication equipments and devices more effective and efficient by integrating stakeholders of related Ministries Institutions.
The method used in preparing the system of supervision and control of telecommunication equipment and devices is by Gap Analysis and Indepth Interview method of determining the gap between monitoring system and control of telecommunication equipment and devices at this time and the expected future. Data obtained from various sources and through interviews with relevant sources are processed and analyzed to obtain a system of supervision and control of optimal telecommunication equipment and devices.
The purpose of this study is to evaluate and develop recommendations for quality improvement of Monitoring and Controlling System of Telecommunication Equipment and Devices that are effective and efficient so as to reduce the circulation of illegal telecommunication equipment and devices, especially mobile phones, based on Mobile Crime Industry Action Forum MCIAF data reaching 20 of total cellular phone sales in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
T50661
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Burhanudin
"ABSTRAK
Indonesia membutuhkan pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang dilakukan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata serta adanya kepastian hukum sehingga mampu mendorong pemerataan ekonomi. Namun, dengan kondisi keuangan operator saat ini, terutama operator non dominan, rasa kawatir akan kemampuan operator untuk melakukan pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang adil dan merata di seluruh wilayah Indonesia menjadi sebuah tanda tanya tersendiri. Suatu cara yang bisa dilakukan operator, khususnya operator non dominan, yaitu melakukan efisiensi di sisi pengeluaran melalui berbagi infrastruktur. Akan tetapi, berbagi infrastruktur dapat mempengaruhi kompetisi antar operator seluler, termasuk perubahan landscape model bisnis, sehingga sering kali menimbulkan resistansi dari operator yang telah memiliki infrastruktur jaringan yang lebih merata. Tujuan penelitian ini adalah mengusulkan kerangka regulasi berbagi infrastruktur jaringan bagi operator seluler yang tepat diterapkan di Indonesia. Hasil analisis menggunakan regulatory impact analysis menunjukkan bahwa regulasi eksisting sudah saatnya dilakukan perubahan sehingga regulasi yang baru diharapkan mampu mendorong terciptanya iklim bisnis yang sehat dan berkelanjutan secara komersial bagi seluruh operator. Regulatory framework yang berupa mengizinkan operator seluler untuk melakukan skema MORAN bisa diterima oleh semua stakeholder, kecuali oleh operator dominan dengan tingkat resistansi yang relatif tidak terlalu besar. Hasil analisis menggunakan cost and benefit analysis menghasilkan net benefit sebesar Rp. 52,183 trilyun selama 5 tahun, nilai multi criteria analysis sebesar 49, dan nilai competitive impact analysis sebesar 60.

ABSTRACT
Indonesia needs the development of telecommunication infrastructure based on the principle of benefit, fair, equitable and the existence of legal certainty so as to encourage economic equity. However, with the current financial condition of operators, especially non dominant operators, a sense of anxiety over the operators capability to undertake a fair and equitable development of telecommunication infrastructure across Indonesia becomes a question mark. A way that operators can, especially non dominant operators, do efficiency on the expenditure through infrastructure sharing. However, infrastructure sharing can affect competition among mobile operators, including changes in the landscape of business models, which often leads to the resistance of operators who already have a more equitable network infrastructure. The purpose of this study is to propose a regulatory framework of infrastructure sharing for mobile operators appropriately implemented in Indonesia. The result of the analysis using regulatory impact analysis showed that the existing regulation is time to change so that the new regulation is expected to encourage the creation of commercially sustainable and healthy business for all operators. Regulatory framework in the form of allowing mobile operators to perform MORAN schemes can be accepted by all stakeholders, except by dominant operators with relatively small resistance levels. The result of analysis using cost and benefit analysis resulted net benefit Rp. 52.183 trillion for 5 years, multi criteria analysis value is 49, and competitive impact value is 60. "
2018
T51091
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mangiring, Jhony
"Saat ini populasi di dunia hampir mencapai 7,6 milliar dengan pertumbuhan 1,1% per tahun, yang berarti 83 juta orang bertambah setiap tahunnya. Seiring dengan pertumbuhan populasi, pangsa pasar akan Internet of Things (IoT) juga meningkat secara eksponensial yang membuat kompetisi di bidang IoT semakin besar selaras dengan pertumbuhan trafik data yang mengakibatkan terjadinya krisis spektrum frekuensi radio. Saat ini teknologi LPWAN telah diimplementasikan oleh perusahaan utilitas nasional yaitu PLN dengan smart meternya yang membantu perusahaan tersebut memotong biaya operasional dan menjaga kualitas layanan kepada masyarakat. Namun saat ini regulasi atas teknologi LPWAN belum ada terutama pada alokasi spektrum frekuensi, standar perangkat teknologi LPWAN dan bisnis modelnya. Penulisan ini dimaksudkan untuk mencari alternativealternatif yang terbaik untuk teknologi LPWAN dengan stakeholder terkait dan melakukan analisis biaya hak penggunaan spectrum frekuensi radio yang sesuai untuk implementasi LPWAN.

Currently the world's population is nearly about 7.6 billion with a growth of 1.1% per year, which means that 83 million people are growing annually. As the population grows, the market share of Internet of Things (IoT) also increases exponentially which makes the IoT competition bigger in line with data traffic growth resulting in a radio frequency spectrum crises. Currently LPWAN technology has been implemented by the national utility company that is PLN with its smart meter that helps the company cut operating costs and maintain the quality of service to the community. However, the current regulation of LPWAN technology does not exist, especially in the allocation of frequency spectrum, LPWAN technology device standard and business model. This writing is intended to find the best alternatives for LPWAN technology with relevant stakeholders and to analyze the right cost of using the appropriate radio frequency spectrum for LPWAN implementation.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
T49221
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Prasanti
"Kemajuan industri ICT di Indonesia lebih berperan menjadi pendorong ekonomi konsumsi daripada ekonomi produksi, Perangkat ICT buatan Indonesia hanya mengisi pasar sebesar 0.8%. Melalui kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), pemerintah berharap akan menggiatkan usaha lokal dan membentuk ekosistem industri manufaktur baru, yang diharapkan menjadi cikal bakal bangkitnya kembali industri nasional.
Namun Sistem perhitungan TKDN yang ada belum memperhitungkan komponen brainware dan inovasi dengan prosentase yang proporsional sehingga kurang maksimal dalam mengembangkan industri dan menumbuhkan ekosistem seperti yang dicitakan pada tujuan kebijakan.
Melalui wawancara mendalam (indepth interview) dan Gap Analysis untuk mengevaluasi regulasi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) diketahui bahwa kebijakan yang ada perlu diperbaiki kinerjanya dengan menambahkan unsur brainware dan melakukan monitoring pelaksanaan kebijakan.
Rekomendasi rumusan TKDN perangkat telekomunikasi dengan formula baru ditambahkan komponen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan pembobotan software sehingga mampu memberikan prosentase brainware yang proporsional.

The ICT industry's progress in Indonesia tend to drive economic consumption than production, Indonesia-made ICT device simply fill market share only 0.8%. The Indonesian government hopes that the regulation of Domestic Content Level will encourage local businesses and will establish new manufacturing ecosystem, which is expected to be the forerunner of the revival of the national industry.
However, the existing regulation of Domestic Content Level has not considered brainware aspect and innovation in a proportional percentage, then induce lower growth of industrial and the ecosystem support.
Indepth interview and Gap Analysis method is used to evaluate government regulation of Domestic Content Level, and known that the existing policy needs to be improved by adding an element of brain-ware and monitoring policy implementation.
Recommendations formulation of TKDN for telecommunications equipment added component of Intellectual Property Rights (IPR) and the weighting software, so as to provide a proportionate percentage of brainware factor.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
T34931
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jevon Valentino
"Energi listrik merupakan energi yang saat ini paling dibutuhkan, terutama bagi wilayah yang sedang mengembangkan perekonomiannya. Berdasarkan data pada RUPTL Tahun 2021, kebutuhan listrik di Indonesia mencapai 1.172 kWh/kapita pada tahun 2022. Hal ini menandakan adanya keterkaitan dengan keandalan dari jaringan listrik yang digunakan guna mencapai pasokan listrik yang baik bagi konsumen. Oleh karena itu, dibutuhkan perhitungan untuk mengetahui nilai indeks keandalan dari sebuah jaringan listrik, salah satunya dengan menerapkan metode RIA (Reliability Index Assessment). Metode RIA (Reliability Index Assessment) merupakan sebuah metode yang dapat digunakan untuk melakukan prediksi gangguan pada jaringan distribusi dengan hasil akhir yang akan mendekati hasil lapangan yang sebenarnya, untuk meminimalisir gangguan dari jaringan listrik. Penelitian ini mengimplementasikan metode RIA dengan memperhitungkan nilai indeks keandalan berupa indeks SAIDI dan indeks SAIFI yang akan dibandingkan dengan hasil pemodelan jaringan melalui perangkat lunak ETAP 19.0.1 serta standar SPLN 16 : 2021 dan IEEE Std. 1366-2000. Hasil akhir dari penelitian menunjukkan bahwa GH0069 memiliki selisih nilai indeks SAIDI sebesar 4,47245 jam/pelanggan/tahun, dengan indeks SAIDI sebesar 8,472539 jam/pelanggan/tahun dan indeks SAIFI sebesar 0,991283 kali/pelanggan/tahun.

Electrical energy is the energy that is currently most needed, especially for regions that are developing their economies. Based on data in the 2021 RUPTL, electricity demand in Indonesia will reach 1,172 kWh/capita in 2022. This indicates that there is a connection with the reliability of the electricity network used to achieve a good electricity supply for consumers. Therefore, calculations are needed to determine the reliability index value of an electricity network, one of which is by applying the RIA (Reliability Index Assessment) method. The RIA (Reliability Index Assessment) method is a method that can be used to predict disturbances in distribution networks with final results that will be close to actual field results, to minimize disturbances from the electricity network. This research implements the RIA method by calculating the reliability index values in the form of the SAIDI index and SAIFI index which will be compared with the results of network modeling via ETAP 19.0.1 software as well as the SPLN 16 : 2021 and IEEE Std. 1366-2000 standard’s. The final results of the research show that GH0069 has a difference in the SAIDI index value of 4.47245 hours/customer/year, with a SAIDI index of 8.472539 hours/customer/year and a SAIFI index of 0.991283 times/customer/year."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farchan Yuni Laksono
"Ekosistem obyek wisata Pantai Teleng Ria mempunyai manfaat terukur (tangible) dan manfaat tidak terukur (intangible). Manfaat tangible adalah nilai uang yang dihasilkan oleh Pantai Teleng Ria sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah bagi Pemerintah Kabupaten Pacitan. Sedangkan manfaat intangible adalah manfaat yang berbentuk immaterial atau tidak dapat diraba namun bisa dirasakan seperti keunikan, pemandangan pantai yang indah, udara yang bersih dan kondisi lingkungan yang baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi nilai ekonomi Pantai Teleng Ria dan mengevaluasi harga sewa pemanfaatan oleh PT El John Tirta Emas Wisata. Dengan pendekatan biaya perjalanan (travel cost method) diperoleh nilai willingness to pay (WTP) terhadap obyek wisata Pantai Teleng Ria sebesar Rp. 47.571,- per individu per kunjungan. Dengan mengalikan nilai WTP dengan jumlah wisatawan pada tahun 2011 maka nilai ekonomi Pantai Teleng Ria adalah Rp. 10.665.465.771,-. Nilai WTP individu tersebut dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk menentukan harga tiket masuk, namun keuntungannya harus dapat digunakan untuk menjaga dan melestarikan keberadaan ekosistem Pantai Teleng Ria.
Dari perhitungan pemasukan yang diterima oleh PT El John, nilai investasi, aset yang dikelola serta perkiraan biaya operasional perusahaan, seharusnya Pemerintah Kabupaten Pacitan mendapatkan pemasukan sewa lebih dari Rp. 500.000.000,- per tahun. Hal ini selain untuk meningkatkan pendapatan asli daerah juga untuk memperbaiki infrastruktur dan aksesibilitas menuju obyek wisata Pantai Teleng Ria.

Ecosystem of Teleng Ria Beach has measurable benefits (tangible) and intangible benefits (intangible). Tangible benefit is worth the money generated by Teleng Ria Beach as one of local revenue source for the Pacitan Government. While the intangible benefits is advantages in the form of immaterial or can not be felt but could be perceived as unique, beautiful coastal scenery, clean air and good environmental condition.
The aims of this study are to estimate the economic value and to evaluate rents utilization of Teleng Ria Beach by PT El John Tirta Emas Wisata. Using the travel cost method we ​​obtained willingness to pay (WTP) for tourist attractions Teleng Ria Beach is 47,571 IDR - per individual per visit. The economic value of Teleng Ria Beach is 10,665,465,771 IDR. This value is resulted by multiplied between WTP and the number of tourists in 2011. WTP value ​​can be considered to raise the price of admission, even though profit obtained should be used to maintain and preserve the Teleng Ria Beach ecosystems.
Based on the calculation of income received by PT El John, the value of investments, which be managed by PT El John and estimated operating costs of the company, the Pacitan Government possibly could obtained more income than 500,000,000 IDR per year. In addition, this revenue could be used to increase the local revenue in general as well as to improve infrastructure and accessibility towards the tourist attraction Teleng Ria Beach.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
T32735
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lucia Ika Susanti
"ABSTRAK
Perkembangan teknologi 4G LTE menjadi momentum bagi pemerintah Indonesia untuk memberlakukan kewajiban TKDN pada perangkat telekomunikasi 4G LTE. Pemerintah mewajibkan perangkat terminal pengguna 4G LTE untuk memenuhi persentase penggunaan komponen lokal sebesar 20 dan meningkat menjadi 30 mulai Januari 2017 untuk 4G FDD-LTE dan Januari 2019 untuk 4G TDD-LTE. Pada Juli 2016 Kementerian Perindustrian menetapkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 65/M-IND/PER/7/2016 tentang tata cara penghitungan TKDN untuk telepon genggam, komputer tablet, dan komputer genggam dengan memasukkan komponen aplikasi dalam penghitungan TKDN dan memberlakukan skema TKDN hardware atau TKDN software, serta TKDN investasi. Dengan adanya perubahan tata cara penghitungan TKDN pada 3 komoditas, maka perlu dilakukan analisis terhadap implementasi TKDN untuk melihat kesiapan industri dalam memenuhi peningkatan persentase TKDN 4G LTE menjadi 30 pada Januari 2017 serta menentukan tindakan untuk mengatasi hambatan dalam mencapai tujuan TKDN.Melalui indepth interview pada pemangku kepentingan dari pemerintah, industri, asesor, dan praktisi diperoleh informasi tentang implementasi TKDN 4G LTE dari sisi kebijakan, industri manufaktur, pengembangan, aplikasi, dan investasi, yang kemudian dianalisis menggunakan gap analysis untuk merumuskan tindakan korektif. Penelitian menganalisis tata cara penghitungan TKDN dengan Regulatory Impact Analysis dan menghasilkan usulan Solusi Alternatif dengan perubahan pada ketentuan komponen investasi, prasyarat dan penghitungan komponen aplikasi, serta penilaian melalui pre-assessment dan post-assessment untuk monitoring.

ABSTRACT
The development of 4G LTE has become a momentum for the Indonesian government to impose the obligation of Local Content Level LCL on 4G LTE equipments. The government requires that 4G LTE subscriber station to meet the percentage for local component usage by 20 and increases to 30 in January 2017 for 4G FDD LTE and January 2019 for TDD LTE 4G. In July 2016 the Ministry of Industry issued a Minister Decree No. 65 M IND PER 7 2016 regarding the LCL calculation method for mobile phone, tablet computer, and handheld by including application component in the calculation and introducing LCL scheme of hardware and software, as well as LCL based on investment. With the amendment of LCL calculation method on these three commodities, it is necessary to analyze the implementation of the LCL to see the readiness of the industry to meet the increasing percentage of 4G LTE LCL to 30 in January 2017 and to determine the actions to overcome the obstacles in reaching LCL rsquo s objectives.Through in depth interview on stakeholders from regulator, industry, assessor, and practitioner, information about the implementation of LCL 4G LTE rsquo s policy, manufacturing, design house, application, and investments were obtained, which were then analyzed using gap analysis to formulate corrective actions. This research analyzed the LCL calculation method with Regulatory Impact Analysis and developed the Alternative Solution as its result with amendment on the provisions of the investment component, prerequisite and calculation method for application component, as well as the assessment through the pre assessment and post assessment for monitoring. "
2016
T46918
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>