Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 57530 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rifdah Lathifah
"Tesis ini disusun menggunakan perspektif feminisme poskolonial untuk menganalisa dokumen Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1325. Penulis melihat bahwa Resolusi 1325 merupakan solusi yang tidak tepat dalam menangani dampak dari konflik bersenjata terhadap perempuan. Resolusi 1325 diadopsi pada tahun 2000 dan dilihat sebagai suatu perangkat yang lebih mengakomodasi Barat dan perempuan kulit putih untuk berpartisipasi dalam pembangunan perdamaian dibandingkan untuk mengikutsertakan semua perempuan dari berbagai macam latar belakang dan identitas dalam pembangunan perdamaian pasca konflik. Terdapat 1,322 kata dalam dokumen ini, namun tidak ada satu katapun yang menggambarkan nuansa ras etnisitas, agama, maupun latar belakang sejarah.
Konflik bersenjata memberikan dampak yang berbeda terhadap perempuan dan laki-laki. Perbedaan dampak ini yang kemudian akan menghasilkan diskriminasi terhadap perempuan. Resolusi 1325 hanya melihat diskiriminasi seksual sebagai bentuk diskriminasi yang paling buruk yang didapatkan perempuan saat konflik. Banyaknya bentuk diskriminasi yang didapatkan perempuan pasca konflik bersenjata menjadikan Resolusi 1325 menjadi alat yang kontraproduktif dalam mendorong perempuan untuk mendapatkan haknya pasca konflik. Hilangnya unsur interseksionalitas dalam Resolusi 1325 ini juga menjadikan Resolusi ini sebagai sesuatu yang hanya bersifat solutif sehingga akan memungkinkan kembali terjadinya konflik dan diskriminasi terhadap perempuan, terutama perempuan negara Dunia Ketiga dimana konflik rentan terjadi.

This Graduate Thesis is developed using a postcolonial feminist perspective to conduct an interpretative document analysis on the United Nations Security Council Resolution UNSCR 1325. The author argues that Resolution 1325 is not an appropriate solution to address the impacts of armed conflicts on women and girls. This Graduate Thesis finds that Resolution 1325 accommodates the Western and white women perspective to participate in peace building table. Therefore, it fails to include all women in peace building. There are 1,322 words contained in this document, not even one of them reflected the nuances of race, ethnicity, religion, and or historical background.
Armed conflicts give different impacts to women and men. These differences result in the discrimination against women. Resolution 1325 acknowledged that sexual discrimination is the worst form of discrimination against women. However, many other forms of discrimination against women are missing from the narrative of Resolution 1325, making it counter productive in achieving women's rights in the aftermath of armed conflicts. The lack of intersectionality renders Resolution 1325 as a solution but not a prevention to armed conflict and discrimination against women, especially women in Third World countries where conflicts are prone to happen.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tirza Listiarani
"Peristiwa serangan teroris pada 9 September 2001 menjadi sebuah momentum yang mengubah arah kebijakan keamanan global hingga hari ini. Selama 20 tahun terakhir, kebijakan anti terorisme dan anti kekerasan ektrimisme menjadi fokus dalam kebijakan
keamanan global. Pergeseran kebijakan ini nyatanya menyebabkan berkembangnya norma negatif tentang pemuda, pemuda dianggap sebagai kelompok yang menjadi ancaman bagi
negara karena dianggap aktif dalam konflik dan kekerasan ektrimisme. Hal ini menyebabkan
pemuda diasingkan dalam proses pengambilan keputusan, mendapatkan perilaku kekerasan,
dan kontribusinya tidak diperhitungkan dalam isu perdamaian. Pada tahun 2012, UNOY
sebagai jejaring pemuda bina-damai dari seluruh dunia mendorong advokasi norma tentang
‘partisipasi pemuda yang bermakna’ dalam isu perdamaian dan keamanan. Mereka
menginginkan adanya perubahan atas norma negatif yang ada karena pada kenyataanya
populasi pemuda yang terlibat dalam konflik jauh lebih jauh dibandingkan populasi pemuda
yang berkontribusi secara positif dalam isu perdamaian. Upaya-upaya UNOY sebagai norm
entrepreneur didukung oleh PBB dan organisasi internasional lainnya juga Yordania
menyebabkan diadopsinya Resolusi DKPBB no.2250 tahun 2015 tentang Pemuda,
Perdamaian, dan Keamanan. Menggunakan teori Siklus Hidup Norma milik Finnemore dan
Sikkink, perkembangan tentang norma ‘partisipasi pemuda yang berarti’ dalam isu
perdamaian dan keamanan dianalisa dan disimpulkan bahwa norma tersebut saat ini berada di tahap norm cascade. Butuh waktu lebih untuk norma ini untuk akhirnya masuk ke tahap internalisasi karena negara belum menganggap norma ini sebagai prioritas dan pembentukan sistem implementasi yang belum terintegrasi dengan baik. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif eksploratif, dimana sumber data utama berasal dari dokumen PBB, jurnal, buku, dan wawancara yang dilakukan.

The terrorist attack on the 9th September 2001 or called the 9/11 have become a momentum
that changed the whole global security agenda. For the past 20 years, policies on countering
terrorism and violent extremism had been the focus of global security. This shift of policy in
fact have created the development of negative norms about youth, they are perceived as a
threat to the state as some of them is playing an active role in conflict and violent extremism.
Youth is excluded in decision making process, received act of violence, and their contribution
in peace seen as none. In 2012, UNOY as global youth network of young peacebuilders
advocate for ‘youth meaningful participation’ norm within peace and security issue. They
wanted a change on the existing negative norm based on fact that less youth is being engaged
in conflict, most of them is actively participating in peace efforts. UNOY as norm
entrepreneur, along with other UN bodies and NGOs as well as Jordan’s endorse
successfully lead this advocacy to the adoption of UNSCR 2250 in 2015 on Youth, Peace,
and Security. Using Norm Life Cycle theory of Finnemore and Sikkink, these processes are
being analyzed and it is concluded that the norm has come to the norm cascade phase. There
still time needed in order for this norm to achieve the internalization phase because state still seeing this not as their priority and that the implementing system have not yet been integrated well. This research is done by using qualitative-explorative method where the main data were collected through UN documents, journals, books, and interviews.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York : Routledge, 2015
341.584 GEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Bilqish
"Skripsi ini membahas mengenai kekuatan mengikat dari Resolusi Dewan Keamanan PBB, kemudian dikaitkan dengan apabila terjadi pelanggaran terhadap Resolusi tersebut. Setelah itu dilihat mengenai tindaklanjut yang dilakukan oleh Dewan Keamanan terkait pelanggaran tersebut, akankah Negara yang melanggar Resolusi Dewan Keamanan tersebut diberikan sanksi atau tidak. Dimulai dengan mempertanyakan teori hukum yang mengatur mengenai kekuatan mengikat Resolusi Dewan Keamanan dan sanksi bagi pelanggaran terhadapnya. Dilanjutkan dengan pembahasan mengenai proses pembuatan Resolusi Dewan Keamanan yang Resolusi yang dihasilkan. Kemudian pembahasan praktek yang telah terjadi mengenai pemberian sanksi oleh Dewan Keamanan terhadap Negara yang melanggar Resolusinya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif.
Hasil dari penelitian ini adalah ditemukan teori-teori yang mendukung bahwa Resolusi Dewan Keamanan mengikat secara hUkum kepada anggota-anggota PBB. Oleh sebab itu pelanggaran terhadap Resolusi Dewan Keamanan haruslah dikenakan sanksi sesuai dengan pasal 34, 39, 41, dan 42 Piagam PBB. Akan tetapi pada prakteknya ada Negara-negara yang melanggar Resolusi Dewan Keamanan tanpa diberikan sanksi oleh Dewan Keamanan. Pembedaan perlakuan antara Negara-negara anggota PBB terkait sanksi bagi pelanggar Resolusi Dewan Keamanan ini dipengaruhi faktor dominasi kekuasaan Negara Anggota Tetap Dewan Keamanan dan politik hukum internasional yang ada di Dewan Keamanan.

This thesis discusses the binding force of the UN Security Council resolution, then its associated if there is violation of the resolution. Once it was seen on follow up conducted by the relevant Security Council of the breach, the State would violate UN Security Council sanctions is granted or not. Starting with the question of legal theory governing the binding force and the UN Security Council sanctions for violations against this Resolution. Followed by a discussion about the process of the Security Council Resolution produced. Then the discussion that has occurred regarding the practice of imposing sanctions by the Security Council of the State in violation of resolution. This study is a descriptive qualitative research design.
The results of this study are found to support theories that the UN Security Council are legally binding to members of the United Nations. Therefore, a violation of UN Security Council Resolution shall be sanction in accordance with Article 34, 39, 41, and 42 of the UN Charter. However, in practice there are countries that violate Security Council resolutions without the sanction given by the Security Council. Difference in treatment between UN member states related sanctions for violators of the Security Council Resolution, influence by factor of domination of the Security Council Permanent Member States and international law politic that is exist in the Security Council.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54020
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Aghyp
"Negara berdaulat merupakan negara yang memiliki kekuasaan tertinggi di wilayahnya sendiri. Hal itu tidak dapat diganggu gugat oleh negara manapun. Dewan Keamanan PBB yang bertujuan menjaga perdamaian dan keamanan internasional dapat memiliki wewenang terhadap suatu konflik internal. Konflik internal tersebut menjadi kewenangan Dewan Keamanan apabila dapat berkembang menjadi ancaman terhadap perdamaian dunia, pelanggaran terhadap perdamaian dunia dan tindakan agresi. Selama ini dalam prakteknya sering dilakukan intervensi dari suatu negara terhadap negara lain. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjawab mengenai masalah intervensi Dewan Keamanan PBB pada konflik yang terjadi di wilayah Pantai Gading.

A sovereign state is a state where they have the highest power in their territory. This concept can not be breached by any nations. United Nations Security Council that in purpose to maintain international peace and security can have jurisdiction on an internal conflict. The internal conflict becomes United Nations Security Council's jurisdiction if it can be escalated to threat to peace, breach to peace, and an act of aggression. In practice, there have been a lot of cases about intervention done by states. With this research, there is hope to answer the problems about intervention that had been done by United Nations Security Council in Cote d'Ivoire."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42341
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Stefani Selina Prameswari
"Agenda Women, Peace and Security (WPS) merupakan nilai global tentang perempuan dalam perang yang disebarkan oleh Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi UNSC 1325 pada tahun 2000. Agenda ini kemudian menjadi kerangka revolusioner pertama yang berusaha memecahkan masalah tentang dampak spesifik gender dalam perang dan konflik terhadap perempuan dan anak perempuan. Berbagai negara kemudian berbondong-bondong untuk mengadopsi resolusi ini menjadi sebuah National Action Plan (NAP) atau Rencana Aksi Nasional (RAN) sebagai bentuk dari implementasi agenda WPS. Usaha-usaha sudah dilakukan pada tingkat multi sektor, namun pada realitanya, masih sulit untuk dicapai. Salah satu kasus menarik terjadi di Irak, sebagai negara pertama yang mempunyai RAN 1325 di kawasan Arab dan Afrika Utara sejak tahun 2014, dimana implementasi agenda WPS terlihat masih mengalami penyimpangan. Padahal, Irak telah menjadi garda terdepan situasi perang dan konflik hingga kini, namun nasib perempuannya masih dipertanyakan kembali. Dengan demikian, penulis memiliki pertanyaan penelitian yaitu bagaimana implementasi agenda WPS di Irak melalui RAN untuk Resolusi UNSC 1325 pada periode tahun 2014-2018? Melalui kerangka berpikir keamanan feminis, penulis berusaha untuk melihat proses implementasi tersebut serta dampaknya terhadap perempuan di wilayah perang dan konflik di Irak.

With the adoption of UN Security Council Resolution 1325 in 2000, the UN Security Council promoted the worldwide value of women in conflict known as the Women, Peace, and Security (WPS) agenda. This resolution is the first revolutionary framework that seeks to address the problem of gender-specific impacts in war and conflict. Then, as part of the WPS agenda, numerous nations sought to adopt this into a National Action Plan (NAP) or Rencana Aksi Nasional (RAN). Multi-sectoral initiatives have been made, but in practice, still challenging to accomplish. One intriguing instance occurred in Iraq, the first country to have RAN 1325 in the Arab and North African area since 2014, where the WPS agenda seems to still be being implemented inconsistently. The fate of women is still being debated, even though Iraq has historically been at the forefront of war and conflict circumstances. As a result, the author's research topic is how, between 2014 and 2018, the WPS agenda in Iraq is being implemented through the NAP for UN Security Council Resolution 1325. The author attempts to understand the implementation process, the perspectives of women in the war and conflict region in Iraq through the lens of a feminist security."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dam Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Jaelani
"Sepanjang tahun 2006 hingga 2010 Iran didera dengan lima sanksi dari Dewan Keamanan PBB yang disponsori oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Hal ini diakibatkan dari sikap Iran yang terus mengembangkan program nuklirnya tanpa mematuhi resolusi DK PBB dan mengabaikan arahan badan atom internasional (IAEA). Dengan kebijakan luar negerinya, Iran berusaha menjelaskan bahwa program nuklirnya adalah untuk tujuan damai dan sesuai dengan ketentuan Traktak Non-Proliferasi Nuklir (NPT).
Menariknya, di tengah deraan sanksi tersebut, dukungan dunia internasional semakin meningkat. Salah satunya terlihat dari penurunan dukungan negara-negara anggota DK-PBB terhadap sanksi Iran. Dengan demikian muncul permasalahan bagaimana kebijakan luar negeri Iran terhadap AS dan pengaruhnya terhadap resolusi DK PBB.
Dengan pendekatan kualitatif dan mengadopsi penelitian model studi kasus, penulis menemukan bahwa kebijakan luar negeri Iran secara umum terhadap AS bersifat konfrontatif dan responsif. Iran selalu menentang kebijakan luar negeri AS yang dominatif terhadap kestabilan dalam negeri dan kawasan. Sedangkan secara khusus, Iran memfokuskan diri untuk mengedepankan negoisasi dan diplomasi dalam rangka kerjasama mengembangkan program nuklir ke berbagai negara anggota DK PBB maupun ke negara-negara kawasan.
Kebijakan luar negeri Iran ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu kepentingan pengembangan energi listrik sebagai antisipasi keterbatasan sumber daya alam lainnya (minyak dan gas), posisi geopolitik dan geostrategis Iran di jantung dunia, ideologi revolusi Islam para penguasanya yang selalu dijaga dan dilestarikan, dominasi ulama dan kelompok konservatif di dalam struktur pemerintahan, dan dukungan mayoritas masyarakat Iran terhadap kebijakan pemerintahan Ahmadinejad yang pro rakyat miskin.
Dikarenakan kebijakan luar negeri ini, Iran mendapatkan sanksi secara berturut. Sanksi melalui resolusi DK PBB yang semakin berat. Tercatat dari resolusi dengan sanksi yang hanya sebatas penundaan (no. 1696), pembekuan aset (no. 1737), larangan bantuan keuangan dari negara lain (no. 1747), pembatasan hubungan negara lain terhadap Iran (no. 1803) dan embargo ekonomi dan senjata (no. 1929). Akan tetapi hingga saat ini Iran tetap bertahan untuk terus melakukan pengembangan program nuklirnya.

Since 2006 until 2010 Iran has been the subject of five UN sanctions sponsored by the United States and its allies. These sanctions resulted from the Iranian policy to continue their nuclear program despite of UN Security Council?s resolution and international atom agency (IAEA)?s advice. Iran continues to state that their nuclear program is for peace keeping purposes and is in accordance with Nuclear Non-Proliferation Treaty.
Interestingly, in this unfortunate blow of sanctions, international support increases. One of them is the decreasing support of member countries of UN Security Council toward the sanctions; this lead to the question on US foreign policy against Iran and their implications on the Security Council resolutions.
By using qualitative approach and by adopting case study model of research, the writer assumes that Iranian foreign policy is generally confrontative and responsive. Iran is always against US foreign policy which is dominative to domestic and regional stability. On the other hand, Iran focuses on negotiation and diplomacy to promote cooperation to develop nuclear program with the members of UN Security Council and with neighboring countries in the region.
There are several key elements that give shape to Iranian foreign policy; development of electricity alternative energy, in an anticipation of the depletion of other natural resources (oil and gas), Iranian geopolitics and geocenties in the world, preserved Iranian Islamic Revolution ideology, ulama and conservative domination in the administration, and Iranian people?s support of Ahmadinejad administration policy which is in favor of the poor.
Iranian foreign policy has led to multiple sanctions. UN Security council releases tougher resolutions day to day. The sanctions range from suspension (no. 1696), freezing of the assets (no. 1737), prohibition on foreign aid (no. 1803), to economic and weaponry embargo (no. 1929). However, Iran survives them and continues to develop its nuclear program."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didi Soleman
"Perluasan anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) hanya terjadi pada tahun 1965 dengan menambahkan empat kursi anggota tidak tetap. Reformasi pasca 1965 terus diupayakan selama berdekade oleh berbagai aktor internasional, karena mereka melihat terdapat banyak urgensinya. Bahkan, saat ini mayoritas negara secara terbuka mendukung adanya reformasi DK PBB. Tidak ada satu pun negara yang secara terbuka menolak reformasi. Mengingat signifikasi institusi, isu reformasi DK PBB juga telah menjadi pembahasan arus utama dalam studi Hubungan Internasional. Tugas Karya Akhir ini berusaha membahas proses upaya reformasi tersebut dengan meninjau 56 literatur akademik di laman SCOPUS. Dalam rangka menjelaskan proses reformasi secara benar penulis menggunakan metode taksonomi, sehingga Bab Pembahasan Tugas Karya Akhir ini terdiri dari empat subbab, yaitu (1) Pengantar: Perkembangan Upaya Reformasi DK PBB; (2) Urgensi Reformasi DK PBB Pasca 1965; (3) Gagasan dan Proposal Reformasi DK PBB Pasca 1965; dan (4) Kritik dan Tantangan Reformasi DK PBB Pasca 1965. Dengan keempat subbab tersebut, Tugas Karya Akhir ini dapat memberikan penjelasan komprehensif. Pembahasan mengungkapkan bahwa upaya reformasi telah dilakukan sejak masa Perang Dingin, tetapi banyak tantangan yang hadir. Meskipun mayoritas negara setuju dengan urgensi reformasi dan hadir berbagai gagasan dan proposal reformasi, tetapi beberapa akademisi melihat klaim urgensi tersebut tidak sesuai dengan tujuan pendirian (DK) PBB dan di antara negara pendukung reformasi juga masih terdapat perbedaan pendapat mengenai realisasi reformasi. Selain itu, tantangan juga hadir dari anggota tetap saat ini yang terkesan ingin mempertahankan status quo mereka. Tantangan-tantangan tersebut telah menjadikan perkembangan reformasi DK PBB berjalan dengan lambat.

The expansion of the United Nations Security Council (UNSC) membership only occurred in 1965, with the addition of four non-permanent seats. Post-1965 reforms have been pursued for decades by various international actors due to their perceived urgency. Currently, the majority of nations openly support the reform of the UNSC, with no country openly opposing it. Given the significance of the institution, the issue of UNSC reform has become a mainstream discussion in International Relations studies. This study attempts to discuss the process of these reform efforts by reviewing 56 academic literatures on the SCOPUS. To explain the reform process properly, the author employs a taxonomic method, resulting the Discussion Chapter consisting of four sub-chapters: (1) Introduction: Development of UNSC Reform Efforts; (2) Urgency of UNSC Reform Post-1965; (3) Ideas and Proposals for UNSC Reform Post-1965; and (4) Criticism and Challenges of UNSC Reform Post-1965. With these four sub-chapters, this study can provide a comprehensive explanation. The discussion reveals that reform efforts have been undertaken since the Cold War era, but many challenges have emerged. Although the majority of countries agree with the urgency of reform and ideas and proposal of reform have emerged, some academics see that the claim of urgency does not align with the founding objectives of the UN(SC), and among the countries supporting reform, there are still differences of opinion regarding the realization of reform. In addition, challenges also come from the current permanent members who seem to want to maintain their status quo. These challenges have made UNSC reform progress slow."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Michael Eklesia
"Hanya dengan suatu bentuk organisasi publik antar negara dapat tercapai suatu sistem keamanan kolektif yang dapat melindungi masyarakat internasional dari bencana perang. Perserikatan Bangsa Bangsa merupakan organisasi internasional yang dirasa perlu dalam melaksanakan sistem keamanan kolektif untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Dalam menjalankan tugas tersebut kemudian dibentuklah DK-PBB sebagai organ PBB yang secara khusus bertugas untuk menjaga keamanan dan perdamaian dunia. DK-PBB dalam hal memelihara perdamaian dan keamanan dunia dari ancaman, pelanggaran maupun agresi dapat memberikan sanksi terhadap suatu negara maupun terhadap aktor nonnegara. Pada praktiknya tidak sedikit negara melanggar ketentuanr esolusi sanksi yang diberikan oleh DK-PBB. Salah satu negara yang secara konsisten melanggar ketentuan Resolusi DK-PBB adalah Korea Utara. Korea Utara sudah diberikan sejumlah sebelas resolusi di mana tujuan diberikannya rezim sanksi tersebut untuk menghentikan praktik uji coba nuklir Korea Utara. Uji coba nuklir Korea Utara tersebut melanggar ketentuan yang terdapat di dalam NPT. Korea Utara sendiri awalnya merupakan negara pihak dalam NPT yang kemudian mengundurkan diri pada tahun 2003 diikuti dengan menyatakan kepemilikannya atas senjata nuklir dan dilaksanakannya uji coba senjata nuklir. Penelitian ini kemudian menilai bentuk implementasi dan kepatuhan terhadap resolusi sanksi yang diberikan oleh DK-PBB. Penelitian ini kemudian menyarankan tindakan yang dapat dilaksanakan agar sanksi yang diberikan oleh DK-PBB dapat terimplementasikan dan tujuan diberikannya sanksi dapat tercapai khususnya dalam kasus rezim sanksi DK-PBB atas uji coba nuklir Korea Utara.

Only with a form of public organization between countries can a collective security system be achieved that can protect the international community from the disaster of war. The United Nations is an international organization that is deemed necessary in implementing a collective security system to maintain international peace and security. In carrying out this task, the UN Security Council was formed as a UN organ specifically tasked with maintaining world security and peace. The UN Security Council in terms of maintaining world peace and security from threats, violations and aggression can impose sanctions on a country as well as against non-state actors. In practice, not a few countries violate the provisions on the resolution of sanctions provided by the UN Security Council. One of the countries that consistently violates the provisions of the UNSC Resolution is North Korea. North Korea has been given a number of eleven resolutions in which the aim of the sanctions regime is to stop North Korea's nuclear test practices. The North Korean nuclear test violated the provisions contained in the NPT. North Korea itself was originally a party to the NPT which later withdrew in 2003 followed by declaring its ownership of nuclear weapons and carrying out nuclear weapons tests. This study then assesses the form of implementation and compliance with the sanctions resolution given by the UN Security Council. This study then suggests actions that can be taken so that the sanctions imposed by the UN Security Council can be implemented and the objectives of the sanctions can be achieved, especially in the case of the UN Security Council sanctions regime for North Korea's nuclear tests."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Punjul Setya Nugraha
"Tesis ini bertujuan untuk menganalisis aktivitas diplomasi digital dengan menggunakan Twitter yang dilakukan dalam lingkup Kemenlu selama periode keanggotaan Indonesia pada DK PBB tahun 2019-2020. Sebagai Anggota Tidak Tetap DK PBB, Indonesia memiliki kesempatan yang besar untuk dapat mempengaruhi dan membentuk agenda dalam ranah internasional, termasuk mengarusutamakan agenda prioritas Indonesia, yaitu perwujudan perdamaian dunia, sinergi PBB dengan organisasi kawasan, keterkaitan antara perdamaian dengan pembangunan berkelanjutan, pemberantasan terorisme dan dukungan terhadap Palestina. Penelitian kualitatif ini dilaksanakan dengan memadukan computational content analysis dengan analisis isi manual untuk menganalisis dataset berupa twit yang diunggah oleh akun @kemlu_ri dan @indonesiaunny sebagai aktor diplomatik Indonesia. Penelitian dimaksudkan untuk menganalisis secara evaluatif langkah dan strategi diplomasi digital Indonesia dalam kerangka pemikiran agenda building dalam kancah internasional. Dalam mengusung agenda tersebut, penelitian ini mengidentifikasikan bahwa agenda yang diusung melalui aktivitas diplomasi digital melalui Twitter telah selaras dengan agenda pada kancah internasional, yang menunjukkan terpenuhi prinsip agenda building dalam aktivitas diplomasi digital Indonesia.

This thesis aims to analyze digital diplomacy activities using Twitter that was carried out within the Ministry of Foreign Affairs scope during Indonesia's membership in the UN Security Council 2019-2020. As a non-permanent member of the UNSC, Indonesia possesses a great opportunity to influence international agendas. Indonesia also has the chance to mainstream its priority agendas, namely realizing world peace, the synergy between the United Nations and the region, linkages between peace and sustainable development, shaping and supporting Palestine. This qualitative research combined computational content analysis with manual content analysis to analyze tweets collected from the @kemlu_ri and @indonesiaunny accounts. Those two accounts represent Indonesia’s diplomatic actors. This research evaluatively examines Indonesia's digital diplomacy steps and strategies in agenda building in the international arena. In carrying out the agenda, this research identifies that the agenda carried through digital diplomacy activities through Twitter is in line with the agenda on the international scene, which shows the fulfillment of the agenda-building principles in Indonesia's digital diplomacy activities."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>