Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 100508 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nuning Sintya Defa
"Tesis ini membahas kebijakan European Financial Stability Facility EFSF yang dikeluarkan pada tahun 2010 oleh Uni Eropa berdasarkan kesepakatan negara-negara anggota Zona Euro bersama European Central Bank ECB dan International Monetary Fund IMF dalam merespon krisis ekonomi yang terjadi di Yunani, Irlandia dan Portugal pada masa Krisis Ekonomi Zona Euro. Kebijakan EFSF yang dibahas pada tesis ini adalah hal-hal yang melatarbelakangi dikeluarkannya kebijakan EFSF. Hal-hal yang melatarbelakangi tersebut didasarkan kepada kerangka pemikiran neoliberal institusional. Berdasarkan kerangka pemikiran neoliberal institusional, tesis ini menetapkan kelemahan institusional oleh Uni Eropa, European Monetary Union EMU, dan ECB yang tidak memiliki regulasi dan sistem pengelolaan krisis ekonomi telah membuat negara-negara anggota Zona Euro mencari solusi dengan meratifikasi kebijakan EFSF dengan melibatkan IMF sebagai solusi krisis ekonomi yang terjadi di tahun 2010. Tesis ini juga melihat bagaimana implikasi EFSF bagi perekonomian negara-negara Zona Euro yang mengalami krisis, melihat sejauh mana harapan negara anggota Zona Euro dapat direalisasikan.

ABSTRACTThis thesis discusses about the European Financial Stability Facility EFSF policy established in 2010 by the European Union under the agreement of Eurozone member states together with the European Central Bank ECB and the International Monetary Fund IMF as the response of economic crisis in Greece, Ireland and Portugal during the Eurozone Economic Crisis. The EFSF policy discussed in this thesis is the underlying issue of EFSF policy. The underlying things are based on neoliberal institution framework. Based on neoliberal institution framework, this thesis conclude the institutional weaknesses by the European Union, the European Monetary Union EMU, and the ECB which has no regulation and economic crisis management system has made the Eurozone member states seek the solution by ratifying the EFSF policy by involving the IMF as a solution to the economic crisis that occurred in 2010. This thesis also looks at how the EFSF implications for the economy of Eurozone member states in crisis to see how far the expectations can be realized."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tengku Iari Vehuliza
"Kemunculan krisis Eurozone di tahun 2010 merupakan salah satu kejadian besar yang mewarnai tahun 2010. Sebagai bentuk dari integrasi ekonomi dan moneter regional di kawasan Eropa yang selama ini menjadi kawasan percontohan bagi region lainnya terutama ASEAN, kini Eurozone mengalami tantangan yaitu terjadinya instabilitas finansial akibat terjadinya krisis utang Yunani di tahun 2009 dan diikuti krisis di empat negara lainnya pada tahun 2010, hingga kelima negara ini disingkat dengan PIIGS: Portugal, Ireland, Italy, Greece, dan Spain. Di balik krisis ini, ECB sebagai bank sentral merupakan institusi yang memegang tanggung jawab atas stabilitas finansial di kawasan Eurozone melalui common monetary policy, sehingga kemunculan krisis ini mengindikasikan kebijakan moneter ECB telah gagal dalam menjaga stabilitas finansial di kawasan Eurozone. Kegagalan tersebut disebabkan oleh ECB sebagai bank sentral merupakan rezim yang tidak signifikan sehingga mempengaruhi kebijakan moneter yang dikeluarkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi ECB sebagai rezim tersebut adalah interest, political power, norms/principles, usage/custom, dan knowledge.

The emergence of Eurozone crisis in 2010 is one of the major events that characterized the year of 2010. As a form of economic and monetary integration in Europe region which has been the pilot region for another region especially ASEAN, the Eurozone is now facing challenge of financial instability due to that these countries are now abbreviated by PIIGS: Portugal, Ireland, Italy, Spain, and Greece. Behind this crisis, ECB as central bank of the Eurozone has been the institution that held the responsibility in maintaining the financial stability in the Eurozone through common monetary policy. Thus, this indicates that the maintaining the financial stability of Eurozone. That failure was caused by ECB as a central bank has been being insignificant regime and affecting monetary policy as the output. The factors that affect ECB as a regime are interest, political power, norms/principles, usage/custom, and knowledge."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Agung Sulthonaulia Utama
"Krisis Zona Eropa yang terjadi pada tahun 2009 membawa berbagai dampak terhadap negara-negara anggotanya. Salah satu hal yang terlihat setelah terjadinya krisis adalah peningkatan sentimen anti Uni Eropa yang semakin jelas terlihat dan biasa disebut sebagai Euroskepticism. Dalam tinjauan literatur terhadap 16 tulisan ini, akan dilakukan pengelompokan argumen dalam literatur krisis zona euro berdasarkan tiga kategori: penyebab, dampak, dan preskripsi. Setelah itu, dua dari tiga kategori tersebut penyebab dan preskripsi ditinjau lebih dalam lagi untuk dipetakan sikapnya terhadap eksistensi Uni Eropa, serta prinsip-prinsip dan perjanjian yang ada di dalamnya, di mana akan ada dua ragam utama, yakni: golongan pro Uni Eropa dan golongan yang skeptis terhadap Uni Eropa. Tinjauan pustaka ini diharap dapat memperkaya khazanah kajian kawasan Uni Eropa, serta memudahkan pembacanya untuk lebih dapat memahami mengenai krisis zona euro dan juga Euroskepticism.

Eurozone Crisis which occurred in 2009 brought about various effects to its member countries. One of the most observable things after the crisis happened is the increase of anti European Union sentiments, a widely adopted view known as Euroskepticism. In this literature review to 16 scholarly writings, the arguments in the Eurozone Crisis literature are classified into three different categories causes, effects, and prescriptions. After that, two out of those three categories effects and prescriptions in the literature will be analyzed deeper and classified into two categories pro European Union and skeptical towards European Union. This literature review serves to enrich the regional study of European Union, as well as making the readers understand Eurozone Crisis and Euroskepticism better."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Hanifah
"Krisis euro yang terjadi sejak tahun 2009 mengindikasikan adanya masalah dalam pelaksanaan peraturan European Monetary Union (EMU) dalam kerangka European Union (EU). Sebagai institusi internasional yang dianggap paling berhasil mengatur hubungan interdependensi berdasarkan perspektif liberal institusionalis, EU ternyata tidak dapat mencegah dan memperbaiki pelanggaran tingkat defisit dan tingkat utang yang terjadi di beberapa negara anggota Eurozone, khususnya Yunani, Italia, Irlandia, Portugal, dan Spanyol, sehingga krisis euro dapat terjadi. Ini menunjukkan bahwa EU belum sepenuhnya efektif untuk membentuk kebijakan ekonomi negara-negara anggota Eurozone.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas EU membentuk kebijakan ekonomi negara-negara anggota Eurozone, dengan menggunakan dasar teori efek independen institusi internasional berdasarkan perspektif neoliberal institutionalism dan metode congruence.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa EU tidak efektif dalam membentuk kebijakan ekonomi negara-negara anggota Eurozone pada periode 2002-2012 karena lima alasan berikut: (1) tidak mempunyai kepentingan independen dalam EMU yang merepresentasikan seluruh negara anggota, (2) tidak dapat menghilangkan ketidakjelasan masa depan dalam pelaksanaan EMU, (3) tidak memberikan hasil kesejahteraan ekonomi yang diharapkan dari EMU, (4) tidak dapat memfasilitasi hubungan pengaruh politik dan kapasitas ekonomi yang setara dalam pelaksanaan EMU, dan (5) tidak mempunyai struktur institusi yang independen dan ajeg untuk pelaksanaan EMU.

The euro crisis that happened since 2009 indicates that there was a problem in executing European Monetary Union (EMU) rules within the European Union (EU) framework. Regarded by liberal institutionalists as the most successful international institution in dealing with interdependence, EU was proven to be ineffective in preventing and correcting excessive deficit and debt of several Eurozone countries, especially Greece, Italy, Ireland, Portugal, and Spain. This problem signifies that EU was ineffective in shaping economic policy of Eurozone countries.
This study aims to uncover factors that influence EU effectiveness in shaping economic policy of Eurozone countries by using independent effect of international institution theory based on neoliberal institutionalism, with congruence method.
The results show that EU was ineffective in shaping economic policy of Eurozone countries in 2002-2012 because of the following reasons: (1) EU did not have independent interest that represent all member countries? interests, (2) EU was not able to eliminate future unpredictability in implementing EMU, (3) EU was not able to deliver economic welfare that was expected from EMU, (4) EU was not able to facilitate political and economic equality in implementing EMU, and (5) EU did not have independent and firm structure in implementing EMU.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S55746
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferry Irawan
"Dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah terjadinya krisis keuangan, perhatian pemerintah di berbagai negara terhadap financial instability semakin besar. Perhatian tersebut antara lain karena semakin disadari arti penting dan peran strategis sektor perbankan pada umumnya dan sistem keuangan pada khususnya dalam suatu perekonomian, dan terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan financial instability selama 30 tahun baik di negara berkembang maupun negara maju. Beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, Swedia dan Finlandia, telah mengalami krisis keuangan atau resesi yang biasanya diiringi dengan menurunnya harga aset-aset dan berbagai permasalahan di sektor perbankannya. Hal ini telah diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Borio, Kennedy dan Prowse (1994), Bank for International Settlements (1998) dan IMF (2000).
Dalam World Economic Outlook tahun 1998, IMF memberikan gambaran tentang biaya yang harus ditanggung oleh perekonomian sebagai akibat krisis keuangan. Pada saat terjadi krisis mata uang, secara rata-rata, pertumbuhan ekonomi kembali ke trendnya dalam jangka waktu sekitar I-1,5 tahun, dan kumulatif output lost untuk setiap krisis sekitar 4,25%. Untuk krisis mata uang yang parah output lost-nya bahkan mencapai sekitar 8.25%. Sementara Krisis Perbankan, relatif membutuhkan waktu recovery yang lebih Iama dan output lost yang lebih banyak dibandingkan currency crisis: secara rata- rata membutuhkan waktu sekitar tiga tahun untuk pertumbuhan output kembali ke trendnya, dan ourpur loss yang terjadi bisa mencapai sekitar 1 l,5%.
Apa yang diuraikan di atas sangat relevan untuk dipertimbangkan dalam menganalisis berbagai pemasalahan ekonomi yang terjadi di Indonesia pada saat terjadi krisis keuangan menghantam pada tahun 1997. Dari peristiwa-peristiwa yang terjadi selama krisis ekonomi, penulis melihat dua fenomena yang menarik untuk diteliti, yang berkaitan tentang keterkaitan antara upaya untuk mencapai stabilitas harga dengan stabilitas sistem keuangan.
Fenomena pertama, upaya pemerintah untuk mempertahankan stabilitas sistem keuangan dengan memberikan batuan likuiditas bagi bank-bank yang mengalami masalah likuiditas telah mendorong meningkatnya laju inflasi. Dengan kata lain upaya untuk mempertahankan stabilitas sistem keuangan telah mengorbankan stabilitas harga.
Fenomena kedua, upaya bank Sentral dalam mengendalikan inflasi telah menyebabkan terjadinya fenomena credit crunch di Indonesia. Dengan kata lain, upaya untuk mencapai stabilitas harga telah menyebabkan stabilitas sistem keuangan menjadi terganggu.
Diskusi tentang bagaimana keterkaitan antara kebijakan moneter dalam mencapai stabilitas harga serta dampaknya pada stabilitas sistem keuangan sebenarnya sudah terjadi antara pengambil kebijakan dengan ekonom dan antar ekonom sendiri, misalnya Svensson (1996), Taylor (1996), Bean (1998) dan Goodfriend (2001) juga Bernanke dan Gertler(1999).
Sehubungan dengan uraian di atas, tulisan ini mencoba meneliti beberapa pertanyaan yang sebelumnya belum pernah dilakukan. Pertama, pengaruh shock pada tingkat suku bunga, dalarn upaya untuk mencapai stabilitas harga, pada peningkatan financial instability Indonesia. Kedua, pengaruh shock yang berasal dari pertumbuhan kredit, saat terjadi ganguan stabilitas harga, pada peningkatan financial instability Indonesia. Ketiga, pengaruh shock pada harga pada peningkatan financial instability Indonesia. Keempat, meneliti konsistensi antar stabilitas harga sebagai suatu sasaran akhir kebijakan moneter dengan upaya untuk menghindari financial instability. Kelima, meneliti meneliti apakah terdapat pengaruh yang asymmetric pada hubungan antara tingkat suku bunga, harga dan kredit dengan financial instability.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, dibangun model VAR yang biasa dipergunakan dalam analisis kebijakan moneter secara quatitatif dengan memasukkan variabel yang mengukur financial instability. Berdasarkan model tersebut di dapat beberapa kesimpulan sebagai berikut: Shock positif yang berasal dari suku bunga, kredit dan harga memberikan pengaruh pada meningkatnya financial instability Indonesia. Peningkatan suku bunga sebagai instrumen yang dipergunakan untuk mengendalikan harga merupakan komponen terbesar yang menjadi sumber peningkatan financial instability. Price stability dan financial stability merupakan dua hal yang dapat sekaligus dicapai sebagai sasaran dalam pelaksanaan kebijakan moneter di Indonesia. Kenaikan yang berasal dari variabel harga, tingkat suku bunga dan kredit memberikan magnitude yang relatif lebih besar pada peningkatan derajat financial instability dibandingkan dengan penurunan ketiga variabel tersebut terhadap penurunan derajat financial instability. Atau dengan kata lain terdapat pengaruh yang asymmetric pada hubungan antara tingkat suku bunga, harga dan kredit dengan financial instability."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
D668
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jochanan Lintang
"ABSTRAK
Krisis Finansial Global 2008 bagi berbagai pihak adalah krisis ekonomi terbesar yang melanda perekonomian dunia secara luas, bahkan krisis ini seringkali disandingkan dengan Great Depression yang terjadi pada tahun 1930. Dari seluruh negara yang terkena krisis, India merupakan salah satu negara yang mampu menunjukan performa positif ketika berbagai negara lain termasuk negara maju memasuki pertumbuhan ekonomi negatif. Melalui pendekatan deskriptif analisis dan dengan menggunakan teori globalisasi ekonomi yang dikemukakan oleh David Held, penelitian ini menemukan bahwa pola interaksi yang dimiliki oleh India dalam globalisasi ekonomi merupakan salah satu kekuatan utama India dalam menghadapai Krisis Finansial Global. Penelitian ini menemukan bahwa dengan mengunakan variasi variabel yang dijelaskan oleh Held et. al, India memiliki pola interaksi high extensity, low intensity, high velocity dan low impact. Pola interaksi yang dimiliki oleh India menunjukan kegiatan ekonomi India yang walaupun telah dijalin dengan berbagai Negara di seluruh dunia, namun tidak memiliki integrasi yang besar dalam ekonomi domestiknya. Intensity yang rendah tersebut kemudian berbanding lurus dengan rendahnya perubahan dalam landasan kebijakan dan landasan perilaku serta institusi ekonomi di dalam pemerintah dan masyarakat India akibat Krisis Finansial Global.

ABSTRACT
The 2008 Global Financial Crisis for many is the biggest economic crisis that hit the world economy widely, even this crisis is often juxtaposed with the Great Depression that occurred in 1930. Of all the countries hit by the crisis, India is one country that can show a positive performance when various other countries including developed countries entered negative economic growth. Through a descriptive analytical approach and using the theory of economic globalization proposed by David Held, this study found that the pattern of interaction that India has in economic globalization is one of India 39 s major strengths in the face of the Global Financial Crisis. This study found that by using variations of variables described by Held et. al, India has a pattern of interaction of high extensity, low intensity, high velocity and low impact. The pattern of interaction held by India shows the economic activity of India which although has been woven with various countries around the world, but has no great integration in the domestic economy. The low intensity is then directly proportional to the low rate of change in the foundation of policies and the foundations of behavior and economic institutions within Indian government and society due to the Global Financial Crisis."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martinus Adinata Sardjono
"Sebagai negara yang memiliki sejarah menolak dirinya sebagai negara imigran, Jerman pada akhirnya harus mengakui adanya jarak antara warga asli dan warga dengan keturunan imigran. Kemunculan buku kontroversal karya Thilo Sarrazin hingga debat mengenai Leitkultur membuat posisi imigran di Jerman, khususnya imigran muslim terdesak. Krisis ekonomi yang melanda zona-euro juga turut menimbulkan sentimen terhadap para imigran, terlebih ketika banyak kepala negara di Eropa juga banyak yang menyerang ide mengenai multikulturalisme termasuk di Jerman, ketika Kanselir Angela Merkel menyatakan multikulti Jerman telah gagal.

As a country which has a history to deny themselves as an immigration country, Germany has to concede that there?s an enormous gap between Germans and the people with migration background. The publishing of a controversial book from Thilo Sarrazin to Leitkultur's debate puts the immigrants under pressure, especially to those Muslim's immigrants. The Economic crisis in euro-zone also increases the sentiment among the immigrants, especially when many European leaders condemn the idea of multiculturalism, including in Germany, when Chancellor Angela Merkel enunciated that Germany?s multikulti has failed.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Since the financial crisis of 2008-09, central bankers around the world have been forced to abandon conventional monetary policy tools in favour of unconventional policies such as quantitative easing, forward guidance, lowering the interest rate paid on bank reserves into negative territory, and pushing up prices of government bonds. Having faced a crisis in its banking sector nearly a decade earlier, Japan was a pioneer in the use of many of these tools.
Unconventional Monetary Policy and Financial Stability critically assesses the measures used by Japan and examines what they have meant for the theory and practice of economic policy. The book shows how in practice unconventional monetary policy has worked through its impact on the financial markets. The text aims to generate an understanding of why such measures were introduced and how the Japanese system has subsequently changed regarding aspects such as governance and corporate balance sheets. It provides a comprehensive study of developments in Japanese money markets with the intent to understand the impact of policy on the debt structures that appear to have caused Japan’s deflation. The topics covered range from central bank communication and policymaking to international financial markets and bank balance sheets.
This text is of great interest to students and scholars of banking, international finance, financial markets, political economy, and the Japanese economy."
London: Routledge, 2020
e20534483
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Nahrasiyah Putri
"Penelitian ini akan mengkaji mengenai perdebatan antar kongres dalam proses formulasi kebijakan American Recovery and Reinvestment Act pada tahun 2008. Selain itu penelitian ini juga akan menganalisis perdebatan dalam kongres pada salah satu provisi kebijakan tersebut, yaitu provisi Buy American yang dianggap sebagai tindakan proteksionisme. Kebijakan ini muncul sebagai respon atas adanya krisis Subprime Mortgage yang terjadi di Amerika Serikat, yang kemudian menjadi awal dari krisis finansial di negara tersebut.
Pada proses formulasinya, terjadi perdebatan di kongres DPR maupun senat antara Demokrat dan Republik. Setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya kebijakan tersebut pun berhasil diloloskan melalui pengambilan suara pada kongres. Dalam mengkaji perdebatan dalam formulasi kebijakan serta indikasi proteksionisme didalam provisi ini, penulis menggunakan teori proteksionisme serta group theory dalam pembuatan kebijakan publik.

This study examines the debates in United States of America 39 s Congress on American Recovery and Reinvestment Act 39 s formulation process in 2008. In addition, this study also analyzes the debate on one of those policy provisions, named as Buy American provision that is considered as a protectionist measure. This policy emerged in response to the Subprime Mortgage crisis that occurred in the United States, which later became the beginning of the financial crisis in the country.
In the formulation process, there was a debate at the House of Representatives and Senate Congress between Democrats and Republicans. After going through a long process, finally the policy was successfully passed through the vote at the congress. In reviewing the debates on policy formulation as well as indications of protectionism within this provision, the author uses the theory of protectionism and group theory in public policy making.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>