Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174570 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Feni Nugraha
"ABSTRAK
Obesitas merupakan masalah global dengan prevalensi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya defisiensi vitamin D. Hal ini disebabkan karena meningkatnya simpanan vitamin D di jaringan adiposa, yang dapat diperburuk dengan kurangnya pajanan sinar matahari dan asupan vitamin D inadekuat. Defisiensi vitamin D berhubungan dengan resistensi insulin dan dapat meningkatkan risiko terjadinya sindrom metabolik. Peningkatan lingkar pinggang LP dan peningkatan kadar trigliserida TG serum atau hypertriglyceridemic waist dapat digunakan sebagai kriteria sederhana untuk skrining awal identifikasi sindrom metabolik. Penelitian dengan desain potong lintang ini dilakukan di klinik diabetes Rumah Sakit MRCCC Siloam Semanggi, Jakarta, yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar vitamin D serum dengan LP dan kadar TG serum pada penyandang obesitas berusia >18-

ABSTRACT
Obesity has reached epidemic proportions globally, with increasing prevalence in recent years. Obesity is one of the risk factors in vitamin D deficiency. The low levels of serum vitamin D in obesity has been attributed to multiple factors like excessive storage of vitamin D in the adipose tissue, decreased exposure to sunlight and an inadequate vitamin D intake. Vitamin D deficiency is associated with insulin resistance and increases the risk of developing metabolic syndrome. Increased waist circumference WC and elevated serum triglyceride TG levels or hypertriglyceridemic waist can be used as a simple clinical phenotype for early screening to identify patients with metabolic syndrome. This cross sectional study was conducted at the Diabetes Clinic of MRCCC Siloam Semanggi Hospital, Jakarta, which aims to determine correlation between serum vitamin D levels with WC and serum TG levels in obese individuals aged 18 years to "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusi Deviana Nawawi
"Usia lanjut berisiko tinggi mengalami defisiensi vitamin D, sedangkan vitamin D memiliki efek protektif terhadap massa otot. Penurunan massa otot dan fungsinya disebut dengan sarkopenia. Prevalensi sarkopenia sangat tinggi pada usia lanjut yang tinggal di panti wreda, kondisi ini disebabkan gaya hidup sedentari pada penghuni panti wreda. Deteksi dini sarkopenia dapat dilakukan dengan mengukur fungsi otot, salah satunya adalah mengukur performa fisik dengan tes short physical performance battery (SPPB). Penelitian potong lintang ini bertujuan untuk melihat korelasi antara kadar vitamin D serum dengan performa fisik pada usia lanjut di lima panti wreda yang terdaftar di Kota Tangerang Selatan. Pengambilan subjek dilakukan dengan cara proportional random sampling, didapatkan 100 usila yang memenuhi kriteria penelitian. Pemeriksaan kadar vitamin D menggunakan kadar kalsidiol serum dengan metode chemiluminescence immunoassay (CLIA). Pemeriksaan massa otot menggunakan bioelectric impedance analysis Tanita SC-330. Analisis korelasi menggunakan uji nonparametrik. Didapatkan nilai tengah usia subjek adalah 74,89 tahun dan 72% subjek adalah perempuan. Terdapat  85% subjek memiliki asupan vitamin D yang kurang dan  94% subjek memiliki skor pajanan sinar matahari yang rendah, serta seluruh subjek masih memiliki massa otot yang normal. Nilai tengah kadar vitamin D serum  adalah 15,50(4-32) ng/mL, dengan 72% subjek mengalami defisiensi vitamin D. Nilai tengah performa fisik adalah 9(3-12) dan sebanyak 47% subjek mengalami performa fisik yang buruk. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin D serum dengan performa fisik pada usia lanjut di panti wreda (r=0,130; p=0,196).

Elderly individuals have a risk of vitamin D deficiency, whereas vitamin D has a protective effect on muscle mass. Decrease in muscle mass and function is called sarcopenia. The prevalence of sarcopenia is very high in the elderly who live in nursing homes, this condition is due to the sedentary lifestyle. Early detection of sarcopenia can be done by measuring physical performance with short physical performance battery (SPPB) test. This cross-sectional study aimed to explore the correlation between vitamin D serum levels with physical performance among elderly individuals in five nursing homes registered in South Tangerang. A hundred subjects who fulfilled study criteria gathered using proportional random sampling method. Examination of vitamin D levels using calcidiol serum with the chemiluminescence immunoassay (CLIA) method. Muscle mass was measured using bioelectric impedance analysis Tanita type SC-330. Nonparametric correlation was used for correlation analysis. Median age of subjects was 74.89 years old and 72% were female. Eighty-five percent of subjects had low vitamin D intake, 94% of subjects had low sun exposure score, and all subjects had normal muscle mass. Mean level of vitamin D serum was 15.50 (4-32) ng/mL, with 72% of subjects had vitamin D deficiency. Mean score of physical performance was 9(3-12) and 47% of subjects had low physical performance. This study showed that there was no correlation found between vitamin D serum levels with physical performance among elderly individuals in nursing homes (r=0.130; p=0.196)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58914
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Jessica
"Latar Belakang: Stroke iskemik merupakan penyebab kematian terbanyak kedua dan penyebab utama disabilitas di seluruh dunia. Beberapa faktor risiko yang sudah diketahui diantaranya pola hidup, penyakit komorbid, usia, jenis kelamin, dan ras. Namun, kadar serum vitamin D yang kurang ternyata juga dikaitkan dengan penyakit neurodegeneratif, serta luaran klinis yang lebih buruk. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi kadar serum vitamin D dengan derajat keparahan pada stroke iskemik yang dinilai berdasarkan NIHSS. Pada penelitian ini juga akan menilai asupan vitamin D serta pajanan sinar matahari.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien stroke iskemik di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Universitas Indonesia. Karakteristik subjek penelitian berupa usia, jenis kelamin, faktor risiko, penyakit komorbid dengan komplikasi, asupan protein, asupan lemak, asupan vitamin D, pajanan sinar matahari, kadar serum vitamin D, serta derajat keparahan. Dilakukan analisis korelasi kadar serum vitamin D dengan derajat keparahan berdasarkan NIHSS.
Hasil: Terdapat 59 subjek dengan diagnosis stroke iskemik dengan rerata usia 63 tahun dan mayoritas laki-laki (62,7%). Faktor risiko terbanyak adalah hipertensi (83,1%), berat badan lebih dan obesitas (64,4%), merokok (57,6%), dan diabetes melitus (42,4%). Penyakit komorbid dengan komplikasi tersering yang ditemukan adalah gangguan jantung (35,6%). Sebanyak 79,7% subjek penelitian memiliki asupan protein yang kurang, sedangkan asupan lemak seluruhnya tergolong cukup. Sebagian besar (52,5%) subjek penelitian memiliki status asupan vitamin D kurang, 5 orang mengonsumsi suplementasi vitamin D secara rutin, derajat pajanan sinar matahari rendah (89,8%). Sebanyak 59,3% memiliki status kadar serum vitamin D defisiensi dengan derajat keparahan terbanyak adalah skor NIHSS 5-15 (76,3%). Terdapat korelasi antara asupan vitamin D dengan derajat keparahan stroke iskemik (r -0,307, p 0,018).
Kesimpulan: Kadar serum vitamin D memiliki korelasi dengan derajat keparahan stroke iskemik (r -0,469, p <0,001). Kadar serum vitamin D yang kurang berbanding terbalik dengan skor NIHSS yang didapatkan pada penderita stroke iskemik onset akut.

Background: Ischemic stroke is the second leading cause of death and the leading cause of disability worldwide. Some of the known risk factors include lifestyle, comorbid diseases, age, gender, and race. However, deficient serum vitamin D levels are also associated with neurodegenerative diseases, as well as worse clinical outcomes. This study was conducted to determine the correlation of serum vitamin D levels with severity in ischemic stroke as assessed by the NIHSS. This study will also assess vitamin D intake and sunlight exposure.
Methods: This study is a cross-sectional study on ischemic stroke patients at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and University of Indonesia Hospital. Characteristics of the study subjects included age, gender, risk factors, comorbid diseases with complications, protein intake, fat intake, vitamin D intake, sun exposure, serum vitamin D levels, and severity. Correlation analysis of serum vitamin D levels with severity based on NIHSS was conducted.
Results: There were 59 subjects with a diagnosis of ischemic stroke with an average age of 63 years and the majority were male (62.7%). The most common risk factors were hypertension (83.1%), overweight and obesity (64.4%), smoking (57.6%), and diabetes mellitus (42.4%). Comorbid disease with the most common complication found were cardiac disorders (35.6%). A total of 79.7% of the study subjects had insufficient protein intake, while the fat intake was entirely considered adequate. Most (52.5%) of the study subjects had deficient vitamin D intake status, 5 people took vitamin D supplementation regularly, the degree of sun exposure was low (89.8%). A total of 59.3% had vitamin D deficiency serum level status with the most severity being NIHSS score 5-15 (76.3%). There was a correlation between vitamin D intake and ischemic stroke severity (r -0,307, p 0,018).
Conclusion: Serum vitamin D levels have a correlation with ischemic stroke severity (r -0,469, p <0,001). Insufficient serum vitamin D levels are inversely proportional to the NIHSS score obtained in patients with acute onset ischemic stroke.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Audrey Haryanto
"Prevalensi penyakit kardiovaskuler (PKV) meningkat seiring dengan proses penuaan. Aterosklerosis yang menyebabkan terjadinya inflamasi dan diikuti peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Vitamin D merupakan vitamin yang memiliki efek antiinflamasi dan dapat menurunkan kadar hsCRP. Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain potong lintang yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar vitamin D dengan kadar hsCRP pada usia lanjut (usila). Penelitian dilakukan di Pusat Santunan Keluarga (Pusaka) 12 di Tomang dan Pusaka 39 di Senen pada pertengahan bulan Desember 2012 sampai bulan Januari 2013. Pengambilan subyek dilakukan dengan cara cluster random sampling, dan didapatkan 71 orang subyek yang memenuhi kriteria penelitian. Data dikumpulkan melalui wawancara meliputi data usia, asupan vitamin D dengan metode Food Frequency Questionnaire (FFQ) semikuantitatif serta total skor pajanan sinar matahari mingguan. Pengukuran antropometri untuk menilai status gizi dan pemeriksaan laboratorium yang meliputi kadar vitamin D dan hsCRP. Didapatkan median usia 69 (60-85) tahun dan 80,3% subyek adalah perempuan. Malnutrisi terdapat pada 71,8 % subyek. Asupan vitamin D menunjukkan 98,6% subyek memiliki asupan vitamin D kurang dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) Indonesia. Sebanyak 97,2% subyek memiliki skor pajanan sinar matahari rendah. Nilai rerata kadar vitamin D 38,02±12,94 nmol/L dan 78% subyek tergolong defisiensi vitamin D. Nilai median kadar hsCRP 1,5 (0,1-49,6) mg/L, dan 67,6% subyek tergolong risiko PKV sedang dan tinggi. Didapatkan korelasi positif tidak bermakna antara kadar vitamin D serum dengan kadar hsCRP pada usila (r=0,168, p=0,162).

The prevalence of cardiovascular disease (CVD) increases in the elderly. Atherosclerosis is a major cause of CVD which stimulate inflammation and followed by increase production of C-reactive protein (CRP). Vitamin D is a vitamin which has anti-inflammatory effects and may reduce level of hsCRP. The aim of this cross sectional study was to find the correlation between serum vitamin D level and hsCRP in elderly. Data collection was conducted during December 2012 to January 2013 on 2 selected Pusaka, Pusaka 12 (Tomang) and Pusaka 39 (Senen). Subjects were obtained using cluster random sampling method. A total of 71 elderly subjects had met the study criteria. Data were collected through interviews including age, vitamin D intake and weekly score of sunlight exposure. Anthropometry measurements to assess the nutritional status and laboratory examination i.e blood levels of vitamin D and hsCRP. Majority of the subjects were female (80,3%), median age was 69 (60-85) years. Malnutrition was occured in 71.8% of the subjects. Intake of vitamin D showed 98.6% of the subjects were less than recommended dietary allowances (RDA). Majority of the subjects had low score of sunlight exposure (97,2%). Mean of vitamin D levels 38,02±12,94 nmol/L, while 78% the of subjects were categorized as vitamin D deficiency. Median of hsCRP levels 1,5 (0,1-49,6) mg/L, while 67,6% subjects were at moderate and high risk of CVD. No significant correlation was found between serum vitamin D levels and hsCRP levels (r=0,168, p=0,162).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christina Mariani
"Latar Belakang: Stroke merupakan penyebab kematian kedua dan penyebab disabilitas ketiga di dunia. Stroke menimbulkan ketidakmampuan dan kelemahan yang berakibat pada penurunan kemampuan fungsional. Kemandirian aktivitas hidup sehari-hari pasien stroke sangat penting karena dapat meningkatkan kualitas hidup. Dari tahun 1990 hingga 2019, telah terjadi peningkatan kejadian stroke sebesar 70%. Selanjutnya stroke sendiri akan menyebabkan peningkatkan angka kematian sebesar 43% dan disability adjusted lifeyears (DALY) sebesar 143%. Penelitian ini bertujuan untuk mehilat hubungan antara kadar vitamin D serum terhadap massa otot bebas lemak pada kedua ektremitas pada pasien stroke dan luaran klinis dengan pada pasien stroke.
Metode: Penelitian menggunakan desain potong lintang pada subjek berusia diatas 18 tahun yang menjalani perawatan di RSUPN Dr. Cipto mangunkusumo dan RS Universitas Indonesia Depok. karakteristik demografi meliputi usia, jenis kelamin, status gizi, jenis kulit, jenis pakaian , asupan vitamin D, pemakaian tabir surya, Indeks Barthel, asupan energi total, asupan protein, asupan lemak, asupan karbohidrat, skor pajanan sinar matahari dan kadar vitamin D serum. Dilakukan analisis hubungan kadar vitamin D serum dengan ASMI dan Indeks Barthel Hasil: Sebagian besar subjek rerata berusia 59 tahun, dengan jenis kelamin perempuan terbanyak. Status gizi 33,3% mengalami obesitas derajat 1 dan 13,3% obesitas derajat 2. Karakteristik subjek memiliki jenis kulit tipe 4 (moderate brown), dan hampir seluruh subjek sebanyak 83,3% tidak memakai tabir surya. Untuk kecupukan asupan, bebagian besar subjek 81,7% memiliki asupan energi total yang cukup, 50% subjek mengalami asupan protein yang kurang, 5% subjek memiliki asupan lemak yang kurang, dan hanya 1,7% subjek yang mengalami asupan karbohidrat yang kurang, disamping itu didapatkan 65% yang mengalami kurangnya asupan bahan makanan sumber vitamin D. Skor pajanan sinar matahari pada hampir seluruh subjek sebesar 81,7% termasuk dalam kategori rendah. Hasil penelitian ini juga didapatkan gambaran 30% sebagian subjek tergolong defisiensi vitamin D, dan 58,3% subjek yang mengalami insufisiensi vitamin D. Sebagian besar subjek pada hasil pemeriksaan ASMI menunjukkan gambaran 83,3% mengalami ASMI yang rendah, dengan proporsi pada subjek laki-laki sebanyak 86,2% dan perempuan sebanyak 80,6%. Untuk Indeks Barthel didapatkan 48,3% subjek mengalami ketergantungan sedang dalam menjalani akitivitas sehari-hari. Kesimpulan: Terdapat korelasi yang bermakna antara kadar vitamin D serum dengan ASMI dan Indeks Barthel.

Background: Stroke is the second leading cause of death and the third leading cause of disability in the world. Stroke causes disability and weakness which results in decreased functional ability. Independence of daily living activities of stroke patients is very important because it can improve the quality of life. From 1990 to 2019, there has been a 70% increase in the incidence of stroke. Furthermore, stroke itself will cause an increase in mortality by 43% and disability adjusted lifeyears (DALY) by 143%. This study aims to investigate the relationship between serum vitamin D levels and fat-free muscle mass in both extremities in stroke patients and clinical outcomes with stroke patients.
Methods: The study used a cross-sectional design on subjects aged over 18 years who underwent treatment at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital and University of Indonesia Hospital Depok. Demographic characteristics include age, gender, nutritional status, skin type, clothing type, vitamin D intake, sunscreen use, Barthel Index, total energy intake, protein intake, fat intake, carbohydrate intake, sun exposure score and serum vitamin D levels. The association of serum vitamin D level with ASMI and Barthel Index was analyzed.
Results: Most of the subjects had an average age of 59 years, with the most female gender. The subjects had a skin type of type 4 (moderate brown), and almost all subjects as much as 83.3% did not wear sunscreen. For intake adequacy, most subjects 81.7% had sufficient total energy intake, 50% of subjects experienced insufficient protein intake, 5% of subjects had insufficient fat intake, and only 1.7% of subjects experienced insufficient carbohydrate intake, besides that 65% experienced insufficient intake of food sources of vitamin D. The sun exposure score in almost all subjects of 81.7% was in the low category. The results of this study also obtained a picture of 30% of subjects classified as vitamin D deficiency, and 58.3% of subjects who experienced vitamin D insufficiency. Most subjects in the ASMI examination results showed a picture of 83.3% experiencing low ASMI, with a proportion in male subjects as much as 86.2% and women as much as 80.6%. For the Barthel Index, 48.3% of subjects experienced moderate dependence in carrying out daily activities.
Conclusion: There is a significant correlation between serum vitamin D levels with ASMI and Barthel Index.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ardian Sandhi Pramesti
"Latar Belakang: Obesitas adalah masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia terutama di negara berkembang. Obesitas dapat mempengaruhi status vitamin D, salah satunya dikarenakan adanya peningkatan penyimpanan vitamin D di jaringan adiposa sehingga mengakibatkan rendahnya bioavailabilitas vitamin D. Selain itu, banyaknya jaringan lemak berkaitan dengan  inflamasi kronis tingkat rendah yang menyebabkan peningkatan penggunaan vitamin D pada sel imun sehingga menyebabkan rendahnya kadar vitamin D pada kasus obesitas. Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara persentase massa lemak dengan kadar vitamin D serum pada populasi dewasa dengan penyandang obesitas.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan pada subjek dewasa dengan obesitas di Rumah Sakit Cipto Mangungkusumo, Pengukuran persentase massa lemak menggunakan bioelectrical impedance analysis (BIA) SECA mBCA 525. Pemeriksaan kadar vitamin D serum menggunakan kalsidiol serum dengan metode chemiluminescence immunoassay (CLIA).
Hasil: Sebanyak 90 subjek penelitian memiliki rerata usia 41 tahun dengan jumlah subjek terbanyak adalah perempuan (59%). Sebagian besar subjek tergolong status gizi obesitas derajat II. Median kadar vitamin D serum adalah 13,4 ng/dL dengan sebagian besar subjek tergolong defisiensi vitamin D. Rerata persentase massa lemak subjek adalah 37,2 ± 8,2. Terdapat korelasi negatif antara kadar vitamin D serum dengan persentase lemak tubuh pada pada dewasa penyandang obesitas (r=-0,378, p=0,000).
Kesimpulan: Terdapat korelasi bermakna berkekuatan sedang antara persentase massa lemak dengan kadar vitamin D serum pada subjek dewasa penyandang obesitas.

Background: Obesity is a global public health issue, especially in developing countries. Obesity can affect vitamin D status due to increased storage of vitamin D in adipose tissue. In addition, low bioavailability of vitamin D. Low levels of chronic inflammation is strongly associated with a large number of adipose tissue, which causes increased use of vitamin D in immune cells and causes low levels of vitamin D in obesity population. This study aims to see the correlation between the percentage of fat mass and serum vitamin D levels in the adult population with obesity.
Methods: This cross-sectional study was conducted on obese adult subjects at Cipto Mangunkusumo Hospital. First, the fat mass percentage was measured using bioelectrical impedance analysis (BIA) SECA mBCA 525. In addition, serum vitamin D levels were examined using serum calcidiol using the chemiluminescence immunoassay (CLIA) method.
Results: A total of 90 research subjects had an average age of 41; most were female. Most of the subjects were classified as obesity class II. The average serum vitamin D level was 13.4 ng/dL, with most of the subjects classified as deficient in vitamin D. The mean proportion of subjects in fat mass was 37.2 ± 8.2. There was a negative correlation between serum vitamin D levels and the proportion of body fat in obese adults (r=-0.378, p=0.000).
Conclusion: There was a significant medium correlation between fat mass percentage with serum vitamin D in the adult with obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raissa
"Latar belakang: Alopesia androgenetik (AAG) merupakan jenis kebotakan rambut paling umum pada laki-laki yang menyebabkan gangguan estetik sehingga memengaruhi kualitas hidup dan dapat berkaitan dengan kondisi sistemik. Tata laksana yang ada seringkali belum memuaskan. Vitamin D sebagai salah satu mikronutrien yang telah dikenal memiliki banyak manfaat juga diduga berperan dalam kejadian kelainan rambut termasuk AAG.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kadar 25(OH)D serum dan status kecukupan vitamin D dengan derajat keparahan AAG pada laki-laki.
Metode: Penelitian ini merupakan suatu studi observasional analitik dengan desain potong lintang. Subjek penelitian dipilih menggunakan metode consecutive sampling berdasarkan kriteria penelitian. Diagnosis AAG ditegakkan secara klinis berdasarkan klasifikasi Hamilton-Norwood lalu dibagi menjadi derajat ringan dan sedang-berat. Dilakukan pula fotografi 7 posisi kepala serta pemeriksaan trikoskopi dan Trichoscan®. Pemeriksaan kadar 25(OH)D serum diambil dari darah vena sebanyak 3 mL dan menggunakan metode chemiluminescent microparticle immunoassay (CMIA). Klasifikasi status kecukupan vitamin D ditetapkan menjadi defisiensi dan nondefisiensi berdasarkan Endocrine Society Guideline. Nilai p<0,05 dianggap bermakna secara statistik.
Hasil: Di antara 74 SP dengan rerata usia 37,4(8,89) tahun yang berpartisipasi dalam penelitian, sebanyak 29 orang (39,2%) mengalami AAG ringan dan 45 orang (60,8%) mengalami AAG sedang hingga berat. Rerata kadar 25(OH)D serum untuk seluruh SP adalah 18,9(5,89) ng/mL yang termasuk ke dalam kategori defisiensi vitamin D. Rerata kadar 25(OH)D serum pada SP dengan AAG ringan adalah 21,8(6,39) ng/mL dan pada AAG sedang hingga berat sebesar 17,1(4,79) ng/mL. Terdapat hubungan bermakna secara statistik antara kadar 25(OH)D serum dan status kecukupan vitamin D dengan derajat keparahan AAG (p=0,01; p<0,001). Sebagai data tambahan, ditemukan pula hubungan bermakna secara statistik antara diameter rambut (p=0,036) dengan derajat keparahan AAG.
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara status kecukupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum dengan derajat keparahan AAG pada laki-laki.

Background: Androgenetic alopecia (AGA) is the most common type of hair loss in men which causes aesthetic disturbances that affect quality of life and can be associated with systemic conditions. Existing management is often not satisfactory. Vitamin D, as a micronutrient that is known to have many benefits, is also thought to play a role in the incidence of hair disorders including AGA.
Objective: This study aims to analyze the association between serum 25(OH)D levels and vitamin D sufficiency status with the severity of AGA in men.
Method: This research is an observational analytic study with a cross-sectional design. The study subjects were selected using consecutive sampling. The diagnosis of AGA was established clinically according to the Hamilton-Norwood classification and then categorized into mild and moderate-severe degrees. Photographs of the head in seven positions were taken, and trichoscopy and Trichoscan® examinations were performed. Serum 25(OH)D levels were measured from 3 mL of venous blood using the chemiluminescent microparticle immunoassay (CMIA) method. Vitamin D status was classified as deficient or non-deficient according to the Endocrine Society Guideline. Statistical significance were set at p<0.05.
Results: Among the 74 subjects with a mean age of 37.4 (8.89) years, 29 (39.2%) had mild AGA and 45 (60.8%) had moderate to severe AGA. The mean serum 25(OH)D level for all participants was 18.9 (5.89) ng/mL, indicating vitamin D deficiency. For those with mild AGA, the mean serum 25(OH)D level was 21.8 (6.39) ng/mL, while for those with moderate to severe AGA, it was 17.1 (4.79) ng/mL. There was a statistically significant association between serum 25(OH)D levels and vitamin D status with AGA severity (p=0.01; p<0.001). Additionally, a significant association was found between hair diameter and AGA severity (p=0.036).
Conclusion: This study found significant association between vitamin D status and serum 25(OH)D levels with AGA severity in men
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syaufi Zahrah
"Prevalensi obesitas di Indonesia menunjukkan peningkatan yang bermakna dari tahun ke tahun, termasuk di dalamnya prevalensi obesitas sentral yang dapat diukur melalui lingkar pinggang. Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain potong lintang yang bertujuan untuk melihat korelasi antara asupan energi total, asupan lemak, dan lingkar pinggang dengan kadar HbA1c pada obesitas. Penelitian dilakukan di kantor Balai Kota DKI Jakarta dari akhir bulan November sampai Desember 2013. Pengambilan subyek dilakukan dengan cara consecutive sampling, didapatkan 47 subyek yang memenuhi kriteria penelitian. Karakteristik subyek yang diambil adalah usia, jenis kelamin dan indeks massa tubuh (IMT). Variabel data yang diteliti adalah asupan energi total, asupan lemak, lingkar pinggang, dan kadar HbA1c.
Hasil penelitian didapatkan subyek terbanyak berusia antara 36-50 tahun (93,6%), sebagian besar berjenis kelamin perempuan sebanyak 27 subyek (57,4%), dan sebanyak 35 subyek (74,5%) termasuk kategori obes I, karena sebagian besar subyek berada pada rentang usia 36 sampai 50 tahun, maka selanjutnya analisis data dan pembahasan dilakukan pada 44 subyek dengan rentang usia tersebut. Asupan energi total 32 subyek (72,7%) dibawah AKG (˂ 70% AKG). Median (min-maks) asupan energi total adalah sebesar 1225,8(766,0-4680) kkal. Sebagian besar subyek penelitian mengonsumsi lemak lebih dari persentase KET yang dianjurkan yaitu sebanyak 42 orang subyek (95,5%). Seluruh subyek laki-laki dan sebagian besar subyek perempuan (84%) memiliki LP lebih. Rerata kadar HbA1c pada subyek laki-laki adalah 6,3±0,2% dan perempuan 6,3±0,3%, dan hampir sebagian besar (68,2%) memiliki kadar HbA1c berisiko tinggi. Terdapat korelasi negatif tidak bermakna antara asupan energi total dengan kadar HbA1c pada subyek laki-laki (r=-0,15, p=0,536) dan korelasi positif tidak bermakna pada subyek perempuan (r=0,28, p=0,898). Korelasi negatif tidak bermakna dijumpai antara asupan lemak dengan kadar HbA1c pada seluruh subyek (r=-0,06, p=0,687). Korelasi positif tidak bermakna antara lingkar pinggang dengan kadar HbA1c terdapat pada seluruh subyek (r=0,18, p=0,236).

The prevalence of obesity in Indonesia is increasing and also the prevalence of central obesity which can be measured by waist circumference. The aim of this cross sectional study was to find the correlation between total energy intake, fat intake, and waist circumference with HbA1c levels in obes subject. Data collection was conducted during November to December 2013 in the institution of Balaikota DKI Jakarta. The subjects was obtained by consecutive sampling, and 47 subjects who meet study criteria were enrolled in this study. The data collection were characteristics of the subjects including age, gender and body mass index (BMI), as well as total energy intake, fat intake, waist circumference, and HbA1c levels.
The results showed the highest age between 36-50 years (93.6%), majority of the subjects were female (57.4%), and catagorized as obese I (74.5%). Because most of the subjects were in the range of age 36 to 50 years, the data analysis and discussion conducted on 44 subjects. Most of the subject had total energy intake under RDI requirements, i.e., 13 people (68.4 %) of male and 19 subjects (76%) of female subjects. Most of the subjects (42 subjects, 95.5%) had fat intake over recommended percentage of total energy requirement. All of the male and most of female subjects (84%) have waist circumference greater than the normal criteria. Mean of HbA1c levels were 6.3±0.2%, for male subjects and almost the same levels for female subjects, while 68.2% of the subjects were categorized as high risk. The were no significant negative correlation between total energy intake and HbA1c levels in male subjects (r =-0.15, p=0,536) and no significant in female subjects (r=0.28, p=0.898). There were no significant negative correlation between fat intake and HbA1c levels in all subjects (r=-0.06, p=0.687), while non significant positive correlation between waist circumference and HbA1c levels were found in all subjects (r=0.18, p=0.236).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isa Rosalia Ruslim
"Hipovitaminosis D selama masa kehamilan dapat menimbulkan komplikasi selama kehamilan dan pada janin. Selain itu data mengenai status vitamin D pada ibu hamil terutama trimester 1 di Indonesia masih terbatas. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kadar kalsidiol serum pada ibu hamil trimester 1 dan korelasinya dengan asupan vitamin D dan skor paparan sinar matahari.
Penelitian ini menggunakan metode studi potong lintang pada ibu hamil sehat usia 20-35 tahun dengan usia kehamilan <12 minggu. Hasil penelitian menunjukkan rerata usia subyek 27,36+3,91 tahun dengan median usia kehamilan 9 minggu. Sebagian besar subyek berpendidikan tinggi (68,1%), status bekerja (70,2%) dengan pendapatan >UMP (59,6%) dan rerata IMT 23,74+3,83 kg/m2. Asupan lemak, protein, dan kalsium subyek
Median skor paparan sinar matahari adalah 14 (0-42) dengan median lama paparan 17,41 (0-85,71) menit. Terdapat perbedaan bermakna antara kadar kalsidiol serum dengan kelompok lama paparan sinar matahari 5-30 menit dan >30 menit (p=0,033). Rerata kadar kalsidiol serum 39,26+10,25 nmol/mL (insufisiensi) dengan 100% subyek memiliki kadar kalsidiol serum < 80 nmol/L yang menggambarkan keadaan hipovitaminosis D.
Tidak terdapat korelasi antara kadar kalsidiol serum dengan skor paparan sinar matahari (r=0,087; p=0,562), dan asupan vitamin D (r=-0,049; p=0,745). Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian adalah seluruh ibu hamil trimester 1 di Jakarta mengalami hipovitaminosis D sehingga perlu segera diatasi melalui konseling dan edukasi gizi.

Vitamin D deficiency could be related to several complications to pregnancy`s outcomes, both for mother and fetus. Besides, there is limited data regarding to vitamin D status among pregnant women in Indonesia especially during the first trimester. Therefore this study was performed to determine serum calcidiol on the first trimester of pregnancy and its correlation to vitamin D intake and sun exposure score.
The methode in this study was cross-sectional study among healthy pregnant women aged 20-35 years old on their first trimester of pregnancy. Average age of the subjects was 27.36±3.91 years old with median gestational age of 9 weeks. Most of the subjects was well educated (68.1%), working (70.2%) with monthly income equal and more than the province minimum salary (59.6%), and with BMI average of 23.74±3.83 kg/m2. Mostly the subjects had fat, protein, and calcium intake below its RDA with the average intake of 44.49±22.22 g/day; 45.07±19.35 g/day; 661.93±405.91 mg/day, respectively. Vitamin D intake was mostly below its RDA with a median of 2.9 mcg/day and ranged from 0.3 to 15.6 mcg/day.
The median score of sun exposure score was 14 that ranged from zerro to 42, with a median for its duration of 17.41 minutes that ranged from zerro to 85.71 minutes. In this study, there was significant differences between serum calcidiol and sun exposure duration in 5-30 minutes and more than 30 minutes groups (p=0,033). As the main finding, it reveals that the average of serum calcidiol was 39.26±10.25 nmoL/mL or classified as insufficient where all of the subjects (100%) had serum calcidiol less than 80 nmol/L (hypovitaminosis D).
However, there were no significant correlations between serum calcidiol with sun exposure score and vitamin D intake (r=0.087 and p=0.562; r=-0,049 and p=0.745, respectively). In conclusion, all of the pregnant women in Jakarta, especially in their first trimester had low vitamin D status. Therefore, intervention is needed, i.e. through prenatal counselling and nutrition education regarding to natural sources of vitamin D.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihanah Suzan
"Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada pasien lupus eritematosus sistemik perempuan usia dewasa.
Metode: Peneltian ini merupakan penelitian potong lintang pada 36 pasien SLE perempuan dewasa dari Poliklinik Reumatologi di RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Pengambilan data subyek meliputi usia, klasifikasi penyakit SLE, obat-obatan yang digunakan, tipe kulit, penggunaan tabir surya, bagian tubuh yang tertutup pakaian, lama terpajan sinar matahari, indeks massa tubuh (IMT), asupan vitamin D, dan kadar 25(OH)D serum.
Hasil: Sebagian besar (41,7%) subyek berusia antara 36–45 tahun, tergolong klasifikasi SLE ringan (52,8%), selalu menggunakan tabir surya (63,9%), tipe kulit IV (69,4%), dan memakai pakaian yang menutupi seluruh/sebagian besar tubuh (69,4%), serta tidak terpajan dan terpajan sinar matahari <30 menit (77,8%). Semua subyek menggunakan kortikosteroid. Separuh subyek memiliki berat badan normal berdasarkan IMT, sebagian besar (55,6%) subyek mempunyai asupan vitamin D cukup berdasarkan AKG 2012, dan 28 subyek (77,8%) menderita defisiensi vitamin D ( kadar 25(OH)D serum <50 nmol/L). Didapatkan korelasi positif yang sedang antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada subyek penelitian (r = 0,52; P <0,01).
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif yang sedang antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada pasien SLE perempuan dewasa (r = 0,52; P <0,01).

Objective: the aim of the study is to investigate the correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration of adult woman SLE patients.
Methods: A cross-sectional study was conducted in 36 adult woman patients with SLE from Rheumatology Clinic of the Departemen of Internal Medicine Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. Data collection included age, SLE classification, drugs, skin type, use of sunscreen, part of the body covered by clothes, length of sun exposure, body mass index (BMI), vitamin D intake, and serum 25(OH)D concentration.
Results: Most of the subjects (41.7%) aged 36–45 years old, classified as mild SLE (52.8%), always used sunscreen (63.9%), skin type IV (69.4%), wearing clothes that covered all or almost of the body (69.4%), and not exposed or had sun exposure less than 30 minute (77.8%). All subjects used corticosteroid. Based on BMI half of the subjects had normal body weight, Based on AKG 2012 most (55.6%) had adequate vitamin D intakes, and 28 subjects (77.8%) were in vitamin D-deficient (serum 25(OH)D concentration <50 nmol/L). There were moderate positive correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration in subjects (r = 0.52; P <0.01).
Conclusion: There were moderate positive correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration of adult woman SLE patients (r = 0.52, P <0.01).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>