Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172430 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ziggy Zeirckaellaeisezabrizkie
"ABSTRAK
PT Kepsonic Indonesia dinyatakan pailit pada tanggal 23 Juli 2013, badan usaha tersebut memiliki kewajiban pajak yang belum dilunasi terhadap Direktorat Jenderal Pajak dan kewajiban pabean terhadap Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Pokok permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai ketentuan mengenai kedudukan piutang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dibanding piutang Direktorat Jenderal Pajak dalam proses kepailitan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan terkait, serta mengenai kesesuaian dasar pertimbangan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 98/K/Pdt.Sus-Pailit/2015 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 652/K/Pdt.Sus-Pailit/2014 dikaitkan dengan ketentuan hak mendahulu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam Pasal 39 ayat 3 Undang Undang Nomor 10 Tahun 1995 jo. Undang Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Pokok permasalahan tersebut akan dianalisa dengan mengunakan doktrin dan peraturan di bidang kepailitan, perpajakan, dan kepabeanan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan penelitian kepustakaan menggunakan data sekunder. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kedudukan tagihan Direktorat Jenderal Pajak dan tagihan Direktorat Jenderal Bea Cukai adalah sama, yaitu selaku kreditor preferen, dan keduanya memiliki hak istimewa hak mendahulu.Kata Kunci : Utang Pajak, Bea Masuk, Pajak Impor, Kepailitan

ABSTRACT
AbstractPT Kepsonic Indonesia was declared bankrupt on July 23, 2013, the business entity has unpaid tax liability to the Directorate General of Taxation and customs duty to the Directorate General of Customs and Excise. The main subject assessed in this paper is regarding the standing of the Directorate General of Taxation rsquo s tax debt and the Directorate General of Customs and Excise rsquo s customs and tax debt in a bankruptcy proceeding as stated in the related legal framework, and also regarding the coherence of the legal consideration in Supreme Court Decision Number 98 K Pdt.Sus Bankrupt 2015 jo. Supreme Court Decision Number 652 K Pdt.Sus Bankrupt 2014 is attributed to the provisions of the preference right of the Directorate General of Customs and Excise in Article 39 paragraph 3 of Law Number 10 of 1995 jo. Law No. 17 of 2006 on Customs and other related rules and regulations. The main subject will be analyzed using doctrine and regulations in the areas of bankruptcy, taxation, and customs. The research method used is normative juridical, which research is conducted by referring to the regulations and literatures using secondary data. From this research, it can be concluded that the standing of the tax and custom debts of the Directorate General of Taxes and the Directorate General of Customs are the same, that is, as the preferred creditors, and both government institutions have the privilege of preference right.Keywords Tax Debts, Import Duties, Import Taxes, Bankruptcy"
2017
T47841
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fernandez
"Utang pajak memiliki keistimewaan yang membedakannya dengan utang niaga. Dimana utang pajak memiliki Hak Istimewa yang pemenuhannya didahulukan di atas pemenuhan pembayaran utang lainnya. Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai kedudukan utang pajak dalam perkara kepailitan dan bagaimana seharusnya penyelesaian utang pajak atas perusahaan yang pailit. Pokok permasalahan tersebut akan dianalisa dengan menggunakan peraturan di bidang perpajakan dan peraturan di bidang kepailitan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan utang pajak yang memiliki hak mendahulu pada pelunasan utang pajak atas perusahaan yang pailit. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan penelitian kepustakaan dengan menggunakan data sekunder. Penelitian ini juga menjelaskan pengaturan utang pajak atas kepailitan yang diterapkan di Jepang dan Singapura. Berdasarkan hasil penelitian terhadap kitab undang-undang hukum perdata, undang-undang perpajakan, dan undang-undang kepailitan, utang pajak harus didahulukan karena memiliki hak mendahulu dan penyelesaiannya tunduk dengan yang diatur dalam undang-undang perpajakan.

Tax debt has specialties that make it different with commercial debt. Tax debt contains privilege to be fulfilled first than other debts. The main issues that would be discussed in this writing are about the position of tax debt in insolvency case and how it supposed to be settlement by the law. The issues would be analyzed with tax regulations and bankruptcy regulations. The purpose of this research is to know about tax debt position that has privilege in winding up process. Research method that is being used is juridical normative method, which means the research is based on regulation and library research that used secondary data. This research also explain the position of tax claims in Japan and Singapore. Based on the research of civil law, tax regulations, and bankruptcy regulations, tax debt must be fulfilled first because his privilege and winding up procedures based on process in tax regulation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1197
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Wiyarta Tenggara
"Amerika Serikat mengenal equitable subordination dan debt recharacterization sebagai doktrin yang bertujuan memastikan perlindungan bagi para kreditur dari tindakan tidak adil yang dilakukan oleh kreditur (terutama pemegang saham kreditur) lainnya. Di sisi lain, Indonesia tidak mengenal doktrin-doktrin ini. Namun, Mahkamah Agung dalam Putusan No. 1038 K/Pdt.Sus/2010 telah menerapkan doktrin debt recharacterization terhadap pinjaman pemegang saham dengan mengacu pada UU KPKPU dan, khususnya, Pasal 3 ayat (2) UU PT. Walaupun demikian, kedua instrumen hukum tersebut tidak mengatur secara eksplisit mengenai penerapan doktrin debt recharacterization. Oleh karena itu, penelitian ini akan menganalisis (1) pengaturan dan penerapan doktrin debt recharacterization di Indonesia; (2) pengaturan dan penerapan doktrin equitable subordination dan debt recharacterization di Amerika Serikat; serta (3) perbandingan pengaturan dan penerapan kedua doktrin tersebut di Indonesia dan Amerika Serikat. Melalui penelitian dengan metode yuridis normatif dan pendekatan kualitatif, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, hukum kepailitan di Indonesia memberikan perlindungan bagi para kreditur dalam memperoleh hak mereka dan pencegahan tindakan debitur yang merugikan kreditur. Dalam hal ini, penerapan doktrin debt recharacterization memberikan dimensi perlindungan tambahan, yakni pencegahan tindakan pemegang saham kreditur yang merugikan kreditur lainnya. Kedua, hukum kepailitan Indonesia tidak mengatur secara eksplisit mengenai doktrin debt recharacterization, tetapi Mahkamah Agung telah memastikan keberadaan doktrin tersebut dalam Putusan No. 1038 K/Pdt.Sus/2010. Adapun hukum kepailitan Amerika Serikat hanya mengandung pengaturan yang eksplisit mengenai doktrin equitable subordination, tetapi tidak mengenai doktrin debt recharacterization. Walaupun demikian, kedua doktrin tersebut telah dikembangkan oleh berbagai pengadilan di Amerika Serikat. Ketiga, pengaturan dan penerapan doktrin equitable subordination dan debt recharacterization di Amerika Serikat telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan di Indonesia. Walaupun demikian, terdapat beberapa kemiripan antara doktrin debt recharacterization yang terdapat di Indonesia dengan masing-masing doktrin equitable subordination dan debt recharacterization yang terdapat di Amerika Serikat.

The United States recognizes equitable subordination and debt recharacterization as doctrines aimed at ensuring protection for creditors from inequitable conduct by other creditors (especially shareholder-creditors). On the other hand, Indonesia does not recognize these doctrines. However, Mahkamah Agung in Putusan No. 1038 K/Pdt.Sus/2010 has applied the debt recharacterization doctrine to shareholder loans by referring to UU KPKPU and, in particular, Article 3 paragraph (2) of UU PT. Nevertheless, these legal instruments do not explicitly regulate the application of the debt recharacterization doctrine. Therefore, this study will analyze (1) the regulation and application of the debt recharacterization doctrine in Indonesia; (2) the regulation and application of the equitable subordination and debt recharacterization doctrines in the United States; and (3) the comparison of the regulation and application of these two doctrines in Indonesia and the United States. Through research using normative juridical method and qualitative approach, the following conclusions can be drawn. Firs, the bankruptcy law in Indonesia provides protection for creditors in obtaining their rights and preventing debtor actions that harm creditors. In this regard, the application of the debt recharacterization doctrine adds an additional dimension to that protection, namely preventing shareholder-creditors actions that harm other creditors. Second, Indonesian bankruptcy law does not explicitly regulate the debt recharacterization doctrine, but Mahkamah Agung has ensured the existence of this doctrine in Putusan No. 1038 K/Pdt.Sus/2010. As for the United States bankruptcy law, it only contains explicit regulations regarding the equitable subordination doctrine, but not regarding the debt recharacterization doctrine. Nevertheless, both doctrines have been developed by various United States courts. Third, the regulation and application of the equitable subordination and debt recharacterization doctrines in the United States have developed much more than in Indonesia. However, there are some similarities between the debt recharacterization doctrine in Indonesia and, respectively, the equitable subordination and debt recharacterization doctrines in the United States."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhila Falzaria Bilqis
"ABSTRAK
ABSTARKPembahasan dalam skripsi ini adalah pelaksanaan hak-hak kreditor separatis dan pekerja/buruh sebagai kreditor preferen dalam pemberesan harta pailit dengan studi kasus kepailitan PT Jaba Garmindo. Setelah debitor dinyatakan pailit, maka debitor tidak lagi berwenang mengurus harta pailit melainkan sudah menjadi wewenang curator untuk membereskan harta pailit. Dengan adanya harta pailit tersebut, terdapat kreditor-kreditor yang memiliki hak untuk diberikan pembayaran atas piutang-piutangnya. Sebagai perusahaan, pekerja/buruh akan ditarik menjadi kreditor karena dengan adanya Pemutusan Hubungan Kerja PHK , maka mereka berhak untuk mendapatkan pembayaran-pembayaran sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan UU Ketenagakerjaan . Namun disisi lain, kreditor separatis juga memiliki hak untuk diberikan pembayaran atas piutang-piutangnya yang ketentuannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 UUK-PKPU tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif. Dalam penelitian ini yang menjadi pokok permasalahan adalah keberlakuan pasal 95 ayat 4 UU Ketenagakerjaan berdasarkan UUK-PKPU dan peraturan-peraturan lain, termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013. Peneliti memperoleh kesimpulan bahwa pemberesan harta pailit PT Jaba Garmindo telah tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kepailitan karena bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013.

ABSTRACT
TThe discussion in this thesis is the implementation of the secure creditor rights and workers laborers as a preferred creditor in the bankruptcy estate settlement with the case studies of PT Jaba Garmindo bankruptcy. After debtor is declared bankrupt, the debtor is no longer authorized to take care of the bankruptcy asset but it has become a curator authority to settle the bankruptcy asset. Given the bankruptcy asset, there are creditors who have the right to be given a payment on debtor rsquo s debts. As a company, workers laborers will become a creditor because of the presence of Termination PHK , then they are entitled to receive payments in accordance with the provisions of Law No. 23 of 2003 on Manpower Act. On the other hand, the secured creditor also has the right to be given payment for debtor rsquo s debts on the provisions stipulated in Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment Act UUK PKPU . This research is a descriptive study with normative juridical typology. In this study, the issue of concern is the applicability of Article 95 paragraph 4 of Manpower Act based on UUK PKPU other regulations that have connection with bankruptcy, including the Constitutional Court Decision No. 67 PUU XI 2013. Researchers came to the conclusion that the settlement of PT Jaba Garmindo rsquo s bankruptcy asset was not in accordance with the provisions contained in the legislation relating to bankruptcy because it contradicts the provisions that stipulated in the Constitutional Court Decision No. 67 PUU XI 2013"
2017
S66812
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ujang Inan Iswara
"Ketentuan perpajakan menempatkan negara sebagai pemegang hak mendahulu atas tagihan pajak.Hak mendahulu ini memberi kesempatan kepada Negara untuk mendapatkan bagian lebih dahulu dari kreditur lain atas hasil pelelangan barang-barang milik Penanggung Pajak di muka umum guna menutupi atau melunasi utang pajaknya.
Pengaturan tentang hak mendahulu berkaitan dengan utang pajak dalam kenyataannya tidak diterapkan secara benar. Direktorat Jenderal Pajak justru mengalami kerugian akibat adanya permohonan pailit. Salah satu kemungkinan rekayasa adalah dengan teknik homologatie sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) UU Kepailitan. Berdasarkan teknik tersebut kemudian wajib pajak mengajukan masalahnya ke Pengadilan Niaga.
Kedudukan Direktorat Jenderal Pajak sangat kuat sebagai pemegang utang pajak termasuk dalam hal kepailitan. Keputusan pengadilan niaga yang mengabaikan kedudukan pemerintah atau negara terhadap utang pajak tidak menghalangi pemerintah atau negara untuk tetap melakukan pemungutan. Apalagi mengingat bahwa jika putusan pengadilan dijatuhkan oleh pengadilan umum bukanlah penyelesaian masalah perpajakan yang semestinya karena berdasarkan peraturan perundang - undangan telah diatur kompetensi absolut dari Peradilan Pajak dalam menyelesaikan sengketa pajak."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19796
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puteri Asterea
"Utang pajak memiliki keistimewaan yang membedakannya dengan utang niaga. Dimana utang pajak memiliki Hak Istimewa yang pemenuhannya didahulukan diatas pemenuhan pembayaran utang lainnya. Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai kedudukan utang pajak dalam perkara kepailitan, dan perjanjian perdamaian dalam perkara PKPU yang berhadapan dengan utang pajak. Pokok permasalahan tersebut akan dianalisa dengan menggunakan peraturan perpajakan dan peraturan kepailitan dan PKPU.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan pajak yang memiliki Hak Mendahulu pada pelunasan utang pajak perusahaan yang dalam proses PKPU. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan penelitian kepustakaan dengan menggunakan data sekunder. Penelitian ini juga membahas permasalahan penagihan utang pajak pada kasus PT Inti Mutiara Kimindo dengan Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Petamburan c.q. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Departemen Keuangan yang berawal dari tunggakan pajak pada tahun 2000 atas nama PT IMK. Salah satu kreditor PT IMK mengajukan permohonan pailit dengan hasil akhir putusan perjanjian perdamaian melalui proses PKPU yang saah satu isinya menyatakan bahwa utang pajak telah lunas. Berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam hukum pajak, hukum kepailitan dan hukum perdata, penagihan utang pajak harus didahulukan karena memiliki Hak Mendahulu dalam penyelesaiannya. Namun dalam kasus ini DJP dapat diikutsertakan dalam Perjanjian Perdamaian karena jangka waktu Hak Mendahuluinya telah terlampaui.

Tax debt has specialties that make it different with commercial debt. Tax debt contains privilege to be fulfilled first than other debts. The main issues that would be discussed in this writing are about the position of tax debt in insolvency case and peace agreement in Suspension of Payment case in relation with tax debt. The issues would be analyzed with tax regulations, bankruptcy law, and Suspension of Payment regulations.
The purpose of this research is to know about tax position that has privilege on tax debt settlement that in Suspension of Payment process. Research method that is being used is juridical normative method, which means the research is based on regulation and library research that used secondary data. This research also discusses tax debt collection problem on case between PT Inti Mutiara Kimindo with Tax Office Petamburan eq. Directorate General of Tax Department of Finance that begins by insolvent tax debt of PT Intl Mutiara Kimindo on the year 2000. One of PT Inti Mutiara Kimindo creditor submit insolvency application with the final result of peace agreement through Suspension of Payment process which one of the content is that the tax debt is already been paid. Based on the regulation from tax law, bankruptcy law and civil law, tax debt collection has been given priority because it has privilege on the settlement. But in this case Directorate General of Tax can be involved in the peace agreement because the privilege period is already expired.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19550
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Rusmy Mustari
"Skripsi ini membahas mengenai insolvensi sebagai syarat pengajuan kepailitan. Dalam hukum kepailitan debitor dapat dimohonkan pernyataan pailit apabila debitor tersebut sudah dalam keadaan insolven (tidak mampu membayar utang). Keadaan insolven adalah keadaan dimana aset yang dimiliki oleh debitor sudah tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban membayar utang. Syarat Kepailitan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU hanya mensyaratkan terdapatnya lebih dari dua kreditor dan utang yang jatuh tempo tanpa syarat insolvensi. Hal tersebut menyebabkan banyak perusahaan di Indonesia yang masih solven dipailitkan seperti yang terjadi pada PT. Telkomsel dan PT. AJMI. Pengaturan tersebut jelas berbeda apabila dibandingkan dengan pengaturan kepailitan yang diterapkan di Amerika Serikat, Jepang, dan Belanda. Ketiga negara tersebut mengatur syarat keadaan tidak mampu membayar utang sebagai syarat permohonan pailit. Insolvensi tes merupakan salah satu metode yang digunakan untuk memperoleh pernyataan apakah debitur dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya lagi.

This Thesis is aimed to explain insolvency as a the terms of bankruptcy. Debtor could be filed for a petition of bankruptcy if the debtor is already insolvent (unable to pay the debt). Insolvent is a condition where the assets owned by the debtor are not sufficient to meet the obligation to pay the debt. Terms of bankruptcy stated in Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment only requires more than two creditors and the debt maturity without the insolvency condition. It causes many companies in Indonesia which are still solvent are being bankrupt as in PT. Telkomsel and PT. AJMI. The regulation is clearly different if it is compared with bankruptcy arrangements applied in the United States, Japan, and the Netherlands. The three countries set the term ?unable to pay the debt? as a condition for bankruptcy. Insolvency test is a method used to obtain the statement of whether the debtor is unable to pay its debts again.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S47516
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sonyendah Retnaningsih
"Ketika Indonesia mengalami krisis moneter pada bulan Juli 1997, sarana hukum yang dapat dijadikan landasan bagi penyelesaian utang piutang adalah peraturan tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Namun, mengingat peraturan kepailitan Faillissementsverordening dirasa sudah tidak memadai dan tidak dapat memenuhi tuntutan zaman, maka atas desakan IMF pada tanggal 22 April 1998 dibuatlah Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang kepailitan pada tanggal 9 September 1998. Dalam UU No. 4 Tahun 1998 terdapat beberapa kelemahan yang menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Ketidakseragaman pemahaman terhadap hukum perdata materiil merupakan salah satu sumber permasalahan yang banyak menimbulkan kontroversi dalam pelaksanaan UU tersebut. Disamping itu, beberapa kelemahan lainnya: pertama, syarat kepailitan yang terlalu sederhana yang tidak mewajibkan hakim mempertimbangkan keadaan badan usaha yang menjalankan perusahaan; kedua, tidak adanya kewajiban untuk membedakan antara perusahaan yang masih berjalan dengan baik atau yang sudah berhenti; ketiga, tidak adanya kewajiban mempertimbangkan apakah perusahaan itu melibatkan ribuan tenaga kerja, dan keempat, tidak adanya kewajiban untuk mempertimbangkan aset perusahaan yang besar dibandingkan dengan utang yang harus dibayar. Akibatnya, proses kepailitan belakangan ini telah disalahgunakan untuk tujuan yang menyimpang dari filosofi dasar hukum kepailitan oleh pihak-pihak yang memiliki sengketa cedera janji. UUK juga kerap digunakan oleh kreditur kecil untuk mengancam bahkan memailitkan debitur besar yang secara finansial dalam keadaan sehat. Pemailitan terhadap sejumlah perusahaan yang termasuk dalam kategori sehat menimbulkan preseden buruk bagi sistem hukum kepailitan di Indonesia. Hal ini dapat menghancurkan kepercayaan dalam masyarakat terhadap industri asuransi dan menimbulkan kegoncangan perekonominan nasional, serta dapat menimbulkan ketidaktenangan dalam menjalankan usaha dan dapat menciptakan iklim yang tidak kondusif bagi usaha penamanaman modal di Indonesia. Oleh karena itu, hakim seharusnya mempertimbangkan keadaan finansial perusahaan, dampak sosial penutupan perusahaan, peran perusahaan asuransi yang sangat penting bagi kepentingan umum dan stabilitas perekonomian nasional serta semangat yang melandasi tujuan utama hukum kepailitan melalui terobosan ataupun temuan hukum."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15516
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pramanda Anggraeni
"Kepailitan menurut undang-undang adalah sebagai sita umum atas semua harta kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang. Salah satu syarat untuk memailitkan debitor adalah dimana debitor memiliki 2 kreditor atau lebih yang utang nya sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. Dalam praktik nya untuk memailitkan debitor, kreditor sering sekali mengalihkan piutang nya ( cessie ) kepada pihak lain yang menyebabkan terpenuhi nya syarat untuk memailitkan debitor. Kasus kepailitan dengan nomer perkara 764 K/ PDT. Sus/2010 dan 662 K/ PDT. Sus/2011 ini merupakan kasus yang sebenarnya memilki kesamaan alur namun pada akhirnya putusan yang diberikan Hakim berbeda antara satu sama lain. Pada kedua kasus tersebut, terdapat bentuk pengalihan piutang cessie yang dituangkan dalam akta notaris, dimana menurut kreditor dengan adanya pengalihan piutang tersebut, menyebabkan debitor memiliki dua kreditor atau lebih. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai penyebab dan solusi terjadinya perbedaan penafsiran Hakim terhadap Pengalihan piutang ( cessie ) dalam perkara kepailitan.

Bankruptcy based on law is confiscation of wealth of insolvent debtors conducted by curators under the supervision of supervisory judges as ordered by law. One of the requirements for bankruptcy is when a debtor has two or more credits of which his debts are due and collectible. In practice to bankruptcy debtors, creditors often divert his accounts receivable (cessie) to another party that caused his condition to meet the requirements of bankruptcy. Bankruptcy case no 764 K/PDT. sus/2010 and 662 K/ PDT. sus/ 2011 is a case that have a similarity but with, in the end, different judge's decision. In both cases, there is a transfer of receivables cessie form as outlined in the notarial deed, which according to the creditors by the transfer of the receivables, causing the debtor has two or more creditors. In this paper will discuss the causes and solutions to the differences in judge's interpretation of transfer of receivables (cessie) in the bankruptcy case.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S55433
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sisie Andrisa Macallo
"ABSTRAK
Semakin meningkatnya perekonomian dan semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, telah menjadi pasar yang sangat potensial untuk industri asuransi. Faktor tersebut mendorong banyaknya perusahaan yang ingin bergerak di bidang perasuransian, Salah satunya PT. Asuransi Prisma Indonesia. adapun syarat untuk mendirikan perusahaan asuransi adalah berbentuk Perseroan Terbatas, dalam perjalanan waktu adakalanya usaha tersebut menemukan kegagalan ataupun kerugian, hal ini juga dialami oleh perusahaan yang bergerak di industri perasuransian, kerugian yang terus menerus mengakibatkan perusahaan tersebut tidak dapat memenuhi rasio kecukupan modal sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan Menteri Keuangan. Menteri Keuangan bertindak sebagai pemberi ijin usaha kepada perseroan yang bergerak di bidang perasuransian sekaligus bertindak sebagai pengawas. Hal ini dikarenakan Perusahaan asuransi menghimpun dana masyarakat yang sangat besar, dengan demikian diperlukan satu instrumen yang memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada para pelaku usaha asuransi dan pemegang polis asuransi. Apabila perusahaan terus menerus merugi yang mengakibatkan jumlah hutangnya lebih besar daripada jumlah asetnya, maka ditempulah langkah hukum yaitu likuidasi atau kepailitan untuk mempercepat pendistribusian sisa hasil harta kekayaan kepada para kreditornya. Hal inilah yang dialami oleh PT Asuransi Prisma Indonesia yang mengalami kesulitan untuk memenuhi syarat rasio kecukupan modal, sehingga izin usahanya dicabut oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia, adapun tujuan utama proses kepailitan terhadap perseroan terbatas adalah untuk mempercepat proses likuidasi dalam rangka pendistribusian aset perseroan.

ABSTRAK
The growing of economy and the increasing number of Indonesian population have become a potential market for the insurance industry. Those factors are the reason of many companies to move in the area of insurance, one of them is PT. Prisma Indonesian Insurance. As for the requirement to establish an insurance company is a limited liability, in the course of time the business sometimes find a failure or loss, it is also experienced by companies which involved in the insurance industry. As the result, in continuous losses the company is not able to meet the capital adequacy ratio as determined in the Menteri Keuangan, as a conduit to the business license of the company engaged in the field of insurance while simultaneously acting as a guide. This is because the insurance company collects very large amount of public funds. So it requires an instrument that provides protection and legal certainty to the perpetrators insurance and business policyholders of insurance. If the company continued to incur losses resulting in the amount of the debt is greater that the amount of its assets, then liquidation or bankruptcy will be done to accelerate the distribution of the property to the creditors. These problems experienced by PT Asuransi Prisma Indonesia which has a problem to qualify the capital adequacy ratio, so the operating license revoked by Menteri Keungan. The main purpose of bankruptcy proceedings is to expedite the liquidation in order to distribute the assets of the company."
2013
T34850
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>