Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149733 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Nurani Fauziah
"Latar Belakang: Akne vulgaris AV adalah peradangan kronis pilosebasea yang terutama dijumpai pada remaja dan dewasa muda. Peranan diet pada patogenesis AV terus menjadi perdebatan. Salah satu mikronutrien yang diduga berperan dalam patogenesis AV adalah vitamin A atau retinol.
Tujuan: Mengetahui kadar retinol serum dan korelasinya dengan derajat keparahan AV, serta asupan vitamin A pasien AV.
Metode: Studi potong lintang dengan 20 subjek penelitian SP yang direkrut secara consecutive sampling. Kadar retinol serum diukur menggunakan high performance liquid chromatography HPLC, sedangkan asupan vitamin A dinilai dengan metode food frequency questionnaire FFQ semikuantitatif.
Hasil: Rerata kadar retinol serum kelompok AVR, AVS, dan AVB yaitu 0,962 SB 0,145 mol/L, 0,695 SB 0,054 mol/L, dan 0,613 SB 0,125 mol/L. Terdapat korelasi bermakna antara kadar retinol serum dengan derajat keparahan AV r = -0,798, p = 0,000. Rerata asupan vitamin A per hari pada kelompok AVR, AVS, dan AVB sebesar 476,21 SB 221,32 g, 823,71 SB 221,32 g, dan 780,99 SB 530,45 g.
Simpulan: Kadar retinol serum ditemukan rendah pada kelompok AVS dan AVB. Hasil penelitian ini membuktikan semakin rendah kadar retinol serum, semakin berat derajat keparahan AV. Tidak terdapat perbedaan asupan vitamin A di antara ketiga kelompok.

Background: Acne vulgaris AV is a chronic inflammation of pilosebaceus that is primarily found in adolescents and young adults. The role of diet in the pathogenesis of AV continues to be a debate. One of micronutrients alleged in the pathogenesis of AV is vitamin A or retinol.
Objective: This study aims to know the levels of serum retinol and its correlation with the degree of severity of the AV, as well as the patient 39 s intake of vitamin A.
Method: This cross sectional study included 20 subjects divided into mild, moderate, and severe groups based on Lehman rsquo s classification. Serum retinol levels measured using high performance liquid chromatography, whereas the intake of vitamin A was assessed by semiquantitative food frequency questionnaire method.
Results: The mean serum retinol levels of mild, moderate, and severe groups were respectively 0.962 SD 0.145 mol L, 0.695 SD 0.054 mol L, and 0.613 SD 0.125 mol L. There was significant correlation between serum retinol levels with the degree of severity of the AV r 0.798, p 0.000. The mean intake of vitamin A per day of mild, moderate, and severe groups were respectively 476.21 SD 221.32 g, 823.71 SD 221.32 g, and 780.99 SD 530.45 g.
Conclusion: Levels of serum retinol found lower on the moderate and severe groups. The results has proven that the lower the levels of serum retinol, the more severe the degree of severity of the AV. There was no difference in vitamin A intake among the three groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Riani
"Latar belakang: Akne vulgaris (AV) merupakan kelainan kulit akibat peradangan kronik folikel pilosebasea yang sering dijumpai pada remaja dan dewasa muda. Pada pasien perempuan didapatkan prevalensi AV yang lebih tinggi dan dampak psikososial yang lebih berat. Beberapa studi meneliti terdapat hubungan antara peningkatan kadar homosistein dengan derajat keparahan AV, namun peran homosistein dalam patogenesis AV masih belum jelas. Kadar homosistein ditentukan oleh multifaktor sehingga temuan di Indonesia dapat berbeda dibandingkan penelitian terdahulu. Secara fisiologis, kadar homosistein pada perempuan lebih rendah dari laki-laki.
Tujuan: Mendapatkan data kadar homosistein plasma pada pasien perempuan dengan AV ringan (AVR), AV sedang (AVS), dan AV berat (AVB) serta mengetahui korelasi kadar homosistein plasma dengan berbagai derajat keparahan AV.
Metode: Studi potong lintang dilakukan terhadap 46 subjek penelitian (SP), direkrut secara consecutive sampling, yang terdiagnosis AV berdasarkan kriteria Lehmann pada bulan April-Juni 2019. Setiap SP akan diambil darahnya untuk dilakukan pemeriksaan kadar homosistein plasma dengan metode chemiluminescent microparticle immuno assay (CMIA).
Hasil: Pada pasien perempuan dengan AV didapatkan rerata kadar homosistein plasma kelompok AVR, AVS, dan AVB yaitu 7,39 (1,84) μmol/L, 7,14 (1,73) μmol/L, dan 6,95 (1,14) μmol/L. Terdapat korelasi negatif lemah yang tidak bermakna antara kadar homosistein plasma dengan derajat keparahan AV (r=-0,0964, p=0,524).
Kesimpulan: Kadar homosistein plasma ditemukan lebih rendah pada kelompok AVS dan AVB. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa semakin rendah kadar homosistein plasma, maka semakin berat derajat keparahan AV.

Background: Acne vulgaris (AV) is a skin disorder caused by chronic inflammation of pilosebaceus that is primarily found in adolescents and young adults. In female patient, there is a higher prevalence of AV and more severe psychosocial impact. Several studies have investigated association between the levels of serum homocysteine and severity of AV, but the role of homocysteine in AV is not clearly understood. Homocysteine levels are thought to be affected by varying factors, so it is assumed that homocysteine levels in Indonesian people will yield a different results. Physiologically, female has a lower homocysteine levels.
Objective: This study aims to know the levels of homocysteine plasma in female patients suffering from mild, moderate, and severe AV, also its correlation with the degree of AV severity.
Methods: This cross-sectional study included 46 subjects, recruited by consecutive sampling, who have been diagnosed with AV based on Lehmann criteria on April-June
2019. Blood sample will be taken from each subject to measure homocycsteine plasma levels by using chemiluminescent microparticle immuno assay method (CMIA).
Results: In female patients, the mean plasma homocycteine levels of mild, moderate, and severe groups were respectively 7,39 (1,84) μmol/L, 7,14 (1,73) μmol/L, and 6,95 (1,14) μmol/L. There was no significant corelation between plasma homocysteine levels and the degree of acne severity (r=-0,0964, p=0,524).
Conclusion: Levels of plasma homocysteine was found lower on moderate and severe AV groups. The lower the levels of plasma homocysteine, the more severe the the degree of acne severity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sammy Yahya
"Latar belakang dan tujuan: Akne vulgaris AV merupakan inflamasi kronik pada unit pilosebasea. Beberapa penelitian telah meneliti kadar 25-hydroxyvitamin D [25 OH D] serum pada pasien AV dengan hasil bervariasi, namun umumnya rendah. Kadar vitamin D diduga terpengaruh oleh pajanan sinar matahari, letak geografis, ras/tipe kulit, dan asupan makanan, sehingga mungkin temuan di Indonesia akan berbeda daripada penelitian terdahulu di luar negeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar 25 OH D serum dan hubungan dengan derajat keparahan, lesi inflamasi, noninflamasi, dan total lesi AV.
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan 30 subjek penelitian SP, direkrut secara consecutive sampling, terbagi rata ke dalam kelompok AV ringan AVR, AV sedang AVS, dan AV berat AVB berdasarkan klasifikasi Lehmann. Faktor risiko AV yang berkaitan dengan vitamin D pajanan sinar matahari, penggunaan tabir surya, suplementasi, jumlah lesi, dan kadar 25 OH D serum dinilai pada seluruh SP.
Hasil : Median kadar 25 OH D serum pada kelompok AVR, AVS, dan AVB yaitu 16,3 9,1- 17,8 ng/mL, 12,7 9,6-15,6 ng/mL, dan 9,35 4,9-10,9 ng/mL Median pada kelompok AVR dan AVS lebih tinggi dibandingkan AVB.

Background and objective: Acne vulgaris AV is chronic inflammation of pilosebaceous units. Several studies have investigated the levels of serum 25 hydroxyvitamin D 25 OH D in AV patients with varying outcomes, but mostly decreased. Vitamin D levels are thought to be affected by sun exposure, geographical location, race skin type, and food intake, that research in Indonesia may yield different results. This study aimed to determine the level of serum 25 OH D and its association with the severity and the number of inflammatory, noninflammatory, and total AV lesions.
Methods: This cross sectional study included 30 patients. Subjects were recruited by consecutive sampling, grouped equally into mild, moderate, and severe AV based on Lehmann's classification. The risk factors for inadequate vitamin D such as sun exposures, sunscreen, and suplements, the number of lesions, and serum 25 OH D levels were assessed on all subjects.
Results: The median concentrations of serum 25 OH D in the three groups were respectively 16.3 9.1 17.8 ng mL, 12.7 9.6 15.6 ng mL, and 9.35 4.9 10.9 ng mL p.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Mahri
"Latar belakang: Saat ini, peran vitamin D dalam berbagai penyakit kronis banyak diteliti. Vitamin D dianggap memiliki efek imunomodulator sehingga diduga berkaitan dengan beberapa penyakit alergi dan autoimun, termasuk urtikaria kronik. Terdapat laporan kadar vitamin D yang rendah pada pasien urtikaria kronik dan suplementasi vitamin D terbukti memperbaiki gejala urtikaria kronik yang dinilai dengan kuesioner yang sudah tervalidasi Urticaria activity score 7 (UAS7). Namun, penelitian mengenai korelasi kadar vitamin D serum dengan aktivitas penyakit urtikaria masih terbatas, terutama di Indonesia.
Tujuan: Menganalisis korelasi kadar vitamin D (25[OH]D) serum dengan aktivitas penyakit pada pasien urtikaria kronik.
Metode: Penelitian deskriptif-analitik dengan desain potong lintang. Tiga puluh pasien urtikaria kronik usia 18–59 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan direkrut dalam penelitian ini. Penilaian aktivitas penyakit menggunakan UAS7 dan dilakukan pengukuran kadar 25(OH)D serum. Korelasi kadar 25(OH)D serum dan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan analisis Spearman. Penelitian ini juga menilai kecukupan pajanan matahari menggunakan kuesioner pajanan matahari mingguan.
Hasil: Rerata skor UAS7 adalah 14,63±7,8, median durasi penyakit adalah 12 (2–120) bulan, median skor pajanan matahari mingguan adalah 8 (2–34), dan median kadar 25(OH)D serum adalah 12,10 ng/mL (6,85–29.87). Mayoritas subjek mengalami defisiensi vitamin D (80%). Tidak terdapat korelasi antara kadar 25(OH)D serum dengan aktivitas penyakit (r=0,151; p=0,425), tetapi didapatkan korelasi negatif kuat yang bermakna pada kelompok defisiensi vitamin D berat (r=-0,916; p=0,001). Terdapat korelasi positif sedang bermakna antara aktivitas penyakit dan durasi penyakit (r=0,391; p=0,033). Pada kuesioner pajanan sinar matahari mingguan, didapatkan perbedaan bermakna skor bagian tubuh yang terpajan matahari antar kelompok insufisiensi dan defisiensi vitamin D (p=0,031).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi kadar 25(OH)D serum dengan aktivitas penyakit pasien urtikaria kronik, namun terdapat kecenderungan peningkatan aktivitas penyakit pada kelompok defisiensi berat vitamin D.

Background: Nowadays, the role of vitamin D in various chronic diseases is a matter of great interest. Vitamin D is thought to have an immunomodulatory effect so it is thought to be associated with several allergic and autoimmune diseases, including chronic urticaria. There have been reports of low vitamin D levels in patients with chronic urticaria and vitamin D supplementations has been shown to improve symptoms of chronic urticaria which was assessed by a validated questionnaire Urticaria activity score 7 (UAS7). However, data on the correlation between serum vitamin D levels and disease activity in chronic urticaria are still limited, especially in Indonesia.
Objective: To analyze the correlation between vitamin D (25[OH]D) serum and disease activity in chronic urticaria patients.
Methods:
This is an analytic-descriptive cross-sectional study. Thirty chronic urticaria patients age 18 – 59 years old who meet all inclusion and exclusion criterias were recruited in this study. Assessment of disease activity using UAS7 and measurement of 25(OH)D serum levels were performed. Correlation of 25(OH)D serum levels and disease activity was done using Spearman analysis. In this study, an assessment of sun exposure adequacy was carried out using a weekly sunlight exposure questionnaire.
Results: The mean of UAS7 was 14.63±7.8, median duration of illness was 12 (2 – 120) month, median weekly sunlight exposure score was 8 (2 – 34), and the median serum 25(OH)D was 12.10 ng/mL (6.85 – 29.87). The majority of subjects had vitamin D deficiency (80%). There was no correlations between serum 25(OH)D levels and disease activity (r=0.151; p=0.425). However, a significant negative correlation was found in severe deficiency vitamin D group (r=-0.916; p=0.001). There was also significant moderate correlation between disease activity and duration of illness (r=0.391; p=0.033). In weekly sunlight exposure questionnaire, we found that body surface area score was significantly different between insufficiency and deficiency vitamin D groups (p=0,031).
Conclusion: There was no correlation between serum 25(OH)D levels and disease activity in chronic urticaria patients, however there was a tendency of increasing disease activity in severe deficiency vitamin D group
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Hasanah
"Latar Belakang: Hiperhomosisteinemia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular (PKV). Psoriasis vulgaris adalah penyakit kulit inflamasi kronis yang berhubungan dengan beberapa penyakit penyerta, misalnya aterosklerosis dan PKV. Defisiensi folat dapat terjadi pada pasien psoriasis, akibat utilisasi yang meningkat di kulit yang mengalami hiperproliferasi dan atau penyerapan oleh usus yang berkurang. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan kadar homosistein dalam darah. Penulis meneliti korelasi antara kadar homosistein serum dan derajat keparahan psoriasis vulgaris, yang diukur dengan metode psoriasis area severity index (PASI) dan luas permukaan tubuh (body surface area, BSA). Metode: penelitian ini menggunakan rancangan potong lintang, pada 36 pasien psoriasis vulgaris. Subyek terdiri dari16 perempuan dan 20 laki-laki. Kadar homosistein serum diukur dengan metode competitive immunoassay dan dikorelasikan dengan derajat keparahan psoriasis. Hasil: pada subyek psoriasis laki-laki, kadar homosistein serum berkorelasi positif dengan derajat keparahan penyakit yang diukur dengan PASI (korelasi Pearson, r = 0.615 , p < 0,05) dan BSA (korelasi Spearman , r = 0,476 , p < 0,05). Tidak ada korelasi antara kadar homosistein serum dengan PASI (korelasi Pearson , p > 0,05 ) dan BSA (korelasi Spearman, p > 0,05) pada subyek psoriasis perempuan. Kesimpulan: Terdapat korelasi positif yang signifikan secara statistik antara kadar homosistein serum dengan derajat keparahan psoriasis yang diukur dengan PASI dan BSA pada subyek psoriasis laki-laki.

Background: hyperhomocysteinemia is an independent risk factor for the development of cardiovascular disease (CVD). Psoriasis vulgaris is a chronic inflammatory skin disease associated with several comorbidities, such as atherosclerosis and CVD. Psoriatic patients often presents low levels of folic acid as a result of an increasing vitamin utilization in the skin and/or reduced gut absorption. This may result in raised levels of homocysteine. The authors investigated the correlation between serum homocysteine levels and the severity of psoriasis vulgaris measured by psoriasis area and severity index (PASI) and body surface area (BSA). Method: we performed a cross-sectional study in 36 patients with psoriasis vulgaris. The subjects comprised 16 women and 20 men. The serum levels of homocysteine were measured by competitive immunoassay method and were correlated with the severity of psoriasis (PASI and BSA). Result: in male psoriasis subjects, serum homocysteine levels positively correlated with disease severity as measured by PASI (Pearson's correlation; r = 0.615, p < 0.05) and BSA (Spearman's correlation; r = 0.476, p < 0.05). There was no correlation between serum homocysteine levels with PASI (Pearson's correlation, p > 0.05) and BSA (Spearman's correlation, p > 0.05) in female psoriasis subjects. Conclusion: a significant correlation between serum homocysteine levels with disease severity measured by PASI and BSA in male psoriasis subjects was evidenced."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardian Sandhi Pramesti
"Latar Belakang: Obesitas adalah masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia terutama di negara berkembang. Obesitas dapat mempengaruhi status vitamin D, salah satunya dikarenakan adanya peningkatan penyimpanan vitamin D di jaringan adiposa sehingga mengakibatkan rendahnya bioavailabilitas vitamin D. Selain itu, banyaknya jaringan lemak berkaitan dengan  inflamasi kronis tingkat rendah yang menyebabkan peningkatan penggunaan vitamin D pada sel imun sehingga menyebabkan rendahnya kadar vitamin D pada kasus obesitas. Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara persentase massa lemak dengan kadar vitamin D serum pada populasi dewasa dengan penyandang obesitas.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan pada subjek dewasa dengan obesitas di Rumah Sakit Cipto Mangungkusumo, Pengukuran persentase massa lemak menggunakan bioelectrical impedance analysis (BIA) SECA mBCA 525. Pemeriksaan kadar vitamin D serum menggunakan kalsidiol serum dengan metode chemiluminescence immunoassay (CLIA).
Hasil: Sebanyak 90 subjek penelitian memiliki rerata usia 41 tahun dengan jumlah subjek terbanyak adalah perempuan (59%). Sebagian besar subjek tergolong status gizi obesitas derajat II. Median kadar vitamin D serum adalah 13,4 ng/dL dengan sebagian besar subjek tergolong defisiensi vitamin D. Rerata persentase massa lemak subjek adalah 37,2 ± 8,2. Terdapat korelasi negatif antara kadar vitamin D serum dengan persentase lemak tubuh pada pada dewasa penyandang obesitas (r=-0,378, p=0,000).
Kesimpulan: Terdapat korelasi bermakna berkekuatan sedang antara persentase massa lemak dengan kadar vitamin D serum pada subjek dewasa penyandang obesitas.

Background: Obesity is a global public health issue, especially in developing countries. Obesity can affect vitamin D status due to increased storage of vitamin D in adipose tissue. In addition, low bioavailability of vitamin D. Low levels of chronic inflammation is strongly associated with a large number of adipose tissue, which causes increased use of vitamin D in immune cells and causes low levels of vitamin D in obesity population. This study aims to see the correlation between the percentage of fat mass and serum vitamin D levels in the adult population with obesity.
Methods: This cross-sectional study was conducted on obese adult subjects at Cipto Mangunkusumo Hospital. First, the fat mass percentage was measured using bioelectrical impedance analysis (BIA) SECA mBCA 525. In addition, serum vitamin D levels were examined using serum calcidiol using the chemiluminescence immunoassay (CLIA) method.
Results: A total of 90 research subjects had an average age of 41; most were female. Most of the subjects were classified as obesity class II. The average serum vitamin D level was 13.4 ng/dL, with most of the subjects classified as deficient in vitamin D. The mean proportion of subjects in fat mass was 37.2 ± 8.2. There was a negative correlation between serum vitamin D levels and the proportion of body fat in obese adults (r=-0.378, p=0.000).
Conclusion: There was a significant medium correlation between fat mass percentage with serum vitamin D in the adult with obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Saptarini
"

Akne vulgaris (AV) adalah penyakit inflamasi yang kronis pada bagian pilosebasea.  Pada umumnya akne terjadi pada masa pubertas, dewasa muda, dan banyak terjadi pada remaja. AV mempengaruhi 85% dewasa muda usia 12-25 tahun dan secara konsisten menduduki “the top three most prevalence skin condition“ dalam populasi umum Salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya akne vulgaris dan yang masih menjadi perebatan adalah faktor nutrisi. Dengan menggunakan cut-off <20 ng/mL, prevalensi defisiensi vitamin D bervariasi antara 6-70% di Asia Tenggara, hasil penelitian di Malaysia lebih dari setengah (58%) jumlah remaja memiliki 25(OH)D <50 nmol/L. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang membandingkan nilai rerata kadar vitamin D serum antara dua kelompok derajat akne pada remaja siswa sekolah menengah atas usia 15-18 tahun di kota Depok. Jumlah subjek total 60 orang terbagi dalam 2 kelompok, 30 orang kelompok akne vulgaris ringan (AVR) dan 30 orang akne vulgaris sedang-berat (AVS). Rerata kadar vitamin D serum subjek adalah 17,29±6,77 ng/ml. Sebanyak 21 subjek (35%) berada pada kondisi sufisiensi vitamin D dan 39 subjek (65%) berada dalam kondisi insufisiensi-defisiensi (terdiri dari 43,3% insufisiensi, 21,7% defisiensi). Kadar rerata vitamin D serum pada kelompok AVR 15,45±6,7 ng/ml dan pada AVS 19,13±6,8 ng/ml dengan p=0,034.

Kesimpulan : hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kadar vitamin D serum dengan akne vulgaris. vitamin D serum.

 


Acne vulgaris is a chronic inflammatory disease as a part of pilosebaceus. In general acne occurs during puberty, but it can also occur in young adults, and many occur in adolescents. Acne vulgaris affects 85% of young adults aged 12-25 years and consistently occupies "the top three most prevalence skin conditions" in the general population. One of the factors that influence acne vulgaris and which is still a debate pro and contra are nutritional factors. This study aims to find a relationship between vitamin D serum level and the degree of acne in adolescents. Previous researches that linked vitamin D levels with acne was not conclusive, especially in adolescents. This is a cross-sectional study that compares the mean values of serum vitamin D levels between two groups of acne levels in adolescents of high school students aged 15-18 years in the city of Depok. The total number of subjects was 60 people divided into 2 groups, 30 people in the group of mild acne vulgaris and 30 people with moderate-severe acne vulgaris. The mean of vitamin D level of the subject serum was 17.29 ± 6.77 ng / ml. The mean of vitamin D serum level in the mild group was 15.45 ± 6.7 ng / ml and moderate group was 19.13 ± 6.8 ng / ml with p = 0.034. A significant association was found between serum vitamin D levels and the degrees of acne vulgaris.

Conclusion: there is a significant relationship between serum vitamin D levels and degree of acne vulgaris. The mean of vitamin D level are lower in mild acne group than in moderate group

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chintia Otami
"ABSTRAK
Penelitian yang membahas hubungan antara seng dan derajat keparahan akne masih terbatas dengan hasil yang tidak konsisten antara satu penelitian dengan penelitian yang lain. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang komparasi untuk menilai hubungan asupan seng dan konsentrasi seng serum dengan derajat keparahan akne vulgaris berdasarkan kriteria Indonesian Acne Expert Meeting. Dilakukan penilaian asupan seng dan pemeriksaan konsentrasi seng serum terhadap 60 pasien akne vulgaris di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Analisis data asupan seng terhadap derajat keparahan akne menggunakan uji T tidak berpasangan sedangkan analisis data konsentrasi seng serum terhadap derajat keparahan akne menggunakan uji Mann-Whitney. Pada penelitian ini, asupan seng pada seluruh subjek berada dibawah nilai Angka Kecukupan Gizi Indonesia dan rerata asupan seng pada kelompok akne ringan lebih tinggi dibandingkan kelompok akne derajat sedang berat. Konsentrasi seng serum pada kelompok akne ringan lebih tinggi dibandingkan kelompok akne derajat sedang berat. Ditemukan perbedaan yang bermakna antara asupan seng pada kelompok akne derajat ringan dengan kelompok akne derajat sedang berat, dan konsentrasi seng serum antara kelompok akne derajat ringan dengan kelompok akne derajat sedang berat.

ABSTRACT
Zinc recently known to have an effect on reducing the severity of acne, but this finding was still inconsistent between one study to another. A comparation cross sectional study was conducted to assess the association of zinc intake and serum zinc level with the severity of acne based on Indonesian Acne Expert Meeting criteria. A total of 60 acne patients in Cipto Mangunkusumo Hospital were selected. Data analysis on zinc intake on acne severity using unpaired T test while zinc serum concentration on acne severity with Mann Whitney test. In this study, zinc intake in all subjects was below the Indonesian Recommended Daily Allowance and mean of zinc intake in mild acne group was higher compare to the moderate severe acne group. Zinc serum level in mild acne group was higher compare to the moderate severe acne group. There was a significant difference between zinc intake in mild and moderate severe acne group, and zinc serum level between mild and moderate severe acne group."
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardiati Ganjardani
"Latar belakang: prolaktin adalah salah satu hormon yang segera meningkat pada keadaan stres fisis dan psikoemosional yang juga berperan sebagai neuroendokrin pada pertumbuhan sel epitel dan sistem imun kulit. Prolaktin adalah prototype mediator neuroendokrin terhadap stres. Eksaserbasi psoriasis seringkali dipicu oleh stres psikoemosional. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah efek stres pada psoriasis berhubungan dengan perubahan kadar prolaktin serum. Penulis meneliti korelasi antara kadar prolaktin serum dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris pada pasien laki-laki, yang diukur dengan metode psoriasis area severity index (PASI) dan luas permukaan tubuh (body surface area, BSA).
Metode: penelitian ini menggunakan rancangan potong lintang pada 41 pasien psoriasis vulgaris laki-laki. Kadar prolaktin serum diukur dengan metode electrochemiluminescence immunoassay dan dikorelasikan dengan derajat keparahan psoriasis.
Hasil: tidak ada korelasi antara kadar prolaktin serum dengan PASI (korelasi Spearman, p>0,05) dan BSA (korelasi Spearman, p>0,05).
Kesimpulan: terdapat korelasi positif yang tidak signifikan secara statistik antara kadar prolaktin serum dengan derajat keparahan psoriasis yang diukur dengan PASI dan BSA pada pasien laki-laki.

Background: prolactin is one of the hormones that immediately raises at the state of physical and psychoemotional stress. It also acts as neuroendocrine in growth of epithelial cells and skin immune system. Prolactin is the prototype of neuroendocrine mediator of stress. The exacerbation of psoriasis is often caused by psychoemotional stress. It has been questionable whether stress effect in psoriasis correlates with changes in serum prolactin levels. The authors investigated the correlation between serum prolactin levels and the severity of psoriasis vulgaris in male patients, measured by psoriasis area and severity index (PASI) and body surface area (BSA).
Method: we performed a cross-sectional study in 41 male patients with psoriasis vulgaris. The serum prolactin levels were measured by electrochemiluminescence immunoassay and were correlated with the severity of psoriasis vulgaris (PASI and BSA).
Result: There was no correlation between serum prolactin levels and PASI (Spearman's correlation, p>0,05) and BSA (Spearman’s correlation, p>0,05).
Conclusion: there was positive correlation, but not statistically significant, between serum prolactin levels and severity of psoriasis vulgaris measured by PASI and BSA in male psoriasis subjects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Margareth Joice Widiastuti
"Tujuan: Penelitian ini adalah studi potong lintang untuk mengetahui hubungan antara kadar vitamin E serum dan aktivitas superoxide dismutase (SOD) eritrosit pada penderita HIV/AIDS.
Bahan dan cara: Pengumpulan data dilakukan pada pasien rawat jalan di klinik Pokdisus, RSUPNCM Jakarta selama akhir Februari 2013 sampai bulan Maret 2013. Subyek diperoleh dengan metode consecutive sampling. Sebanyak 52 subjek memenuhi kriteria penelitian. Data dikumpulkan melalui wawancara, rekam medis, dan pengukuran antropometri untuk menilai status gizi, dan pemeriksaan laboratorium yaitu kadar vitamin E serum dan aktivitas SOD eritrosit.
Hasil: Sebagian besar subjek adalah laki-laki (51,9%), usia rata-rata adalah 34 ± 4,84 tahun. Malnutrisi terjadi pada 55,8% dari subyek dan semua subyek (100%) memiliki asupan vitamin E yang kurang dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) Indonesia. Dalam penelitian ini, sebagian besar subjek telah mendapatkan terapi ARV (94,2%). Jumlah CD4 <200sel/uL ditemukan pada 17 subyek (32,7%). Kadar vitamin E serum yang rendah didapat pada semua subyek (100%) dengan nilai rata-rata kadar vitamin E serum 3,84 (1,77-7,32) umol / L, sementara aktivitas SOD eritrosit yang cukup ditemukan pada 53,8% dari subyek dengan nilai rata-rata 1542,1 ± 281,04 U / g Hb.
Kesimpulan: Tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar serum vitamin E dan aktivitas SOD ditemukan dalam penelitian ini. (R = 0,047, p = 0,742).

Objective: The aim of this cross sectional study was to find a correlation between serum level of vitamin E and erythrocyte superoxide dismutase (SOD) activity in HIV/AIDS patients.
Material and method: Data collection was conducted at Pokdisus outpatient clinic, RSUPNCM Jakarta, from late February 2013 to March 2013. Subjects were obtained with the consecutive sampling method. A total of 52 subjects had met the study criteria. Data were collected through interviews, medical records, and anthropometry measurements to assess the nutritional status, and through laboratory examination (i.e. serum level of vitamin E and erythrocyte SOD activity).
Results: The majority of the subjects were male (51,9%) with a mean age of 34 ± 4.84 years. Malnutrition occured in 55.8% of the subjects and all subjects (100%) had vitamin E intake that is less than the Indonesian recommended dietary allowance (RDA). In this study, most subjects had already been on ARV therapy (94.2%). Low CD4 cell count was found in 17 subjects (32.7%). Vitamin E deficiency was found in all subjects (100%) with a median value of serum level of vitamin E of 3.84 (1.77 to 7.32) μmol / L, while normal SOD activity was found in 53.8% of the subjects with a mean value of 1,542.1 ± 281.04 U / g Hb.
Conclusion: No significant correlation between serum level of vitamin E and SOD activity was found in this study (r = 0.047, p = 0.742).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>