Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143382 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aditya Revianur
"ABSTRAK
Lanskap situs bangunan suci Hindu-Bali kuno tidak dibangun secara acak, posisi mereka dalam lansekap ditentukan oleh masyarakat pada abad ke-10 sampai 14 Masehi. Situs religi Hindu-Bali kuno dibangun di daerah aliran sungai DAS empat sungai besar di Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, yaitu Sungai Pakerisan, Sungai Petanu, Sungai Kungkang, dan Sungai Wos. Tesis ini membahas lanskap situs bangunan suci Bali Kuno dengan pendekatan Fenomenologi Heidegger. Arkeologi Lanskap memberikan petunjuk berharga mengenai wacana orang Bali kuno melihat pemandangan di sekitar mereka, dan bagaimana hal itu dikembangkan dan diciptakan. Tulisan ini juga menegaskan pentingnya ruang berdasarkan konsep kosmologi Hindu yang menentukan lanskap Bali Kuna. Ruang kosmologis juga mengungkapkan pembagian sungai Bali berdasarkan tingkat lokasi situs sesuai dengan konsep triloka yang merujuk pada dunia bawah Bhurloka , dunia tengah Bhuwarloka , dan dunia atas Swarloka . Tesis ini juga menawarkan refleksi tentang struktur tempat-tempat keagamaan dan hubungannya dengan ruang dikonsepsikan yang menunjukkan pengaruh pemikiran Hindu-India, serta batasannya.

ABSTRACT
Landscapes of Ancient Hindu Balinese religious sites were not built anywhere, their position determined by peoples in the 10th to 14th century. The ancient Hindu Balinese religious site was built in the watersheds of four major rivers in Gianyar Regency, Bali Province, Indonesia, i.e. Pakerisan river, Petanu river, Kungkang river, and Wos river. This thesis reveals the main trait of landscape archaeology with Heidegger Phenomenological approach in archaeology to religious sites in the ancient Balinese period 10th up to 14th centuries . Landscape Archaeology provides valuable clues about how ancient Balinese people saw the landscape around them, and how it was developed and created. It confirms the importance of space based on Hindu cosmology concept which determined the Ancient Balinese Landscape. This cosmological space also reveals the division of Balinese rivers based on the level of the ancient Balinese temples location according to Trailokya concept which explains lower world Bhurloka , middle world Bhuvarloka , and upper world Svarloka . This thesis also offers a reflection on the structure of the religious places and its relations with conceptualized space, showing the influence of Hindu Indian thought, as well as its limits"
2017
T48437
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusita Partisandy
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1999
S47903
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Ketut Puji Astiti Laksmi
"ABSTRAK
Nama : Ni Ketut Puji Astiti LaksmiProgram studi : Doktoral ArkeologiJudul : Identitas Keber-agama-an Masyarakat Bali Kuno Pada Abad IX-XIV Masehi: Kajian EpigrafisPenelitian tentang identitas keber-agama-an masyarakat Bali Kuno sangat penting dilakukan karena sampai saat ini masyarakat Bali masih memeluk agama Hindu dengan berbagai perkembangannya namun demikian belum jelas diketahui bagaimana identitas keber-agama-an masyarakat Bali Kuno pada abad IX-XIV Masehi. Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi identitas keber-agama-an masyarakat Bali Kuno pada abad IX-XIV Masehi berdasarkan data yang ditemukan dalam prasasti meliputi tempat suci keagamaan, upacara, dan persembahan keagamaan pada masa tersebut. Terkait dengan tempat suci keagamaan penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi tempat suci melalui kajian toponimi. Adapun upacara dan persembahan ditelusuri pula melalui kajian etnoarkeologi. Sehingga pada akhirnya akan diperoleh rekonstruksi identitas keber-agama-an masyarakat Bali Kuno pada abad IX-XIV Masehi sebagai upaya memperkuat pemahaman keber-agama-an masyarakat Bali pada masa sekarang. Sumber data penelitian ini meliputi prasasti-prasasti Bali Kuno yang dikeluarkan mulai dari abad IX 804 ?aka/882 Masehi sampai dengan abad XIV 1259 ?aka/1337 Masehi . Kesimpulan yang dapat dirumuskan pada penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, tempat suci adalah salah satu bukti fisik keber-agama-an masyarakat Bali Kuno pada abad IX-XIV Masehi, yang di dalam prasasti disebut dengan istilah Hyang/Sanghyang, Ulan, Bhatara, Tirtha, Dangudu, Sambar, Mandala, Katyagan, dan Partapaan. Beberapa tempat suci masih dapat diidentifikasi keberadaannya dan dapat ditemukan hingga masa sekarang walaupun dengan nama yang berbeda. Tempat suci pada masa Bali Kuno abad IX-XIV Masehi dibangun bukan hanya di tempat-tempat yang tinggi gunung dan bukit , tetapi juga dekat dengan sumber air seperti danau, sungai, mata air, dan laut, serta di pusat-pusat pemukiman. Kedua, persembahan-persembahan yang dilakukan oleh masyarakat Bali Kuno pada abad IX-XIV Masehi merupakan hasil dari segala usaha dan aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat pada masa tersebut. Persembahan juga berupa hasil dari kreativitas atau ketrampilan penduduk dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari baik jasmani maupun rohani. Persembahan tersebut merupakan penyerahan dengan penuh kerelaan tulus ikhlas berupa apa yang dimiliki kepada Tuhan para dewa , leluhur, alam semesta, dan kemanusiaan, demi kesejahteraan serta kesempurnaan hidup bersama dan kemuliaan Tuhan Yang Maha Esa. Ketiga, identitas keber-agama-an masyarakat Bali pada abad IX-XIV Masehi merupakan perwujudan dari kemampuan masyarakat Bali Kuno pada masa tersebut dalam memaknai keberlanjutan kepercayaan prasejarah dan agama Hindu/Buddha. Identitas keber-agama-an masyarakat Bali Kuno pada abad IX-XIV Masehi dapat dirinci sebagai berikut. Pada masa tersebut masyarakat menyebut Dewa Tuhan dan tempat suci dengan beragam istilah. Identitas keber-agama-an pada masa tersebut juga menunjukan adanya keseimbangan antara kebutuhan rohani dan jasmani, keharmonisan hubungan antara manusia dengan lingkungan alam, kebersamaan antara sesama manusia, dan keanekaragaman persembahan. Identitas keber-agama-an pada masa tersebut juga menunjukan adanya keberlanjutan tradisi keagamaan atau kepercayaan sebelumnya pemujaan terhadap leluhur dan ketaatan masyarakat pada masa itu dalam beribadah.

ABSTRACT
Name Ni Ketut Puji Astiti LaksmiStudy Program ArchaeologyTitle Religiosity Identities of The Ancient Balinese Society in The IX XIV Christian Centuries an Epigraphic StudyVarious information on religious lives of the ancient Balinese society in IX XIV century were found in some ancient manuscripts consisting of names of holy places, rituals, peoples rsquo obligations, and religious leaders. Hindu and Buddha followers who were at that time not spread evenly in Bali causes pre cultural traditions of Hindu and Buddha still maintains so firmly till today that the situation found in Bali is different from the ones found in the scope of the Archipelago or in the islands as the pioneers of Indonesia such as Java. This research aims to reconstruct the religious lives the ancient Bali periods of the IX XIV centuries based on the data found in the manuscripts including religious holy places, rituals, and offerings of the periods. In particular with the religious places, this research aims to reconstruct holy places through toponymy studies. Rituals and offerings as religious activities are studied through an etnoarcheological study so that a reconstruction of religious lives in the ancient Bali periods of the IX XIV centuries as identities of religious lives can be found. The data source of the research include the ancient Balinese manuscripts issued from the IX century 804 aka 882 Christian till XIV century 1259 aka 1337 Christian . Till now there are 200 cakeps of manuscripts from 24 kings found in Bali. Nevertheless, not all of them are in complete condition and contain data related to religious aspects. 30 manuscripts chosen are the ones containing religious data and represent other manuscripts of the periods. Religious data collected includedholy places and offerings and they were analyzed through toponymy and etnoarcheological studies. Several conclusions that can be taken in this research are as the followings. First, religious places become physical evidences of the religious lives in the ancient Bali periods of the IX XIV centuries with terms of Hyang Sanghyang, Ulan, Bhatara, Tirtha, Dangudu, Sambar, Mandala, Katyagan, and Partapaan. The existences of some holy places can still be identified and can be found though with different names. Holy places of the periods are not only located in high areas mountains and hills , but they are also located near water sources such as lakes, rivers, springs, and seas, and inside housings. Second, the offerings made by the Balinese people of the ancient Bali periods of the IX XIV centuries are the results of all efforts and activities in the periods. The offerings could also be in the products of their creativities or skills in fulfilling their daily needs. The rituals are offerings in sincere purpose because of the spirits of their lives. The people did them to the God gods , ancestors, nature, and humans for the sake of prosperity and perfectness of their lives and the nobility of the Almighty God.Third, rituals of the Balinese people of the ancient Bali periods of the IX XIV centuries are the forms of the abilities of the ancient Balinese people in adapting them selves to the natural and social environments as well as to the believes they followed. The religious identities in the ancient Bali periods of the IX XIV centuries can be described as the followings. In the periods people called God and holy places in different terms. Religious identities in the periods also show that there were balance of between spiritual and worldly secular needs, harmonious relations of humans with nature, togetherness of humans, and diversity of offering. Religious identities in the periods also show that there were continuity of the tradition on religion and believes existing previously rituals to the ancestors and the loyalties of the peoplesin the periods in worshipping."
2017
D2431
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pande Nyoman Djero Pramana
Surakarta: Citra Etnika, 2004
294.5 PAN t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
The Hague: Van Hoeve, 1970
301.2 BAL
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Niluh Herawati
"
ABSTRAK
Seni tari Bali merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat yang sudah diwarisi sejak dahulu. Salah satu seni tari yang sangat tua umurnya adalah tan Sanghyang Dedari. Tari Sanghyang Dedari merupakan tari tradisional yang berasal pada masa pra-Hindu dan masih hidup sampai sekarang. Tari Sanghyang Dedari sebagai tarian yang dianggap sakral sudah cukup di kenal sejak dahulu dan menjadi daya tarik bagi wisatawan. Tarian ini mulai beradaptasi dengan perkembangan-_perkembangan sehingga mengalami perubahan-perubahan didalamnya.
Daerah Gianyar adalah salah satu daerah yang cukup banyak mendapat perhatian serta kunjungan wisatawan. Gianyar merupakan daerah seni yang kaya akan tari-tarian dan di dukung oleh masyarakat setempat. Sehingga seni tari memiliki kaitan erat dalam kehidupan masyarakat yang telah diikat oleh nilai-nilai sosial dan kepercayaan yang telah ada.
Dalam perkembangannya tari Sanghyang Dedari mengalami perubahan_-perubahan dalam fungsi, busana, rias muka, dan iringan hingga munculnya seka sebagai organisasi tari Sanghyang Dedari. Semula tari Sanghyang Dedari berfungsi sebagai pelaksana upacara (tari wali) untuk mengusir wabah penyakit yang melanda desa. Sejak meningkatnya wisatawan yang datang, fungsi tari tidak hanya sebagai tari upacara tetapi telah bergeser menjadi tari untuk hiburan wisatawan (tari balih-_balihan). Perubahan juga diikuti dalam busana, tata rias, dan iringan tan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Perkembangan tari Sanghyang Dedari sebagai penunjang panwisata telah membawa dampak terhadap kehidupan masyarakat. Peningkatan pertunjukan tan Sanghyang Dedari untuk wisatawan akan menambah pendapatan ekonomi bagi seniman dan daerah. Tari Sanghyang Dedari sebagai bagian dari kebudayaan Bali yang bersifat dinamis tidak terlepas dalam kehidupan sosial masyarakat. Sebagai tari upacara tari Sanghyang Dedari mempunyai kaitan dalam upacara-upacara keagamaan seperti, upacara Dewa Yadya dan Bhuta Yadya.. Tari Sanghyang Dedari merupakan seni tari tradisional yang memiliki nilai-nilai luhur yang tinggi, sehingga seni tari ini menjadi salah satu potensi budaya dalam mengembangkan dan meningkatkan kepariwisataan di Gianyar pada khususnya dan Bali umumnya.
"
1998
S12728
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Scholars, Dutch
The Hague: W. Van Hoeve, 1960
959.8 SCH st V
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Pringle, Robert, 1936-
Crows Nest: Allen & Unwin, 2004
959.86 PRI s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Ganis Pradnyawati
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui agensi dan posisi perempuan Hindu Bali dalam relasi kasta dan gender pada perkawinan Nyerod melalui subjek dua generasi. Dengan menempatkan perempuan Bali Nyerod sebagai  subjek, studi tentang perkawinan Nyerod pada penelitian ini berusaha untuk menelusuri pengalaman perempuan Bali Nyerod sebelum dan ketika menjalani masa pernikahannya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus yang menggunakan analisis kerangka teori agensi dari Sherry B. Ortner dan Interseksionalitas dari Kimberly Crenshaw. Dalam penelitian ini, saya menghadapkan pada pembaca mengenai analisis pengalaman perempuan Bali Nyerod dalam membangun agensinya, menentukkan posisinya di dalam keluarga dan masyarakat serta pemaknaan dukungan yang diterima maupun tidak diterimanya. Dalam studi ini, saya melakukan penelusuran pengalaman serta her life story dari keempat narasumber perempuan Bali golongan Triwangsa atau bangsawan melalui wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan latar belakang sosial masing-masing narasumber perempuan Bali Nyerod yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam proses membangun agensi berupa negosiasi pernikahan dan upaya penghidupan yang mereka tunjukan. Perbedaan proses agensi ini juga membawa perbedaan juga pada proses penentuan posisi para narasumber dalam melawan interseksi diskriminasi. Melalui lintas generasi, menghasilkan juga pemaknaan yang beragam mengenai bentuk dukungan baik moril atau materiil yang mereka terima maupun tidak mereka terima.

This study aims to examine the agency and position of Balinese Hindu women in caste and gender relations in Nyerod marriages through two generations of subjects. By placing the Balinese Nyerod woman as the subject, the study of Nyerod marriage in this research seeks to explore the experiences of Nyerod Balinese women before and during their marriage. This research is a qualitative research with study case approach that uses agency theory framework analysis from Sherry B. Ortner and Intersectionality from Kimberly Crenshaw. In this research, I confront the reader with an analysis of the experience of the Bali Nyerod woman in building her agency, determining her position in the family and society and the meaning of support she receives or does not receive. In this study, I traced the experiences and her life stories of the four Balinese women of the Triwangsa or aristocratic class through in-depth interviews. The results of this study indicate that there are differences in the social background of each of the Bali Nyerod female informants which causes differences in the agency building process in the form of marriage negotiations and the livelihood efforts they show. This difference in agency processes also brings differences to the process of determining the positions of the informants in fighting intersectional discrimination. Through cross-generations, it also produces various meanings regarding the forms of support, both moral and material, that they receive or do not receive."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Ayu Wedayani
"Tulisan ini membahas tentang proses tradisi kependetaan yang secara turun temurun di Griya Sanur Pejeng, fokusnya pada proses seorang calon sulinggih yang akan menjadi seorang pedanda dengan melalui proses akhir yaitu madiksa sebagai tanda telah resmi menjadi pedanda beserta material culture pendukungnya di griya, sebutan untuk rumah Pedanda. Data yang digunakan terkait dengan tradisi kependetaan yang secara turun temurun di Griya Sanur Pejeng yaitu arca-arca, prasasti, naskah kuno, relief, perangkat pemujaan dan busana kependetaan. Metode yang digunakan yaitu pengamatan data pustaka dan lapangan, dilanjutkan dengan pengolahan data yang dilakukan dengan mengidentifikasi informasi mengenai material culture yang berkaitan dengan life course seorang pedanda yang dimulai sejak masa kanak-kanak dengan mempertimbangkan unsur dasar life course yang terdapat di dalamnya yaitu transition atau transisi, yang mencakup perubahan peran dan status seseorang dari yang sebelumnya. Salah satu yang dipelajari di dalam ilmu arkeologi ialah arkeologi anak-anak, kemudian secara lebih luas lagi mengkategorikan usia kedalam analisis identitas sosial melalui konsep life course atau perjalanan hidup. Life course seorang pedanda tercermin dalam komitmennya terhadap pelayanan kepada masyarakat dan pencarian keselarasan dengan Tuhan, karena seorang pedanda memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan spiritualitas, memelihara tradisi, sebagai perantara Tuhan dan pemimpin spiritual dalam masyarakat Hindu.

This paper discusses the hereditary process of the priesthood tradition in Griya Sanur Pejeng, focusing on the journey of a prospective sulinggih who will become a pedanda. The culmination of this process is marked by madiksa as an official sign of becoming a pedanda, along with its supporting material culture in Griya, referred to as the Pedanda’s residence. The data used is related to the hereditary priesthood tradition in Griya Sanur Pejeng, including scluptures, inscriptions, ancient manuscripts, reliefs, worship devices, and priestly attire. The method employed involves observing data from literature and the field, followed by data processing that includes identifying information about the material culture associated with the life course of a pedanda. This life course begins in childhood, in roles and status from the previous stage. One aspect studied in archaeological science is the archaeology of children, which is then broadly categorized into the analysis of social identities through the concept of life course or life journey. The life course of a pedanda is reflected in their commitment to serving the community and seeking harmony with God. This is because a pedanda plays a crucial role in maintaining the balance of spirituality, preserving traditions, and serving as an intermediary between God and spiritual leaders in the Hindu Community."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>