Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138691 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Msy Rulan Adnindya
"ABSTRAK
Sel oval merupakan sel punca tetap pada hepar dewasa, ditandai oleh OV6, yang terlibat dalam proses regenerasi. Sel oval ditemukan pada masa embrional dan memiliki kemiripan dengan hepatoblast, ditandai oleh AFP. Sel oval diduga merupakan sisa hepatoblast embrio. Hubungan antara keduanya belum diketahui pasti; pola dan distribusi ekspresi OV6 dan AFP pada masa perkembangan belum diketahui. Dilakukan penelitian observasional analitik pada hati tikus Wistar usia ED12.5, ED14.5, ED16.5, ED18.5, neonatus, tikus 8 minggu dan 7 bulan. Jaringan diproses secara histologis. Dilakukan pewarnaan HE dan imunohistokimia OV6 dan AFP . Ekspresi OV6 terlihat pada ED16.5 di sel lempeng duktal yang merupakan duktus biliaris primitif. Ekspresi OV6 mencapai puncak di neonatus dan menurun saat dewasa. Ekspresi OV6 pada neonatus dan dewasa terlihat di duktus biliaris, kanal Hering, dan area periporta. Ekspresi AFP sudah terlihat sejak ED12.5, mencapai puncak pada ED18.5, dan menurun postnatal. AFP terekspresi pada sel hepatoblast. Pada kondisi hati normal, tidak semua sel yang mengekspresikan OV6 juga mengekspresikan AFP. Ekspresi OV6 berkaitan dengan pembentukan duktus biliaris. Ekspresi AFP berkaitan dengan aktivitas proliferasi sel hepatoblast maupun sel oval. Peningkatan ekspresi AFP dan OV6 menunjukkan proliferasi sel oval yang ditemukan pada kondisi kerusakan hati kronis.

ABSTRACT
Oval cells, identified with OV6, are resident stem cells in adult liver that involved in liver regeneration. These cells are found during embryonic liver development and have similar characteristics with fetal hepatoblast. It is thought that oval cells are fetal hepatoblast remnants. However, relationship between oval cells and hepatoblasts, expression patterns and distribution of OV6 and AFP in liver development are not yet known. Observational analytic studies were done on Wistar rat rsquo s livers ED12.5, ED14.5, ED16.5, ED18.5, neonates, 8 weeks, and 7 months . The tissues were histologically processed and stained with HE and immunohistochemistry OV6 and AFP . OV6 expression appeared at age ED16.5 in ductal plate cells which are primitive bile ducts, reached peak in neonates and decreased in adults. In neonates and adults rats, OV6 expression were distributed in bile ducts, canal of Hering, and periportal. AFP were expressed in hepatoblasts, started at ED12.5, reached peak at ED18.5, decreased after birth. In normal liver, AFP was not expressed in all OV6 cells. OV6 expression are related to bile duct formation. Meanwhile, AFP expression are associated with proliferative activity of hepatoblasts and oval cells. Increased expression of AFP and OV6 indicates proliferation of oval cells found in chronic liver injury. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Latif Raditya Rusdi
"Triclustering merupakan salah satu teknik data mining yang bertujuan untuk mengelompokkan data berbentuk tiga dimensi secara simultan. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam triclustering adalah pendekatan pattern-based, contohnya Timesvector. Metode timesvector dirancang khusus untuk pengelompokan data deret waktu tiga dimensi yang bertujuan menangkap pola ekspresi gen yang sama atau berbeda antara dua atau lebih kondisi eksperimen. Implementasi metode timesvector dilakukan pada data ekspresi gen human embryonic stem cell (H1-hESC) yang diberi protein morfogenetik tulang (BMP4) dan dikondisikan di dalam ruang dengan tingkat oksigen 4% dan 20, serta diamati pada 6 titik waktu berbeda selama 120 jam. Triclustering dilakukan dengan lima skenario menggunakan cluster sejumlah 257 dan threshold yang berbeda. Berdasarkan skenario tersebut, metode timesvector menghasilkan skenario terbaik pada skenario dengan threshold 1,5 yang menggunakan validasi berdasarkan nilai coverage. Berdasarkan hasil skenario terbaik, dihasilkan 9 pola DEP, 24 pola ODEP, dan 37 pola SEP dan dari pola tersebut dilakukan analisis Gene Ontology (GO) untuk mengukur kualitas tricluster dalam penggambaran konsep GO. Analisis GO menggunakan Database for Annotation, Visualization, and Integrated Discovery (DAVID) tools untuk menghitung nilai p-value. Pada analisis GO dipilih p-value terkecil pada pola DEP, ODEP, dan SEP sebagai tricluster terbaik, yaitu DEP pada tricluster ke 8, ODEP pada tricluster ke-1, dan SEP pada tricluster ke-26. Berdasarkan tricluster terbaik pada pola DEP dan ODEP dapat dikatakan bahwa kondisi oksigen tingkat fisiologis 4 % dan tingkat atmosfer 20 % memiliki perbedaan dalam mengidentifikasi gen kandidat pada H1-hESC yang mampu berdiferensiasi menjadi trofoblas, sedangkan SEP tidak memiliki perbedaan dalam mengidentifikasi gen kandidat pada H1-hESC dengan dua kondisi berbeda.

Triclustering is one of the data mining techniques that aims to cluster three-dimensional data simultaneously. One of the approaches used in triclustering is a pattern-based approach, such as Timesvector. The timesvector method is specifically designed for clustering three-dimensional time series data that aims to capture gene expression patterns that are the same or different between two or more experimental conditions. The implementation of the timesvector method was performed on human embryonic stem cell (H1-hESC) gene expression data treated with bone morphogenetic protein (BMP4) and conditioned in a chamber with 4% and 20 oxygen levels and observed at 6 different time points for 120 hours. Triclustering was performed with five scenarios using 257 clusters and different thresholds. Based on these scenarios, the timesvector method produces the best scenario in the scenario with a threshold of 1.5 which uses validation based on the coverage value. Based on the results of the best scenario, 9 DEP patterns, 24 ODEP patterns, and 37 SEP patterns were generated from these patterns. Gene Ontology (GO) analysis was carried out to measure the quality of the tricluster in describing the GO concept. GO analysis uses Database for Annotation, Visualization, and Integrated Discovery (DAVID) tools to calculate the p-value. In the GO analysis, the smallest p value in the DEP, ODEP, and SEP patterns was selected as the best tricluster, namely DEP in the 8th tricluster, ODEP in the 1st tricluster, and SEP in the 26th tricluster. Based on the best tricluster in the DEP and ODEP patterns, it can be said that the oxygen conditions of 4% physiological level and 20% atmospheric level have differences in identifying candidate genes in H1-hESC that are able to differentiate into trophoblasts, while SEP has no difference in identifying candidate genes in H1-hESC with two different conditions."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radiana Dhewayani Antarianto
"Latar Belakang: Penemuan sel stem jantung (CSC, cardrkzc stem cells) membuktikan jantung sebagai organ dengan pergantian sel-sel parenkim dan non-parenkim di bawah pengaturan kompartemen sel stem. Kemampuan regenerasi jantung berkurang dengan bertambahnya usia. Penyebab penuaan sel stem jantung adalah perubahan pada lingkungan mikro (niche) jantung yang mempengaruhi keberlangsungan hidup sel stem jantung. Tenascin C adalah molekul di niche jantung yang berperan dalam remodeling jaringan jantung dan angiogenesis, dna komponen peuting dalam regenerasi jantung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah dan diameter sel otot jantung di jantung tikus yang berbeda usia, menilai ekspresi Tenascin C dan mengetahui hubungan antara ekspresi tenascin C dan perubahan morfometri sel otot jantung.
Metode: Desain penelitian ini adalah komparatif potong lintang dengan 6 tikus neonatus (usia 1-4 hari), 9 tikus dewasa muda (usia 3-4 bulan) dan 9 tikus dewasa (usia 12-16 bulan). Proses pembuatan sediaan mikroskopik dilanjutkan dengan pewarnaan HE dan imunohistokimia Tenascin C (sc-9871, sc~2023). Mikrofografi jamung (HE) dipilih 2 Ipb atrium dan 2 Ipb ventrikel. Hasil mikrofotograf dimasukkan dalam format jpeg dan dianalisis dengan Digimizer Image Analyzer. J umlah sel otot jantung dihitung per Ipb dengan tagging system dan diameter sel otot jantung diukur berdzsar unit kalibrasi skala mikrometer. Milcrofotograf tenascin C Iewat software DP2BSW dalam format tifl Dihitung 100 sel otot jantung atrium dan 100 sol ventrikel untuk musing-masing subyek. Imunoreaktivitas tenascin C di sel otot jantung dinyatakan lokasi ekqaresi dan skor intensitas. Lokasi ekspresi adalah positif intra sel, ekstra seL kombinasi keduanya dan negatifl [ntensitas pewarnaan tenascin C diberi skor 1 (lemah) sampai 3 (lcuat). Analisis statistik menggunakan SPSS 13.
Hasil : Jumlah sel otot jantung per Ipb terbesar di kelompok neonatus (Atrium=73.4:l=4.8'7; Ventrikel= l52.5:1:3.6) dan paling sedikit di kelompok dewasa (Atrium= 26:I:1.5; Ventrikel= 43.7:1:2.8). Diameter sel otot jantung terkecil di kelompok neonatus (Atrium= 6.lprni0.23; Ventrikel=-° 7.39pmi0.3) dan paling besar di kelompok dewasa (Atrium°-= l7.42pmi0.42; Ventrikel== 23.44|1m=1=0.74). Ekspresi tenascin C ditemukan pada jantung tikus neonatus, dewasa ruuda dan dewasa. Pola ekspresi tenascin C yang sering ditemukan di kelompok neonatus adalah pola kombinasi (Atrium= 43.l7i9.4, Ventrikel= 56.83=l=8.5) dan pola intra sel (Atrium-= 41.33=+=13.4; Ventrikel= 33 .67:|:6.7). Pola ekspresi tenascin C ekstra se! lebih sering ditemukan di kelompok dewasa muda (Atrium= ll.56t3.2; Ventrikel= l2.ll=b7.4) dan dew:-lm (Atrium= 9.22=l:3.5; Ventrikel= 11.67:E3.9) dibandingkan kelompok neonatus (Atrium= 3.33:I=1.3; Ventrikel= 2.5¢l.4). Ekspresi tenascin C negatif paling sering ditemukan di ventrikel jantung dewasa muda (74.44t8 2) dan dewasa (67 .33=\:?7 .6) . Intensitas pewamaan tenascin C kuat (skor 3) paling sering ditemukan di kelempok neonatus (Atrium= 42.83=1=l3.6; Venti-ikel= 59.33=1=9). Skor I paling sering ditemukan di ventrikel jantung kelompok dewasa (16.1 l=|=5.3). Dari analisis korelasi bivariat Pearson ditemukan korelasi positif yang bermakna antara pola ekspresi tenascin C kombinasi di atrium dengan jumlah sel ototjantung atrium (p==0.0l6); pola ekspresi tenasein C intra sel di ventrikel dengan jumlah sel otot jantung ventrikel (p=0.0l) dan pola ekspresi kombinasi di ventrikel dengan jumlah (p=0.00) dan diameter sel otot jantung vcntrikel (p=0.026). Ditemukan pula korelasi positif yang bermakna aniara sl-cor 3 intensitas pewarnaan tenascin C di atrium dengan jumlah sel otot jamung atrium (p=0.035); skor 3 di ventrikel dengan jumlah sei otot jantung ventrikel (p=0.00). Korelasi negatif yang bermakna ditemukan antara skor 3 di ventrikel dengan diameter sel otot jantung ventrikel (p=0.0~0l).
Kesimpulan : Semakin bertambah usia jantung, jumlah sel/Ipb semakin berkurang dan diameter semakin besar. Gambaran ini menandalcan teajadinya hipertrofi sel otot jantung. Ekspresi tenascin C ditemukan di jantung neonatus, dewasa muda dan dewasa. Semakin bertambah usia jantung terjadi penurunan jumlah sel otot jamung yang positif mengekspresikan tcnascin C dan berkurangnya intensitas pewarman tenascin C. Di atrium dan ventrikel jamung, semakin banyak jumlah sel otot dengan pola ekspresi tenascin C kombinasi maka semakin banyak jumlah sel otot jantung. Di ventrikel, pola ekspresi kombinasi juga berkorelasi positif dengan diameter se] otot jantung. Semakin tinggi jumlah sel dengan skor intensitas 3 make jumlah sel Otot jantung semakin banyak dan diameter sel otot jantung yang kecil.

Background: Discovery of Cardiac Stem Cells (CSC) showed the heart as renewable organ with parenchymal and non-parenchymal cells turnover governed by stem cells compartments. Cardiac regenerative ability decreases with advancing age. The cause of CSC?s aging is the changes in cardiac microenvironment (niche) that surrounds CSC. Tenascin C is a major glycoprotein in cardiac niche that plays a vital role in cardiac remodelling and angiogenesis, two main components of cardiac regeneration. This study aims to compare immunoreactivity of tenascin C, cardiomyocites number and diameter in three age groups rat cardiac and determine the correlation between tenascin C immunoreactivity and cardiomyocite?s motphometric changes.
Methods: Design of this study is comparative cross sectional with 6 neonate rats (age I-4 days), 9 young adult rats (age 3-4 months), and 9 adult rats (age 12-16 months). The subjects underwent intravital lixation and cardiac organ was removed. Microscopic specimens were made and stained with hematoxylin-Eosin and tenascin C immunohistochemistry (sc-9871, sc-2023). From cardiac microphotograph (HE stained) two high power field (hpf) was selected for atrium and two hpf for ventricle. Microphotographs was transferred into digital format (jpeg) and analysed with Digimizer Image Analyzer. Cardiomyocite number was determined using tagging system and measurement of cardiomyocite diameter was calibrated with micrometre scale using Digimiaer Image Analyzer. immunohistochemistry results were documented with DPZBSW as tnicrophotographs in digital format (tiff). 100 catrliomyocites in the atrium and in the ventricle fiom each subject was analysed. Immunoreactivity of tenascin C was classified based on expression paltem and staining intensity. The expression pattern was positive intra cellular, positive extra cellular, positive combination (both intra and extra cellular) and negative. Staining intensity was scored I (weak) to 3 (strong). Statistical analysis was performed with SPSS I3.
Result : The most abundant cardiomyocte number per high power fielf (hpf) was found in neonate cardiac (Atrium= 73.4=b4.8'7; Ventrikel= l52.5:l:3.6) and the least abundant was in adult cardiac(Atrium= 26=l:l.5; Ventrikel= 43.7=E2.8). Cardiomyocite diameter was smallest in neonate cardiac (Atrium= 6.1 um=h0.28; Ventrikel= 7.39um:I=0.3) and largest in adult group (Atrium= l7.42um:1:0.42; Ventrikel= 23.44|.un:l:0.74). Tenascin C immunoreactivity was found in neonate, adolescence and adult cardiac. Tenascin C expression pattern most frequently found in neonate cardiac was positive combination (Atrium= 43.l7:1:9.4, Ventrikel= 56.83=l:8.5) and positive intra cellular (Atrium= 4l.33il3.4; Ventrikel= 33.67=l:6.'7). Tenascin C positive extra cellular was commonly found in young adult cardiac (Atrium= 1l.56=l=3.2; Ventrikel= 12.l 1174) and adult cardiac (Atrium= 9.22d:3.5; Ventrikel= 11.671-3.9). Negative tenascin C was more ti-equently found in young adult ventricle (74.44=i=8.2) and adult cardiac (67.33:l:'7.6). High score for tenascin C staining intensity (score 3) was iiequently found in neonate cardiac (Atrium= 42.83=kl3.6; Ventrikel= 59.33d=9). Score l was iiequently found in adult ventricle (16.1l:l:5.3). Pearson bivariate correlation revealed significant correlation between positive combination tenascin C pattern in the atrium with atrial cardiomyocites number(p=0.0l6); positive intra cellular tenascin C pattem in the ventricle with ventricular cardiomyocitcs number (p=0.0l) and positive combination in the ventricle with ventricular cardiomyocites number (p=0.00) and diameter (p=0.026). Significant correlation was also found between score 3 in the atrium with atrial cardiomyocites number (p=0.035); score 3 in the ventricle with ventricular cardiomyocites number (p=0.00). Negative correlation was found signiiicant between score 3 in the ventricle with ventricular cardiomyocitcs diameter (p=0.00l).
Conclusions : With advancing age, cardiomyocte number per hpf decreases while the diameter increases. This resembles hypertrophy of cardiomyocite. Tenascin C immunoreactivity was found in neonate, adolescence and adult mrdiac tissue. With advancing age, we found reduced number of cardiomyocites expressing tenascin C and decreased staining intensity. In cardiac atrium and ventricle, increased number of positive combination tenascin C expression showed increased cardiomyocites number. In ventricle, increased number of positive combination showed increased cardiomyocitec diameter. Increased number of cardiomyocites with score 3 tenascin C staining intensity showed higher cardiomyocites number and smaller diameter.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T33066
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ayla Putri Zahari
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek pemberian sel punca mesenkim (SPM) asal tali pusat yang diduga dapat menurunkan TGF- β1 dan meningkatkan interleukin-10 serta menurunkan derajat fibrosis hati dengan skoring fibrosis NAFLD, menggunakan blok parafin hati tikus dari penelitian sebelumnya. Tikus diberi 2AAF/CCl4 untuk menimbulkan model fibrosis, dosis CCl4 2mg/kgBB, 2AAF 10mg/kgBB dan SPM 1x106. Kelompok dibagi menjadi tiga yaitu kelompok I kontrol tidak diberi perlakuan, kelompok II diberikan 2AAF/CCl4, dan kelompok III diberikan 2AAF/CCl4 serta SPM asal tali pusat manusia. Ekspresi sitokin interleukin-10 dan TGF- β1 diperiksa dengan menggunakan pulasan imunohistokimia. Kuantifikasi pemeriksaan imunohistokimia dengan menghitung jumlah sel kupffer positif warna coklat pada sinusoid lalu dibagi dengan jumlah keseluruhan sel kemudian dikali seratus persen pada sepuluh lapang pandang. Terdapat perbedaan signifikan ekspresi TGF- β1 antara kelompok tanpa SPM dibanding dengan kelompok kontrol (p=0.02) dan kelompok SPM (p=0.04). Terdapat peningkatan bermakna ekspresi interleukin-10 antara kelompok SPM dengan kelompok kontrol (p=< 0.00) dan tanpa kelompok SPM (p=0.005). Terdapat korelasi positif TGF- β1 dengan peningkatan skoring NAFLD (r=0.39,p=0.035) dan tidak ada korelasi IL-10 dengan skoring NAFLD. Pemberian SPM dapat menurunkan ekspresi TGF-β1 dan meningkatkan ekspresi interleukin-10 pada jaringan hati tikus yang diinduksi oleh 2-AAF/CCl4 dan memperbaiki fibrosis dengan menurunkan skoring NAFLD.

This study aims to look at the effect of mesenchymal stem cell (SPM) originating from the umbilical cord which is thought to reduce TGF-β1 and increase interleukin-10 and reduce the degree of liver fibrosis by scoring NAFLD fibrosis, using rat liver paraffin blocks from previous studies. Mice were given 2AAF / CCl4 to cause fibrosis model, 2 mg / kgBB of CCl4 dose, 2AAF 10mg / kgBB and 1x106 SPM. The group was divided into three namely control group I was not given treatment, group II was given 2AAF / CCl4, and group III was given 2AAF / CCl4 and SPM from human umbilical cord. Interleukin-10 and TGF-β1 cytokine expressions were examined using immunohistochemical smear. Quantification of immunohistochemical examination by counting the number of brown positive kupffer cells in sinusoids and then divided by the total number of cells and then multiplied one hundred percent in ten fields of view. There was a significant difference in TGF-β1 expression between the groups without SPM compared to the control group (p = 0.02) and the SPM group (p = 0.04). There was a significant increase in the expression of interleukin-10 between the SPM group and the control group (p = <0.00) and without the SPM group (p = 0.005). There was a positive correlation of TGF-β1 with increased NAFLD scoring (r = 0.39, p = 0.035) and there was no IL-10 correlation with NAFLD scoring. Giving SPM can reduce TGF-β1 expression and increase the expression of interleukin-10 in rat liver tissue induced by 2-AAF / CCl4 and improve fibrosis by decreasing NAFLD scoring."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lukmansjah Masputra
"ABSTRAK
Disertasi ini ditulis untuk menguji apakah posisi etika dalam menghadapi riset yang menyangkut embryo manusia dalam riset stem cells yang diperoleh dengan cara menghancurkan embryo manusis dianggap sama dengan membunuh manusia. Terutama setelah para peneliti membuktikan di laboratorium bahwa manfaat yang akan dicapai adalah memberikan kesembuhan pada penyakit degeneratif yang tidak dapat disembuhkan oleh pengobatan kontermporer. Stem cells yang berasal dari embryo itu telah terbukti dapat mengganti seluruh sel utama yang rusak atau mati. Apakah etika akan berdiri di luar gelanggang dengan mengatakan bahwa penelitian itu bertentangan dengan etika dan karena itu harus dihentikan, ataukah etika akan tetap menjadi dasar moral bagi para peneliti yang jelas tidak menginginkan penelitiannya dihentikan.? Apakah embryo sudah mempunyai status persona? Perdebatan tentang status moral embryo inilah yang menjadi dasar dari ditentangnya penggunaan embryo manusia dalam riset. Teori-teori etika deontologi Immanuel Kant [1724 ? 1804] dan utilitarian Jeremy Bentham [1748 - 1832] maupun Etika Situasi Joseph Fletcher, dipakai sebagai dasar untuk menguji apakah riset itu bertentangan dengan etika atau tidak. Masalah embryo yang dianggap merupakan awal kehidupan manusia yang telah mengandung genetika manusia ini apakah patut dirusak demi untuk penyembuhan orang lain? Empat abad SM masalah embryo ini telah dibahas secara serius oleh Aristoteles [384 ? 322 SM]. Melalui teori epigenetiknya, ia membagi embryo menjadi embryo yang belum berbentuk dan yang sudah berbentuk. Dalam embryo yang belum berbentuk belum ada kehidupan. Hanya pada embryo yang sudah berbentuk terdapat kehidupan. Pada abad ke 17 ditemukan teori preformation yang menyatakan bahwa dalam sperma dan sel telur sudah ada bentuk manusia yang lengkap, sudah ada homunculus?manusia kecil. Debat berkepanjangan tentang hal ini tidak akan pernah berakhir. Hanya saja ada satu hal yang sering dilupakan tatakala membicarakan embryo yang digunakan dalam penelitian stem cells itu. Embryo yang digunakan adalah bukan embryo yang di dalam rahim tetapi embryo di luar rahim, yang ada di dalam cawan petri di laboratorium yang tidak mungkin akan berkembang menjadi manusia. Melihat praktek tentang riset hES cells ini di beberapa negara telah memberikan manfaat yang dapat dihasilkan bukan hanya dibidang kesehatan atau kedokteran terapeutik tetapi juga dibidang ekonomi bangsa maka saya melihat bahwa riset hES cells ini perlu dilanjutkan, dengan tetap didasari oleh etika sebagai norma moral yang memberikan rambu-rambu yang jelas yaitu manfaat yang akan dicapai harus didasari oleh keutamaan kemanusiaan yaitu emerging ethics.

ABSTRACT
This dissertation is written to assess the ethics of stem cells research involving human embryos, where the controversial destruction of human embryos required by current state of technology to create human embryonic stem cells is often viewed as killing innocent human creatures. The ethical evaluation of such viewpoint is important in light of laboratory results showing significant benefits of the science, on developing treatments for physical, degenerative and genetic diseases that are not curable using contemporary medicine. Stem cells that originate from embryos have been proven to be able to completely replace damaged or dead cells. Will ethics stand outside of the arena by stating that such research is unethical and must be discontinued, or will ethics stand as a moral basis for the researchers that are pursuing the science? Is a human embryo considered a person? Debates regarding the moral status of embryos have been the source of rejection in the use of human embryos for such scientific researches. Deontological ethics of Immanuel Kant [1724-1804] and Utilitarian of Jeremy Bentham [1748-1832] as well as Situational Ethics of Joseph Fletcher, have been used as bases when evaluating whether or not a research is unethical. Can human embryos, seen as the commencing platform of human life with complete genetic formation, be destroyed in order to provide cure for other humans? Aristoteles [384-322 BC] extensively discussed this issue through his epigenetics theory, where embryos are divided into two stages: unformed and formed; life begins only when they are formed. In the 17th century, the establishment of the preformation theory challenges this view by stating that homunculus (little human) already exists from within the human sperm and egg cells. Such debates will never end. However, often time debates surrounding this topic fail to underline the fact that the human embryos involved are not in utero (in the womb), but they reside in the petri dishes across the laboratories, without any possibility of forming into humans. Seeing that practices regarding hES cells research across various countries have shown to provide benefits not only on health, medical and therapeutic areas, but on economy as well, I believe that such researches need to continue to be pursued with ethics being the moral norm, providing them with concrete guides and benefits that are based on humanity, as emerging ethics.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
D1306
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Pramantha Putra Wijaya
"Pendahuluan: Penelitian in vitro menggambarkan inferioritas osteogenesis SPM adiposa dibandingkan dengan SPM sumsum tulang. Sebaliknya, penelitian in vivo menunjukkan kemiripan potensi osteogenik keduanya. penelitian ini mencoba mengetahui perbedaan kapasitas osteogenik antara keduanya dengan mengukur ekspresi Bone Morphogenetic Protein (BMP)-2 dan BMP Reseptor II, juga proses penyembuhan tulang dengan pengukuran histomorfometri.
Metode: Delapan belas tikus Sprague dawley (SD) dilakukan defek tulang femur 5mm. Tikus dibagi tiga kelompok yang terdiri dari kontrol, implantasi SPM sumsum tulang + Hydroxypatite, dan implantasi SPM adiposa + Hydroxypatite. Tikus dikorbankan pada minggu kedua kemudian penilaian histomorfometri kuantitatif dilakukan dengan Image-J. Paramater yang diukur adalah luas total kalus, % area penulangan, % area kartilago, dan % area fibrosis. Dilakukan penilaian imunohistokimia menggunakan intensitas pewarnaan dan skor Imunoreaktivitas (IRS).
Hasil: Kelompok SPM sumsum tulang menunjukkan ekspresi BMPR II lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya. Ekspresi BMPR II dianalisis dan didapatkan hasil yang signifikan (p= 0,04) dengan median 4.00 ± 2.75. Kelompok SPM sumsum tulang dan adiposa juga menunjukkan proses penyembuhan tulang yang lebih baik dibandingkan kelompok kontrol (p = 0,001). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara SPM sumsum tulang dan SPM adiposa yang diukur pada % total area kalus (p = 1.000),% area penulangan (p = 1.000),% kartilago (p = 0,493) dan % fibrosis (p = 0,128).
Diskusi: SPM adiposa memiliki kemampuan penyembuhan tulang yang serupa dengan SPM sumsum tulang. Growth factor dan reseptornya penting namun bukan satu-satunya faktor penyembuhan tulang.

Introduction: In vitro studies describe inferior osteogenesis of Adiposes to Bone Marrow Mesenchymal Stem Cell (MSC). Contrary, in vivo studies showing the resemblance of osteogenic potential between both groups. This study tries to investigate the difference of osteogenic capacity between BMSCs and ASCs by quantifying the expression of Bone Morphogenetic Protein (BMP)-2 and BMP receptor (BMPR) II also the bone healing process by histomorphometry measurement.
Methods: Eighteen Sprague dawley (SD) rats were induced with 5mm femoral bone defect, then divided into three groups that consist of Control, Implementation of BMSC+Hydroxypatite, and Implementation of ASC+Hydroxypatite. They were sacrificed after 2 weeks, then performed histomorphometry assessment with Image-J. The measured paramater were total area of callus, % of osseous area, % of cartilage area, and % of fibrotic area. The immunohistochemistry measurement performed by staining intensity and immunoreactivity score (IRS).
Results: The BMSC group showed higher expression of BMPR II compare to others. The expression of BMPR II was analyzed statistically and showed significant result (p=0.04) with median 4.00 ± 2.75. Both BMSC and ASC group have significantly better bone healing process compared with control group (p=0,001). There are no significant differences between ASC and BMSC measured in %total callus area (p=1.000), %Osseous area (p=1.000), %Cartilage area (p=0.493) and % Fibrous area (p=0.180).
Discussions: ASC bone healing ability are similar to BMSC. Growth factor and its receptor are important but not sole contributing factor for bone healing."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suhartiningsih
"Sel punca perinatal saat ini menjadi alternatif yang potensial bagi ketersediaan sel punca, baik dalam bidang riset maupun klinis. Salah satu yang diharapkan adalah Wharton's Jelly dari persalinan preterm yang merupakan sumber sel punca mesenkim. Karakteristik dan ekspresi antigen permukaan HLA-ABC dan HLA-G pada sel punca mesenkim Wharton's Jelly persalinan preterm belum banyak diketahui. Kedua molekul imunomodulator ini turut berperan dalam menentukan sifat supresi imun pada sel mesenkim, yang sangat dibutuhkan pada transplantasi allogenik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ekspresi antigen permukaan HLA-ABC dan HLA-G sel punca mesenkim WJ dari persalinan preterm dan dibandingkan pada berbagai suplemen medium kultur. SPM-WJ dikultur dalam medium DMEM 10 FBS, DMEM 10 PRP dan Mesencult. Sel yang telah konfluens dipanen, dan ditumbuhkan kembali pada wadah yang baru pasase dengan medium yang sama. Pada pasase 3 dan 5 dilakukan uji karakteristik antigen permukaan HLA-ABC dan HLA-G dengan menggunakan flowcytometry. Ekspresi HLA-ABC dan HLA-G sampel preterm Wharton's Jelly menunjukkan kecenderungan lebih hypoimmunogenic daripada sampel aterm dan lebih sesuai pada suplemen medium kultur PRP.Sel punca mesenkim WJ dari persalinan preterm dapat digunakan sebagai salah satu alternatif sumber sel punca mesenkim untuk aplikasi terapi regeneratif.

Perinatal stem cells is an potential alternative to the availability of stem cell, both in the research and clinical field. One would have expected is Wharton's Jelly from preterm delivery that is the source of mesenchymal stem cells. Characteristics and expression of surface antigen HLA ABC and HLA G on mesenchymal stem cells derived Wharton's Jelly from preterm delivery little has been known. Both of these immunomodulatory molecules play a role in determining the nature of immune suppression in mesenchymal stem cells, which are needed on the allogenic transplantation. This study aims to determine the expression of surface antigen HLA ABC and HLA G WJ mesenchymal stem cells from preterm delivery and compared on different culture media supplements. WJ MSC was cultured with the followings media DMEM 10 FBS, DMEM 10 PRP and Mesencult. Cells reaching confluence were harvested and regrown in different containers, but with the same media. Cell passaging was carried out until the fifth passage, and the characterization of HLA ABC and HLA G surface antigens were performed on the third and fifth passages. The expression of HLA ABC and HLA G at the Wharton's Jelly preterm samples tends more hypoimmunogenic than the term sample and more appropriate to the culture medium supplement PRP. Mesenchymal stem cells derived Wharton's Jelly from preterm delivery can be used as an alternative source of mesenchymal stem cells for regenerative therapy applications."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahresa Hilmy
"Defek kritis tulang panjang adalah kondisi bagian tulang yang hilang dengan ukuran lebih dari 2 cm dan atau 50% diameter tulang, sehingga sulit untuk mengalami regenerasi. Salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah tindakan transplantasi autologous namun peningkatan risiko morbiditas pada pendonor menyebabkan diperlukannya tata laksana alternatif untuk defek kritis tulang panjang. Penggunaan eksosom sel punca mesenkimal adiposa atau PRF telah menunjukkan hasil yang menjanjikan pada penelitian sebelumnya. Kami bertujuan untuk mengevaluasi efek penggunaan eksosom sel punca mesenkimal adiposa dan PRF terhadap defek kritis tulang panjang pada tikus Sprague-Dawley. Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimental post-test only control group design pada hewan coba tikus Sprague Dawley. Sampel diambil secara acak dari tikus putih spesies Sprague Dawley jantan yang berusia 8-12 minggu, dengan berat sekitar 250 – 350 gram. Sebanyak 30 ekor tikus dibagi ke dalam 5 kelompok, yaitu kelompok perlakuan hidroksiapatit (HA) dan bone graft (BG) (kelompok I), kelompok perlakuan HA, BG, dan PRF (kelompok II), kelompok perlakuan HA, BG dan eksosom sel punca mesenkimal adiposa (kelompok III), kelompok perlakuan HA, BG, PRF, dan eksosom sel punca mesenkimal adiposa (kelompok IV), dan kelompok perlakuan HA, PRF, dan eksosom sel punca mesenkimal adiposa (kelompok V). Setiap tikus kemudian dibuat defek tulang femur sebesar 5mm yang difiksasi interna menggunakan K-wire ukuran 1,4 mm. Histomorfometri dan BMP-2 dilakukan untuk menilai proses penyembuhan tulang pada setiap kelompok perlakuan. Pada analisis RT-PCR, kelompok IV (HA + BG + eksosom sel punca mesenkimal adiposa) memiliki ekspresi gen BMP-2 tertinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Sebaliknya, kelompok III (HA + BG + eksosom sel punca mesenkimal adiposa + PRF) memiliki tingkat chordin tertinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Secara umum, kelompok yang diintervensi dengan eksosom sel punca mesenkimal adiposa atau PRF memiliki ekspresi BMP-2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Namun, kami tidak menemukan perbedaan yang signifikan antar kelompok dalam analisis statistik. Pembentukan jaringan ikat pada penyembuhan tulang predominan dibandingkan pembentukan jaringan tulang untuk semua kelompok. Kelompok dengan pemberian kombinasi eksosom sel punca mesenkimal adiposa, PRF, HA menunjukkan hasil yang setara/ekuivalen dengan HA+ BG. Dalam penelitian ini, penggunaan eksosom sel punca mesenkimal adiposa dan/atau PRF telah menunjukkan peningkatan aktivitas osteogenic yang ditunjukkan dengan peningkatan laju penyembuhan tulang. Kuantifikasi BMP-2 dapat menunjukkan aktivitas osteogenic pada tikus yang ditatalaksana dengan eksosom sel punca mesenkimal adiposa, bone graft dan HA. Selain itu, penggunaan eksosom sel punca mesenkimal adiposa yang dikombinasikan dengan PRF menunjukkan efek yang saling mendukung. Hal ini tampak pada kombinasi eksosom sel punca mesenkimal adiposa, PRF, HA tanpa BG menunjukkan hasil yang setara/ekuivalen dengan HA+ BG. Hasil histomorfometri menunjukkan aktivitas osteogenic yang baik pada tikus yang ditatalaksana dengan eksosom sel punca mesenkimal adiposa dan/atau PRF. Namun, efek ini tidak terlalu tampak pada kombinasi eksosom sel punca mesenkimal adiposa, PRF, HA dan BG meskipun hasil ini memiliki tren yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini mendukung sinergi antara eksosom sel punca mesenkimal adiposa dan PRF. Penggunaan PRF dan eksosom sel punca mesenkimal adiposa memiliki luaran histomorfometri dan molekular (BMP-2 dan Chordin) yang sebanding dengan penggunaan bone graft pada defek tulang kritis pada tikus Sprague Dawley.

Critical long bone defects is defined as a defect of over 2 cm or 50% of the bone diameter that leads to a small chance of healing. Autologous bone graft has been proposed as a treatment for critical bone defects in prior studies. However, unreliable results and donor-site morbidity call for an alternative treatment in critical long bone defect. Biological augmentation with ASCs exosome and PRF has shown promising results in bone regeneration in prior studies. We aimed to evaluate the efficacy of ASCs exosome and PRF in treating critical long bone defect in Sprague-Dawley rats. This study was a quasi-experimental post-test only control group design on Sprague-Dawley rats. Samples were taken randomly from male Sprague-Dawley white rats aged 8 to 12 weeks, weighing approximately 250 to 350 grams. A total of 30 rats were divided into 5 groups: hydroxyapatite (HA) and bone graft (BG) treatment group (group I); HA, BG, and PRF treatment group (group II); HA, BG, PRF and ASCs exosome treatment group (group III); HA, BG, and ASCs exosome treatment group (group IV); and HA, PRF, and ASCs exosome treatment group (group V). A 5 mm femur bone defect was created that was internally fixed using a 1.4 mm K-wire threaded. Histomorphometry and BMP-2 was performed to evaluate bone healing process in each group. On RT-PCR analysis, group IV (HA+BG+ASCs exosome) had the highest BMP-2 gene expression compared to other groups. In the contrary, group III (HA+BG+ASCs exosome+PRF) has the highest chordin level compared to other groups. In general, the group intervened by ASCs exosome or PRF has a higher BMP-2 expression compared to control. However, we did not find any significant difference between groups in statistical analysis. Histomorphometry examination showed increased bone healing progression in groups with ASCs or PRF. The use of biological augmentation to increase the speed and rate of bone healing especially in critical bone defect has been shown in previous study. In this study, the use of ASCs exosome and/or PRF has shown increased osteogenic activities that translates into increased rate of bone healing. The quantification of BMP-2 could show the osteogenic activities in rats treated with ACSs exosome with BG and HA. In addition, the use of adipose mesenchymal stem cell exosomes in combination with PRF showed a mutually supportive effect. This was seen in the combination of adipose mesenchymal stem cell exosomes, PRF, HA without BG showed equivalent results with HA + BG. Histomorphometric results showed good osteogenic activity in rats treated with adipose mesenchymal stem cell exosomes and/or PRF. However, this effect was less pronounced in the combination of adipose mesenchymal stem cell exosomes, PRF, HA and BG although this result had a higher trend compared to the control group. This supports the synergy between adipose mesenchymal stem cell exosomes and PRF. The ASCs exosome showed a positive effect on osteogenesis in critical long bone defects in Sprague-Dawley rats."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rona Laras Narindra
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui viabilitas sel punca sum-sum tulang manusia setelah dipapar larutan ekstrak scaffold HA/alginat (30/70) atau scaffold HA/alginat/kitosan (30/50/20) selama 24, 48, atau 72 jam. Larutan ekstrak scaffold diuji dengan MTT. Hasil viabilitas sel pada pemaparan 24, 48, atau 72 jam scaffold HA/alginat secara berurutan 78,3±7,90%, 69,4±10,63%, 80,6±10,89%, sedangkan pada scaffold HA/alginat/kitosan secara berurutan 94,2±10,55%, 81,8±13,91%, 96,7±16,28%. Pada waktu pemaparan 24 jam, viabilitas sel antara scaffold HA/alginat dan scaffold HA/alginat/kitosan berbeda bermakna (p<0,05). Viabilitas sel scaffold HA/alginat/kitosan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan viabilitas sel scaffold HA/alginat pada waktu pemaparan 24 jam.

This study aims to determine the viability of human bone marrow stem cells after exposed to the extract solution of HA/alginate (30/70) or HA/alginate/chitosan (30/50/20) scaffolds. The cell viability was evaluated by MTT assay. The cell viability of HA/alginate scaffold on 24, 48, or 72 hour is 78.3±7.90%, 69.4±10.63%, and 80.6±10.89%, respectively, while the cell viability of HA/alginate/chitosan scaffold is 94.2±10.55%, 81.8±13.91%, and 96.7±16.28%, respectively. The cell viability obtained from the HA/alginate and HA/alginate/chitosan scaffold in 24 hour is significantly different (p<0.05). The cell viability of HA/alginate/chitosan scaffold is significantly higher than that of the HA/alginate scaffold in 24 hour."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rithwik Chandur Nathani
"Ada banyak metode yang telah dikembangkan untuk menghasilkan mikrokapsul untuk keperluan enkapsulasi sel punca. Namun, emulsi mikrofluida ditemukan memuaskan karena memungkinkan kita untuk menghasilkan tetesan berukuran rata yang dapat dikontrol secara efisien, di mana bahkan memungkinkan untuk melakukan enkapsulasi sel tunggal di setiap tetesan. Namun proses ini bukan tanpa masalah, terlihat bahwa kapsul mikro mudah larut dalam larutan buffer salin Ca2+/Mg2+. Masalah menunjukkan bahwa kapsul memiliki kekuatan mekanik yang buruk dan tidak stabil. Oleh karena itu, enkapsulasi ganda diperlukan, yang memungkinkan untuk menambahkan lapisan lain ke kapsul yang akan memungkinkan stabilitas lebih baik dan meningkatkan kekuatan mekanik. Di sini, studi awal enkapsulasi lapisan ganda dilakukan dengan menggunakan teknologi Lab-On-Chip dan minyak serta air sebagai bahan pengujian. Studi ini mengeksplorasi penggunaan Chip Polycarbonate (PC) dan Polydimethylsiloxane (PDMS) untuk enkapsulasi lapisan ganda. Simulasi Computational Fluid Dynamics (CFD) awalnya dilakukan untuk memastikan bahwa laju aliran sesuai untuk pengujian chip dan kemudian chip diuji secara individual dan dikarakterisasi, di mana parameter yang sesuai untuk enkapsulasi lapisan ganda diperoleh dan digunakan untuk menghasilkan sistem enkapsulasi ganda. Hasilnya menunjukkan karakteristik generasi tetesan dari chip individu dan desain sistem dua chip yang sukses yang dapat menghasilkan enkapsulasi lapisan ganda dengan ukuran sekitar 1300 -1700μm. Studi banding juga mengkonfirmasi fenomena yang diamati. Tulisan ini dapat digunakan untuk riset lebih lanjut pada enkapsulasi dua lapis terkendali mengunakan Lab-on-Chip.

There had been many methods developed to generate microcapsules for stem cell encapsulation purposes. However, microfluidic emulsion is found to be satisfactory as it allows us to generate a controllable even sized droplets efficiently, where it is even possible to encapsulate single cell in each droplet. However, this process does not come without a problem, it was noticed that the micro capsules were easily dissolved in a saline buffer solution Ca2+/Mg2+. The issue shows that the capsules had poor mechanical strength and were unstable. Therefore, double encapsulation was introduced, which allows us to add another layer to the capsule with would allow more stability and increase mechanical strength. Here, an initial study of double layer encapsulation is conducted with Lab-On-Chip technology using oil and water as testing materials. This study explores the use of Polycarbonate (PC) and Polydimethylsiloxane (PDMS) Chip for double layer encapsulation. A Computational Fluid Dynamics (CFD) simulation was initially conducted to ensure that flowrates were suitable for chip testing and then the chips are tested individually and characterized, where suitable parameters for double layer encapsulation were obtained and used to generate a double encapsulation system. The result shows the droplet generation characteristics of individual chips and a successful two chip system design that could generate double layer encapsulations with sizes of approximately 1300 -1700μm. Comparative studies also confirmed observed phenomenon. This paper can be used for further studies in controllable double-layer encapsulation using Lab-on-Chip.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>