Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147203 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mardiana Arfah
"Pemerintah bersama DPR telah membentuk UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. PP No. 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 UU No. 8 Tahun 2010. Rumusan masalah dalam tesis ini: 1 Bagaimanakah pengaturan tentang kewajiban Notaris sebagai Pihak Pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang?; 2 Bagaimanakah implikasi dari pemberlakuan PP No. 43 Tahun 2015 tersebut terkait dengan profesi Notaris?. Berdasarkan metode penelitian yuridis normatif, ditemukan simpulan bahwa a PP No. 43 Tahun 2015 dan Perka PPATK No. 11/2016 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan Dan Laporan Transaksi Keuangan Tunai Bagi Profesi sebagai peraturan pelaksana, telah jelas mengatur tentang Pihak Pelapor dan tata cara pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan bagi profesi. dan b Pemberlakuan PP 43 Tahun 2015 pada awalnya menimbulkan kontra di kalangan Notaris. Hal ini lebih disebabkan karena masih kurangnya sosialisasi PP 43 Tahun 2015 ini untuk kalangan Notaris, sehingga adanya kekurangpahaman Notaris atas maksud dari pemberlakuan PP 43 Tahun 2015 ini. Saran: 1 Perlu dilakukan sosialisasi dan koordinasi yang lebih intens terhadap Notaris oleh PPATK agar Notaris mendapat pemahaman yang lebih komprehensif sehubungan dengan PP No. 43 Tahun 2015 dan peraturan pelaksana terkait; dan 2 Notaris sebaiknya tidak melakukan pekerjaan diluar profesi notaris, dan melakukan tindakan untuk dan atas nama klien dan Notarisuntuk dapat lebih meningkatkan kemampuannya dalam mengenali jenis transaksi pengguna jasa yang berpotensi terkait dengan tindak pidana agar risiko digunakan sebagai sarana pencucian uang bisa diminimalisir.

The government and the Parliament have established Law no. 8 of 2010 on Prevention and Eradication of Money Laundering Crime. PP no. 43 of 2015 concerning the Reporting Parties in the Prevention and Eradication of Money Laundering Crime issued to implement the provisions of Article 17 of Law no. 8 Year 2010. The thesis rsquo problem 1 How is the regulation regarding the obligation of Notary as a Reporting Party in the prevention and eradication of money laundering crime 2 How rsquo s the implications of the implementation of PP No. 43 Year 2015 and its relation to profession of Notary . Based on the normative juridical research method, it is found that a PP No. 43 of 2015 and Perka PPATK no. 11 2016 concerning Procedures for Submitting Suspicious Financial Transactions Reports and Cash Transaction Reports for Professionals as an implementing regulation, has clearly regulate the Reporting Party and the procedures for reporting Suspicious Financial Transactions for the profession and b Initially, the enactment of PP No. 43 of 2015 has create counters from Notaries. This is more due to the lack of socialization of PP 43 of 2015 is for the Notary, so it has caused Notary rsquo s lack of understanding on the intent of the enactment of PP 43 of 2015. Suggestion 1 Socialization and coordination should be conducted intensively for Notary by PPATK in order the Notary gets the comprehensive understanding in relation to PP. 43 of 2015 and its related implementing regulations and 2 Notary should not do work outside the notary profession, and take action for and on behalf of the client and Notary to further improve its ability in recognizing the type of service user transactions that are potentially related to the crime, so that the risk of being used as a means of money laundering can be minimized."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48236
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ritonga, Lydia Indah Anneike
"Jabatan yang dipangku oleh Notaris adalah jabatan kepercayaan, sebagai seorang kepercayaan, Notaris berkewajiban untuk merahasiakan isi Akta. Seorang Notaris yang tidak dapat membatasi dirinya akan mengalami akibatnya dalam praktek; ia akan segera kehilangan kepercayaan publik dan tidak lagi dianggap sebagai orang kepercayaan. Kewajiban merahasiakan isi Akta dapat dikecualikan jika UndangUndang mengatur lain, kekecualian terhadap kewajiban tersebut hanya dapat dilakukan dalam keadaaan tertentu saja seperti kewajiban Notaris sebagai Pihak Pelapor untuk membuka dan memberikan keterangan Transaksi Keuangan Pengguna Jasa kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Hal ini ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Permasalahan yang dibahas dalam Tesis ini mengenai sikap Notaris dalam kedudukannya sebagai Pihak Pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dihubungkan dengan kewajibannya merahasiakan isi Akta serta perlindungan hukum terhadap Notaris setelah membuka kerahasiaan isi Aktanya. Penulisan tesis ini menggunakan Metode Penelitian Hukum Normatif, yaitu penelitian dengan menggunakan data sekunder yaitu perundang-undangan mengenai Jabatan Notaris, Tindak Pidana Pencucian Uang dan Peraturan Pemerintah yang berkaitan, buku-buku teks, serta pendapat para ahli hukum. Sikap Notaris dalam kedudukannya sebagai Pihak Pelapor harus netral, mandiri, dan tidak berpihak. Notaris dimungkinkan menjadi pihak dalam Transaksi Keuangan Mencurigakan walaupun kemungkinan tersebut kecil. Notaris dapat memutuskan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa jika Pengguna Jasa menolak untuk mematuhi prinsip mengenali Pengguna Jasa atau Notaris meragukan kebenaran informasi yang disampaikan oleh Pengguna Jasa. Jika hal tersebut terjadi Notaris diwajibkan melaporkan tindakan tersebut kepada PPATK sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan. Notaris bukanlah pihak, Notaris dalam jabatannya bertindak dalam mewakili negara sehingga harus mendapat perlindungan hukum yang selayaknya.

A position held by a Notary is a position of trust, as a confidant, a Notary is obliged to keep the contents of the Deed. A Notary who cannot limit himself will face a consequences in his/ her practice; he will soon lose public trust and no longer regarded as a trusted object. The obligation to keep the contents of the Deed may be exempted. The exceptions to such obligations may only be made in certain circumstances such as the obligation of Notary as a Reporting Party to open and provide User Service Transaction information to the Financial Transaction Reporting and Analysis Center (PPATK). This is stipulated in Government Regulation Number 43 of 2015 concerning Reporting Parties in the Prevention and Eradication of Money Laundering Act which is the implementing regulation of Law Number 8 of 2010 concerning Money Laundering. The issues discussed in this Thesis regarding the attitude of Notary in his position as a Reporting Party in the prevention and eradication of Money Laundering related to his obligation to keep the contents of the deed as well as legal protection against Notary after disclosing the confidentiality of its contents. This thesis uses Normative Legal Research Method, which is research by using secondary data which is legislation about Notary Position, Money Laundering Crime, and related Government Regulation, textbooks, and opinion of jurists. Notary's attitude in his / her position as a Reporting Party shall be neutral, independent and impartial. Notary may be a party to Suspicious Transactions even though the possibility is small. The Notary may terminate the business relationship with the service user if the user refuses to comply with the principle of recognizing the service user or Notary questioning the correctness of the information submitted by the Service User. If the action occurs, Notary is required to report such action to PPATK as Suspicious Financial Transaction. Notary is not a party, Notary in his / her position acting in representing the country so that should get proper legal protection."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49446
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Anggraeni Suryana
"Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, mengatur pada Pasal 3 bahwa seorang Notaris dan PPAT adalah salah satu pihak pelapor apabila ada transaksi yang dianggap mencurigakan, karena profesi notaris dan ppat sering kali jasanya digunakan oleh para pelaku tindak pidana pencucian uang untuk memuluskan kegiatan mereka, berdasarkan ketentuan ini Notaris dan PPAT yang mengetahui terjadinya tindak pidana pencucian uang wajib melaporkan tindak pidana itu ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK . Sesuai ketentuan Pasal 4 PP tersebut, Notaris dan PPAT wajib menerapkan prinsip lsquo;mengenal pengguna jasa rsquo;. Terkait permasalahan ini, dimana notaris dan ppat sebagai sebuah profesi yang memberikan jasa yang salah satunya adalah membuat akta diantara para pihak sangat dimungkinkan untuk menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa, namun fakta hukum menunjukkan bahwa di dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, Kode Etik dan di dalam Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah tidak ada satu pasal pun yang membahas mengenai prinsip pengguna jasa, meskipun ada kemungkinan Notaris dan PPAT akan berhadapan dengan pihak yang melakukan transaksi dengan sumber dana berasal dari tindak pidana pencucian uang. Namun jika ditinjau peran Notaris sebagai sebagai pejabat umum yang mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk menuangkan kehendak atau keinginan mereka ke dalam bentuk akta autentik adalah suatu jabatan kepercayaan, dan PPAT selaku pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, oleh karena itu Notaris dan PPAT harus mempunyai harkat dan martabat yang tinggi karena harus menyimpan rahasia, menuangkan kehendak mereka dengan amanah, jujur, seksama, mandiri dan tidak berpihak sehingga dapat mencegah terjadinya sengketa perselisihan diantara para pihak.Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, mengatur pada Pasal 3 bahwa seorang Notaris dan PPAT adalah salah satu pihak pelapor apabila ada transaksi yang dianggap mencurigakan, karena profesi notaris dan ppat sering kali jasanya digunakan oleh para pelaku tindak pidana pencucian uang untuk memuluskan kegiatan mereka, berdasarkan ketentuan ini Notaris dan PPAT yang mengetahui terjadinya tindak pidana pencucian uang wajib melaporkan tindak pidana itu ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK . Sesuai ketentuan Pasal 4 PP tersebut, Notaris dan PPAT wajib menerapkan prinsip lsquo;mengenal pengguna jasa rsquo;. Terkait permasalahan ini, dimana notaris dan ppat sebagai sebuah profesi yang memberikan jasa yang salah satunya adalah membuat akta diantara para pihak sangat dimungkinkan untuk menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa, namun fakta hukum menunjukkan bahwa di dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, Kode Etik dan di dalam Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah tidak ada satu pasal pun yang membahas mengenai prinsip pengguna jasa, meskipun ada kemungkinan Notaris dan PPAT akan berhadapan dengan pihak yang melakukan transaksi dengan sumber dana berasal dari tindak pidana pencucian uang. Namun jika ditinjau peran Notaris sebagai sebagai pejabat umum yang mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk menuangkan kehendak atau keinginan mereka ke dalam bentuk akta autentik adalah suatu jabatan kepercayaan, dan PPAT selaku pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, oleh karena itu Notaris dan PPAT harus mempunyai harkat dan martabat yang tinggi karena harus menyimpan rahasia, menuangkan kehendak mereka dengan amanah, jujur, seksama, mandiri dan tidak berpihak sehingga dapat mencegah terjadinya sengketa perselisihan diantara para pihak.

Government Regulation No. 43 Year 2015 concerning the Reporting Party in the Prevention and Eradication Criminal Act of Money Laundering is the form of the Regulations of Law Constitution No. 8 Year 2010 on the Prevention and Eradication Criminal Act of Money Laundering, set in Article 3 that the Notary and Land Deed Official are both of the complainant if there is a transaction that considered as suspicious, because the Notary and Land Deed Official often widely use by the perpetrators to expedite their activities, by this provision the Notary and Land Deed Official who knows the activities have obligation to report the criminal act to Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center INTRAC .According to the provision Article 4 in the Government Regulation, the Notary and Land Deed Official must be applying the lsquo Know Your Customer rsquo principle.Related to this issue, which the Notary and Land Deed Official as a profession that provide services, which one of it is to create a deed between the parties, lsquo Know Your Customer rsquo principle is highly applicable. However, legal facts show that in the Law of Position of Notary, Code of Conduct and in Government Regulation of Position of Land Deed Official none of single article that discussed the Customer Principle, although there are some possibilities that the Notary and Land Deed Official will be dealing with the parties to a transaction with funds derived from money laundering.However, Notary role as a public official who receive a trust from community to express their will and desire into authentic deeds is a position of trust, and Land Deed Official as public official to create land transfer and security deeds in accordance with the law made authentic deeds, therefore the Notary and Land Deed Official must have the very high dignity to keep the confidential matters, express their will and desire with trustworthy, honest, thorough, independent, impartial to prevent disputes between the parties."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T47122
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Betha Nur Avicennia Sularso
"Notaris rentan dimanfaatkan pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang dengan menggunakan perjanjian legal dan menyalahgunakan ketentuan kerahasiaan jabatan Notaris. Hal ini yang melatarbelakangi pembentukan PP No. 43/2015 yang menetapkan Notaris sebagai salah satu Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Terdapat perbedaan pandangan tentang keabsahan pemberlakuan PP No. 43/2015 terkait dengan hierarki PP No. 43/2015 yang berada di bawah Undang-Undang Jabatan Notaris dan Perubahannya. Namun konsep kerahasiaan jabatan saat ini tidak lagi bersifat mutlak. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab Notaris sebagai Pihak Pelapor dan perlindungan hukum bagi Notaris akibat dibebankan tanggung jawab sebagai Pihak Pelapor. Bentuk penelitian ini adalah yuridis normatif dengan tipe penelitian secara deskriptif analitis dan dianalisis secara kualitatif. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa tanggung jawab Notaris sebagai Pihak Pelapor meliputi penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa, Melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK, dan menyimpan dokumen terkait laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan tersebut. Bagi Notaris yang melakukan tanggung jawabnya sebagai Pihak Pelapor tanpa adanya unsur penyalahgunaan wewenang maka dijamin secara hukum kerahasiaan identitas dan perlindungan untuk tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana.

Notary public is very vulnerable for being utilized by money laundering crime's perpetrators by using legal agreements and abusing confidentiality provisions of the position of notary public. This aspect became the main reason of the establishment of GR No. 43 2015 establishing the Notary as Reporting Party in Counter measure and Eradication of the Criminal Act of Money Laundering. There is a difference in perspective of the validity of the enactment of the Government Regulation No. 43 2015 related to the hierarchy of GR No. 43 2015, which is under the Notary Public Law and its changes. However, the current concept of confidentiality term is no longer absolute in nature. This study aimed to find out the responsibility of the Notary Public as Reporting party and the legal protection for the notary public due to a charged responsibility as Reporting party. This research is a juridical normative with descriptive analytic design and qualitative analysis method. This research result noted that the responsibility of the Notary as a Reporting Party consists of implementing the principles of Due Dilligence, reporting Suspicious Financial Transactions to the PPATK, and storing related documents of Suspicious Financial Transactions reports. For a Notary who does his her responsibility as a reporting party in the absence of the element of abuse of authority, then legally guaranteed the confidentiality of the identity and legal protection of not to be prosecuted either in civil or criminal court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48636
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Hanafi
"Permasalahan dalam penelitian ini mencakup pengaturan kewajiban pelaporan advokat kepada PPATK terhadap klien dengan indikasi transaksi keuangan mencurigakan, kedudukan advokat dalam posisinya sebagai pelapor sekaligus menjaga kerahasiaan klien, serta bagaimana seharusnya pengaturan pelaporan advokat terhadap PPATK. Peneletian ini menggunakan metode yuridis-normatif dengan melihat norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang Advokat, dan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hasil penelitian tesis ini yaitu pengaturan kewajiban advokat kepada PPATK diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2010 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2021. Profesi advokat tidak ditegaskan dalam Undang-Undang TPPU, melainkan pada Peraturan Pemerintah. Sementara itu, kedudukan advokat dari segi etika harus mengesampingkan kode etik advokat dalam perkara TPPU. Dari segi peraturan perundang-undangan, kedudukan advokat dapat melakukan pelaporan terhadap kliennya dengan didasari keyakinan kuat bahwa aset milik kliennya diperoleh dengan cara ilegal. Seharusnya, dalam pengaturan kewajiban pelaporan advokat dalam perkara TPPU dicantumkan dalam aturan setingkat undang-undang serta juga ditegaskan pengecualian atau pengkhususan atas kode etik profesinya sehingga menjadi jelas batas-batasnya.

The problems in this study include the regulation of the obligation to report advocates to PPATK against clients with indications of suspicious financial transactions, the position of advocates in their position as reporters while maintaining client confidentiality, and how should the arrangement of reporting advocates to PPATK. This research uses the juridical-normative method by looking at the legal norms contained in the legislation, especially the Law on Advocates, and the Law on the Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering. The result of this thesis research is that the regulation of the obligation of advocates to PPATK is regulated in Law Number 18 of 2010 in conjunction with Government Regulation Number 61 of 2021. The profession of advocate is not defined in the Money Laundering Law, but in a Government Regulation. Meanwhile, the position of an advocate in terms of ethics must override the code of ethics for advocates in Money Laundering cases. In terms of laws and regulations, the position of an advocate can report to his client based on a strong belief that his client's assets were obtained illegally. Supposedly, in the regulation of the obligation to report advocates in money laundering offenses cases, it should be included in the rules at the level of the law and also emphasized the exceptions or specializations of the professional code of ethics so that the boundaries are clear."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sujarwo
"Tesis ini membahas tentang Strategi Nasional Pcncegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia. Menyadari bahwa ancaman tindak pidana pcncucian uang sebagai kejahatan serius yang dapat mengganggu stabilitas perekonomian dan integritas sistcm keuangan serta mengamcam kepentingan nasional, berdampak luas dan membahayakan scndiwsendi kehidupan bcrmasyarakat, bcrbangsa. dan bemcgara, maka upaya pencegahan dan pcmbcrantasan harus dilakukan melalui langkah-langkah konseptual dan menyeluruh melalui sebuah strategi nasiorml yang melibatkan scmua unsur kehidupan berbangsa dan bernegara, Strategi Nasional Pcncegahan dan Pcmberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia mcntpakan kcbijaknn nasional yang dirumuskan dan digunakan sebagai arah kebijakan dalam kcrangka pengembangan Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia. Hasil penelitian ini menyarankan bahwa, dalam upaya pelaksanaan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di lndoacsin yang efektif maka kerjasama yang sangal baik diantara instansi terkait yang meliputi penyedia jasa kcuangan, PPATK, otoritas Iembaga keuangan, Kepolisian, Kejaksaan dan Pcngadilan, scrta dukungan pcnuh dari seluruh masyarakat Indonesia rnerupakan modal utama yang sangat diperlukan schingga diharapkan berdampak positif khususnya bagi upaya Pcnccgahan dan Pcmberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia dan perkcmbangan perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

This thesis discusses the National Strategy for Prevention and Eradication Money Laundering in Indonesia. Realizing that the threat of money laundering as an extraordinary -crime that can disrupt economic stability and integrity of the financial system and also threaten the national interest. it can cause wide spread effect and endanger lives of society, nation, and state, then the prevention and eradication efforts must be made through the conceptual steps and through a comprehensive national strategy involving all elements of national and state. National Strategy for Prevention and Eradication of Money Laundering in Indonesia is the national policy Is formulated and used as the direction of policy within the framework of the development of Anti Money Laundering Regime: in lndonesia. The results of this study suggest that, in an effort to the lmplementation of the National Strategy on Prevention and Eradication Money Laundering in Indonesia that are effective, then the very good cooperation among relevant agencies including providers of financial services. INTRAC, the authority of financial institutions, police judiciary and courts, and the full support of the entire people of Indonesia is the main capital that is necessary so that the expected positive impact, especially for the efforts on the Prevention and Eradication of Money Laundering in Indonesia and the development of the Indonesian economy."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T33703
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Atin Sri Pujiastuti
"Penelitian ini berfokus pada implementasi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dilaksanakan oleh Bank X. Disini, penulis mendeskripsikan dan menganalisa kepatuhan penerapan peraturan-peraturan mengenai TPPU yang dilaksanakan oleh Bank X guna mencegah dan memberantas TPPU. Peneliti berusaha mencari tahu hambatan-hambatan yang muncul dalam melaksanakan implementasi Undang-Undang tersebut serta strategi apa saja yang digunakan untuk mengatasi kendala tersebut.
Hasil penelitian menggambarkan adanya kepatuhan penerapan Undang-Undang pencegahan dan pemberantasan TPPU yang dilaksanakan oleh Bank X. Kepatuhan tersebut meliputi kepatuhan dalam penerapan CDD, Penerapan program pelatihan berkelanjutan mengenai Anti-Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU/PPT), Kepatuhan meratifikasi UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, Kepatuhan penerapan Unit Kerja Khusus.
Penulis juga menemukan kendala-kendala yang dihadapi oleh Bank X yakni kendala internal dan kendala eksternal. Kendala Internal yang dihadapi adalah Keterbatasan SDM tersebut terdapat pada Kantor Cabang Bank X dimana tidak memiliki unit kerja khusus tetapi Independent Unit karyawan Bank yang merangkap tugas dan perannya sebagai unit kerja khusus. Padahal, berdasarkan aturan PBI No. 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum mewajibkan setiap Bank memiliki unit kerja khusus dan memiliki:1) pegawai yang menjalankan fungsi unit kerja khusus; atau 2) pejabat yang mengawasi penerapan program APU dan PPT.
Selanjutnya, kendala eksternal yakni terbatasnya tenaga pengawas bank Indonesia., terbatasnya tenaga pengawas PPATK, banyaknya jenis pelapor yang harus diawasi oleh PPATK meliputi 21 jenis Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dan 5 jenis Penyedia Barang/Jasa, treatment pengawasan yang disesuaikan dengan kondisi pelapor baik PJK maupun Penyedia Barang/Jasa. Ketiga, Kurangnya cooperative nasabah/calon nasabah dalam memberikan informasi yang benar serta melengkapi sejumlah dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

This research focuses on the implementation of the ACT on the prevention and eradication of the crime of money laundering (TPPU) implemented by the ?X? Bank . here, the author describes and analyzes the compliance of implementing the rules about TPPU implemented by the ?X? Bank in order to prevent and eradicate TPPU. Researchers are trying to figure out the obstacles that appear in the implementation of the ACT and what are the strategies used to overcome these barriers.
Results of the study has described about the existence of compliance in the application of the prevention and eradication ACT (TPPU) implemented by the ?X? Bank. This compliance includes the implementation of CDD, implementation of sustainable training programmes on Anti-money laundering and Terrorism Funding Prevention (APU/PPT), compliance to ratify the ACT of TPPU, compliance of application of special work unit. The author also find some obstacle faced by the ?X? Bank that is internal and external constraints.
The internal constraints that faced is the limited human resource at the branch office of the ?X? Bank which is hasn?t special work unit but independent unit of Bank employee that work doubles at their task and role as a special work unit.
Furthermore, external constraint is the limited supervisory labour of the main Bank og Indonesia (BI), limited supervisory labour of the Central reporting and analysis of financial transactions (PPATK). The excessive number of reporters who must be supervised by the ppatk include 21 kinds of financial Service Providers (PJK) and 5 types of goods/services providers. The last is obstacle from the customer that lack of cooperative in providing true information as well as a willingness in case to complete a number of documents in accordance with the valid regulation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T39213
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Wening Sahati
"Tindak pidana pencucian tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem keuangan serta sistem perekonomian, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Penelitian ini akan membahas mengenai peran Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) dalam mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang dan perlindungan hukum apabila pengguna jasanya terlibat dalam tindak pidana tersebut dengan memanfaatkan jasa Notaris dan PPAT. Penelitian dilakukan dengan melakukan analisa terhadap kasus seorang mantan Direktur perusahaan penerbangan yang terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang yang salah satu transaksinya menggunakan jasa PPAT. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dan dokumenter. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Peran Notaris dan PPAT dalam mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang yaitu dengan melaksanakan kewajiban pelaporan, serta perlindungan hukum bagi Notaris dan PPAT Pihak Pelapor tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun secara pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporan dari pihak pelapor berdasarkan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini menyarankan Notaris dan PPAT dalam menjalankan tugas dan jabatannya melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan tugasnya serta diperlukannya pengaturan yang memberikan kepastian hukum agar Notaris dan PPAT optimal dalam hal menjaga kerahasiaan akta berdasarkan Undang-Undang dan Kode Etik Profesi, serta sekaligus kooperatif dalam melaksanakan kewajiban pelaporan berdasarkan peraturan perundang-undangan

Money laundering not only threatens the stability and integrity of the financial system and the economic system but also can endanger the joints of the life of the nation and state. This research will discuss the role of the Notary and Land Deed Making Authorities ("PPAT") in preventing money laundering and legal protection if the service user is involved in the crime by utilizing the services of a Notary and PPAT. The study was conducted by analyzing the case of a former airline director who was convicted of a money laundering crime in which one of the transactions used PPAT services. The research method used in this research is normative juridical with an analytical descriptive approach. Data collection techniques used are library and documentary studies. The results of the study concluded that the role of the Notary and PPAT in preventing the occurrence of money laundering is to carry out reporting obligations, and legal protection for Notaries and PPAT of the Reporting Party cannot be prosecuted both civil and criminal for the implementation of reporting obligations of the reporting party based on the laws and regulations invitation. This research recommends that the Notary and PPAT carry out the prudential principles in carrying out their duties and positions and require regulations that provide legal certainty so that the Notary and PPAT are optimal in terms of maintaining the confidentiality of the deed based on the Law and the Professional Ethics Code, as well as being cooperative in carrying out reporting obligations based on statutory regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Rahayu
"Pentingnya kewajiban pelaporan ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis empiris berupa studi kepustakaan dan wawancara dengan narasumber. Penelitian bertujuan untuk menjawab permasalahan: Bagaimana pengenaaan sanksi administratif bagi bank yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan berdasarkan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang? Bilamana bank sebagai penyedia jasa keuangan yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan berdasarkan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dapat dikenakan sanksi pidana karena melakukan tindak pidana pencucian uang? dan Apakah kendala yang dihadapi PPATK untuk menarik bank sebagai penyedia jasa keuangan sebagai pihak yang terlibat dalam tindak pidana pencucian uang?
Dalam rezim anti pencucian uang di Indonesia, berdasarkan ketentuan Pasal 25 ayat (4) UU TPPU jo Pasal 30 ayat (1) UU TPPU, pengenaan sanksi administratif bagi bank yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan baik berdasarkan hasil pengawasan kepatuhan yang dilakukan oleh Bank Indonesia maupun oleh PPATK dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas yang berwenang. Selanjutnya, jika terdapat indikasi tindakan pencucian uang, harusnya bank dapat pula dikenakan sanksi pidana oleh penegak hukum.
Namun dalam pelaksanaannya PPATK memiliki beberapa kendala untuk menarik bank sebagai pihak yang terlibat dalam tindak pidana Pencucian Uang. Kendala pertama adalah regulasi yang dibuat lebih mementingkan bank taat pada sistem dan prosedur sehingga pengenaan sanksi pidana akan menjadi pilihan terakhir serta masih kurang jelas dan tegasnya aturan pelaksanaan dalam pengenaan sanksi. Kendala kedua adalah belum adanya kesatuan pandangan organisasi yang menegakan hukum mengenai kapan bank terindikasi tindak pidana pencucian uang. Kendala ketiga adalah budaya masyarakat perbankan yang memiliki kepentingan bisnis sedapat mungkin tidak ingin terganggu karena pelaporan kepada PPATK.

The importance of reporting obligation is stated in Law Number 8 Year 2010 concerning the Prevention and Eradication of Money Laundering. The research was conducted by using empirical juridical research method with literature study and interview. The research aims to answer some questions: How does the imposition of administrative sanctions for banks that do not implement the reporting obligations based on The Law Number 8 year 2010 Concerning the Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering? what If a bank as a financial service provider that does not implement the reporting obligations based on the Law Number 8 year 2010 Concerning the Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering can be gotten penalties or may be imposed for a criminal offense of money laundering? and what’s the obstacle will faced by PPATK to attract banks as financial service providers as those involved in money laundering?
In the regime of anti-money laundering in Indonesia, under the provisions of Article 25 paragraph (4) in conjunction with Article 30 paragraph (1) based on The Law Number 8 year 2010 Concerning the Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering, imposition of administrative sanctions for banks which do not obey on duty reporting based on results of compliance monitoring conducted by Bank of Indonesia in spite of PPATK, in this case Bank of Indonesia as the competent authority. Furthermore, if there are any indications of money laundering, the bank should also be sanctioned by criminal law enforcement.
But in practice, PPATK has some obstacles to attract banks as parties to the crime of Money Laundering. Firstly, the regulation was created more consider important banks to obedient to the systems and procedures, so that the imposition of criminal sanctions would be the last option as well as still less clear and explicit of rules to implementation the sanctions. Secondly, the same view of organization in law enforcement about when the banks do not implement the reporting obligation it can be subjected to criminal sanctions. Thirdly, the bank users do not want the disruption of the bank for reporting to PPATK.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32513
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ayman
"Peer to peer lending adalah salah satu layanan fintech dengan pertumbuhan tercepat di dunia yang menawarkan kesempatan bagi orang untuk meminjamkan dan meminjam dana dari dan untuk orang yang tidak dikenal tanpa proses yang rumit. Oleh karena itu, transaksi peer to peer (P2P) lending dapat menarik praktik Money Laundering (ML) dan telah terdeteksi di beberapa negara, termasuk Indonesia dan Swiss. Pemilihan Switzerland karena perkembangan peer to peer lending yang serupa dengan Indonesia. Dalam penelitian ini, penelitian akan mengetahui tanggung jawab, persamaan, dan perbedaan peer to peer lending dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Metodologi yang digunakan adalah yuridis normatif, khususnya menggunakan micro comparison dengan 4 indikator yang akan dibandingkan antara lain landasan hukum komitmen P2P untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, identifikasi nasabah sebelumnya, pemantauan transaksi, dan pelaporan transaksi mencurigakan yang akan dibandingkan dalam 2 negara. Berdasarkan penelitian, persamaan di Indonesia dan Swiss untuk peer to peer lending antara lain kewajiban mengikuti aturan pencegahan anti TPPU, kewajiban menerapkan prinsip mengenal nasabah, uji tuntas lebih lanjut, penerapan elektronik mengenal nasabah, mendeteksi nasabah dengan profil mencurigakan, pengungkapan teknologi untuk pencatatan, pelaporan wajib transaksi mencurigakan, pelaporan praktis ke Financial Intelligence Unit, dan penggunaan GO-AML. Perbedaannya terletak pada tidak adanya peraturan khusus yang ada di Swiss, pengecualian untuk uji tuntas awal pada pelanggan tertentu di Swiss, dasar pelaporan transaksi mencurigakan di Swiss, pencatatan teknis, waktu penyimpanan data mantan pelanggan, batas waktu, dan alasan pelaporan transaksi mencurigakan.

Peer to peer lending is one of the fastest growing fintech services in the world that offers the opportunity for people to lend and borrow funds from strangers without a complicated process. Therefore, peer to peer (P2P) lending transactions can attract the practice of Money Laundering (ML) and it has been detected in several countries, including Indonesia and Switzerland. Switzerland is chosen due to similar development of peer to peer lending with Indonesia. In this study, the research would find out the responsibility, similarity, and differences of peer to peer lending in preventing and eradicating money laundering. The methodology used is juridical normative, specifically using micro comparison with 4 indicators that will be compared including the legal basis for P2P commitments to prevent and eradicate money laundering, prior identification of customers, transaction monitoring, and reporting of suspicious transactions that will be compared in the 2 countries. Based on the research, the similarities in Indonesia and Switzerland for peer to peer lending include the obligation to follow the anti-ML prevention regulations, the obligation to implement the know your customer principle, further due diligence, implementation of electronic know your customer, detecting customers with suspicious profiles, technology disclosure for record keeping, mandatory reporting of suspicious transactions, reporting the practice to the Financial Intelligence Unit, and the use of GO-AML. The difference lies in the absence of specific regulations that do not exist in Switzerland, exceptions for initial due diligence on certain customers in Switzerland, the basis for reporting suspicious transactions in Switzerland, technical record keeping, ex-customer data retention times, time limits, and reasons for reporting suspicious transactions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>