Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 157187 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Robby Hertanto
"Latar Belakang: Pemberian Tamoksifen pada kanker payudara secara terusmenerus dapat mengakibatkan terjadinya resistensi, salah satunya melaluioverekspresi Pgp dan BCRP yang merupakan transporter efluks obat. Penelitian inibertujuan untuk membuktikan apakah kurkumin dapat menghambat ekspresi mRNAPgp dan BCRP sehingga tidak terjadi resistensi.
Metode: Penelitian dilakukan secaraeksperimental pada 4 kelompok perlakuan terhadap galur sel kanker payudara MCF-7: DMSO sebagai kontrol negatif, Endoksifen 1,000 nM/L ?-Estradiol 1 nM/Lsebagai kontrol positif, serta penambahan perlakuan kurkumin 8.5 ?M dan kurkumin17 ?M terhadap kontrol positif sebagai kelompok intervensi. Tingkat ekspresimRNA kemudian diukur relatif terhadap ?-aktin dengan qRT-PCR dan dihitungdengan metode Livak.
Hasil: Terdapat penurunan ekspresi mRNA pada keduaparameter dan bergantung pada konsentrasi dengan rasio 1, 7.049, 1.967, dan 0.133secara berurutan p=0.02 untuk Pgp serta rasio 1, 3.848, 2.131, dan 1.232 secaraberurutan p=0.04 untuk BCRP.
Kesimpulan: Kurkumin dapat menekan ekspresimRNA Pgp dan BCRP secara dependen terhadap konsentrasi.

Background: Tamoxifen continous intervention on breast cancer could causeresistance, which one of the pathway is by overexpressing the drug efflux transporterPgp and BCRP. This study is conducted to test whether curcumin could suppress theexpression of Pgp and BCRP mRNA and prevent drug resistance.
Method: Breastcancer cell line MCF 7 is divided into 4 intervention DMSO as negative control,Endoxifen 1,000 nM L Estradiol 1 nM L as positive control, also the addition ofcurcumin 8.5 M and 17 M on top of the positive control as the intervention group.Expression of mRNA is quantified by qRT PCR and calculated by Livak method.
Result: There is a significant decrease in mRNA expression on both parameter andare consentration dependant with the ratio of 1, 7.049, 1.96, and 0.133 respectivelyfor Pgp p 0.02 and 1, 3.848, 2.131, and 1.232 respectively for BCRP p 0.04.
Conclusion: Curcumin could suppress the expression of Pgp and BCRP mRNAdependent on the consentration.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70440
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wilson Bastian
"Kurkumin diketahui dapat menghambat drug efflux transporter, khususnya pada penelitian ini overekspresi multidrug resistance protein 1 MRP1 dan MRP2, yang berdasarkan penelitian terdahulu, diduga menyebabkan resistensi MCF-7 pada pemberian endoksifen dan estradiol berulang. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah kurkumin dapat menghambat ekspresi MRP1 dan MRP2 pada MCF-7 yang diberikan endoksifen dan estradiol berulang.
Metode: Penelitian eksperimental ini menggunakan cDNA hasil sintesis isolasi RNA, dimana kelompok perlakuan dipaparkan pada MCF-7 3x per minggu, hingga 8 minggu. Perlakuan dibagi menjadi DMSO kontrol negatif , Endoksifen 1,000 nM/L ?-Estradiol 1 nM/L EB, kontrol positif , Endoksifen 1,000 nM/L ?-Estradiol 1 nM/L Kurkumin 8.5?M EBK8.5, dan Endoksifen 1,000 nM/L ?-Estradiol 1 nM/L Kurkumin 17?M EBK17 . Tingkat ekspresi mRNA relatif MRP1 dan MRP2 diukur dengan qRT-PCR dan dihitung dengan metode livak.
Hasil: Terdapat peningkatan ekspresi mRNA pada perlakuan EB pada MRP1 dan MRP2, relatif terhadap DMSO. Peningkatan ekspresi mRNA meningkat pada EBK8.5, dan menurun pada EBK17 pada MRP1. Terjadi sebaliknya pada MRP2.
Kesimpulan: Kurkumin dapat bekerja sebagai terapi pendamping pada terapi endoksifen dan estradiol untuk menurunkan resistensi dari MRP1 dan MRP2.

Background: Curcumin is known to inhibit drug efflux transporter overexpression, such as multidrug resistance protein 1 MRP1 dan MRP2, which in previous experiment, suspected as a causal of MCF 7 cell resistancy given endoxifen and estradiol repeatedly. This study aims to prove whether curcumin can inhibit expression of MRP1 and MRP2 in MCF 7 given endoxifen and estradiol repeatedly.
Method: This experimental design uses cDNA from RNA isolation synthesis, which treatment group given repeatedly on MCF 7 3x per week until 8th week. The treatment groups are DMSO negative control, Endoxifen 1,000 nM L Estradiol 1 nM L EB, positive control, Endoxifen 1,000 nM L Estradiol 1 nM L Curcumin 8.5 M EBK8.5, and Endoxifen 1,000 nM L Estradiol 1 nM L Curcumin 17 M EBK17. Relative mRNA expression in MRP1 and MRP2 is measured with qRT PCR and quantified with Livak method.
Result: There is an increased mRNA expression in treatment of EB in MRP1 and MRP2, relative to DMSO. Increased mRNA expression is higher on EBK8.5, and lower on EBK17 in MRP1, and conversely in MRP2.
Conclusion: Curcumin could work as adjuvant for Endoxifen and Estradiol therapy to decrease resistancy caused by mRNA expression of MRP1and MRP2.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paramita
"ABSTRAK
Latar Belakang: Endoksifen merupakan terapi baru pada pengobatan sel kanker payudara yang responsif terhadap endokrin. Studi terdahulu menunjukkan bahwa paparan endoksifen jangka panjang dapat menyebabkan resistensi melalui mekanisme Epithelial-Mesenchymal Transition (EMT). EMT adalah sebuah proses dimana suatu sel epithelial berubah menjadi sel mesenkimal. Proses EMT ditandai dengan adanya modulasi marker-marker epitelial seperti E-cadherin, vimentin dan TGF-β1. Berbagai penelitian telah menunjukan bahwa paparan singkat kurkumin dapat memperbaiki marker-marker EMT. Namun, kurkumin memiliki keterbatasan karena bioavailabilitasnya yang rendah. Oleh karena itu, pada penelitian ini kami menggunakan nanokurkumin untuk mencegah jalur EMT.
Metode: ini merupakan penelitian in vitro menggunakan sel MCF-7. Kami membagi sel menjadi beberapa kelompok yaitu: Endoksifen 1000 nM+β-estradiol 1 nM, Endoksifen 1000 nM+β-estradiol 1 nM + nanokurkumin (8.5 μM dan 17 μM), Endoksifen 1000 nM+β-estradiol 1 nM+kurkumin 17 μM dan DMSO selama 8 minggu. Sel kemudian dipanen dan dihitung setiap minggu. Setelah minggu ke-4 dan ke-8 paparan, ekspresi E-cadherin, TGFβ1 dan vimentin diukur menggunakan two-step qRT PCR. Pada minggu ke-8, kadar protein TGF-β1 diukur dengan ELISA, sementara morfologi sel MCF-7 diamati menggunakan mikroskop konfokal.
Hasil: Terdapat peningkatan viabilitas sel pada kelompok Endoksifen 1000 nM+β-estradiol 1 nM. Viabilitas sel menurun secara signifikan pada kelompok nanokurkumin dan kurkumin 17 μM, tetapi tidak pada kelompok nanokurkumin 8.5 μM. Analisis marker EMT pada minggu ke-8 menunjukkan terdapat peningkatan ekspresi mRNA vimentin dan TGF-β1 sementara ekspresi mRNA E-cadherin dan kadar protein TGF-β1 tampak menurun. Hasil menunjukkan bahwa pemberian nanokurkumin pada semua dosis tidak mampu memperbaiki ekspresi vimentin, TGF-β1, dan E-cadherin. Tidak tampak perbedaan yang signifikan antara nanokurkumin dan kurkumin terhadap modulasi marker-marker EMT pada sel kanker payudara yang dipaparkan endoksifen berulang. Pengamatan morfologi menggunakan mikroskop konfokal menunjukkan adanya sel mesenkimal baik pada kelompok endoksifen+β-estradiol maupun kelompok yang mendapat nanokurkumin/kurkumin.
Kesimpulan: nanokurkumin tidak mampu mencegah aktivasi EMT walaupun dapat menurunkan viabilitas sel pada penggunaan jangka panjang. Meskipun nanokurkumin lebih terakumulasi di dalam sel. tidak tampak perbedaan potensi dibandingkan dengan kurkumin dalam menurunkan marker EMT.

ABSTRACT
Background: Endoxifen is a novel therapy in the treatment of endocrine responsive type of breast cancer. Previous study showed that long-term exposure of endoxifen may lead to resistance through the mechanism of Epithelial-Mesenchymal Transition (EMT). EMT is a process where epithelial cells turn into mesenchymal cells. EMT is characterized by the modulation of epithelial markers such as E-cadherin, vimentin and TGF-β. Various studies have shown that short term treatment with curcumin may improve EMT markers. However, the efficacy of curcumin is limited by its low bioavailability. In this study, we use nanocurcumin to prevent the activation of EMT.
Methods: This is an in vitro study in MCF-7. We exposed the cells to several groups, which are: endoxifen 1000nM + β-estradiol 1 nM, endoxifen 1000nM + β-estradiol 1 nM + nanocurcumin (8.5 μM and 17 μM), endoxifen 1000nM + β-estradiol 1 nM + curcumin 17 μM and DMSO, for 8 consecutive weeks. Cells were then harvested and counted weekly. After 4 and 8 weeks of treatments, E-cadherin, TGF-β and vimentin expressions were measured using a two-step qRT PCR. At week 8, protein level of TGF-β1 was measured by ELISA, while MCF-7 cell morphology was observed using confocal microscope.
Results: MCF-7 cell viability was increased in endoxifen + β-estradiol group. Cell viability was significantly decreased in nanocurcumin and curcumin 17 μM, but not in nanocurcumin 8.5 μM group. Analysis of EMT markers at week 8 indicates that there were increase in vimentin and TGF-β mRNA expressions, while E-cadherin mRNA expressions and TGF-β1 protein concentrations were shown to decrease. The results showed that administration of nanocurcumin in all the dose administered were incapable improving the expressions of vimentin, TGF-β1 and E-cadherin. There were no significant differences between nanocurcumin and curcumin on the modulation of EMT?s markers in breast cancer cells exposed to repeated endoxifen and estradiol. Morphological observation using confocal microscope showed the presence of mesenchymal cells both in the endoxifen+β-estradiol group and the group given nanocurcumin/curcumin.
Conclusion: nanocurcumin is incapable to prevent the activation of EMT, although it may reduce cell viability on a long-term use. Although nanocurcumin are more accumulated in the cells, they show no difference in efficacy compared with curcumin in reducing EMT markers.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mimi Yosiani Permana
"Latar belakang: Terjadinya penurunan sensitivitas sel kanker terhadap doksorubisin merupakan masalah yang terjadi pada terapi metastatic breast cancer. Salah satu penyebab turunnya sensitivitas sel kanker payudara terhadap doksorubisin adalah overekspresi transporter efluks BCRP. Penambahan silimarin, suatu senyawa golongan flavonoid diketahui memiliki efek antikanker dan penghambat BCRP, diharapkan dapat meningkatkan kembali sensitivitas sel kanker terhadap doksorubisin.
Metode: Doksorubisin dipaparkan pada sel sel kanker payudara, MCF-7 selama 14 hari, kemudian dianalisis perubahan sensitivitas sel terhadap doksorubisin dengan melihat persentase sel hidup dan ekspresi mRNA BCRP. Pada sel tersebut, silimarin diberikan dalam dosis 10/25/50/100 μM dengan atau tanpa doksorubisin 0,1 mM selama 7 hari dan dianalisis persentase sel hidup dan ekspresi mRNA BCRP pada hari ke-3 dan ke-7. Ritonavir 19 μM digunakan sebagai kontrol positif penghambat BCRP.
Hasil: Pajanan doksorubisin 0,1 μM selama 14 hari, menurunkan sensitivitas sel MCF-7 terhadap doksorubisin (MCF-7/Dox) dibuktikan dengan terjadinya pergeseran CC50 sebesar 9,5 kali, peningkatan persentase sel hidup, dan ekspresi mRNA BCRP sebesar 9,7 kali. Silimarin berbagai konsentrasi yang dikombinasikan dengan doksorubisin 0,1 mM mampu menurunkan persentase sel hidup secara bermakna pada hari ke-3 dan ke-7 yang disertai dengan penurunan ekspresi mRNA BCRP. Silimarin tunggal yang diberikan tanpa doksorubisin, tidak mampu menurunkan persentase sel hidup walaupun terjadi penurunan ekspresi mRNA BCRP yang bermakna.
Kesimpulan: Kombinasi doksorubisin dan silimarin dapat meningkatkan sensitivitas sel MCF-7 terhadap doksorubisin. Peningkatan sensitivitas tersebut terjadi melalui penghambatan ekspresi mRNA BCRP oleh silimarin. Kombinasi doksorubisin dengan silimarin diharapkan dapat menjadi kandidat obat sebagai cochemotherapy metastasis kanker payudara yang sudah mengalami penurunan sensitivitas."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisana Sidqi Aliya
"Latar Belakang: Sel punca kanker merupakan populasi sel minor yang memiliki kemampuan self-renewal dan proliferasi tak terbatas sehingga bersifat tumorigenik dan diduga berperan dalam penurunan sensitivitas terhadap berbagai terapi kanker. Tamoksifen merupakan terapi lini pertama pada kanker payudara ER positif namun penggunaan jangka panjangnya menimbulkan masalah resistensi. Beberapa faktor yang diduga berperan dalam penurunan sensitivitas sel terhadap Tamoksifen yakni modulasi pensinyalan estrogen melalui ER?66; dan ER?36 (yang diketahui memperantarai pensinyalan non-genomik), serta ekspresi transporter effluks seperti MRP2 yang berperan dalam penurunan kadar Tamoksifen intraseluler. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek pemaparan Tamoksifen berulang pada sel punca kanker payudara CD24-/CD44+, dalam kaitannya mengenai sensitivitas terapi melalui perubahan ekspresi estrogen reseptor alfa dan transporter efluks MRP2.
Metode: Selpunca kanker payudara CD24-/CD44+ dipaparkan Tamoksifen 1 ?M selama 21 hari dengan DMSO sebagai kontrol negatif. Viabilitas sel setelah pemaparan Tamoksifen diuji dengan metode trypan blue exclusion. Sifat tumorigenik sel setelah pemaparan (CD24-/CD44+(T)) diuji dengan mammossphere formation assay dan dibandingkan dengan sel CD24-/CD44+(0) yang belum dipaparkan Tamoksifen. Ekspresi mRNA Oct4, c-Myc, ER?66, ER?36 dan MRP2 dianalisis dengan one step quantitative RT-PCR.
Hasil: Terjadi penurunan sensitivitas sel punca kanker payudara CD24-/CD44+(T) yang dipaparkan Tamoksifen selama 21 hari yang ditunjukkan dengan kenaikan viabilitas sel hingga 125,2%. Tamoksifen tidak dapat menekan sifat tumorigenik sel CD24-/CD44+(T) yang dibuktikan melalui jumlah mammosfer yang tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan CD24-/CD44+(0). Penurunan sensitivitas sel CD24-/CD44+(T) juga dibuktikan melalui peningkatan ekspresi Oct4 dan c-Myc; keduanya merupakan petanda pluripotensi dan c-Myc juga dikenal sebagai petanda keganasan. Parameter penurunan sensitivitas seperti ER?66, ER?36 dan MRP2 juga menunjukkan peningkatan ekspresi pada hari ke-15 namun menurun kembali pada hari ke-21 yang menunjukkan adanya mekanisme regulasi lain yang mungkin terlibat dalam penurunan sensitivitas sel punca kanker payudara terhadap Tamoksifen.
Kesimpulan: Pemaparan Tamoksifen berulang dapat menurunkan sensitivitas sel punca kanker payudara CD24-/CD44+ melalui perubahan ekspresi estrogen reseptor alfa dan transporter efluks MRP2.

Background: Cancer stem cells are minor population of cells possessing self-renewal and unlimited proliferation abilities which support their tumorigenicity and role in decreased sensitivity to many cancer therapies. Tamoxifen is a first line therapy for breast cancer patients with positive ER status. Nonetheless, after 5 years of its long term use eventually leads to recurrence and resistance in 50% of patients receiving tamoxifen therapy. Among some factors that might play role in decreased sensitivity to tamoxifen are modulation of estrogen signaling through ER?66 and ER?36 (the latter known for its non-genomic estrogen signaling), and expression of efflux transporter such as MRP2 responsible for decreased intracellular tamoxifen level. The objective of this study is to analyze the effects of long term tamoxifen exposure toward decreased sensitivity of the breast cancer stem cells CD24-/CD44+ through changes in expression of estrogen receptor alpha and efflux transporter MRP2.
Methods: Breast cancer stem cells CD24-/CD44+ were exposed to 1 ?M tamoxifen for 21 days with DMSO as negative control. After exposure with 1 ?M tamoxifen, the cell viability were tested by the trypan blue exclusion method. Cell tumorigenicity of tamoxifen-exposed CD24-/CD44+(T) and CD24-/CD44+(0) (before treatment) were tested by the mammosphere formation assay. The expression of Oct4, c-Myc, ER?66, ER?36 andMRP2 mRNAs were analyzed by one step quantiative RT-PCR.
Results: A decreased sensitivity of the breast cancer stem cells CD24-/CD44+ exposed with 1 ?M tamoxifen for 21 days was observed as indicated by an increased cell viability up to 125.2%. In the presence of tamoxifen, breast cancer stem cells CD24-/CD44+(T) exhibited tumorigenic properties as indicated in no significant difference in the formation of mammosphere unit compared to those of CD24-/CD44+(0). After exposure with 1 ?M tamoxifen for 21 days, an elevated level of Oct4 and c-Myc expressions were observed; both are known as pluripotency markers and the latter also known as marker of aggresiveness. Parameters for a decreased sensitivity such as ER?66, ER?36 and MRP2 also exhibited an elevated expression after 15 days of exposure, but the decreased expression after 21 days of exposure suggests that there might be another mechanism involved in decreased sensitivity of the breast cancer stem cells toward tamoxifen.
Conclusion: Long term tamoxifen exposure may decrease the sensitivity of the breast cancer stem cells CD24-/CD44+ through changes in expression of estrogen receptor alpha and efflux transporter MRP2.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisana Sidqi Aliya
"Latar Belakang: Sel punca kanker merupakan populasi sel minor yang memiliki kemampuan self-renewal dan proliferasi tak terbatas sehingga bersifat tumorigenik dan diduga berperan dalam penurunan sensitivitas terhadap berbagai terapi kanker. Tamoksifen merupakan terapi lini pertama pada kanker payudara ER positif namun penggunaan jangka panjangnya menimbulkan masalah resistensi. Beberapa faktor yang diduga berperan dalam penurunan sensitivitas sel terhadap Tamoksifen yakni modulasi pensinyalan estrogen melalui ERα66; dan ERα36 (yang diketahui memperantarai pensinyalan non-genomik), serta ekspresi transporter effluks seperti MRP2 yang berperan dalam penurunan kadar Tamoksifen intraseluler. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek pemaparan Tamoksifen berulang pada sel punca kanker payudara CD24-/CD44+, dalam kaitannya mengenai sensitivitas terapi melalui perubahan ekspresi estrogen reseptor alfa dan transporter efluks MRP2.
Metode: Selpunca kanker payudara CD24-/CD44+ dipaparkan Tamoksifen 1 μM selama 21 hari dengan DMSO sebagai kontrol negatif. Viabilitas sel setelah pemaparan Tamoksifen diuji dengan metode trypan blue exclusion. Sifat tumorigenik sel setelah pemaparan (CD24-/CD44+(T)) diuji dengan mammossphere formation assay dan dibandingkan dengan sel CD24-/CD44+(0) yang belum dipaparkan Tamoksifen. Ekspresi mRNA Oct4, c-Myc, ERα66, ERα36 dan MRP2 dianalisis dengan one step quantitative RT-PCR.
Hasil: Terjadi penurunan sensitivitas sel punca kanker payudara CD24-/CD44+(T) yang dipaparkan Tamoksifen selama 21 hari yang ditunjukkan dengan kenaikan viabilitas sel hingga 125,2%. Tamoksifen tidak dapat menekan sifat tumorigenik sel CD24-/CD44+(T) yang dibuktikan melalui jumlah mammosfer yang tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan CD24-/CD44+(0). Penurunan sensitivitas sel CD24-/CD44+(T) juga dibuktikan melalui peningkatan ekspresi Oct4 dan c-Myc; keduanya merupakan petanda pluripotensi dan c-Myc juga dikenal sebagai petanda keganasan. Parameter penurunan sensitivitas seperti ERα66, ERα36 dan MRP2 juga menunjukkan peningkatan ekspresi pada hari ke-15 namun menurun kembali pada hari ke-21 yang menunjukkan adanya mekanisme regulasi lain yang mungkin terlibat dalam penurunan sensitivitas sel punca kanker payudara terhadap Tamoksifen.
Kesimpulan: Pemaparan Tamoksifen berulang dapat menurunkan sensitivitas sel punca kanker payudara CD24-/CD44+ melalui perubahan ekspresi estrogen reseptor alfa dan transporter efluks MRP2.

Background: Cancer stem cells are minor population of cells possessing self-renewal and unlimited proliferation abilities which support their tumorigenicity and role in decreased sensitivity to many cancer therapies. Tamoxifen is a first line therapy for breast cancer patients with positive ER status. Nonetheless, after 5 years of its long term use eventually leads to recurrence and resistance in 50% of patients receiving tamoxifen therapy. Among some factors that might play role in decreased sensitivity to tamoxifen are modulation of estrogen signaling through ERα66 and ERα36 (the latter known for its non-genomic estrogen signaling), and expression of efflux transporter such as MRP2 responsible for decreased intracellular tamoxifen level. The objective of this study is to analyze the effects of repeated tamoxifen exposure toward decreased sensitivity of the breast cancer stem cells CD24-/CD44+ through changes in expression of estrogen receptor alpha and efflux transporter MRP2.
Methods: Breast cancer stem cells CD24-/CD44+ were exposed to 1 μM tamoxifen for 21 days with DMSO as negative control. After exposure with 1 μM tamoxifen, the cell viability were tested by the trypan blue exclusion method. Cell tumorigenicity of tamoxifen-exposed CD24-/CD44+(T) and CD24-/CD44+(0) (before treatment) were tested by the mammosphere formation assay. The expression of Oct4, c-Myc, ERα66, ERα36 andMRP2 mRNAs were analyzed by one step quantiative RT-PCR.
Results: A decreased sensitivity of the breast cancer stem cells CD24-/CD44+ exposed with 1 μM tamoxifen for 21 days was observed as indicated by an increased cell viability up to 125.2%. In the presence of tamoxifen, breast cancer stem cells CD24-/CD44+(T) exhibited tumorigenic properties as indicated in no significant difference in the formation of mammosphere unit compared to those of CD24-/CD44+(0). After exposure with 1 μM tamoxifen for 21 days, an elevated level of Oct4 and c-Myc expressions were observed; both are known as pluripotency markers and the latter also known as marker of aggresiveness. Parameters for a decreased sensitivity such as ERα66, ERα36 and MRP2 also exhibited an elevated expression after 15 days of exposure, but the decreased expression after 21 days of exposure suggests that there might be another mechanism involved in decreased sensitivity of the breast cancer stem cells toward tamoxifen.
Conclusion: Repeated tamoxifen exposure may decrease the sensitivity of the breast cancer stem cells CD24-/CD44+ through changes in expression of estrogen receptor alpha and efflux transporter MRP2.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vincent Kharisma Wangsaputra
"Karsinoma hepatoseluler merupakan penyebab utama keempatkematian akibat kanker di dunia pada tahun 2018. Namun, kebanyakan pasien baru didiagnosis pada stadium lanjut. Satu-satunya kemoterapi oral untuk karsinoma hepatoseluler stadium lanjut adalah sorafenib, suatu inhibitor multikinase. Salah satu mekanisme yang berkontribusi terhadap resistensi sorafenib adalah modulasi transporter obat. Studi melaporkan efek kemosensitisasi dari alfa-mangostin, suatu xanton yang diekstrak dari Garcinia mangostana Linn., yang memungkinkan penggunaannya sebagai terapi adjuvan. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh alfamangostin terhadap ekspresi mRNA transporter obat pada galur sel HepG2 yang tahan terhadap sorafenib. Sel HepG2 pada awalnya dilakukan pemberian sorafenib 10 μM. Sel yang tahan sorafenib tersebut kemudian dibagi menjadi empat kelompok perlakuan, yaitu dengan DMSO, sorafenib (SOR) 10 μM, alfa-mangostin (AM) 20 μM, dan kombinasi SOR 10 μM-AM 20 μM. Ekspresi mRNA dari transporter obat ABCB1 (P-gp), ABCG2, MRP2, MRP3, OCT1, dan OATP1B3 diperiksa dengan qRT-PCR setelah isolasi RNA dan sintesis cDNA yang dilakukan sebelumnya. Penurunan ekspresi mRNA transporter P-gp diamati pada kelompok SOR+SOR dibandingkan dengan kelompok SOR+DMSO. Sebaliknya, transporter efluks lainnya menunjukkan ekspresi yang lebih tinggi pada kelompok SOR+SOR. Menariknya, dua kelompok yang ditambahkan perlakuan alfa-mangostin (SOR+AM dan SOR+SORAM) menunjukkan ekspresi mRNA MRP2, MRP3, OCT1, dan OATP1B3 yang secara signifikan lebih tinggi (p <0,05) dibandingkan dengan kelompok SOR+DMSO. Secara umum, pemberian alfa-mangostin menyebabkan peningkatan ekspresi mRNA dari semua transporter obat pada penelitian ini. Penafsiran secara cermat tetap diperlukan meskipun terdapat efek akhir pada transporter influks yang cukup besar pada studi ini.

Hepatocellular carcinoma (HCC) is the fourth leading cause of cancer mortality worldwide in 2018. Most patients unfortunately are diagnosed at advanced stage. Hence, the only oral chemotherapy for advanced unresectable HCC is sorafenib, a multikinase inhibitor. One of the mechanisms contributing to sorafenib resistance is drug transporters modulation. Studies reported chemosensitizing effect of alphamangostin, a xanthone extracted from Garcinia mangostana Linn., leading to its use as adjunctive treatment. This study aimed to analyse the impact of alpha-mangostin towards drug transporters’ mRNA expression in sorafenibsurviving HCC HepG2 cell line. HepG2 cells were initially treated with sorafenib 10 μM. The sorafenib surviving cells later were divided into four groups of treatment, namely with vehicle (DMSO), sorafenib (SOR) 10 μM, alpha-mangostin (AM) 20 μM, and combination of SOR 10 μM-AM 20 μM. The mRNA expressions of P-gp, ABCG2, MRP2, MRP3, OCT1, and OATP1B3 drug transporters were examined with quantitative reverse transcriptase-polymerase chain reaction following the RNA isolation and cDNA synthesis. Decreased mRNA expression of P-gp was observed in SOR+SOR group as compared to SOR+DMSO group. In contrast, other efflux transporters showed higher expression in SOR+SOR group. Interestingly, two groups treated with alpha-mangostin (SOR+AM and SOR+SOR-AM groups) showed statistically significant (p<0.05) higher mRNA expression of MRP2, MRP3, OCT1, and OATP1B3 compared to SOR+DMSO group. Generally, alpha-mangostin treatment increased the mRNA expression of all the drug transporters in the present study. Cautious interpretation was nonetheless required despite the considerable net effect on uptake transporters.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deliana Nur Ihsani Rahmi
"

Latar Belakang: Nefrotoksisitas adalah salah satu faktor pembatas utama pengobatan menggunakan cisplatin, dengan basis patofisiologi berupa kematian sel tubulus ginjal pada paparan cisplatin. Efek samping ini cukup umum, yakni terjadi pada satu dari tiga pasien yang menjalani pengobatan dengan cisplatin. Sebuah proses penting yang memperantarai akumulasi cisplatin didalam sel tubulus ginjal adalah transporter-mediated uptake. Dua transporter membran yang telah diketahui terlibat didalam akumulasi aktif cisplatin ke dalam sel tubulus ginjal adalah CTR1 dan OCT2. Kurkumin adalah zat yang dinyatakan memiliki efek renoprotektif.  Studi ini ditujukan untuk mengetahui perbedaan antara efek dari kurkumin dan nanokurkumin dalam mencegah nefrotoksisitas diinduksi cisplatin melalui analisis dari transkripsi level OCT2 pada jaringan ginjal tikus dan untuk menentukan apakah mekanisme renoprotektif dari kurkumin melibatkan CTR1.

Metode: Tikus-tikus jantan Sprague Dawley dibagi menjadi 5 kelompok secara acak: (1) control; (2) cisplatin (7 mg/kg – dosis tunggal, i.p); (3) cisplatin + kurkumin (7 mg/kg – dosis tunggal, i.p + 100 mg/kg/hari); (4) cisplatin + 50 mg nanocurcumin (7 mg/kg – dosis tunggal, i.p + 50 mg/kg/hari); (5) cisplatin + 100 mg nanocurcumin (7 mg/kg – dosis tunggal, i.p + 100 mg/kg/hari). qRT-PCR kemudian dilakukan untuk menghitung ekspresi relatif gen CTR1 dan OCT2 pada ginjal tikus-tikus tersebut.

Hasil: Pemberian 100 mg nanokurkumin meningkatkan ekspresi OCT2 pada tikus yang diberi perlakuan cisplatin, akan tetapi peningkatan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan level ekspresi normal. Sementara itu, ekspresi CTR1 tidak memiliki asosiasi dengan pemberian kurkumin dan nanokurkumin, maka dari itu CTR1 tidak terlibat dalam mekanisme renoprotektif dari kurkumin.

Konklusi: Nanokurkumin memiliki efek renoprotektif yang lebih baik dibandingkan dengan kurkumin sebagaimana didemonstrasikan oleh peningkatan ekspresi OCT2 pada tikus yang mendapat perlakuan cisplatin dan diberikan zat tersebut.

 

 


Background: Nephrotoxicity is one major limiting factor of cisplatin treatment, with pathophysiological basis of renal tubular cell death upon exposure to cisplatin. This side effect is prevalent, occurring in about one-third of patient undergoing cisplatin treatment.  An important process mediating cellular accumulation of cisplatin inside the renal tubular cell is the transporter-mediated uptake. Two identified membrane transporters involved in the active accumulation of cisplatin into the renal tubular cell are CTR1 and OCT2. Curcumin is a substance which was reported to have renoprotective effects. This study aimed to know the difference between the effects of curcumin and nanocurcumin in preventing cisplatin-induced nephrotoxicity through the analysis of OCT2 transcription level in the rats kidney tissue and to determine whether curcumin renoprotective mechanism involves CTR1.

Method: Male Sprague Dawley Rats were divided into 5 groups in random: (1) control; (2) cisplatin (7 mg/kg – single dose, i.p); (3) cisplatin + curcumin (7 mg/kg – single dose, i.p + 100 mg/kg/day); (4) cisplatin + 50 mg nanocurcumin (7 mg/kg – single dose, i.p + 50 mg/kg/day); (5) cisplatin + 100 mg nanocurcumin (7 mg/kg – single dose, i.p + 100 mg/kg/day). qRT-PCR was then conducted to calculate the relative expression of CTR1 and OCT2 genes in the rats’ kidney.

Results: Administration of 100 mg nanocurcumin increases OCT2 expression in rats treated with cisplatin, but the increase was higher compared to normal expression levels. Whereas CTR1 expression has no association to the administration of curcumin and nanocurcumin, thus is not involved in curcumin’s renoprotective mechanism.

Conclusion: Nanocurcumin has better renoprotective effect compared to curcumin as suggested by the increased OCT2 expression upon its administration in cisplatin-treated rats.

 

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dianne Adha
"Latar Belakang : Tingginya prevalensi penyakit HIV/AIDS di Indonesia, tidak banyak penelitian tentang pengaruh bahan alam terhadap imunitas sehubungan dengan infeksi HIV, adanya fakta berbagai penelitian yang menyatakan kurkumin dapat mempengaruhi berbagai faktor transkripsi dan belum terdapat informasi mengenai pengaruh kurkumin terhadap ekspresi mRNA APOBEC3G , maka dilakukan penelitian ini untuk mengetahui dan menilai aktivitas kurkumin terhadap ekspresi mRNA APOBEC3G pada sel PBMC manusia.
Metode : Isolasi PBMC dari whole blood dan mengkultur sel PBMC dengan kurkumin konsentrasi 10uM, 20uM dan 50uM , diinkubasi selama 24 dan 48 jam. Kemudian dilakukan isolasi RNA pada setiap kelompok perlakuan, mengukur konsentrasi dan kemurnian RNA. Dilakukan analisis ekspresi mRNA APOBEC3G menggunakan real-time RT PCR, nilai Ct dari setiap perlakuan diolah menggunakan metode Livak sehingga diperoleh nilai tingkat ekspresi relatif APOBEC3G yang dipengaruhi kurkumin. Dilakukan elektroforesis gel dan sekuensing untuk memastikan primer yang digunakan spesifik untuk APOBEC3G dan GAPDH.
Hasil : Pada perlakuan kurkumin konsentrasi 10uM, 20uM dan 50uM yang diinkubasi 24 jam didapatkan jumlah sel pada masing-masing perlakuan konsentrasi kurkumin 8x105, 7,5x105 dan 7x105. Jumlah total RNA masing-masingnya 103,4; 101,1 dan 95,9. Tingkat ekspresi relatif mRNA APOBEC3G 0,66; 0,60 dan 0,49. Sedangkan pada inkubasi 48 jam jumlah sel pada masing-masing perlakuan konsentrasi kurkumin 6,5x105, 6x105 dan 5x105. Jumlah total RNA masing-masingnya 74,95; 69,75 dan 53,7. Tingkat ekspresi relatif mRNA APOBEC3G 0,59; 0,47 dan 0,40.
Kesimpulan : Semakin tinggi konsentrasi kurkumin dan semakin lama waktu inkubasi menunjukkan semakin berkurang jumlah sel, jumlah RNA total dan tingkat ekspresi relatif mRNA APOBEC3G.

Background : High prevalence of HIV/AIDS in Indonesia, there are not many research about effects of natural resources to immunity in context of HIV infection, though there are facts about research which states curcumin can affect various transcription factors and none about effect of curcumin on expression of mRNA APOBEC3G, therefore this research is conducted in order to obtain information and measure curcumin's activity on APOBEC3G mRNA expression in human PBMC cell.
Methods : PBMC isolation from whole blood specimen and PBMC culture with curcumin concentration of 10uM, 20uM, 50uM, incubated for 24 and 48 hours. After incubation RNA isolation procedure was then conducted on each group treatment followed by concentration and purity measurement of RNA. Expression analysis of APOBEC3G mRNA using real-time RT PCR was performed. Livak method was used to procces Ct results from each treatment which results in relatives expression levels of APOBEC3G effected by curcumin. Gel electrophoresis and sequencing was done to make sure that primers being used are specific for APOBEC3G and GAPDH.
Results : On treatment concentration of curcumin 10uM, 20uM and 50uM which has been incubated for 24 hours received results of curcumin concentration of 8x105, 7,5x105 and 7x105. Total rna results 103,4; 101,1 and 95,9. Relative expression levels of APOBEC3G mRNA 0,66; 0,60 and 0,49. 48 hour incubation received results of curcumin concentration of 6,5x105, 6x105 and 5x105. Total rna results 74,95; 69,75 and 53,7. Relative expression levels of APOBEC3G mRNA 0,59; 0,47 and 0,40.
Conclusion : Higher levels of curcumin concentration and longer incubation periods shows decreased cell count, total RNA number and relative expression level of mRNA APOBEC3G."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Himmi Marsiati
"Pendahuluan: Penelitian dilakukan untuk mengetahui peran senyawa flavonoid mangiferin dalam meningkatkan ekspresi mRNA HIF-1α dan sebagai pencekal besi dalam menstabilkan HIF-1α pada lini sel HepG2 dan menganalisis interaksi mangiferin dengan prolil hidroksilase (PHD2) secara simulasi docking.
Metode: Sel HepG2 dikultur hingga >80% konfluen dan selanjutnya diberikan mangiferin konsentrasi 25-200μM. Kuersetin digunakan sebagai pembanding flavonoid mangiferin yang bekerja di dalam inti sel, sedangkan DFO dan CuCl2 digunakan sebagai pembanding daya ikat terhadap besi. Ekspresi mRNA HIF-1α ditentukan dengan real time RT- PCR/q-PCR, dan stabilisasi protein HIF-1α ditentukan mengunakan teknik ELISA. Simulasi docking dilakukan terhadap protein PHD2 dengan mangiferin, CuCl2, deferoksamin (DFO), dan campuran mangiferin+ kuersetin.
Hasil: Uji viabilitas sel menggunakan metode MTS dengan pemberian mangiferin, kuersetin, campuran mangiferin-kuersetin, DFO dan CuCl2 (25-200μM) memperlihatkan hasil diatas 85%. Ekspresi mRNA HIF-1α dengan mangiferin, kuersetin, mangiferin+kuersetin, dan DFO menunjukkan hasil sedikit lebih tinggi dibanding kontrol. Konsentrasi protein HIF-1α pada pemberian mangiferin, kuersetin, mangiferin-kuersetin, DFO dan CuCl2 lebih tinggi dibanding kontrol. Simulasi docking mangiferin terhadap PHD2 memperlihatkan ΔG= -16,22, dan DFO menunjukkan ΔG= -17,15. Terdapat interaksi antara mangiferin, dan DFO dengan besi dan asam amino pada situs katalitik domain PHD2, sedangkan CuCl2 tidak berinteraksi dengan residu asam amino pada domain PHD2, tetapi langsung menggantikan Fe. Efek penghambatan terhadap PHD2 oleh mangiferin dan kuersetin disebabkan oleh delokalisasi elektron melalui kompleks transfer elektron.
Kesimpulan: Mangiferin dapat meningkatkan ekspresi mRNA HIF-1α dan meningkatkan protein HIF-1α, menurun protein PHD2 dan menurunkan protein HO-HIF-1α pada lini sel HepG2 secara in vitro. Analisis docking terdapat interaksi antara mangiferin, dan DFO dengan besi dan asam amino PHD2. Mangiferin memiliki stabilitas pengkikatan dengan besi yang berdekatan dengan DFO.

Introduction: This research was conducted to determine the role of flavanoid mangiferin to increase expression HIF-1α mRNA, and as an iron chelator to stabilize protein HIF-1α in cell line HepG2 and analyzes the interaction of mangiferin with prolil hidroksilase (PHD2) by docking simulation.
Methods: HepG2 cells were cultured and treated by mangiferin with concentration between 25-200μM. Quercetin is used as a comparison mangiferin flavonoid that works in the nucleus and DFO, CuCl2 is used as a comparison to iron-binding. HIF- 1α mRNA expression was determined by real time RT-PCR/q-PCR, and the stability HIF-1α protein were measured by the increase in HIF-1α protein, decreased PHD2 protein and decreased HO-HIF-1α using ELISA. Docking simulation was conducted between PHD2 protein and mangiferin, CuCl2, desferoxamine (DFO), and quercetin.
Results: Cell viability with MTS assay showed that cell exposure with 25μM-200μM concentrations of mangiferin, quercetin, mangiferin+quercetin mixture, DFO, and CuCl2 is above 85%. HIF-1α mRNA expression was slightly higher than in controls with mangiferin, quercetin, mangiferin quercetin mixture and DFO. HIF-1α protein concentration and ratios vs untreated controls were above 1 with mangiferin, quercetin, mangiferin quercetin mixture, DFO, and CuCl2. Docking simulation mangiferin with PHD2 showed ΔG= -16,22. Docking simulation with DFO showed ΔG= -17,15, and interact mangiferin, and DFO with iron in the catalytic site of PHD2 and with amino acid residues, whereas CuCl2 does not react with amino acid residues in the PHD2 domain, but directly replaces Fe. The inhibitory effect to PHD2 by mangiferin and quercetin is considered by electron delocalisation through an electron transfer complex.
Conclusion: Mangiferin can increase HIF-1α mRNA expression and HIF-1α protein levels in HepG2 cell line by in vitro. Binding interaction with iron and PHD2 amino acids occurs by mangiferin and DFO. Mangiferin has stability iron binding a similar with DFO.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>