Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 217318 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Saragih, Debbi Rezza
"ABSTRAK
Tidak ada yang ingin dilahirkan sebagai seorang pecandu. Namun, faktor-faktor yang menyebabkan adiksi sering kali berada di luar kontrol individu. Faktor tersebut beberapa diantaranya adalah kepribadian, pengalaman tidak menyenangkan di masa kecil, dan tidak adanya tujuan dalam hidup. Belum adanya bukti empiris, khususnya di Indonesia, menjadi dasar dilakukannya penelitian ini. Sebanyak 68 pengguna narkoba berusia dewasa yang pernah mencoba sabu diminta mengisi DAST-20, BFI-44 atau BFI-10, ACE-10, PIL-T, dan data kontrol lainnya. Hasil uji logistic regression menemukan bahwa neuroticism, lama penggunaan, dan jenis zat yang paling sering digunakan dapat memprediksi kemungkinan seorang pengguna narkoba mengalami adiksi.

ABSTRACT
No one ever wanted to be born as a drug addict. Unfortunately, many of addiction predictors are out of individual ability to control. Some of the predictors are personality traits, adverse childhood experience, and purpose in life. The lack of empirical result towards this case in Indonesia became the urgency to do this research. There were 68 adult aged drug users whom ever used methamphetamine filled out the DAST 20, BFI 44 or BFI 10, ACE 10, PIL T, and other control data. Logistic regression analysis found out that neuroticism, length of usage, and most used substance type predict the increasing risk of drug users to be addicted."
2017
S67284
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Averina Elga Christie
"ABSTRAK
Pada tahun 2017, Indonesia telah memasuki keadaan darurat narkoba dengan jumlah total 3.376.115 pengguna narkoba (Badan Narkotika Nasional, 2017). Menurut data yang diperoleh dari National Narcotics
Agency (2017), dari total pengguna narkoba di Indonesia, 489.197 orang mengalami narkoba kecanduan. Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya diketahui bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya hal ini menyebabkan seseorang mengalami kecanduan narkoba, seperti pengalaman masa kanak-kanak yang merugikan (ACE) dan depresi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan yang merugikan pengalaman masa kecil (ACE), depresi, dan kecanduan narkoba. Populasi dari penelitian ini adalah penduduk Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (n = 193), dengan rentang usia berusia antara 18-58 tahun. Penelitian ini menggunakan regresi linier berganda dengan model bertahap untuk
menganalisis data. Studi ini menemukan bahwa pengalaman masa kecil yang merugikan dan depresi bisa terjadi memprediksi kecanduan narkoba. Disamping itu jumlah obat yang dikonsumsi dan lamanya penggunaan obat bisa memprediksi kemungkinan kecanduan narkoba di antara peserta. Tapi, hasil ini tidak bisa digeneralisasikan ke populasi lain karena data tidak berdistribusi normal. Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk mengembangkan program trauma informed care (TIC) di Balai Rehabilitasi BNN.

ABSTRACT
In 2017, Indonesia entered into a state of drug emergency with a total of 3,376,115 drug users (National Narcotics Agency, 2017). According to data obtained from the National Narcotics
Agency (2017), of the total drug users in Indonesia, 489,197 people experience drug addiction. Based on several previous studies, it is known that there are several factors that can cause this to cause a person to experience drug addiction, such as adverse childhood experiences (ACE) and depression. The aim of this study was to investigate the associations of adverse childhood experiences (ACE), depression, and drug addiction. The population of this study were residents of the National Narcotics Agency Rehabilitation Center (n = 193), with an age range between 18-58 years. This study uses multiple linear regression with a stepwise model for analyze data. The study found that adverse childhood experiences and depression can predict drug addiction. In addition, the number of drugs consumed and the duration of drug use could predict the likelihood of drug addiction among participants. However, these results cannot be generalized to other populations because the data are not normally distributed. The results of this study can be used as a basis for consideration in developing a trauma informed care (TIC) program at the BNN Rehabilitation Center."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alyaa Dewanti
"Kecanduan narkoba merupakan masalah yang dimiliki secara global, termasuk di Indonesia. Ada beberapa penelitian yang menghubungkan yang merugikan
pengalaman masa kanak-kanak (ACE) dengan kecanduan narkoba, tetapi tidak semua individu dengan ACE mengalami kecanduan narkoba. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji impulsif sebagai mediator dalam hubungan ACE dengan adiksi narkoba. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan sampel penderita adiksi narkoba yang berusia di atas 18 tahun. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah ACE-10, DAST-20, dan BIS-11. Data dari 89 peserta menunjukkan bahwa impulsif memediasi sebagian hubungan antara ACE dan kecanduan narkoba.

Drug addiction is a problem that is owned globally, including in Indonesia. There are several studies linking the harm childhood experience (ACE) with drug addiction, but not all individuals with ACE experience drug addiction. Therefore, this study aims to examine impulsivity as a mediator in the relationship between ACE and drug addiction. This study is a cross-sectional study with a sample of drug addiction patients who are over 18 years of age. The measuring instruments used in this study were ACE-10, DAST-20, and BIS-11. Data from 89 participants showed that impulsivity partly mediated the relationship between ACE and drug addiction."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vanessa Ibrena
"ABSTRAK
Narkoba masih menjadi permasalahan bagi dunia dan Indonesia hingga saat ini, yaitu tahun 2016 tercatat 275 juta orang menggunakan narkoba sedangkan di Indonesia sendiri mencapai 3 juta atau sekitar 1,7%. Adverse Childhood Experience (ACE) merupakan salah satu faktor seseorang untuk mengalami adiksi narkoba. Perceived social support juga ditemukan memiliki pengaruh terhadap penggunaan narkoba. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara Adverse Childhood Experience dan perceived social support dengan adiksi narkoba. Sebanyak 74 orang di atas 18 tahun yang berada di pusat rehabilitas narkoba diminta untuk mengisi kuesioner berisi ACE-10, DAST-20, MSPSS, dan data kontrol lainnya. Hasil korelasi menunjukkan bahwa ACE memiliki hubungan yang positif dengan adiksi narkoba sedangkan perceived social support memiliki hubungan yang negatif dengan adiksi narkoba.

ABSTRACT
Drugs are still a problem for the world and Indonesia until now, namely in 2016 there were 275 million people using drugs while in Indonesia alone reached 3 million or around 1.7%. Adverse Childhood Experience (ACE) is one factor for a person to experience drug addiction. Perceived social support was also found to have an influence on drug use. This study aims to look at the relationship between Adverse Childhood Experience and perceived social support with drug addiction. As many as 74 people over 18 years who were at the drug rehabilitation center were asked to fill out questionnaires containing ACE-10, DAST-20, MSPSS, and other control data. The correlation results show that ACE has a positive relationship with drug addiction while perceived social support has a negative relationship with drug addiction.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Wulansih Andhadhari
"Kualitas hidup merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan seseorang. Adverse childhood experiences yang dialami individu selama masa perkembangan dapat mengganggu tingkat kualitas hidup. Peneliti mendapatkan 181 partisipan berusia 18-25 tahun yang berasal dari 30 provinsi di Indonesia. Psychological flexibility diukur dengan Comp-ACT (Comprehensive Assessment of Acceptance and Commitment Treatment Processes), kualitas hidup diukur dengan WHOQOL-BREF (World Health Organization Quality of Life - Brief Version), dan adverse childhood experiences diukur menggunakan WHO ACE-IQ (World Health Organization Adverse Childhood Experiences International Questionnaire). Hasil analisis regresi linear sederhana menunjukkan bahwa psychological flexibility berperan signifikan terhadap kualitas hidup individu dewasa muda yang mengalami adverse childhood experiences. Dalam penelitian ini, psychological flexibility, beserta dimensi-dimensinya, mampu memprediksi kualitas hidup individu dewasa muda yang mengalami adverse childhood experiences. Psychological flexibility secara signifikan berhubungan positif dengan kualitas hidup individu dewasa muda yang mengalami adverse childhood experiences.

Quality of life is one of the important aspects of an individual's life. Adverse childhood experiences encountered during developmental stages can disrupt the level of quality of life. Researchers obtained 181 participants aged 18-25 years from 30 provinces in Indonesia. Psychological flexibility was measured using the Comp-ACT (Comprehensive Assessment of Acceptance and Commitment Treatment Processes), quality of life was measured using the WHOQOL-BREF (World Health Organization Quality of Life - Brief Version), and adverse childhood experiences were measured using the WHO ACE-IQ (World Health Organization Adverse Childhood Experiences International Questionnaire). The results of a simple linear regression analysis showed that psychological flexibility plays a significant role in the quality of life of young adults who have experienced adverse childhood experiences. In this study, psychological flexibility and its dimensions were proven to predict the quality of life of young adults who have experienced adverse childhood experiences. Psychological flexibility is significantly positively related to the quality of life of young adults who have experienced adverse childhood experiences."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elsya Lidya Mayori
"Perselisihan dan pertengkaran menjadi penyebab terbanyak perceraian pasangan di Indonesia. Penyebab ini tidak lepas dari komunikasi tidak lancar yang dapat disebabkan oleh Adverse Childhood Experience (ACE). Salah satu upaya yang dapat mengatasi dampak tersebut dan meningkatkan relationship satisfaction adalah melalui dyadic coping. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat peran dyadic coping dalam menjelaskan hubungan ACE terhadap relationship satisfaction. Partisipan penelitian ini adalah 260 dewasa muda terdiri atas 204 perempuan dan 57 laki-laki yang sudah menikah dan menetap di Jabodetabek. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Adverse Childhood Experience-Questionnaire, Dyadic Coping Inventory dan Relationship Assessment Scale. Hasil penelitian menemukan bahwa dyadic coping dapat memediasi secara parsial dampak negatif ACE terhadap kepuasan hubungan pasangan yang menikah. Dimensi dyadic coping seperti supportive DC, negative DC, dan common DC juga ditemukan dapat memediasi secara parsial dampak ACE terhadap relationship satisfaction.

Persistent conflicts and arguments are the leading causes of divorce in Indonesia. These disputes often result from poor communication, which can be linked to adverse childhood experiences (ACE). One effective approach to mitigate these impacts and enhance relationship satisfaction is through dyadic coping. This study aims to examine the mediating role of dyadic coping in the relationship between ACE and relationship satisfaction. The participants were 260 married young adults which consist of 207 women and 57 men residing in Jabodetabek. The measurement tools used were the Adverse Childhood Experience-Questionnaire, Dyadic Coping Inventory, and Relationship Assessment Scale. The results found that dyadic coping can partially mediate the negative impact of ACE on relationship satisfaction among married couples. Dyadic coping dimensions such as supportive DC, negative DC, and common DC has been found significant and can also partially mediate the relationship between ACE and relationship satisfaction."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Enrica Natasha Kristanti
"Beberapa tahun terakhir, terdapat peningkatan isu perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia, termasuk pada pasangan dewasa muda. Tingginya isu rumah tangga dapat menjadi indikasi bahwa pasangan dewasa muda kurang mampu mengatasi ketegangan yang terjadi sehingga memengaruhi relationship satisfaction. Beberapa penelitian menemukan bahwa adverse childhood experience (ACE) merupakan salah satu faktor risiko terhadap ketidakmampuan pasangan dalam mengatasi konflik pada masa dewasanya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran kemampuan self-compassion sebagai moderator dalam hubungan ACE dan relationship satisfaction pada kelompok dewasa muda dalam hubungan pernikahan. Penelitian ini menggunakan alat ukur Adverse Childhood Experience Questionnaire untuk mengukur jumlah pengalaman sulit yang dialami pada masa kanak-kanak, Relationship Assessment Scale untuk mengukur kepuasan hubungan romantis, dan Self-Compassion Scale untuk mengukur tingkat kemampuan self-compassion. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 258 dewasa muda (20 – 40 tahun) di Jabodetabek dengan mayoritas adalah partisipan wanita (78.7%). Multiple regression analysis menunjukkan bahwa self-compassion (β=-1.48, p<.05) beserta dengan ketiga dimensinya, mampu memoderatori dengan melemahkan hubungan negatif ACE dan relationship satisfaction. Dapat disimpulkan bahwa self-compassion mampu meningkatkan relationship satisfaction meskipun pasangan pernah mengalami ACE. Limitasi dari penelitian ini adalah teknik sampling yang digunakan merupakan convenience sampling sehingga tidak semua partisipan memiliki ACE dan tidak meratanya proporsi sampel.

In recent years, there has been an increase in the issues of divorce and domestic violence in Indonesia, including among young adult couples. This rise may indicate that young adult couples struggle to manage tension, affecting their relationship satisfaction. Studies have identified adverse childhood experiences (ACE) as a risk factor for adult couples' inability to resolve conflicts. This study aims to investigate the role of self-compassion as a moderator in the relationship between ACE and relationship satisfaction among young married adults. The study utilized the Adverse Childhood Experience Questionnaire to assess the number of adverse childhood experiences, the Relationship Assessment Scale to measure romantic relationship satisfaction, and the Self-Compassion Scale to assess self-compassion levels. Participants included 258 young adults (aged 20 – 40) in the Jabodetabek, with a majority being female (78.7%). Multiple regression analysis indicated that self-compassion (β=-1.48, p<.05) and its three dimensions moderated the negative relationship between ACE and relationship satisfaction. It can be concluded that self-compassion can enhance relationship satisfaction despite partners having experienced ACE. A limitation of this study is the use of convenience sampling, leading to not all participants having ACE and an uneven sample proportion."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arianbia Menako Mangkunegara
"Berbagai studi telah dilakukan mengenai keterkaitan antara adverse childhood experiences (ACEs) dan self-compassion terhadap gejala depresi. Peran kedua variabel tersebut terhadap gejala depresi juga telah diteliti, akan tetapi penelitian yang membandingkan peran keduanya terhadap gejala depresi masih sangat terbatas, khususnya pada populasi emerging adulthood di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran pengalaman sulit di masa kecil dan self-compassion terhadap gejala depresi pada emerging adulthood. Partisipan penelitian adalah individu emerging adulthood (N=482), yang diberikan kuesioner BDI-II untuk mengukur depresi, ACEQ untuk mengukur pengalaman sulit di masa kecil, dan SCS-SF untuk mengukur self-compassion yang dilakukan secara daring. Hasil penelitian menggunakan analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa baik pengalaman sulit di masa kecil maupun self-compassion berperan secara signifikan terhadap gejala depresi. Dibandingkan pengalaman sulit di masa kecil, self-compassion merupakan prediktor yang lebih kuat terhadap gejala depresi. Berdasarkan hasil penelitian ini, kesadaran masyarakat tentang self-compassion perlu ditingkatkan karena dapat menjadi faktor pelindung potensial untuk gejala depresi.

Many studies have done research about the relationship between adverse childhood experiences and self-compassion as predictors to depression symptoms. The role of those two variables in depression symptoms has also been done, however studies that comparing role those two variable on depressive symptoms are still very limited, specifically, in the emerging adulthood population in Indonesia. This study aims to test the role of adverse childhood experiences and self-compassion in depression symptoms in emerging adulthood. Participants of this study were emerging adulthood individuals (N=482), who were given BDI-II questionnaire to measure depression, ACE-Q to measure adverse childhood experiences, and SCS-SF to measure self-compassion conducted online. The results of this study, using multiple linear regression, showed that both adverse childhood experiences and self-compassion have a significant role in depression. Compared to adverse childhood experiences, self-compassion is the stronger predictor in depression symptoms. According to the results of this study, public awareness of self-compassion needs to be raised as it can be a potential protective factor for depression symptoms."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamelia Ramandha
"Dewasa muda menggunakan teknologi komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk untuk menjalin hubungan romantisnya. Namun, teknologi digital kemudian berpotensi menjadi sebuah wadah untuk melakukan kekerasan terhadap pasangan, dikenal sebagai cyber intimate partner aggression (CIPA). Berdasarkan penelitian sebelumnya, CIPA dapat diprediksi oleh adverse childhood experience (ACE). ACE dipercaya berpotensi memunculkan early maladaptive schema (EMS) pada individu yang kemudian meningkatkan kemungkinan melakukan CIPA. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa skema domain yang paling berpengaruh antara hubungan ACE dan CIPA adalah disconnection & rejection. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat peran mediasi domain disconnection & rejection, secara keseluruhan dan masing-masing skema di dalamnya, dalam hubungan antara cyber intimate partner aggression dengan adverse childhood experience. Partisipan pada penelitian ini adalah 941 dewasa muda yang pernah atau sedang menjalani hubungan romantis dan berdomisili di Indonesia. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa perilaku cyber intimate partner aggression dapat diprediksi secara signifikan dan positif oleh adverse childhood experience (β=.084, SE=.016 p <.001). Selanjutnya, skema domain disconnection & rejection secara keseluruhan dapat memediasi hubungan tersebut secara signifikan. Dari lima skema yang ada, skema abandonment dan skema mistrust/abuse yang dapat secara signifikan memediasi hubungan yang ada. Implikasi hasil penelitian dibahas lebih lanjut.

Young adults use communication technology in their daily lives, including to establish romantic relationships. However, communication technology potentially creates a new platform for violence against partner, known as cyber intimate partner aggression (CIPA). Based on previous research, CIPA can be predicted by adverse childhood experience (ACE). ACE is believed to have the potential to cause early maladaptive schema (EMS) in individuals which then increases the likelihood of performing CIPA. Previous research found that the most influential domain scheme in the relationship between ACE and CIPA was disconnection & rejection. Therefore, this study was conducted to examine the mediation role of the disconnection & rejection domain, as a whole and separately for each schema in the domain, in the relationship between cyber intimate partner aggression and adverse childhood experience. Participants in this study were 941 young adults who had or are currently in a romantic relationship and domiciled in Indonesia. The results indicate that the behavior of cyber intimate partner aggression can be significantly and positively predicted by adverse childhood experience (β=.084, SE=.016 p <.001). Furthermore, the overall disconnection & rejection domain schema can significantly mediate the relationship. Out of the five existing schemas, the abandonment schema and the mistrust/abuse schema could significantly mediate the existing relationship. Research implications discussed further."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aina Mumtaazah Khairunnisa
"Perkembangan teknologi menyediakan sarana baru untuk melakukan kekerasan dalam hubungan romantis, yang disebut sebagai cyber intimate partner aggression (CIPA), yang kerap kali terjadi pada usia dewasa muda. Penelitian terdahulu menemukan bahwa anxious attachment berhubungan dengan CIPA dan adverse childhood experience (ACE), yang merupakan prediktor kuat dari CIPA. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran mediasi anxious attachment dalam hubungan antara ACE dan CIPA pada individu dewasa muda di Indonesia. Penelitian ini menggunakan 3 instrumen penelitian, yaitu (1) Cyber Aggression in Relationship Scale (CARS; Watkins et al., 2018) untuk mengukur CIPA; (2) Childhood Trauma Questionnaire-Short Form (CTQ-SF; Bernstein et al., 2003) untuk mengukur ACE; dan (3) Experience in Close Relationship Scale-Revised 18 (ECR-R-18; Margaretha, 2020; Wongparkan & Wongparkan, 2012) untuk mengukur anxious attachment. Sampel penelitian ini berasal dari 941 partisipan dengan rata-rata usia 22.7 tahun, yang sedang atau pernah menjalani hubungan romantis serta menggunakan teknologi untuk menjalani hubungan romantis. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa ACE dapat memprediksi perilaku CIPA secara signifikan dan positif. Hasil analisis mediasi juga menunjukkan bahwa anxious attachment berperan sebagai mediator parsial dalam hubungan ACE dan CIPA. Penelitian ini memiliki implikasi pada pengembangan usaha preventif dan intervensi CIPA.

Technology developments have resulted in a new form of violence often occurring in young adult romantic relationships, namely cyber intimate partner aggression (CIPA). While previous findings show anxious attachment and adverse childhood experience (ACE) as strong predictors of CIPA, this study aims to look at the mediating role of anxious attachment in the relationship between ACE and CIPA in young adults in Indonesia. This study uses 3 research instruments, namely (1) Cyber ??Aggression in Relationship Scale (CARS; Watkins et al., 2018) to measure CIPA; (2) Childhood Trauma Questionnaire-Short Form (CTQ-SF; Bernstein et al., 2003) to measure ACE; and (3) Experience in Close Relationship Scale-Revised 18 (ECR-R-18; Margaretha, 2020; Wongparkan & Wongparkan, 2012) to measure anxious attachment. This study takes samples from 941 participants with an average age of 22.7 years who are currently or have previously been committed in a romantic relationship. The results of the regression analysis shows that ACE can predict CIPA behavior significantly and positively. The results of the mediation analysis also show that anxious attachment acts as a partial mediator in the relationship between ACE and CIPA. This research has implications for the development of CIPA preventive and intervention efforts."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>