Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 74045 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Ihsan
"ABSTRAK
Belakangan ini fenomena intoleransi politik yang melibatkan identitas agama kembali menjadi marak di Indonesia. Beberapa penelitian sebelumnya mengonfirmasi kecenderungan hubungan fundamentalisme agama dan intoleransi, juga hubungannya dengan need for closure. Tujuan dari penelitian ini ialah membuktikan hubungan prediksi fundamentalisme terhadap intoleransi dengan menambahkan need for closure, spesifiknya fudamentalisme intratekstual, sebagai moderator. Penelitian dilakukan pada 723 mahasiswa Indonesia yang beragama Islam. Dengan menggunakan analisis linear regression, peneliti mendapatkan hasil signifikan fundamentalisme agama memprediksi intoleransi politik. Sedangkan analisis moderator menunjukkan fundamentalisme intratekstual tidak signifikan berpengaruh pada prediksi sebelumnya. Meski demikian, perlu penelitian lanjutan yang membahas hubungan ini lebih lanjut.

ABSTRACT
Recently, political intolerance phenomenon involving religious identity became popular in Indonesia. Many previous research confirmed that there is a relationship between religious fundamentalism and intolerance, also its relation with need for closure. The purpose of this research is to prove religious fundamentalism as predictor to intolerance with adding need for closure, specifically intratextual fundamentalism, as moderator. This research was conducted in 723 students in Indonesia that have Islam affiliation. With linear regression analysis, we saw significance of religious fundamentalism predicting intolerance. Whereas, moderator analysis showed no significant impact of intratextual fundamentalism toward previous prediction. Nevertheless, further research is needed to examine more about this relation."
2017
S68270
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adeline Dinda Caesara
"Penelitian ini merupakan studi kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara fundamentalisme agama dan intoleransi politik serta efek moderasi need for closure terhadap hubungan dua variabel tersebut. Fundamentalisme agama diprediksi memiliki hubungan positif dengan intoleransi politik di mana need for closure dapat memperkuat hubungan keduanya. Intoleransi politik diukur dengan Political Tolerance Scale yang dikembangkan oleh Mujani, Liddle, & Pepinsky (2018) sementara itu fundamentalisme agama diukur dengan Intratextual Fundamentalisme Scale yang diadaptasi oleh Muluk, Sumaktoyo dan Ruth (2013). Need for closure diukur dengan  Need for Closure Scale yang dikembangkan oleh Roets dan Van Hiel (2011) untuk mengukur kebutuhan keteraturan, prediktabilitas, ketegasan, menghindar dari ambiguitas, dan close mindedness. Responden penelitian ini adalah 211 orang masyarakat umum di Indonesia yang beragama Islam dan dijaring secara online. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fundamentalisme agama berkorelasi positif dan signifikan dengan intoleransi politik. Need for closure memiliki kontribusi sebagai moderator terhadap hubungan fundamentalisme agama dan intoleransi politik, khususnya ketika need for closure tinggi. Namun, tidak ditemukan peranan individual need for closure yang signifikan dalam menjelaskan intoleransi politik. Temuan ini menunjukkan pentingnya peran faktor kognitif dalam memahami agama dan sikap politik.

This research is a quantitative study which aims to determine the relationship between religious fundamentalism and political intolerance with the moderating effect of need for closure on the relationship of these two variables. Religious fundamentalism is predicted to have a positive relationship with political intolerance where need for closure can strengthen the relationship between them. Political intolerance is measured by the Political Tolerance Scale developed by Mujani, Liddle, and Pepinsky (2018) while religious fundamentalism is measured by the Intratextual Scale Fundamentalism adapted by Muluk, Sumaktoyo and Ruth (2013). Need for closure is measured by Need for Closure Scale developed by Roets and Van Hiel (2011) to measure the needs of regularity, predictability, firmness, avoidance of ambiguity, and close mindedness. Respondents of this study were 211 people in the general public in Indonesia who are Muslim and netted online. The results showed that religious fundamentalism was positively and significantly correlated with political intolerance. Need for closure has a contribution as a moderator on the relationship between religious fundamentalism and political intolerance, especially when the need for closure is high. However, in terms of individual effect, there was no significant role for need for closure in explaining political intolerance. This finding shows the importance of the role of cognitive factors in understanding religion and political attitudes."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Idhamsyah Eka Putra
"Penelitian ini merupakan upaya untuk menemukan pengaruh orientasi keberagamaan, ideologi politik konservatif agama, fundamentalisme agama, dan orientasi dominasi sosial terhadap intoleransi politik. Satu set kuesioner telah dibagikan dan diisi oleh 300 orang partisipan beragama Islam. Rentang umur partisipan adalah antara 15 sampai 65. Temuan dari penelitian lni menunjukkan bahwa ideologi politik konservatif agama memiliki. pengaruh langsung teihadap intoleransi politik. Orientasi keberagamaan ekstrinsik, orientasi keberagamaan intrinsik, dan ideologi politik konservatif agama terbukti memiliki pengamh tidak langsung terhadap lntoleransi politik. Fundamentalisme agama dan orientasi dominasi sosial terbukti sebagai mediator pada pengaruh orientasi keberagamaan ekstrinsik, orientasi keberagamaan intrinsik, dan ideologi politik konservatif agama terhadap intoleransi politik. Fundamentalisme agama terbukti menjadi moderator pengaruh orientasi keberagamaan terhadap intoleransi politik. Sedangkan orientasi dominasi social terbukti merupakan moderator antara pengaruh ideology politik konservatif agama terhadap intoleransi politik. Hasil penelitian menunjukkan kalau orientasi keberagaman intrinsic terbukti dapat menjadi intoleransi politik jika dimediasikan oleh fundamentalisme agama dan orientasi dominasi social. Saran bagi penelitian selanjutnya adlah mencoba melakukan penelitian pengaruh fundamentlisme agama terhadap intoleransi politik yang dipengaruhi oleh identitas kelompok.

The study examine the effects of religious orientation, religious conservative politiC3l ideology, religious fundamentalism, and social dominance orientation on political intolerance. A set of questionnaire were administrated to 300 participants with Islamic background aged between 15 to 65 years. This study showed that religious conservative political ideology has direct effect on political intolerance. Religious fundamentalism and social dominance orientation significantly mediated the effects of extrinsic religious orientation, intrinsic religious orientation, and religious conservative political ideology on political intolerance. Religious fundamentalism was proved to moderating the effect of religious orientation on political intolerance. Social dominance orientation had significantly moderated the effect of religious consetvative political ideology on political intolerance. The result showed that intrinsic religious orientation would result on political intolerance if mediated by religious fundamentalism and social dominance orientation. Further research is needed to examine the effect of religious fundamentalism and group identity on political intolerance."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T33685
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunu Bagaskara
"ABSTRAK
Studi ini meneliti hubungan antara model fundamentalisme intratekstual (Hood, Hill, Williamson, 2005) dengan konsep-konsep disposisional dari c/csed-mindedness, yaitu intolerance of uncertainty (IO) dan need for cognitive closure (NFC). Selain itu,. juga diteliti bagaimana peran trait kepribadian dan lingkungan sosial sebagai moderator hubuugan tersebut. Sebanyak 195 mahasiswa yang berasal dari universitas agama dan universitas umum bexpartisipasi dalam penelitian ini dengan mengisi satu set kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fundamentalisme agama berasosiasi secara positif dengan religiusitas, tetapi tidak dengan UI dan NFC. Selain itu, interaksi yang signifikan antara religiusitas dan trail kepribadian menunjukkan bahwa asosiasi positif antara fundamentalisme dan religiusitas lebih tinggi pada partisipan yang juga tinggi pada trait agreeableness. Sedangkan, peran moderasi lingkungan soslal tidak ditemukan. Hasil ini menegaskan perrnyataan Hood dkk. (2005} bahwa para fundamentalis bukanlah orang-orang yang closed-minded seperti yang se!ama ini menjadi streotip mereka. Sclain itu, juga mengindikasikan bahwa fundamentalisme agama, seperti yang ditekankan oleh Marty (1988) dan Hood dkk. {2005), dapat dijelaskan dengan lebih baik jika berfokus pada nilai-nilai keagamaan yang dianut daripada disposisi personal. Penelitian-penelitian selanjutnya disarankan untuk memberi perhatian besar pada pengembangan dan pengujian empiris model fundamentalisme agama intratekstual terutama dalam isu atribut-atribut psikometris pada alat hukumya.

ABSTRACT
The present study examinedd the relations between intratextual fundamentalism model (Hood, Hill, & Williamson, 2005) and dispositional concepts of closed-mindedness (i.e., intolerance of uncertainty [IU] and need for cognitive closed-e [NFC]), and also to investigate to what extend the relations were moderated by personality traits and social environmental factors. One hundred and ninety-five university students from religious and public universities completed measures of religiosity, lU Scale, NFC Scale. Big Five Inventory, and fundamentalism. Fundamentalism was positively associated with religiosity but was not associated with lU and NFC. A significant interaction between religiosity and agreeableness revealed that the positive association betoveen religiosity and fundamentalism was higher among participants who were also high in agreeableness. The results of present study confirm what Hood et al. (2005) suggested that fundamentalists are not closed-minded as they are usually stereotyped with. Furthermore. the results also suggest that religious fundamentalism, like Marty (1988) and Hood et aL (2005) noted, would be better explained by focusing on the religious values rather than personal disposition factors. Future research should take a great attention to the development and empirical examination of intratextual fundamentalism model, especially in the psychometrical issues of the measurement."
2009
T33724
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Raafi Adedia Kornel
"Studi-studi sebelumnya mengenai ekstremisme politik, partisipasi religius dan intoleransi dogmatik menemukan bahwa memang benar ekstremisme politik dan partisipasi religius berkontribusi terhadap sikap intoleransi dogmatik individu. Penelitian menguji kembali variabel- variabel tersebut di Indonesia dan memiliki tujuan untuk mengetahui pengaruh ekstremisme politik dan partisipasi religius terhadap intoleransi dogmatik. Sebanyak 177 responden (perempuan= 55,4%, laki-laki= 44,6%) direkrut dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik convenience sampling, rata-rata berumur 33 tahun (M = 33,61, SD = 14,077), tinggal di jabodetabek dan berlatar belakang pendidikan D3-S3. Terdapat satu hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu ekstremisme politik dan partisipasi religius mempengaruhi intoleransi dogmatik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstremisme politik (b = 0,017, t(175) = 2,216, p < 0.05) dan religiusitas (b =0,180, t(175) = 3,580, p < 0.05) merupakan prediktor dari intoleransi dogmatik dimana partisipasi religius merupakan prediktor yang lebih kuat dibandingkan ekstremisme politik.

Previous studies involving political extremism, religiosity and dogmatic intolerance had found that indeed political extremism and religious participation contributed to an individual’s dogmatic intolerance attitude. This research retested the same variables in the context of Indonesia and aims to discover the effect of political extremism and religious participation on dogmatic intolerance. 177 respondents (females= 55,4%, males= 44,6%) had been recruited into this research using convenience sampling technique, average of age 33 years of age (M = 33,61, SD = 14,077), lives in jabodetabek, and have an education background of D3-S3. This research has one hypothesis which is; political extremism and religious participation can influence dogmatic intolerance. The results showed that political extremism (b = 0,017, t(175) = 2,216, p < 0.05) and religious participation (b =0,180, t(175) = 3,580, p < 0.05) indeed influenced dogmatic intolerance with religious participation being the stronger predictor compared to political extremism."
2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
lkhsan
"Penelitian ini menganalisa pengaruh kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) dalam menghadapi terorisme internasional terhadap tumbuhnya fundamentalisme Islam di Palestina yang diwakili oleh kelompok Hamas, yang bertujuan untuk mengungkapkan dan menjelaskan motif dan tujuan AS dalam mengeluarkan kebijakan tersebut serta mengetahui bagaimana pengaruh kebijakan tersebut terhadap tumbuhnya gejala fundamentalisme Islam di Palestina, seperti kelompok Hamas. Gejala fundamentalisme llamas tersebut dibuktikan oleh pernyataan dan tindakan mereka yang selalu bersikap dan bertindak anti AS-Israel, data-data tersebut diperoleh dari dokumen resmi, seperti surat kabar dan situs intemet. Selain itu tulisan ini memprediksikan prospek pemberantasan terorisme dan fundamentalisme Islam di masa mendatang. Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan AS pada masa pemerintahan George W. Bush sangat dipengaruhi oleh lobi Yahudi dan Neo Konservatif sehingga warna kebijakannya senantiasa represif dan militeristik. Kebijakan luar negeri AS pada masa pemerintahan George W. Bush mempunyai motif dan tujuan untuk merebut dominasi ekonomi global Isu pemberantasan terorisme internasional sebagai mega proyek Pemerintah AS dalam rangka menjadikan negaranya paling survive di dunia.
2. Akibat dari kebijakan Pemerintah AS tersebut yang cenderung menggunakan instrurnen militeristik ketimbang bermusyawarah antar sesama adalah mempersubur tumbuhnya gejala fundamentalisme, terutama di negara-negara Islam Timur Tengah. Fenomena fundamentalisme Islam Timur Tengah dibuktikan oleh gerakan Hamas di Palestina yang selalu menjadi perbincangan hangat di berbagai media, terutama media Eropa-Amerika. Petjuangan kelompok Hamas bukanlah seperti fundamentalisme yang muncul pada semua keyakinan agarna sebagai respon atas masalah-masalah yang diakibatkan modernitas. Fundamentalisme mereka juga tidak bisa diidentikkan dengan istilah terorisme yang umumnya "dipaksakan" pengertiannya oleh AS dan Barat, tetapi gerakan Hamas merupakan perlawanan terhadap sikap dan tindakan AS-Israel yang represip.
3. Kalau kebijakan AS dalam menghadapi terorisme masih dilakukan dengan Cara-cara yang represip, maka nasib dunia di masa mendatang akan semakin tidak aman dan fundamentalisme Islam akan semakin subur.

This research aimed to analyzes the background and influence of US foreign policy on overcoming international terrorism toward Islamic fundamentalism which is represented by Hamas in Palestine. The indicators of Hamas fundamentalism can be seen of their statements and attitude toward US and Israel. The data of this research is collected from legal documents such as news paper and cyber media. Additionally, this research has led to several findings as follows:
1. Neo-Conservative and Jews' lobbying highly influences the US policy which tends to be militaristic and repressive. The objective of US foreign policy under the government of George W. Bush's is to dominate the global economy. Overcoming the international terrorism has become the US mayor project in turn had US to be the most survival country in the world.
2. The effect of the US' policy which inclined to use the militaristic instruments then to discuss each other is the improvement of the fundamentalism indicators, especially in Middle East Moslem countries that become the pilot project of US' foreign policy. Islamic fundamentalism phenomenon in Middle East was proved by Hamas movement in Palestine that always becomes the theme on every public discussion, especially American-European press. The struggle of I-lamas group is one of the unique group and we must study specifically. Their unique is Hamas' fundamentalism custom must be differentiated with the definition of fundamentalism that often publicized in many media. Hamas fundamentalism is not based by religion and believes in responding the modernity issues. Their fundamentalism is not identical with the terminology of terrorism. Hamas' movement is an opponent toward US' and Israel policy.
3. If the US foreign policy on facing international terrorism was hold repressively, the international situation is not safe and the Islamic fundamentalism grows prosperously in the future."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T 15036
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Mandalawangi
"Artikel ini mengkaji eksistensi program televisi berbasis keagamaan di dalam masyarakat modern. Studi-studi sebelumnya memandang bahwa program televisi berbasis keagamaan eksis karena agama mampu mengintegrasikan diri ke dalam pasar melalui proses komodifikasi, juga karena program televisi dapat digunakan sebagai media kampanye ideologi agama. Namun, studi-studi tersebut belum menjelaskan soal mengapa minat konsumen terhadap program televisi berbasis keagamaan dapat tumbuh. Penulis berpendapat bahwa perkembangan minat terhadap program televisi berbasis keagamaan merupakan konsekuensi logis dari kontestasi fundamentalisme dan modernitas. Untuk menjelaskan hal tersebut, penulis mengangkat kasus program televisi Hafiz Indonesia. Pengamatan dilakukan pada saluran media sosial YouTube Hafiz Indonesia yang bersisi 1286 video. Semua postingan video diperiksa untuk mendapat informasi mengenai konten, informasi jumlah penonton, jumlah reaksi suka, jumlah reaksi tidak suka, dan jumlah komentar. Sementara itu, komentar dari 174 postingan video pada tahun 2019 diolah menggunakan teknik analisis konten untuk mengidentifikasi ekspresi relijiusitas penonton. Penulis menemukan bahwa satu program televisi dapat memuat multi-komodifikasi agama. Selain itu, kegiatan konsumsi juga melibatkan proses multi-refleksi relijiusitas individu. Artikel ini berkesimpulan bahwa komoditas berbasis keagamaan dapat berkembang karena mampu berfungsi sebagai alat kontrol individu terhadap risiko-risiko yang disebabkan oleh modernitas. 

This article examines the existence of religious-based television programs in modern society. Previous studies view that religious-based television programs exist because religion is able to integrate itself into the market through the process of commodification, also because television programs can be used as a media for promoting religious ideology. However, these studies have not explained why consumers' interest in faith-based television programs can grow. The author believes that the development of interest in religiously based television programs is a logical consequence of the contestation of fundamentalism and modernity. To explain this, the author raised the case of the Indonesian television program Hafiz. Observations were made on the social media channel YouTube Hafiz Indonesia which contained 1286 videos. All video posts are examined to get information about the content, information on the number of viewers, the number of likes, the number of dislikes and the number of comments. Meanwhile, comments from 174 video posts in 2019 were processed using content analysis techniques to identify the audience's religious expression. The author finds that a television program can contain multi-commodification of religion. In addition, consumption activities also involve a multi-reflection process of individual religiousity. This article concludes that religious-based commodities can develop because they are able to function as an individual control tool against the risks caused by modernity."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Herriot, Peter
Hove, East Sussex : Routledge, 2007
306.6 HER r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Febriano Bukit
"

Riset-riset politik yang selama ini telah dilakukan menemukan adanya hubungan antara religiusitas dengan ideologi politik, di mana terdapat kecenderungan religiusitas berkorelasi tinggi dengan konservatisme. Salah satu pengaruh dari religiusitas yang sejak awal dianggap paling efektif digunakan untuk mengarahkan sikap dan tingkah laku manusia adalah narasi keagamaan. Penelitian ini ingin melihat apakah narasi keagamaan dapat memengaruhi sikap ideologi politik. Di sisi lain, kelompok pertemanan juga memiliki peran dalam menjelaskan sikap terhadap isu-isu politik, dimana salah satu mekanisme psikologis yang dapat menjelaskan pengaruh kelompok pertemanan terhadap ideologi politik ini adalah konsep realitas terbagikan. Kelompok konservatif dianggap lebih memiliki keinginan tinggi untuk membagi realitas mereka dibandingkan dengan kelompok liberal, sehingga realitas terbagikan diduga semakin meningkatkan kecenderungan konservatif pada individu yang terpapar narasi keagamaan. Penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian eksplanatori, kuantitatif dan eksperimental. Terdapat total 165 partisipan (66 laki-laki dan 99 perempuan) yang dikelompokkan secara acak ke dalam dua kelompok manipulasi penelitian (between-subject design). Hasil penelitian menunjukkan bahwa paparan terhadap narasi keagamaan memengaruhi sikap ideologi politik kearah yang cenderung konservatif dan fundamentalis. Sementara, uji moderasi tidak menemukan adanya pengaruh dari realitas terbagikan terhadap kekuatan hubungan antara narasi keagamaan dengan sikap ideologi politik. Berdasarkan temuan ini, terbukti bahwa narasi keagamaan memengaruhi sikap ideologi politik individu, namun pengaruh ini tidak diperkuat oleh adanya realitas terbagikan pada diri individu.


Previous researches in politics found a relationship between religiosity and political ideology, in which there is a tendency of religiosity to highly correlated with conservatism. One main effect of religiosity that considered most effective to direct human's attitude and behavior is religious narrative. Current research would inspect if religious narrative could affect political ideology. On the other hand, peer groups also have roles on explaining attitudes towards political issues, which could be explained by a psychological mechanism called shared reality. Conservatives considered have higher motivation to share realities with liberals, so that shared reality increase the tendency of political conservatism on individual exposed to religious narrative. This study classified as explanatory, quantitative, and experimental research. A total of 165 participants (66 male and 99 female) randomly assigned to one of two manipulation groups (between-subject design). Results show that exposure of religious narrative affect political ideology attitudes toward conservatism and fundamentalism. Whilst, moderation test did not find any effect of shared reality towards the relationship between religious narrative and political ideology. These findings conclude that political ideology attitudes could be affected by religious narrative, but this effect did not enhanced by shared reality within individuals.

"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Fundamentalisme Agama merupakan salah satu fenomena global yang mewarnai aawal abad 21. Pada awal sejarahnya fundamentalisme dikenal sebagai salah satu gerakan Kristen Protestan di Amerika, namun kini istilah fundamentalisme digunakan untuk menyebut/menamai bangkitnya suatu ideologi tertentu yang muncul di berbagai belahan dunia. Banyak penelitian seputar gerakan fundamentalisme dilakukan untuk mempelajari dan memahami apa itu fundamentalisme, bagaimana awal kebangkitannya, karakteristiknya dengan budaya kekerasan, serta kaitannya dengan modernitas. Penelitian tentang fundamentalisme selama ini menunjukkan adanya beberapa temuan dan kemajuan dalam kajia ilmu sosial-humaniora, meski demikian tidak menutup kemungkinan masih terdapat problem konseptualisasi tentang fundamentalisme agama. Fundamentalisme agama muncul di tengah-tengah masyarakat sejak akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Orang-orang yang mempelajari fundamentalisme agama melihatnya sebagai respon terhadap masyarakat modern."
KONSTAINT 9:1 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>