Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154054 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Latifa Rahim
"Salah satu pemanfaatan Nanopartikel Perak NPP di bidang medis ialah sebagai agen antimikroba. Telah dilakukan penelitian biosintesis nanopartikel perak dengan menggunakan ekstrak daun Bisbul Diospyros discolor Willd. sebagai pereduksi nanopartikel perak. Nanopartikel perak hasil biosintesis terbentuk dibuktikan dengan puncak - maksimum di kisaran panjang gelombang 420--450 nm. Pemindaian Transmission Electron Microscopy TEM membuktikan keberadaan nanopartikel perak, kisaran ukuran 10--50 nm dengan bentuk yang masih heterogen. Pengujian aktivitas antimikroba menghasilkan zona bening untuk mikroba E. coli sebesar 7,01 1,01 mm untuk NPP yang tidak disentrifugasi dan 7,40 0,76 mm untuk NPP yang disentrifugasi. Diameter zona bening untuk S. aureus yaitu sebesar 7,66 0,94 mm untuk NPP yang tidak disentrifugasi dan 7,69 0,62 mm untuk NPP yang disentrifugasi. Indeks aktivitas antimikroba terhadap E. coli yang dihasilkan sebesar 0,17 0,16 untuk NPP yang tidak disentrifugasi dan0,20 0,14 untuk NPP yang disentrifugasi. Indeks aktivitas antimikroba terhadap S. aureus yang dihasilkan sebesar 0,40 0,19 untuk NPP yang tidak disentrifugasi dan 0,28 0,10 untuk NPP yang disentrifugasi. Hasil goresan dari suspensi sel yang dipaparkan dengan NPP; pada teknik tube dilution, menunjukkan adanya penurunan kerapatan pertumbuhan seiring lama waktu paparan 5, 10 dan 15 menit.

Silver nanoparticles or AgNP has wide uses it has long known for its antimicrobial property. With Bisbul Diospyros discolor Willd. leaves extract as the reducing agent against AgNO3 solution of 1 mM, AgNP has been successfully obtained. It is proven by detection of maximum peak around 420 450 nm wavelength. TEM scanning has further proven the existence of AgNP which size ranged from 10 50 nm and has relatively heterogenous shapes. Antimicrobial assay against E. coli resulted in clear zone of 7.01 1.01 mm for uncentrifuged AgNP and 7.40 0.76 mm for centrifuged AgNP. The assay against S. aureus has clear zone of 7.66 0.94 mm for uncentrifuged AgNP and 7.69 0.62 mm for centrifuged AgNP. Antimicrobial activity index assay against E. coli resulted in 0.17 0.16 for uncentrifuged AgNP and 0.20 0.14 for centrifuged AgNP. The assay against S. aureus resulted in 0.40 0.19activity index for uncentrifuged AgNP and 0.28 0.10 for centrifuged AgNP. The growth line obtained from streak method from tube dilution assay method shows decline of growth in cell suspension which have been exposed with biosynthetized AgNP for 5, 10 and 15 minutes."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S68846
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adnan Reva Gribaldy
"Latar Belakang: Acne vulgaris merupakan penyakit inflammasi kronik multifaktorial yang menyerang hingga 90% penderita usia remaja di seluruh dunia. Acne vulgaris mengakibatkan penurunan kualitas hidup (QoL) secara signifikan melalui perubahan fisik serta stres psikososial. Salah satu penyebab acne vulgaris adalah infeksi konkomitan bakteri Staphylococcus aureus pada unit pilosebasea kulit. Salah satu tata laksana yang hingga kini masih digunakan adalah terapi antibiotik berupa erythromicin. Namun, terdapat efek samping penyerta seperti iritasi kulit serta resistensi antimikroba terhadap golongan obat yang diberikan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan aktivitas antimikroba sediaan mikroenkapsulasi propolis Tetragonula spp yang berpotensi digunakan sebagai tatalaksana alternatif acne vulgaris yang hemat biaya serta rentan efek samping.
Metode: Uji in-vitro dilakukan untuk mengetahui aktivitas antimikrobial ekstrak propolis Tetragonula spp. dalam sediaan mikroenkapsulasi dengan pelarut DMSO dan CMC-Na. Kedua bentuk sediaan diuji dengan metode well diffusion serta broth dilution. Penentuan kadar konsentrasi total flavonoid juga dilakukan melalui spektrofotometri UV-Vis menggunakan standar quercetin.
Hasil: Ditemukan MIC propolis mikroenkapsulasi terhadap S. aureus pada konsentrasi 4096 ug/mL. Tidak ditemukan perbedaan statistik yang signifikan (p > 0.05) antara perubahan absorbansi pada grup intervensi sediaan propolis mikroenkapsulasi ketika dilarutkan dengan DMSO maupun CMC-Na menggunakan metode microbroth dilution setelah inkubasi 20 jam. Kadar flavonoid sediaan propolis mikroenkapsulasi yang digunakan ada pada rentang 366,2±5,3 mg QE/g, dengan rerata DZI pada rentang 7,16±8,33 cm.
Kesimpulan: Mikoenkapsulasi propolis Tetragonula spp menunjukan aktivitas antimikroba terhadap Staphylococcus aureus. Diperlukan studi lebih lanjut untuk mengoptimalkan kelarutan sediaan mikroenkapsulasi propolis Tetragonula spp.

Introduction: Acne vulgaris is a multifactorial, chronic inflamatory skin disorder affecting up to 90% adolescent around the globe. This condition has been known to significantly affects self-esteem and Quality-of-life (QoL) through appearance-related psychosocial stress. Acne vulgaris can be induced by infection in the pilosebaceous unit by Cutibacterium acnes and Staphylococcus aureus. Current treatments, like benzoyl peroxide may cause irritation and penicillin derivatives may induce antimicrobial resistance. We proposed propolis as an with microencapsulation to be used as a novel, cost-effective approach to treat acne vulgaris.
Method: Flavonoid concentration on microencapsulated propolis agent in DMSO and CMC-Na is quantified. Antimicrobial activity is also assesed by determining minimum inhibitory concentration (MIC) using agar disk diffusion test and absorbance measurement of broth S. aureus culture treated with varying concentrations of microencapsulated propolis at 0 and 20 hours of incubation.
Results: The MIC for microencapsulated propolis against S. aureus is observed to be in 4096 ug/mL. There is no statistically significant difference (p > 0.05) between the shift of absorbance and zone inhibition diameter of microencapsulated propolis when diluted in DMSO and CMC-Na after 20 hours of incubation. Flavonoid concentration of microencapsulated propolis is found to be at a range of 366,2±5,3 mg QE/g, with DZI values ranging 7,16±8,33 cm.
Conclusion: Microencapsulated propolis extract of Tetragonula spp exhibits antimicrobial acivity towards Staphylococcus aureus. Further research is needed to optimise physicochemical properties of microencapsulated propolis extract.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmawan Putra
"Latar belakang: Penyakit infeksi masih menempati urutan teratas penyebab masalah kesehatan di negara berkembang termasuk Indonesia. Dari sekian banyak penyakit infeksi, diare merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas tinggi untuk semua usia di Asia Tenggara. Pengobatan diare dilakukan dengan pemberian antibiotik. Namun, saat ini resistensi mikroba terhadap antibiotik semakin meningkat. Oleh karenanya perlu dikembangkan pengobatan alternatif memanfaatkan bahan aktif yang terkandung dalam tanaman (bahan alam). Salah satunya adalah pemanfaatn kulit buah manggis.
Metode: Penelitian ini menggunakan studi experimental dengan 7 perlakuan yaitu kontrol negatif (aquades), kontrol positif (antibiotik tetrasiklin), ekstraksi dalam berbagai macam pengenceran dan besar sampel setiap perlakuan adalah 4. Aktivitas antibakteri dilihat dengan pengukuran zona hambat atau diameter pada agar yang mengandung bakteri Escherichia coli. Data akan dianalisa dengan uji Kruskal-Wallis kemudian akan dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney.
Hasil: Uji hipotesis memperlihatkan nilai signifikansi p=0,000 dan pada uji Mann-Whitney terdapat perbedaan bermakna p<0,05 pada perbandingan antara antibiotik tetrasiklin dibandingkan dengan aquades dan ekstrak kulit buah manggis pada berbagai pengenceran. Hal ini juga dapat dilihat pada perbandingan antara aquades dengan ekstrak kulit buah manggis pada pengenceran 10x dengan nilai p=0,13 (p>0,05) yang menunjukkan terdapat perbedaan bermakna. Sedangkan antara aquades dan ekstrak kulit buah manggis pada pengenceran lainnya tidak terdapat perbedaan bermakna.
Simpulan: Ekstraksi kulit buah manggis pada pengenceran 10x mampu menghambat pertumbuhan bakteri E. Coli atau mempunyai aktivitas antimikroba.

Background: Infectious diseases are still tops the cause of health problems in developing countries, including Indonesia. Of the many infectious diseases, diarrhea is the cause of high morbidity and mortality for all ages in Southeast Asia. Diarrhea treatment is done with antibiotics. However, the current microbial resistance to antibiotics is increasing. Therefore necessary to develop alternative treatments utilizing the active ingredient contained in the plant (natural materials). One is the utilization of mangosteen rind.
Method: This study uses an experimental study with 7 treatment that negative control (distilled water), positive control (tetracycline antibiotic), extraction in a large variety of sample dilution and each treatment was 4. Antibacterial activity seen with inhibition zone measurement or diameter on agar containing the bacteria Escherichia coli. The data will be analyzed with the Kruskal-Wallis test will then be followed by the Mann-Whitney test.
Result: Hypothesis test showed a significance value p = 0.000 and the Mann-Whitney test significant difference p <0.05 in comparison between tetracycline antibiotics compared with distilled water and mangosteen peel extract at various dilutions. It can also be seen in the comparison between the distilled water with mangosteen peel extract at 10x dilution with p = 0.13 (p> 0.05), which showed significant difference. While between distilled water and mangosteen peel extract on other dilution is not significantly different.
Conclusion: Extraction of mangosteen rind at 10x dilution capable of inhibiting the growth of bacteria Escherichia coli or having antimicrobial activity.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mifa Nurfadilah
"Diospyros discolor Willd. atau bisbul diketahui mengandung beragam senyawa metabolit sekunder di antaranya fenol dan flavonoid. Senyawa-senyawa tersebut diduga berperan sebagai agen pereduksi dalam biosintesis nanopartikel perak NPP. Adapun karakter NPP seperti ukuran, bentuk, dan kesetabilan NPP dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan biosintesis misalnya pH. Dalam penelitian ini dilakukan biosintesis menggunakan air rebusan daun D. discolor pada pH 4, 6, 7, 9, dan 11 untuk mengetahui pengaruh pH terhadap karakter NPP yang diperoleh. Selain itu, untuk mengetahui peran senyawa fenol dan flavonoid, maka dilakukan pengukuran kadar senyawa tersebut dalam air rebusan daun D. discolor.
Biosintesis NPP dilakukan dengan mencampurkan air rebusan daun D. discolor 2 pH 4, 6, 7, 9, dan 11 dan AgNO3 1 mM pada perbandingan volume 1:2. Pembentukan NPP diketahui dengan melakukan karakterisasi pada warna larutan hasil biosintesis, karakterisasi menggunakan spektrofotometer UV-Vis, Transmission Electron Microscopy TEM, dan Particle Size Analyzer PSA. Setelah inkubasi 24 jam, hasil biosintesis menunjukkan adanya perubahan warna larutan biosintesis menjadi kuning kecokelatan hingga cokelat gelap. Spektrum absorbansi yang muncul pada panjang gelombang 414-446 nm menunjukkan terbentuknya NPP.
Hasil TEM dan PSA menunjukkan NPP berbentuk spherical dan memiliki ukuran berkisar 21-54 nm. Ukuran NPP tersebut cenderung semakin kecil seiring dengan kenaikan nilai pH. Hasil PSA juga menunjukkan bahwa NPP yang dihasilkan cenderung stabil dengan nilai zeta potensial berkisar antara -14 mV hingga -30 mV. Keberhasilan biosintesis NPP menggunakan air rebusan D. discolor diduga karena peran senyawa fenol atau flavonoid dalam air rebusan tersebut sebagai agen pereduksi. Adapun kadar fenol dan flavonoid dalam air rebusan D. discolor yaitu 823,7 ugGAE/mL dan 157,4 ugRE/mL.

Diospyros discolor Willd. or Bisbul countains of various secondary metabolites including phenol and flavonoid. These compounds are known to have role as reducing agent in silver nanoparticles SNPs biosynthesis. The SNPs characters such as size, shape, and stability of SNPs can be influenced by environmental conditions of biosynthesis such as pH. In this research, biosynthesis was done using D. discolor leaves aqueous extract at pH 4, 6, 7, 9, and 11 to know the effect of pH on characters of SNPs obtained. In addition, to know the role of phenol and flavonoid compounds, the levels of these compounds in D. discolor leaves aqueous extract was measured.
Biosynthesis was done by mixing D. discolor leaves aqueous extract 2 pH 4, 6, 7, 9, and 11 and AgNO3 1 mM ratio 1:2 UV-Vis then the solution was incubated 24 hours. The SNPs formed are characterized by spectrophotometer UV Vis, Transmission Electron Microscopy TEM, and Particle Size Analyzer PSA. After 24 hours of incubation, the color of solution was changed from yellow to brown or dark brown. The absorption spectrum shows peak at 414-446 nm, indicate the formation of SNPs. Meanwhile, TEM imaging shows that the shape of SNPs is spherical.
Based on PSA result, size of SNPs are ranging between 21-54 nm. Their size tend to become smaller with the increasing of pH value. The PSA result also shows that SNPs have zeta potential value ranging from 14 mV to 30 mV which indicate that the SNPs are relatively stable to moderately stable. The success of SNPs biosynthesis using D. discolor is thought to be due to the role of phenol or flavonoids as reducing agents. The levels of phenol and flavonoids in D. discolor leaves aqueous extract is 823.7 ugGAE/mL and 157.4 ugRE/mL.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
William Caesar Raja Mandala
"Pengemasan makanan penting dari produk makanan untuk melindungi kualitas makanan dan keamanan dari produk makanan. Material pembungkus makanan dengan ketahanan tarik, ketahanan panas, biodegradable, dan memiliki sifat antibakteri diperlukan untuk keamanan makanan dan memperpanjang waktu penyimpanan, terutama dari kontaminasi makanan akibat bakteri patogen makanan. Kini, plastik berbahan dasar minyak bumi digunakan dalam industri pengemasan makanan. Plastik ini sulit didegradasi sehingga menyebabkan masalah lingkungan yang serius. Oleh karena itu, plastik biodegradable dengan penambahan senyawa antibakteri dibutuhkan. PVA/pati crosslink sering digunakan sebagai material pengemasan makanan karena harganya murah, biodegradable, dan memiliki sifat mekanik yang baik. Daun kelor mudah dicari, harganya murah, dan memiliki sifat antibakteri yang baik. Inilah yang menyebabkan daun kelor sebagai kandidat yang baik sebagai senyawa antibakteri pada bioplastik. Oleh karena itu, pada penelitian ini dibuat bioplastik Poli(vinil alkohol) (PVA)/pati ter-crosslink dengan penambahan senyawa antibakteri dari ekstrak daun kelor. Bioplastik PVA/pati crosslink dibuat dengan terlebih dahulu daun kelor yang telah dicuci bersih dimaserasi, dikeringkan dan digerus hingga berukuran kecil dengan pelarut metanol, setelah itu ekstrak kemudian dipisahkan dengan pelarut etil asetat. Setelah dipisahkan, fasa organik dan fasa air dari ekstrak daun kelor diambil, lalu masing-masing diencerkan dengan air dengan konsentrasi 1:20 dan 2:20 (v/v), kemudian dibuat menjadi bioplastik dengan reaksi crosslink antara PVA dengan pati. Senyawa bioplastik yang terbentuk kemudian dikarakterisasi dengan instrumen FTIR, TGA, SEM, dan uji antibakteri terhadap bakteri Staphlyococcus aureus dan Escherichia coli. Bioplastik dengan ketahanan panas terbaik ialah bioplastik PVA/pati dengan ekstrak daun kelor pada fasa air dengan pengenceran 2:20, dengan ketahanan panas hingga suhu 190oC.

Food packaging is an essential part of food products to protect food quality and safety of food products. Food packaging materials with sufficient thermal stability, mechanical strength, and antibacterial properties is necessary for food safety and extending the shelf life of packaged foods, especially from food contamination by foodborne pathogens. Currently, petroleum-based plastics used to the food packaging industry. However, this kind of plastic is non-degradable and can cause a more serious environmental problem. Therefore, biodegradable plastic with the addition of antibacterial is needed. PVA/starch crosslinked bioplastic is commonly used as a food packaging material because its cheap, biodegradable and have excellent mechanical properties. Kelor (Moringa oleifera) leaf has an antibacterial ability due to its active compounds such as tannin and flavonoid. Kelor leaf is also cheap and easy to find in Indonesia, making it a right candidate for an antibacterial compound for food plastics. Hence, in this research, we made bioplastic PVA/starch crosslink with the addition of antibacterial compound from kelor leaf. Bioplastic PVA/starch crosslink made by maceration of kelor leaf with methanol solvent, then the product separated by extraction with a mixture of ethyl acetate concentrated and water solvent. After being separated, water and organic phase of each extract were diluted by distilled water with concentration 1:20 and 2:20 (v/v), and each concentration was made bioplastic by cross-linking poly(vinyl alcohol) and starch. Each plastic product was characterized by FTIR, SEM, and antibacterial test with S.aureus and E.coli. The best heat-resistant bioplastic was PVA/starch bioplastic with Kelor leaf extract in the water phase with a dilution of 2:20, which has heat resistance up to 190oC."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Nolia
"Diospyros discolor Willd. diketahui memiliki potensi yang dapat digunakan dalam biosintesis nanopartikel perak. Biosintesis nanopartikel perak dipengaruhi oleh beberapa parameter, salah satunya adalah pH. Penelitian bertujuan untuk menyintesis nanopartikel perak menggunakan air rebusan buah D. discolor serta mengetahui pengaruh variasi pH air rebusan terhadap nanopartikel yang dihasilkan. Proses biosintesis nanopartikel perak dilakukan dengan menggunakan air rebusan buah D. discolor 2 dan AgNO 3 1 mM. Variasi pH air rebusan yang digunakan adalah 4, 7, 9, 11 dan pH awal air rebusan kontrol. Karakterisasi nanopartikel perak yang dihasilkan terdiri dari karakterisasi visual foto, spektrum UV-Vis, particle size analyzer PSA, dan transmission electron microscopy TEM.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa buah D. discolor dapat digunakan sebagai agen pereduksi dalam biosintesis nanopartikel perak, dilihat dari adanya perubahan warna kuning kecoklatan dan dikonfirmasi menggunakan spektrofotometer UV Vis yang menunjukkan adanya absorbansi pada Panjang gelombang kisaran 400 nm. Hasil penelitian mengenai pengaruh variasi pH menunjukkan bahwa pH dapat mempengaruhi karakter nanopartikel perak yang dihasilkan seperti ukuran dan bentuk. Karakterisasi PSA menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai pH basa, ukuran nanopartikel cenderung semakin kecil.
Sementara itu, hasil TEM menunjukkan bahwa nanopartikel yang dihasilkan dalam kondisi pH basa memiliki persebaran yang homogen dan bentuk yang cukup seragam. Dalam penelitian ini juga telah dilakukan pengukuran aktivitas antioksidan, kadar fenol dan kadar flavonoid pada air rebusan buah D. discolor. hasil menunjukkan bahwa air rebusan buah D. discolor memiliki aktivitas antioksidan sebesar 90,8, kadar feno l sebesar 1.649,58 ?gGAE, dan kadar flavonoid sebesar 347 ?gRE.

Diospyros discolor Willd. is known to have potential that can be used in silver nanoparticles biosynthesis. The biosynthesis of silver nanoparticles is affected by certain parameters, like pH. The study aimed to obtain silver nanoparticles using D. discolor fruit aqueous extract and to know the effect of aqueous extract with pH variation to the nanoparticles result. The biosynthesis process of silver nanoparticles was carried out by using D. discolor fruit aqueous extract 2 and AgNO3 1 mM. The pH variation used was 4,7,9,11 and the initial pH of aqueous extract as control. The characterization of the silver nanoparticles consists of visual characterization photo, UV Vis spectra, particle size analyzer PSA, and transmission electron microscopy TEM.
The results showed that D. discolor fruit can be used as reducing agents in the biosynthesis of silver nanoparticles, seen from a brownish yellow color and confirmed using a UV Vis spectrophotometer indicating absorbance at wavelength around 400 nm. The results of this research on the effect of pH variation show that pH can influence the character of the resulting silver nanoparticles such as size and shape. The characterization of PSA shows that the higher the pH value, the nanoparticle size tends to decrease.
Meanwhile, the TEM results show that the nanoparticles produced under basic pH conditions have a homogeneous distribution and are regular in shape. In this study has also been conducted measuring the antioxidant activity, phenol and flavonoid content in D. discolor fruit aqueous extract. The results showed that the fruit D. discolor has scavenging activity of 90.8, 1649.58 gGAE phenol content and flavonoid content of 347 gRE.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ritfa Sari
"Marasi (Curculigo latifolia) merupakan salah satu tanaman dari famili Hypoxidaceae yang terdapat di Indonesia, Semenanjung Malaya hingga Indo-China. Tanaman ini secara tradisional digunakan untuk mengobati kanker, diabetes melitus, demam, infeksi mata, infeksi bakteri. Curculigo latifolia mengandung senyawa curculigine, norlignane, terpenoid, flavonoid, tannin, glikosida fenol dan turunannya yang bersifat antioksidan dan antimikroba. Penelitian ini bertujuan untuk standardisasi dan mengkaji aktivitas antimikroba dari ekstrak terpilih tanaman Curculigo latifolia terhadap bakteri Propionibacterium acne, Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis. Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi, uji zona hambat, uji KHM dan KBM, serta standardisasi ekstrak terpilih. Bagian tanaman yang digunakan antara lain daun, batang dan akar. Masing-masing bagian tanaman diekstraksi secara maserasi bertingkat menggunakan pelarut n-heksana, etil asetat, dan etanol 70%. Ekstraksi menggunakan pelarut etanol 70% v/v memberikan rendemen tertinggi di semua bagian tanaman, dengan nilai berkisar antara 9,3% hingga 12,64%. Uji zona hambat dari semua ekstrak yang dihasilkan, dilakukan dengan metode difusi cakram. Uji KHM dan KBM dilakukan dengan metode dilusi. Berdasarkan hasil uji antibakteri, ekstrak etil asetat dari bagian batang menunjukkan aktivitas antibakteri paling signifikan terhadap S. aureus dan S. epidermidis, sedangkan ekstrak n-heksana dari bagian akar memberikan hasil terbaik terhadap S. epidermidis. Ekstrak terpilih ditunjukkan oleh ekstrak etil asetat dari daun karena memiliki aktivitas antibakteri pada ketiga bakteri serta menjadi ekstrak dengan aktivitas tertinggi terhadap P. acne. Zona hambat ekstrak terpilih terhadap P. acne sebesar 11±1.4mm, nilai KHM sebesar 2.5%, dan KBM sebesar 5%. Analisis kualitatif menggunakan LC-HRMS menunjukkan terdapat 462 senyawa terdeteksi di dalam ekstrak terpilih Curculigo latifolia, termasuk senyawa kimia ursolic acid. Hasil standardisasi mutu menunjukkan bahwa ekstrak terpilih memenuhi standar keamanan dan kualitas, dengan kadar air kurang dari 10%, kadar abu total yang rendah, dan tidak terdeteksi adanya cemaran logam berat maupun mikroba.

Marasi (Curculigo latifolia) is one of the plants from the family Hypoxidaceae, found in Indonesia, the Malay Peninsula, and Indo-China. Traditionally, this plant is used to treat cancer, diabetes mellitus, fever, eye infections, and bacterial infections. Curculigo latifolia contains compounds such as curculigine, norlignane, terpenoids, flavonoids, tannins, phenolic glycosides, and their derivatives, which have antioxidant and antimicrobial properties. This study aims to standardize and evaluate the antimicrobial activity of the most active extract of Curculigo latifolia against Propionibacterium acnes, Staphylococcus aureus, and Staphylococcus epidermidis. The research involved extraction, inhibition zone testing, minimum inhibitory concentration (MIC), minimum bactericidal concentration (MBC), and standardization of the most active extract. The plant parts used include leaves, stems, and roots. Each part of the plant was subjected to multilevel maceration extraction using solvents n-heksanae, ethyl acetate, and 70% ethanol. Extraction with 70% ethanol (v/v) provided the highest yield across all plant parts, with values ranging from 9.3% to 12.64%. The inhibition zone test for all extracts was performed using the disk diffusion method. MIC and MBC tests were conducted using the dilution method. Based on the antibacterial tests, the ethyl acetate extract of the stem showed the most significant antibacterial activity against S. aureus and S. epidermidis, while the n-heksanae extract of the root showed the best results against S. epidermidis. The most active extract was identified as the ethyl acetate extract of the leaves, as it exhibited antibacterial activity against all three bacteria and showed the highest activity against P. acnes. The inhibition zone of the most active extract against P. acnes was 11±1.4mm, with an MIC value of 2.5%, and an MBC value of 5%. Qualitative analysis using LC-HRMS detected 462 compounds in the most active extract of Curculigo latifolia, including the chemical compound ursolic acid. The quality standardization results indicated that the most active extract met safety and quality standards, with a moisture content of less than 10%, low total ash content, and no detectable contamination from heavy metals or microbes."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhitya Prasetya
"Latar Belakang: Saat ini, terjadinya peningkatan angka penyakit infeksi di seluruh dunia termasuk di Indonesia masih merupakan masalah. Namun, di dalam praktik sehari-hari, masih terdapat banyak sekali penyalahgunaan antibiotik yang akhirnya menyebabkan masalah resistensi. Organisasi kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa resistensi telah mencapai keadaan pada level berbahaya. Salah satu alternatif yang bisa dilakukan yaitu dengan memanfaatkan tanaman herbal. Salah satu tanaman herbal yang banyak digunakan yaitu cocor bebek (Kalanchoe Pinnata). Tanaman ini biasanya digunakan untuk mengobati infeksi pada kulit, diare dan infeksi saluran kemih. Oleh karenanya, penelitian ini bertujuan untuk menguji aktivitas antimikroba tanaman ini terhadap bakteri penyebab tersering penyakit infeksi.
Metode: Penelitian dilakukan di Departemen Mikrobiologi FKUI. Isolat yang digunakan yaitu E. coli ATCC 25922 dan E. coli isolat klinis (No. 178). Metode uji kepekaan menggunakan broth dilution method untuk menentukan MIC (minimum inhibitory concentration), selanjutnya dilakukan penentuan MBC (minimum bactericidal concentration).
Hasil: Kalanchoe pinnata terbukti mempunyai aktivitas antimikroba terhadap E. coli. Dari hasil penelitian yang telah dikerjakan tidak terdapat perbedaan MIC dan MBC Kalanchoe pinnata terhadap isolat E. coli ATCC 25922 dan isolat klinik patogen (No. 178) (MIC= 14.4 g/dL dan MBC= 28.8 g/dL).

Background: Nowadays, the increasing number of infectious diseases worldwide including Indonesia has become a major problem. However, in daily practice, there are many improper uses of antibiotics, so that it causes resistant problems. World Health Organization (WHO) stated that antibiotics resistance has reached the dangerous level. One of the alternatives that can be done is to utilize herbal plants. One of the plants that has been commonly used is Kalanchoe pinnata (cocor bebek). Therefore, this study was aimed to explore the antimicrobial activity of Kalanchoe pinnata against bacteria that often cause infectious diseases.
Methods: The research is conducted at the Department of Microbiology, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia. Kalanchoe pinnata was challenged with E. coli ATCC 25922 and wild strain E. coli (178) isolated from clinical specimen. Broth dilution method was utilized to determine the MIC (minimum inhibitory concentration), moreover we also determined the MBC (minimum bactericidal concentration).
Results: This study revealed that Kalanchoe pinnata has antimicrobial activity against E. coli. There is no difference between MIC and MBC of Kalanchoe pinnata against E. coli ATCC and clinical pathogen isolates (MIC= 14.4 g/dL and MBC= 28.8 g/dL).
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Larasati
"Acinetobacter baumannii dan Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus merupakan dua dari sekian banyak bakteri yang menginfeksi manusia. Infeksi bakteri tersebut menjadi semakin berbahaya akibat tingginya kejadian resistensi bakteri tersebut terhadap antibiotik. Keterbatasan antibiotik yang tersedia menyebabkan perlunya penggunaan bahan alternatif sebagai antibiotik, antara lain tanaman herbal yang banyak djumpai di Indonesia sebagai kekayaan hayati. Kalanchoe pinnata merupakan salah satu tanaman herbal yang sering digunakan untuk menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun Kalanchoe pinnata terhadap Acinetobacter baumannii dan Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. Penelitian ini dilakukan di Departemen Mikrobiologi dan Farmasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Daun Kalanchoe pinnata diekstraksi dengan etanol. Sampel bakteri diambil secara acak dari koleksi kultur bakteri yang diisolasi dari pasien. Uji kepekaan dilakukan dengan metode mikrodilusi. Kalanchoe pinnata mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Acinetobacter baumannii dan Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. Konsentrasi Hambat Minimum dan Konsentrasi Bunuh Minimum ekstrak daun Kalanchoe pinnata terhadap Acinetobacter baumannii sebesar 144,9 mg/ml dan 289,8 mg/ml, sedangkan terhadap Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus sebesar 144,9 mg/ml; dengan Konsentrasi Bunuh Minimum yang tidak dapat ditentukan.

Acinetobacter baumannii and Methicillin Resistant Staphylococcus aureus are two out of many human infecting bacteria. These bacterial infections are becoming more threatening due to their high resistance towards antibiotics. This condition leads to a challenge in searching alternative substances that can be utilized as antibiotics. One way to obtain the substance is from herbs that are found all around Indonesia as its national plant heritage. Cocor Bebek Kalanchoe pinnata is one of the herbs that is often used to treat infections. The aim of this study is to investigate the antibacterial activity of leaves extract of Kalanchoe pinnata against Acinetobacter baumannii and Methicillin Resistant Staphylococcus aureus. This study was conducted at The Department of Microbiology and Pharmacy, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia. Leaves of Kalanchoe pinnata were extracted using ethanol as solvent. Bacterial samples were selected randomly from a culture collection isolated from patients. Susceptibility test was done by broth microdilution method. Kalanchoe pinnata has antibacterial activity against Acinetobacter baumannii and Methicillin Resistant Staphylococcus aureus. The Minimum Inhibitory Concentration and Minimum Bactericidal Concentration of Kalanchoe pinnata leaves extract against Acinetobacter baumannii are 144.9 mg ml and 289.8 mg ml, while for Methicillin Resistant Staphylococcus aureus is 144.9 mg ml unfortunately, its MBC cannot be determined.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angela Bonita
"Infeksi MRSA belum dapat ditangani secara efektif. Pilihan terapi yang saat ini digunakan adalah vankomisin, clindamycin, atau trimethoprim-sulfomethoxazole TMP-SMX . Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas antimikroba ekstrak kulit batang Aleurites moluccana L. willd terhadap MRSA dengan harapan dapat dijadikan pengobatan alternatif untuk infeksi MRSA. Ekstrak kulit batang A. moluccana diketahui memiliki zat aktif 3-acetyl aleuritolic acid yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus. Ekstrak kulit batang A. moluccana dilarutkan dengan methanol, kemudian diencerkan dengan konsentrasi 50 g/mL, 100 g/mL, 200 g/mL, 400 g/mL, dan 800 g/mL. Pengujian dilakukan dengan metode difusi cakram, kemudian dibandingkan dengan clindamycin 20 g/mL sebagai kontrol positif dan akuades sebagai kontrol negatif. Hasil penelitian menunjukkan tidak terbentuk zona hambat pada kelima konsentrasi ekstrak yang diuji. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh konsentrasi ekstrak yang diuji serta karakteristik tanaman A. moluccana yang tempat tumbuhnya berbeda antara daerah yang satu dengan yang lainnya sehingga mempengaruhi kandungan zat aktif dalam tanaman tersebut.

MRSA infection cannot be treated effectively. Treatments being used now are vancomycin, clindamycin, or trimethoprim sulfomethoxazole TMP SMX . This research was conducted to know the antibacterial activity of Aleurites moluccana L. willd stem bark extract against MRSA so it can be used as an alternative treatment for MRSA infection. A. moluccana stem bark extract is known to have 3 acetyl that showed antibacterial activity against Staphylococcus aureus. The extraction of A. moluccana stem bark used methanol as solvent, and then diluted to five different concentration, 50 g mL, 100 g mL, 200 g mL, 400 g mL, dan 800 g mL. The research was conducted with disc diffusion method, and then compared to clindamycin 20 g mL as positive control and aquadest as negative control. The result showed no inhibition zone for all concentration that were tested. This result could be affected by several factors, such as the extract concentration and the different characteristic of the plant according to the plant rsquo s habitat."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>