Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 207724 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vienna Novia Lurizha Adza
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai penerapan prinsip komplementaritas sebagai salah satu prinsip esensial dalam Statuta Roma oleh Mahkamah Pidana Internasional dalam dua perkara di Libya yaitu perkara Saif al-Islam Gaddafi dan Abdullah al- Senussi. Kedua perkara ini ditangani oleh negara yang sama yaitu Libya, namun pada putusan akhirnya keduanya mendapatkan putusan yang berbeda. Libya dinyatakan tidak mampu dalam perkara Saif al-Islam Gaddafi sedangkan dalam perkara Abdullah al-Senussi, Libya dinyatakan mampu untuk mengadili perkara sehingga perkara tersebut dinyatakan tidak admissible. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa sistem hukum yang sama dapat dianalisa menjadi dua kondisi yang berbeda dalam dua perkara tersebut. Untuk menjawab persoalan ini, Penulis menggunakan studi pustaka terhadap berbagai jenis data sekunder, Penulis menyimpulkan bahwa Mahkamah Pidana Internasional tidak konsisten dalam melakukan penilaian terhadap penerapan prinsip komplementaritas dalam dua perkara tersebut. Hal tersebut bersumber dari penilaian mengenai ketidakmampuan Libya berdasarkan Pasal 17 3 Statuta Roma.

ABSTRACT
This study discusses the implementation of the complementarity principle as one of the most essential principle established in the Rome Statute by the International Criminal Court in two cases in Libya, which are the case of Saif al Islam Gaddafi and Abdullah al Senussi. These cases were investigated by the same State which was Libya. However, on the final Decision the Court has rendered two substantially different rulings. Libya was declared unable to investigate the case of Saif al Gaddafi, whereas in the case of Abdullah al Senussi, Libya was declared able to investigate the case, rendering the case inadmissible before the Court. This condition raises the question of why the same national legal system can be analysed and described into two different conditions. The author concluded that the International Criminal Court has been inconsistent in analyzing the implementation of the complementarity principle in these cases. Such inconsistencies can be found in the Court rsquo s analysis regarding the inability of Libya to investigate or carry out a proceeding pursuant to Article 17 3 of the Rome Statute. "
2017
S69182
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2005
S26033
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Miranda Kosasih
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai konsep pertanggungjawaban pidana
dalam hukum pidana internasional dan secara spesifik membahas
konsep pertanggungjawaban individual yang diatur dalam Statuta Roma.
Konsep pertanggungjawaban individual mulai dikenal dalam hukum
internasional moderen pada masa Perang Dunia II tepatnya dalam
Peradilan Nuremberg, dengan menghukum individu atas kejahatan
internasional. Konsep ini selanjutnya diterapkan di berbagai peradilan
pidana internasional. dan mengalami perkembangan dengan munculnya
konsep pertanggungjawaban pimpinan dalam Peradilan Tokyo dan
konsep Joint Criminal Enterprise dalam International Court for Former
Yugoslavia (ICTY). Konsep pertanggungjawaban individual mengalami
perubahan ketika diterapkan dalam International Criminal Court (ICC)
yang terlihat didalam putusan Prosecutor v. Thomas Lubanga Dyilo.
Dalam putusan tersebut, majelis hakim menyatakan bahwa Thomas
Lubanga Dyilo bersalah atas kejahatan perang dalam perekrutan tentara
anak dan bertanggung jawab secara individu atas dasar turut melakukan
(co-perpetration).

ABSTRACT
This thesis analyzes the concept of criminal responsibility under
international criminal law, specifically discusses the individual criminal responsibility under Rome Statute. Individual criminal responsibility was first applied during the Second World War, which was in the Nuremberg Trials. The concept punishes individual for International crimes. The concept of individual criminal responsibility was then applied in various international criminal tribunals, and has developed with the introduction of the concept of superior responsibility in International Military Tribunal for The Far East and the concept of joint criminal enterprise in International Criminal Tribunal for Former
Yugoslavia. The concept of criminal responsibility has evolved in the
International Criminal Court, as it can be seen in Prosecutor v. Thomas
Lubanga Dyilo Case. The trial chamber punished Thomas Lubanga
Dyilo for the warcrime of recruiting child soldier under co-perpetration."
2013
S46333
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Nabila
"This study discusses the jurisdiction of International Criminal Court, as the permanent criminal court whose jurisdiction covers international criminal acts, with regard to the conflict between Palestine and Israel in Gaza Strip. Palestine and Israel are often involved in a conflict in Gaza Strip, most notably in 2009 and 2012. The aftermath of the two conflicts suggested several indications of internatioanl criminal acts conducted by two States, however no measures have been taken thus far in response to such indications. On 1 April 2015, Palestine has officialy become the State Party of International Criminal Court. This raises the question of the possibility of International Criminal Court?s jurisdict ion over the two notable conflicts in Gaza Strip. The author concluded that International Criminal Court does not have jurisdiction over the conflict between Palestine and Israel in Gaza Strip.

Skripsi ini membahas mengenai yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, sebagai pengadilan pidana permanen yang memiliki yurisdiksi terhadap tindak pidana internasional, atas konflik antara Palestina dan Israel di Jalur Gaza. Palestina dan Israel kerap terlibat dalam konflik bersenjata dalam wilayah Jalur Gaza, diantaranya pada tahun 2009 serta 2012. Dalam kedua periode konflik tersebut terdapat beberapa indikasi adanya tindak pidana internasional yang dilakukan oleh kedua negara, namun belum terdapat proses pengadilan apaun terkait dengan indikasi tersebut. Pada 1 April 2015, Palestina secara resmi telah menjadi negara anggota dari Mahkamah Pidana Internasional. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terkait dengan konflik di Jalur Gaza yang melibatkan salah satu negara anggotanya tersebut. Penulis menyimpulkan bahwa hingga saat ini, Mahkamah Pidana Internasional belum memiliki yurisdiksi atas konflik antara Palestina dan Israel di Jalur Gaza."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S60570
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oxford: Oxford Univesity Press, 2015
345.01 LAW
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Schabas, William A.
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2011
345.01 SCH i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
M. Agus Iskandar
"ABSTRAK
Permasalahan selalu mengundang perbedaan pendapat, dan Internasional hukum dari perbedaan ini , akan di hasilkan hal-hal baru yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum. Demikian pula dengan masalah hukum yang pernah terjadi beberapa dasawarsa yang lalu setelah usainya perang dunia kedua, yaitu dengan dibentuknya Mahkamah Militer Internasional, untuk mengadili para penjahat perang dunia kedua. Fihak Sekutu sebagai pemenang perang berfikiran bahwa dai am perang dunia kedua ini kejahatan perang sudah dalam batas menghawatirkan peradaban manusia. Oleh sebab itu sanksi atas pelanggaran hukum perang harus ditegakan. Atas dasar hal itu maka didirikanlah Mahkamah Militer Internasional. Disisi lain fihak Jerman dan Jepang sebagai fihak yang kalah dalam perang tidak bisa menerima cara tersebut, karena selain mereka adalah fihak terdakwa, mereka juga beranggapan bahwa didirikannya mahkamah tersebut oleh Sekutu dan dilaksanakannya proses peradilanya oleh ahli-ahli hukum negara Sekutu, adalah merupakan balas dendam yang terselubung» Selain itu dalam pelaksanaannya, terdapat tatacara yang tidak lazim menurut tatanan hukum yang telah ada. Dalam kenyataanya, mahkamah tersebut tetap dilaksanakan dan mempunyai dampak positif bagi perkembangan hukum internasional."
1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
McDougall, Carrie, 1978-
""This guide to the crime of aggression provisions under the Rome Statute of the International Criminal Court (ICC) offers an exhaustive and sophisticated legal analysis of the crime's definition, as well as the jurisdictional provisions governing the ICC's exercise of jurisdiction over the crime. A range of practical issues likely to arise in prosecutions of the crime of aggression before the ICC are canvassed, as is the issue of the domestic prosecution of the crime. It also offers an insight into the geopolitical significance of the crime of aggression and the activation of the ICC's ability to exercise its jurisdiction over the crime. The author's intimate involvement in the crime's negotiations, combined with extensive scholarly reflection on the criminalisation of inter-State uses of armed force, makes this highly relevant to all academics and practitioners interested in the crime of aggression"--"
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2015
341.62 MCD c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hikmatu Shalihah
"Skripsi ini membahas mengenai pengaruh dari Policy Paper on Sexual and Gender-Based Crimes 2014 terhadap penuntutan kejahatan seksual yang diadili di Mahkamah Pidana Internasional. Dalam penelitian ini juga akan dibahas secara kronologis terkait pengaturan dan penuntutan kejahatan seksual di pengadilan- pengadilan sebelum Mahkamah Pidana Internasional untuk melihat signifikansi dari setiap pengadilan dalam penuntutan kejahatan seksual. Kejahatan seksual pada International Military Tribunal of Nuremberg and Tokyo (IMT dan IMTFE) pada masa Perang Dunia II belum dianggap sebagai kejahatan yang terpisah dan hanya sebagai bagian dari “mass atrocities”. Perkembangan dan pengaturan juga kejahatan seksual dapat dilihat pada pengadilan pidana internasional yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB yaitu ICTY, ICTR dan SCSL. Dengan berkembangnya pengaturan kejahatan seksual dalam pengadilan-pengadilan ini maka keberhasilan Penuntut Umum dalam membuktikan kejahatan seksual telah menghasilkan landmark cases seperti putusan Prosecutor v. Tadic yang merupakan keberhasilan pertama oleh Penuntut Umum dalam membuktikan kejahatan seksual. Namun, tidak ada kejahatan seksual yang berhasil dituntut di Mahkamah Pidana Internasional sebelum diterbitkannya Policy Paper on Sexual and Gender-Based Crimes 2014. Kasus pertama yang berhasil membuktikan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa kejahatan seksual adalah kasus Prosecutor v. Bemba setelah diterbitkan Policy Paper on Sexual and Gender Based Crimes 2014. Maka dari itu, penulis bertujuan untuk menjelaskan faktor- faktor dari ketidakberhasilan penuntutan kejahatan seksual di Mahkamah Pidana Internasional melalui kasus-kasus dan pengaruh Policy Paper on Sexual and Gender Based Crimes 2014 sebagai pedoman Penuntut Umum terhadap penuntutan kejahatan seksual di Mahkamah Pidana Internasional.

This thesis discusses the implementation of the Policy Paper on Sexual and Gender-Based Crimes 2014 on the prosecution of sexual crimes tried at the International Criminal Court. This study will also discuss chronologically regarding the regulation and prosecution of sexual crimes in courts before the International Criminal Court to see the significance of each court in prosecuting sexual crimes. Sexual crimes at the International Military Tribunal of Nuremberg and Tokyo (IMT and IMTFE) during World War II were not considered separate crimes and only as part of "mass atrocities". The development and regulation of sexual crimes can be seen in the international criminal courts established by the UN Security Council, namely ICTY, ICTR and SCSL. With the development of the regulation of sexual crimes in these courts, the success of the Public Prosecutor in proving sexual crimes has resulted in landmark cases such as the decision of Prosecutor v. Tadic which is the first success by the Public Prosecutor in proving a sexual crime. However, no sexual crimes were successfully prosecuted in the International Criminal Court prior to the publication of the 2014 Policy Paper on Sexual and Gender-Based Crimes. The first case that succeeded in proving crimes against humanity in the form of sexual crimes was the case of Prosecutor v. Bemba after the publication of the Policy Paper on Sexual and Gender Based Crimes 2014. Therefore, the author aims to explain the factors of the unsuccessful prosecution of sexual crimes at the International Criminal Court through cases and the influence of the 2014 Policy Paper on Sexual and Gender Based Crimes as the Public Prosecutor guide for the prosecution of sexual crimes at the International Criminal Court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gatot Efrianto
"ICC adalah sebuah pengadilan independen permanen yang bertujuan untuk menuntut individu yang melakukan kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional, yaitu seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. ICC didirikan pada tanggal 1 Juli 2002 dan bermarkas di kota Den Haag, Belanda. ICC adalah pengadilan terakhir di mana ICC tidak akan bertindak jika kasus telah atau sedang diselidiki atau dituntut oleh sistem peradilan nasional kecuali proses nasional tersebut tidak adil, misalnya jika proses formal dilakukan semata-mata untuk melindungi seseorang dari tanggung jawab pidana. Jadi, salah satu tujuan didirikannya ICC adalah untuk membantu mengakhiri kekebalan hukum bagi para pelaku kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Selain itu, ICC hanya mencoba mengadili mereka yang dituduh melakukan kejahatan yang paling parah. Dalam setiap kegiatan, ICC mengamati standar tertinggi keadilan dan proses pengadilan. Yurisdiksi dan fungsi ICC diatur oleh Statuta Roma yang merupakan hasil konferensi internasional di Roma pada Juni 1998 (diadopsi 17 Juli 1998). Banyak kalangan menilai bahwa proses keikutsertaan (ratifikasi) Indonesia ke Statuta Roma (yang menjadi dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional) berjalan sangat lambat. Meskipun saat ini terdapat 119 negara yang telah menjadi Negara Pihak pada Statuta Roma, proses ratifikasi oleh Indonesia masih belum dapat dilaksanakan sebagaimana yang direncanakan Pemerintah. Untuk itu, Penulis memandang perlu untuk menyampaikan beberapa sumbangan pemikiran yang diharapkan dapat mendorong proses ratifikasi tersebut. Sejalan dengan maksud tersebut, tulisan ini akan diawali dengan pembahasan secara ringkas manfaat dan urgensi ratifikasi Statuta Roma. Selanjutnya, tulisan ini juga akan secara khusus menganalisa beberapa mispersepsi (kesalahpahaman) yang selama ini menurut Penulis telah menghambat dan menjadi kendala proses ratifikasi di Indonesia. Kemudian di bagian akhir, selain memberikan beberapa kesimpulan, tulisan ini juga akan menyampaikan beberapa saran yang dapat dipertimbangkan oleh Pemerintah guna mempercepat proses ratifikasi Statuta Roma."
[Place of publication not identified]: The Ary Suta Center Series on Strategic Management, 2015
330 ASCSM 29 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>