Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 128945 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Rizky Pratama Saputra
"Unsur kesalahan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu tindak pidana. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak secara tegas mencantumkan unsur kesalahan, namun kesalahan tersebut tersirat dalam unsur memperkaya diri. Melalui metodologi penelitian yuridis normatif dan kajian terhadap beberapa putusan tingkat kasasi dapat disimpulkan bahwa, pada praktiknya kebanyakan hakim hanya membuktikan dan mempertimbangkan unsur memperkaya diri, meskipun demikian ada juga hakim yang mempertimbangkan unsur kesalahan secara khusus. Dengan demikian terlepas dari bagaimana cara hakim mempertimbangkannya, berarti unsur kesalahan dalam pasal ini telah dibuktikan dan dipertimbangkan oleh Majelis Hakim ketika akan menyatakan Terdakwa secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan pasal tersebut.

Article 2 verse 1 of the Corruption Criminal Act has indirectly contained element of guilt, however element of guilt implicitly contained in self enriching element. Through juridical normative methodology research and study of some cassation rsquo s verdict can be deduced that practically, most of judges just proving and considering self enriching element, eventhough there are judges who considering element of guilt specifically. Therefore, regardless of how judges considering element of guilt, it means in this article element of guilt already proven and considered by judges when stating that defendant is guilty based on this Article 2 verse 1 of the Corruption Criminal Act."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69366
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Erni Pramoti
"ABSTRAK
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan sebuah nuansa baru
dalam perkembangan penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi di
Indonesia yaitu dengan dikenalnya pembalikan beban pembuktian terutama
berkaitan dengan pembuktian tindak pidana gratifikasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 12 B ayat (1) huruf a. Permasalahannyamasih jarang ditemui perkara yang
menerapkan ketentuan tentang gratifikasi, padahal penggunaan pasal ini Penuntut
Umum akan lebih diuntungkan karena kewajiban untuk membuktikan sudah ada
pada pihak terdakwa. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana
konsekuensi dari pembalikan beban pembuktian pada perkara gratifikasi terhadap
proses pembuktian di muka persidangan oleh Penuntut Umum, penerapannya
dalam kasus Dhana Widiatmika dan Gayus Tambunan, dan hal-hal apakah yang
masih menjadi permasalahan dalam penerapannya. Hasil penelitian ini
menunjukkan penerapan pembalikan beban pembuktian perkara Gratifikasi dalam
Pasal 12 B terdapat kerancuan, karenapasal ini memuat dua unsur pasal yang
masing-masing memiliki sistem pembuktian yang berbeda yaitu unsur “pemberian
kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara” (sistem pembuktian
konvensional) dan unsur “berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya” (sistem pembuktian terbalik). Dimana dalam
proses pembuktian Pasal 12 Btetap mengacu pada KUHAP, sehingga menjadikan
pembuktian terbalik mekanismenya tidak terlihat dalam pemeriksaan di
persidangan, karena dengan tetap saja pola hakim digiring pada pola
pemikirannya Jaksa Penuntut Umum.

ABSTRACT
Act No. 20 of 2001 on Amendments to Act No. 31 Year 1999 on
Eradication of Corruption gives a new nuance in the development of law
enforcement in the field of eradication of corruption in Indonesia, with the
familiar reversal of the burden of proof is primarily concerned with proving the
crime of gratification as provided for in Article 12 B of paragraph (1) letter a. The
problem is rarely encountered cases that apply the provisions of gratification,
whereas the use of this article Prosecutor will be benefited from the existing
obligation to prove the defendant. This study intends to find out how the
consequences of a reversal of the burden of proof on the graft case against the
evidence in court by prosecution , its application in the case of Gayus Tambunan
and Dhana Widiatmika, and if things are still a problem in its application. The
results of this study demonstrate the applicability of the reversal of the burden of
proof in the case of Article 12 B Gratuities are ambiguous, because this article
contains two elements, each chapter has a different system that is an element of
proof "gift to an official or state officials" (conventional verification system) and
element "associated with his position and contrary to the obligations or
duties"(reverse authentication system). Where in the process of proving Article 12
B still refer to the Criminal Code, making the reverse authentication mechanism is
not visible in the examination in the trial, because the judge still herded the
pattern of his thinking pattern Prosecution."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38999
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elstonsius Banjo
"Sudah banyak orang diputus besalah dan dipidana sebagai tindak pidana korupsi Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK. Namun, apakah pengadilan Tipikor telah mempertimbangan unsur kesalahan secara komprehensif pada pertanggungjawaban pidana. Penelitian ini mengkaji tiga permasalahan hukum, yaitu (1) Bagaimana pengadilan Tindak Pidana Korupsi mempertimbangkan unsur kesalahan pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK dalam putusan-putusannya; (2) Bagaimana perkembangan penafsiran unsur kesalahan dalam rumusan tindak pidana korupsi Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK; dan (3) Bagaimana parameter untuk menilai unsur kesalahan sebagai dasar pertanggung-jawaban pidana pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK. Metode yang digunakan adalah “Yuridis Normatif” untuk menggali norma hukum dan keputusan pengadilan berdasar ‘library based-study”, dan dilakukan melalui “analytical and critical approach”. Penilaian dan pengujian berdasarkan asas dan teori kesalahan, dan dilakukan melalui model penalaran moralitas “Natural Law”. Hasil penelitian menunjukan, bahwa pengadilan Tipikor cenderung memidana terdakwa tanpa pertimbangan secara komprehensif unsur kesalahan. Lebih kepada keadaan objektif daripada keadaan objektif dan subjektif, yaitu suatu perbuatan yang tidak mengikuti standar dan prosedur administrasi yang dipersyaratkan, dan belum menyentuh pada suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum (wederrecchtelijkheid) dan “dengan sengaja” untuk menguntungkan atau memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, sehingga negara dirugikan. Meskipun ada hakim menyebutkannya secara aksplisit atau pun implisit dalam pertimbangan hukumnya, akan tetapi belum digali hubungan antara unsur “sengaja” dengan perbuatan yang dilakukan terdakwa, sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara. Dengan demikian, asas dan teori Kesalahan yang dikolaborasi dengan model penalaran moralitas “Natural Law” dapat menjadi model ideal (parameter) untuk menilai unsur kesalahan sebagai dasar pertanggungjawaban pidana Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK. Sebab keadaan objektif dan subjektif menjadi syarat pertanggungjawaban pidana, dan pada model penalaran moralitas “Natural Law” tidak melepas pengujian validitas normatif Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK guna memperoleh kebenaran dan keadilan.

Many people have been convicted and sentenced for criminal acts of corruption in Article 2 and Article 3 of the PTPK Law. However, the Corruption Court has not been able to comprehensively consider the elements of guilt for the crimes committed. This study examines three legal issues, namely (1) How the Corruption Court considers the elements of guilt in Article 2 and Article 3 of the PTPK Law in its decisions; (2) How is the development of the interpretation of the element of guilt in the formulation of the criminal act of corruption of Article 2 and Article 3 of the PTPK Law; and (3) What are the parameters for examining and evaluation of the element of guilt as a basis for criminal responsibility in Article 2 and Article 3 of the PTPK Law. The method used is Doctrinal legal research methodology, also called "black letter" methodology, which focuses on the letter of the law to compose a descriptive and detailed analysis of legal rules found in primary sources (cases and regulations). The purpose of this method is to gather, organize, and describe the law; provide commentary on the sources used; then, identify and describe the underlying theme or system and how each source of law is connected or explore legal norms and court decisions based on library-based studies. The analysis is based on the principles and theory of Criminal Responsibility through the analytical and critical approach to avoid liability without fault and to ensure that "committed intentionally" is the main element used in decision-making regarding corruptor sentencing. Examining and evaluating are based on the "Natural Law" morality reasoning model. This study shows that the judge's decision is more about proving objective facts than subjective facts - or "intentions" of the perpetrators. The corruption court tends to punish defendants without comprehensively considering the elements of guilt or more to an act that does not follow the required administrative procedures and standards and has not yet touched on the concept of an unlawful act and "intentionally" that contributes to losses of the state finances. Even though some judges mentioned it explicitly or implicitly in their legal considerations, however comprehensively consider the elements of guilty yet. Therefore, the principle and criminal responsibility, and collaboration with the models of moral "Natural Law" can become an ideal model of legal reasoning for examining and evaluating the element of guilt as a basis for criminal responsibility under Article 2 and Article 3 of the PTPK Law. In this case, objective and subjective conditions are to examine the validity of Articles 2 and 3 of the PTPK Law to obtain truth and justice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Donahue Zega
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai makna unsur menyalahgunakan kewenangan dalam Pasal 3 Undang ndash; Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya setelah lahirnya Undang ndash; Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dengan menggunakan doktrin otonomi hukum pidana materiil sebagai salah satu pisau analisis, aparat penegak hukum khususnya hakim dalam memaknai unsur menyalahgunakan kewenangan dapat melakukan penemuan hukum tanpa terikat dengan pengertian atau konsep yang diatur dalam cabang imu hukum lain dalam hal ini antara unsur menyalahgunakan kewenangan dengan konsep penyalahgunaan wewenang. Skripsi ini juga membahas mengenai dampak Pasal 20 ayat 1 dan Pasal 21 ayat 1 Undang ndash; Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terhadap penegakkan Pasal 3 Undang ndash; Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya dengan meninjaunya dari preseden hukum yang ada, politik hukum dan analisis ekonomi terhadap hukum pidana.

ABSTRACT
This thesis analyzes the meaning of abuse of power as element of crime in Article 3 Law Number 30 Year 1999 On Eradication of Criminality Acts of Corruption and it rsquo s alteration after the enaction of Law Number 30 Year 2014 On Government Administration. Using the doctrine of autonomous substantive criminal law as one of the tool of analysis, law enforcement officers particularly judges in interpreting the abuse power as element of crime could interpret or construct it without bounded by the meaning or concept that is regulated in the other branches of law, in the context between the abuse of power in the criminal law and abuse of power in the administrative law. This thesis also analyzes the impact of Article 20 verse 1 and Article 21 verse 1 of Law Number 30 Year 2014 On Government Administration to the enforcement of Article 3 Law Number 30 Year 1999 On Eradication of Criminality Acts of Corruption and it rsquo s alteration by reviewing it using the legal precedents, politics of law and the economic analysis of the criminal law."
2017
S68024
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Aletheia Christy
"ABSTRAK
Tindak pidana korupsi sekarang ini sedang marak terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain. Dalam beberapa kasus tindak pidana korupsi kadang pelakunya melarikan diri ke luar negeri atau menyembunyikan aset hasil tindak pidana korupsinya di luar negeri sehingga untuk penuntasan kasus diperlukan kerja sama internasional, yang salah satu persyaratannya adalah prinsip dual criminality. Tindak pidana korupsi yang utama di Indonesia memiliki unsur ldquo;merugikan keuangan negara rdquo;. Unsur ldquo;merugikan keuangan negara rdquo; tidak diatur dalam UNCAC yang telah diratifikasi Indonesia maupun dalam ketentuan tindak pidana korupsi di banyak negara lain. Melalui penelitian yuridis normatif yang didukung dengan wawancara ingin diperoleh jawaban tentang unsur merugikan keuangan negara ditinjau dari prinsip dual criminality. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa keberadaan unsur ldquo;merugikan keuangan negara rdquo; yang merupakan unsur tertulis dalam ketentuan tindak pidana korupsi di Indonesia, dapat menyulitkan kerja sama internasional, khususnya bila prinsip dual criminality dianut secara mutlak. Namun sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi yang telah dianggap sebagai kejahatan transnasional, dual criminality tidak lagi dimaknai secara mutlak. Bahkan UNCAC telah mengatur kerja sama internasional tanpa prinsip dual criminality sepanjang kerja sama internasional dilakukan untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

ABSTRACT
Corruption is now happening not only in Indonesia, but also in many other countries. In some cases of corruption, sometimes the corruptor s fled abroad or hide the assets from corruption abroad so that for the completion of the case required international cooperation, which one of the requirements is the principle of dual criminality. The main corruption crime in Indonesia has the element of harm the state 39 s finances . The harm the state 39 s finances is not regulated in UNCAC which has been ratified by Indonesia as well as in terms of corruption in many other countries. Through normative juridical research supported by interviews, writer wants to get answers about the elements of harm the state 39 s finances in terms of dual criminality principle. From the results of the study it can be concluded that the existence of the element harm the state finance which is the element written in the provisions of corruption in Indonesia, can complicate international cooperation, especially when the dual criminality principle is embraced absolutely. But in line with the spirit of corruption eradication that has been considered a transnational crime, dual criminality is no longer interpreted in absolute terms. Even UNCAC has arranged international cooperation without dual criminality principle as long as international cooperation is conducted for prevention and eradication of corruption crime. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedet Hardiansyah
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S26023
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Jaya P.
"Penelitian ini didasarkan pada metode penelitian hukum normatif (pure legal) dengan penggunaan Ajaran Positivisme Hukum Analitis atau analytical legal positivism melalui Teori ?The pure theory of law? dan ?Stufenbau Theorie? dari Hans Kelsen serta Teori Kebenaran Pragmatis untuk menganalisa praktik penerapan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh Hakim di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta maupun Mahkamah Agung RI.
Melalui kajian terhadap studi kasus diperoleh hasil penelitian bahwa belum terdapat kesatuan pemahaman oleh Hakim pada judex facti maupun judex juris dalam memahami dan menerapkan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 terhadap pelaku yang berstatus kepala daerah dalam perkara tindak pidana korupsi yang terkait penggunaan anggaran kas daerah untuk kepentingan pribadi atau yang tidak sesuai peruntukannya. Dalam konteks ini, masih terdapat kekeliruan cara pandang normatif dalam menentukan siapa subyek hukum yang menjadi sasaran norma (addressat norm) yang termuat dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001; serta dalam mengkualifikasikan suatu perbuatan sebagai ?perbuatan melawan hukum? dan ?perbuatan penyalahgunaan wewenang? dalam konteks tindak pidana korupsi.

The study was based on normative legal research methods (pure legal) with the use of analytical legal positivism through ?The pure theory of law? and "Stufenbau Theorie" of Hans Kelsen and The Pragmatic Theory of Truth to analyze the practice of application of Article 2 Paragraph (1) and Article 3 of Law No. 31 of 1999 as amended by Act No. 20 of 2001 on Corruption Eradication Corruption Court Judge at the Central Jakarta District Court and High Court of Jakarta and the Supreme Court.
Through a review of case studies obtained results that do not have the unity of the understanding by the Judge on judex facti and juris judex in understanding and applying the provisions of Article 2 Paragraph (1) and Article 3 of Law Number 31 Year 1999 jo. Law Number 20 Year 2001 on the status of actors in the regional heads of corruption crimes related to the use of the cash budget for personal or not its designation. In this context, there is still a normative perspective error in determining who the legal subject to whom the norm (norm addressat) contained in the provisions of Article 2 Paragraph (1) and Article 3 of Law Number 31 Year 1999 jo. Act No. 20 of 2001; and in an act qualifies as an "unlawful act" and "works of abuse of authority" in the context of corruption.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T31041
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ineke Indraswati
"Hutan merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan hares diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Kerusakan hutan di Indonesia terjadi karena berbagai sebab, salah satunya adalah kerusakan hutan akibat perambahan oleh manusia secara tidak benar sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan ataupun banjir. Kasus perambahan hutan di Indonesia masih kerap terjadi walaupun telah ada Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kasus-kasus ini masih terjadi karena penegakkan hukum yang belum berlangsung secara maksimal. Pada tahun 2005, Kejaksaan Agung R.I. menyidik suatu kasus perambahan hutan yang dilakukan oleh Darianus Lungguk Sitorus di Kawasan Hutan Register 40 di Sumatera Utara. Kasus ini sudah lama akan tetapi belum berhasil dibawa ke Pengadilan oleh aparat yang berwenang. Kejaksaan Agung R.I., dalam hal ini JAMPIDSUS, milakukan penyidikan atas kasus ini dengan menyangkakan ketentuanketentuan dalam tindak pidana korupsi terhadap kasus tersebut. Penyidikan dan penuntutan atas perkara ini didasarkan pada fakta bahwa tindakan yang dilakukan oleh Darianus Lungguk Sitorus adalah merambah kawasan hutan yang merupakan milik negara dan menimbulkan kerugian negara sehingga terhadap Darianus Lungguk Sitorus didakwa dengan ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi dan tindak pidana kehutanan. Akan tetapi dalam putusan tingkat pertama dan tingkat kasasi, tindak pidana yang terbukti adalah tindak pidana kehutanan. Hal ini dikarenakan adanya berbagai kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan yaitu mengenai asas lex specialis derogat legi generasi dan definisi kerugian negara itu sendiri. Dengan demikian penerapan ketentuan tindak pidana korupsi dalam kasus perambahan hutan khususnya kasus Darianus Lungguk Sitorus belum dapat digunakan.

Forest is one of the national development potential which have real benefit to Indonesia, such as ecological benefit, social cultural and economic. Therefore forest should be taking care of and organized, protected, and continuation usable to Indonesian welfare. The damage of forest in Indonesia happened because a lot of reasons, one of them is the cleared away by human that cause environmental pollution and flood. Such clear away forest cases in Indonesia still happened even though there are Law No. 41, 1999. These cases still happened because the law enforcement is not maximized. In 2005, Attorney General Office investigated a clear away forest by Darianus Lungguk Sitorus in Area 40 in North Sumatera. Its been years, yet it still can not be brought to the court. Attorney General Office investigated the case based on the accusation of anti corruption. The investigation and prosecution on this case based on facts that Darianus Lungguk Sitorus act to cleared away the forest which belong to Indonesia government impact on the lost of capital, hence it convicted with anti corruption. On the first verdict and cessation, the crime that proved is the Forest Law and not Anti Corruption. These happened because several problems faced by the Attorney General such as lex specialis derogate legi generali and the difference definitions of state lost capital. Therefore the implementation of anti corruption can not be use in the clear away forest cases especially case of Darianus Lungguk Sitorus."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19311
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>