Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150743 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khilda Varrardeliawati Herlambang
"ABSTRAK
Dinamika hubungan Korea Selatan dan Jepang selama ini mengalami fluktuasi. Meskipun terdapat banyak faktor yang mendorong kerja sama seperti ancaman bersama, aliansi dan interdependensi ekonomi, namun hubungan Korea Selatan dan Jepang hingga saat ini tetap diwarnai konflik yang disebabkan oleh isu historis. Melalui kajian literatur dengan kronologi waktu, penulis menganalisis faktor pendorong baik kerja sama maupun konflik serta pola yang terjadi dalam hubungan Korea Selatan dan Jepang dalam rentang waktu 1965-2015. Kajian literatur ini terbagi menjadi tiga periode yaitu Periode Normalisasi 1965-2000 , Periode Kemerosostan 2001-2007 , dan Periode Relatif Stabil 2008-2015 . Berdasarkan hasil analisis kajian literatur, TKA ini berargumen bahwa interdependensi ekonomi merupakan faktor pendorong utama kerja sama dan isu historis merupakan faktor pendorong utama konflik. Penemuan ini diharapkan dapat membantu akademisi dan pembuat kebijakan memahami pola kerja sama dan konflik dalam hubungan Korea Selatan dan Jepang serta dijadikan rujukan untuk perbaikan hubungan kedua negara di masa depan.

ABSTRACT
The relations between South Korea and Japan has been fluctuating throughout the years. Although there are many factors that support cooperation such as common threats, alliances, and economic interdependence, the relations between South Korea and Japan until now are still marked by conflict caused by historical issues. Through a literature review with chronological mapping, this writing aims to analyze the factors driving both cooperation and conflict and the patterns that occurred in relations between South Korea and Japan in the period 1965 2015. This literature review is divided into three periods, Normalisation Period 1965 2000 , Downfall Period 2001 2007 , and Relatively Stable Period 2008 2015 . Based on the literature review, this final thesis argues that economic interdependence is a key driver of cooperation and historical issues are the key driver of conflict. The present findings might be useful for academics and policymakers to understand the pattern of cooperation and conflict in relations between South Korea and Japan and to serve as a reference for improving relations between the two countries in the future."
2017
TA-Pdf;
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Woon, Park Seung
"Hubungan antara Jepang dan Republik Korea setelah Perang Dunia kedua banyak mengalami pasang surut. Setelah nota diplomatik kedua negara ditandatangani pada tahun 1965, 35 tahun kolonisasi Korea oleh Jepang selalu menjadi isu utama dalam setiap kerja sama kedua negara. Setelah Perang dunia kedua, Jepang dan Republik Korea berada pada blok Amerika Serikat. Jepang mampu keluar dari krisis akibat tidak adanya friksi dalam negeri. Sedangkan Republik Korea, lahir akibat konflik internal, yakni Perang Korea di tahun 1950-1953. Dalam bidang ekonomi, hubungan kedua negara lebih banyak diwamai gambaran pasang. Jepang membantu Republik Korea melalui IMF, memberi ODA, membantu modemisasi Republik Korea mela1ui keijasama teknik, serta membantu dunia usaha Re_publik Korea melalui PenanamanModal Asing (PMA). Sedangkan dalam bidang politik, kcrjasarna kedua negara lebih banyak diwamai oleh gambaran surut. Berbagai isu seperti, sengketa pulau Takeshima (Dokto, dalam bahasa Korea), kunjungan petinggi Jepang ke kuil Yasukuni, dan jugun ianfu mcrupakan sumber pemicu bagi buruknya hubungan kedua negara . • Jepang dan Republik Korea adalah dua negara yang bertetangga. Karena bertetangga, hubungan kedua negara seharusnya baik. Untuk dapat menjalin hubungan baik ini, kedua negara tidak saja harus berhubungan antar pemerintah, tapi juga harus an tar rakyat kedua negara.

The relationship between Japan and the Republic of Korea after the Second World War had many ups and downs. After the diplomatic notes of both countries were signed in 1965, 35 years of Korea's colonization by Japan has always been a major issue in any cooperation between_thc two countries. After the second world war, Japan and the Republic of Korea were in block the United States. Japan was able to get out of the crisis due to the lack of domestic friction. While the Republic ofKorea, born due to internal conflict, namely the Korean War in 1950- 1953. In the economic field, the relationship between the two countries is more colored by the tide picture. Japan assisted Republic of Kor_ea. through IM,F, gave ODA, assisted modernization of Republic of Korea through technical cooperation, and assisted business world Republic of Korea through Foreign Investment. While in the political field, cooperation between the two countries is mostly colored by the receding picture. Issues such as the Takeshima islaud dispute (Dokto, in Korean), Japanese high-rar~l(ing visits to the rasukuni shrine, and jugun ianfu are a source of trigger for bad relations between the two countries. Japan and the Republic of Korea are two neighboring countries. Because neighbors, relations between the two countries should be good. To be able to establish this good relationship, the two countries must not only intergovernmental relations, but also must be between the pecple of both countries."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Octavianti Shanna Puspita Ponglabba
"Skripsi ini menganalisis pertimbangan apa yang mendasari keterlibatan Jepang secara triangular dalam Kerja Sama Selatan-Selatan (KSS) Indonesia. Indonesia sebagai middle-income country yang terus mengalami pertumbuhan ekonomi kini menjadi salah satu negara yang memiliki keinginan untuk menjadi penyedia KSS, termasuk melalui mekanisme triangular dengan mitra pembangunan dari negara donor tradisional. Sementara, Jepang sebagai donor terbesar ODA bilateral ke Indonesia lantas juga menjadi salah satu mitra pembangunan yang paling aktif. Ada beberapa keunikan terkait keterlibatan Jepang tersebut, antara lain bahwa Jepang telah terlibat melakukan kerja sama triangular dengan Indonesia sejak 1980an, serta area kerja samanya yang lebih banyak berfokus di sektor agrikultur alih-alih infrastruktur seperti ODA bilateralnya. Analisis akan didasarkan pada konsep pertimbangan kebijakan bantuan luar negeri, di mana di dalamnya ada tujuh aspek yang dapat menjadi pertimbangan. Dalam kasus Jepang, tiga aspek yang nampak menonjol yaitu perihal influence, kepentingan ekonomi, dan reputasi. Skripsi ini menemukan bahwa keterlibatan Jepang berdasarkan pertimbangan influence adalah untuk meningkatkan jangkauan Jepang di negara LDCs mengingat karakteristik Indonesia yang secara alami terbuka untuk berhubungan dengan negara manapun serta sebagai salah satu langkah pendukung kebijakan maritimnya di Indo-Pasifik. Kemudian berdasarkan pertimbangan kepentingan ekonomi, Jepang ingin meningkatkan efektivitas dan efisiensi bantuannya di tengah kelesuan ekonomi, mendukung pengembangan investasi di kawasan non-tradisional, menyelaraskan kepentingan dengan ODA bilateral di negara penerima manfaat, serta adanya knowledge asset di sektor agrikultur yang kebetulan juga merupakan sektor unggulan Indonesia dalam KSS. Berdasarkan pertimbangan terakhir yakni reputasi, Jepang ingin mentransformasikan citranya dari donor menjadi mitra sekaligus menjaga citranya di Indonesia yang telah terbangun melalui penyaluran ODA.

This thesis analyzes Japans consideration in participating in a triangular cooperation in Indonesias South-South Cooperation (SSC). Indonesia as a middle-income country which continuously experiences economic growth now has become a country with an ambition to be a SSC provider, including through triangular cooperation with development partners from traditional donor country. Japan as the largest donor of bilateral ODA to Indonesia has also become one of the most active development partners. There are some unique characteristics related to Japan, including the fact that Japan has been involved in triangular cooperation since the 1980s and that in triangular cooperation Japan is mainly involved the agricultural sector instead of infrastructure such as its bilateral ODA. The analysis will be based on the concept of foreign aid policies consideration, where there are seven aspects that can be considered. In the case of Japan, three aspects that stand out are the aspect of influence, economic interests, and reputation. This thesis finds that based on the aspect of influence, Japan aims to widen its reach to various LDCs, especially remembering that Indonesia as a country is open to establish a relation with any country and also as measures to support its maritime policy in the Indo-Pacific. Then, based on economic interests, Japan wants to increase its assistances efficiency and effectivity in the midst of economic recession, support investment development in non-traditional areas, harmonize interests with bilateral ODA in beneficiary countries, and the existence of knowledge assets in the Indonesian agricultural sector in the SSC. Based on the last consideration put forward, which is reputation, Japan wants to transform its image from a donor into a partner while supporting its image in Indonesia that has been built through the distribution of bilateral ODA."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Nabila Hayanto
"ABSTRAK
Comfort women merupakan para wanita yang dipaksa untuk menjadi budak seks untuk tentara Jepang pada masa Perang Dunia II. Mayoritas dari comfort women adalah wanita Korea, sehingga perlakuan kejam Jepang terhadap comfort women meninggalkan luka mendalam pada masyarakat Korea. Jepang terus menerus melakukan historical revisionism dalam bentuk penyangkalan dan pengubahan sejarah untuk keterlibatannya dalam perekrutan comfort women. Hal ini menimbulkan kemarahan pada masyarakat Korea Selatan dan membuat hubungan Jepang dengan Korea Selatan menjadi tegang. Penelitian ini akan membahas tentang historical revisionism pada isu comfort women di Jepang serta menganalisis pengaruh historical revisionism dalam hubungan Jepang dan Korea Selatan.

ABSTRACT
Comfort women are women that are forced to sexual slavery for the Japanese soldiers during World War II. The majority of these women were Korean women. Japan has been doing historical revisionism in the form of denying and changing the facts of history to cover up its involvement in the forced recruitment of comfort women. This movement evokes the anger of the South Koreans and put a strain on Japan-South Korean relations. This research aims to explain historical revisionism in Japan as well as its impact on Japan and South Korea relations."
2016
S65843
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Endrasta Wicaksono
"Kerja sama pengembangan bersama pesawat jet tempur KFX/IFX telah berjalan selama lebih dari satu dekade. Terdapat beberapa rencana yang akan diterapkan dalam kerja sama ini. Selama beberapa tahun kerja sama ini berjalan, beberapa rencana-rencana tersebut berhasil diterapkan. Namun, tidak semua hal yang direncanakan dalam kerja sama ini berlangsung lancar. Terlebih lagi, kerja sama ini juga mengalami berbagai penundaan yang dilakukan oleh Korea Selatan dan Indonesia, adanya pandangan negatif dari kedua negara terkait kerja sama ini, dan adanya rencana pembelian pesawat jet tempur oleh kedua negara dari negara lain meskipun kerja sama ini sedang berlanjut. Walaupun begitu, Indonesia dan Korea Selatan tetap memutuskan untuk melanjutkan kerja sama ini. Skripsi ini mempertanyakan alasan yang membuat Indonesia dan Korea Selatan memutuskan untuk melanjutkan kerja sama tersebut. Skripsi ini menggunakan kerangka analisis kerja sama industri pertahanan dan metode penelusuran causal-process tracing untuk menjelaskan alasan di balik keputusan tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat lima alasan yang mendorong kelanjutan kerja sama KFX/IFX, yakni keinginan Indonesia dan Korea Selatan untuk mengurangi ketergantungan impor alutsista; potensi pengembangan industri pertahanan nasional kedua negara dari kerja sama KFX/IFX; keinginan Indonesia dan Korea Selatan untuk mendapatkan keuntungan diplomatik; kemungkinan kerja sama industri pertahanan Indonesia dan Korea Selatan di masa depan; dan  keinginan Indonesia dan Korea Selatan memperoleh prestise.

The joint development cooperation of KFX/IFX fighter jets has been going on for more than a decade. There are several plans that will be implemented in this cooperation. During the several years of this cooperation, several of these plans were successfully implemented. However, not everything planned in this cooperation went smoothly. Moreover, this cooperation has also experienced various delays by South Korea and Indonesia, negative views from the two countries regarding this cooperation, and there are plans to purchase fighter jets by the two countries from other countries even though this cooperation is still ongoing. Even so, Indonesia and South Korea still decided to continue this cooperation. This thesis questions the reasons that made Indonesia and South Korea decide to continue the cooperation. This thesis uses an analytical framework of defense industry cooperation and a causal-process tracing method to explain the reasons behind this decision. This study finds that there are five reasons that encourage the continuation of KFX/IFX cooperation, namely the desire of Indonesia and South Korea to reduce dependence on imported main weapon system; the potential for the development of the national defense industry of the two countries from the KFX/IFX cooperation; the desire of Indonesia and South Korea to gain diplomatic advantage; the possibility of cooperation in the defense industry of Indonesia and South Korea in the future; and the desire of Indonesia and South Korea to gain prestige."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadilla Safira
"Hubungan antara negara dan bisnis menjadi basis institusional dari proses industrialisasi di Korea Selatan. Hubungan ini bersifat dinamis dalam menghadapi tantangan domestik dan internasional. Walaupun telah melewati reformasi ekonomi neoliberal pasca Krisis Finansial Asia, hubungan yang terbentuk di bawah model developmental state ini, ternyata berlanjut hingga ke era globalisasi kontemporer. Tulisan ini akan menjawab pertanyaan bagaimana evolusi kronologis dari hubungan negara dan bisnis dalam proses industrialisasi di Korea Selatan? Berdasarkan analisis struktural dari tiga periode industrialisasi di Korea Selatan: tahun 1961-1979, tahun 1980-1998, hingga pasca tahun 1998, ditemukan evolusi peran dan karakter dari hubungan negara dan bisnis. Pertama, hubungan negara dan bisnis diwarnai dengan karakter negara kuat, bisnis lemah yang berperan dalam pertumbuhan ekonomi pesat di Korea Selatan. Kedua, evolusi terjadi yang melihat pergeseran karakter hubungan negara dan bisnis menjadi negara melemah, bisnis menguat yang berperan dalam menyebabkan krisis berimbas bagi Korea Selatan. Terakhir, evolusi kembali terjadi dengan penetapan hubungan negara dan bisnis yang karakternya adaptif serta berperan dalam menghasilkan upaya-upaya adaptasi terhadap tantangan neoliberalisme global.

State-business relations become the institutional basis for South Korea's industrialization process. This type of state-business relations is dynamic in facing domestic and international challenges. Even though it has gone through neoliberal reforms after the Asian Financial Crisis, the relationship formed under developmental state model have continued into the contemporary era of globalization. This paper will answer the question of how the chronological evolution of state and business relations in the industrialization process in South Korea? Based on the structural analysis of the three periods of industrialization in South Korea: from 1961-1979, 1980-1998, until after 1998, the evolution of the roles and characters of the South Korean state and business relations was found. First, the relationship between the state and business is characterized by the character of strong state, weak business that plays a role in rapid economic growth in South Korea. Second, evolution occurs which sees the character of the relationship shifted into a weakening state, stronger business and has a role in causing the financial crisis in South Korea. Finally, re-evolution occurs by establishing an adaptive state-business relations in character and this relation plays a role in generating adaptation measures to the challenges of global neoliberalism."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Adninta
"Kuil Yasukuni merupakan kuil Shinto yang terletak di Tokyo. Dalam Perang Dunia II, dipercaya bahwa kuil Yasukuni memiliki peran penting dalam membangun moral baik kaum militer, maupun sipil. Kuil ini juga dipercaya sebagai simbol pengabdian kepada Kaisar. Berkaitan dengan perannya sebagai simbol pengabdian pada kaisar, kuil ini dianggap kontroversial karena dipercaya sebagi representasi ideologi Shinto Negara (Kokka Shinto). Mengunjungi dan berziarah di kuil Yasukuni dianggap melegitimasi sejarah militer Jepang karena di kuil Yasukuni disemayamkan 14 penjahat perang kelas A. Melegitimasi sejarah dan mangabaikan kejahatan yang pernah militer Jepang lakukan adalah aksi merevisi sejarah atau historical revisionism. Kunjungan Perdana Menteri ke kuil Yasukuni selalu menuai kritikan dan kecaman dari negara lain, terutama Cina dan Korea, dua negara yang pernah diokupasi oleh Jepang. Meskipun kuil ini memiliki banyak kontroversi, beberapa Perdana Menteri Jepang tetap mengunjungi kuil ini, termasuk Shinzo Abe yang memang dikenal memiliki pandangan revisionis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan Abe mengunjungi Yasukuni dan mengungkapkan implikasi yang diterima oleh Jepang karena sikap revisionis Abe. Teori Historical Revisionism digunakan untuk mengungkapkan sikap-sikap politik Abe. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif anailtis yang menggunakan prosedur studi pustaka. Melalui penelitian ini ditemukan bahwa Abe memiliki stabilitas politik yang baik dan pemikiran revisionis sehingga dia mengunjungi kuil tersebut. Faktor kunjungan Abe ke Yasukuni menyebabkan ruang diplomatik Jepang dengan Cina dan Korea menjadi terbatas sepanjang tahun 2014.

Yasukuni Shrine is a Shinto shrine located in Tokyo. In World War II, it was believed that Yasukuni shrine had an important role in building morale both military and civilian. This shrine is also believed as a symbol of devotion to the Emperor. Regarding its role as a symbol of devotion to the emperor, this shrine is considered controversial because it is believed as a representation of Shinto State ideology (Kokka Shinto). Visiting the shrine is considered glorifying Japanese military history  because in Yasukuni shrine there’s 14 class A war criminals enshrined. Legitimizing history and ignoring the crimes that the Japanese military had committed was an act of revising history or historical revisionism. The Prime Minister's visit to Yasukuni shrine has always drawn criticism from other countries, especially China and South Korea, the two countries that have been occupied by Japan. Although this shrine has a lot of controversy, some Japanese Prime Ministers still visit this shrine, including Shinzo Abe who is known as a revisionist. This research aims to find out the reason Abe visited Yasukuni and revealed the implications received by Japan because of Abe's revisionist attitude. Historical Revisionism theory is used to express Abe's political attitudes. This research is an analytical descriptive study that uses a literature study procedure. Through this research it was found that Abe had good political stability and revisionist thoughts so he visited the shrine. The factor of Abe's visit to Yasukuni caused Japan's diplomatic space with China and Korea to be limited throughout 2014.

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dalimunthe, Fadli Zaini
"Perkembangan teknologi informasi yang cepat membawa perubahan di hampir semua bidang kehidupan manusia, mulai dari ekonomi, sosial, pendidikan, termasuk bidang hukum. Keterkaitan antara perkembangan teknologi informasi dengan hukum melahirkan berbagai macam peristiwa baru yang berkaitan hukum dan penggunaan dunia siber. Salah satunya terkait dengan perlindungan hukum atas informasi yang merugikan seseorang di dunia internet berupa penghapusan informasi. Hal ini dikenal dengan istilah hak untuk dilupakan (Right to be Forgotten). Penelitian ini fokus membahas perbandingan pengaturan dan mekanisme penerapan Hak untuk dilupakan (Right to be Forgotten) di Indonesia dengan beberapa negara di Asia Pasifik seperti Australia, Jepang dan Korea Selatan. Dengan melakukan perbandingan hukum, maka akan dapat melihat perbedaan dan mengambil pelajaran dari berbagai negara tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Pengaturan Hak untuk dilupakan (Right to be Forgotten) di Uni Eropa, Australia, Jepang dan Korea Selatan diatur dalam Peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan data / informasi pribadi, sementara Indonesia muncul dan diatur dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Implementasi Hak untuk dilupakan (Right to be Forgotten) dalam General Data Protection Regulation hanya mewajibkan pengontrol data, karena dalam GDPR memisahkan pengontrol dan pemproses data. Sementara Australia, Jepang, Korea Selatan dan Indonesia tidak membedakan antara pengontrol dan pemproses data. Setiap negara membentuk komisi independen untuk melindungi data pribadi dan membantu penyelesaian sengketa data pribadi.

The development of information technology that brings changes in all fields of humanity, ranging from economics, social, education, including the legal field. The link between the development of information technology and the law produces a variety of new types relating to law and the use of cyberspace. One of the cyber laws is related to legal protection for information that is detrimental to someone in the internet world is the removal of information. This is known as the Right to be Forgotten. This research focuses on discussing the regulation and implementation of the Right to be Forgotten in Indonesia with several countries in the Asia Pacific such as Australia, Japan and South Korea. By making legal comparisons will be able to see differences and take lessons from various countries. This study uses a normative juridical research method. Regulation of Rights to be Forgotten in the European Union, Australia, Japan and South Korea be regulated in legislation in the sector of personal data/information protection, while Indonesia is emerge and regulated in the Law on Information and Electronic Transactions. Implementation of the Right to be Forgotten in the General Data Protection Regulation only requires data controllers, because in the GDPR the data controller and processors are prepared. While Australia, Japan, South Korea and Indonesia do not distinguish between process controllers and data processing. Each country establishes independent data commission to protect personal data and help resolve personal data."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53650
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadine Azahra Prasetyo
"Industri hiburan merupakan sebuah industri yang terlibat dalam penyediaan konten hiburan, seperti radio, film, televisi, dan teater. Di Tiongkok, industri hiburan berkembang dengan pesat sejak adanya kebijakan reformasi dan keterbukaan hingga dapat dikenal di mancanegara, salah satunya di Korea Selatan. Hubungan kerja sama dalam industri hiburan di antara Tiongkok dan Korea Selatan telah terjalin sejak lama, namun hubungan tersebut tidak selalu berjalan dengan lancar. Salah satunya adalah karena terjadinya THAAD pada tahun 2016, yang membuat Tiongkok memberikan sanksi ekonomi terhadap Korea Selatan. Kondisi hubungan dalam industri hiburan di antara Tiongkok dan Korea Selatan dengan adanya THAAD menjadi pokok bahasan dari penelitian ini. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan ilmu sejarah, yang mencakup beberapa tahapan, yaitu menentukan topik, heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dampak sanksi ekonomi yang diakibatkan oleh THAAD turut terasa dalam kerja sama di industri hiburan, terutama terkait dengan investasi, penayangan konten hiburan Korea Selatan di Tiongkok, dan kerja sama SDM.

The entertainment industry is an industry involved in providing entertainment content, such as radio, film, television, and theater. In China, since the reform and opening up policy, the entertainment industry has grown rapidly and has become recognized internationally, including in South Korea. The cooperative relationship in the entertainment industry between China and South Korea has existed for a long time, but the relationship has not always run smoothly. One of them is due to the deployment of THAAD in 2016, which made China impose economic sanctions on South Korea. The condition of the relationship in the entertainment industry between China and South Korea with the presence of THAAD is the subject of this research. The method used is a qualitative method with a historical approach, which includes several stages, namely determining the topic, heuristics, verification, interpretation, and historiography. The results of this study indicate that the impact of economic sanctions caused by THAAD is also felt in cooperation in the entertainment industry, especially related to investment, broadcasting South Korean entertainment content in China, and human resource cooperation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anisa Dwi Astuti
"ABSTRAK
Dalam tesis ini membahas strategi kompetitf yang dilakukan pemerintah Jepang dan Korea Selatan dalam menjual dan mempromosikan industri kreatif mereka secara global, khususnya di pasar Asia Tenggara. Penelitian ini memiliki dua tujuan, yakni, menganalisis strategi kompetisi bisnis Jepang dan Korea yang dilakukan kedua pemerintah di wilayah Asia Tenggara. Untuk melihat strategi kompetisi yang dilakukan kedua negara, penelitian ini menganalisis keunggulan kompetitif dari produk-produk budaya dan konten Jepang dan Korea Selatan dalam balutan istilah industri kreatif. Kemudian, demi menganalisis strategi kompetisi yang dilakukan pemerintah, penelitian ini juga memetakan industri kreatif Jepang dan Korea di wilayah Asia Tenggara. Penelitian ini juga akan melihat bagaimana penjualan produk-produk industri kreatif dan promosi yang dilakukan kedua negara di wilayah Asia Tenggara. Dalam penelitian ini akan menggunakan kerangka berpikir Porter tentang National Competitive Advantage mengenai keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh negara. Metode yang digunakan adalah proses induktif, karena jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Hasil penelitian ini menemukan Jepang dan Korea Selatan menggunakan industri konten mereka sebagai strategi kompetitif industri kreatif mereka. Jepang menggunakan manga sementara strategi media-mix dan Korea Selatan menggunakan selebrity power dari para artis yang terkenal melalui drama televisi dan K-pop. Dari semua hasil analisis, penelitian ini menyimpulkan bahwa industri kreatif tidak hanya digunakan sebagai alat diplomasi budaya dalam konteks soft power Jepang, namun pada saat yang bersamaan digunakan juga sebagai alat diplomasi ekonomi.

ABSTRACT
This thesis discusses the competitive strategies undertaken by the governments of Japan and South Korea in selling and promoting their creative industries globally, particularly in Southeast Asian markets. This study has two objectives, namely, to analyze the Japanese and Korean business competition strategy by both governments in Southeast Asia region. To examine the competition strategies undertaken by both countries, this study analyzes the competitive advantages of Japanese and South Korean cultural and content products in creative industry terms. Then, in order to analyze the government 39 s competition strategy, this research also mapped Japanese and Korean creative industries in Southeast Asia. This research will also look at how the sales of creative and promotional products products are carried out by both countries in Southeast Asia region. In this research will use Porter 39 s framework of thinking about the National Competitive Advantage regarding the competitive advantage possessed by the state. The method used is inductive process, because this type of research is a qualitative research. The results of this study found Japan and South Korea using their content industry as a competitive strategy of their creative industries. Japan uses manga while media mix strategy and South Korea uses celebrity power from famous artists through television and K pop dramas. From all the results of the analysis, this study concludes that the creative industry is not only used as a tool of cultural diplomacy in the context of Japanese soft power, but at the same time is used as a tool of economic diplomacy."
2018
T50719
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>