Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 141131 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ari Prabowo
"ABSTRAK
Latar belakang: Pada penelitian in vitro, kombinasi gefitinib dan radioterapi telah diamati memiliki efek sinergis dan anti-proliferasi terhadap KPKBSK. Tujuan: Mengetahui efikasi dan toleransi kombinasi radioterapi dan TKI pada pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR. Metode: Penelitian observasional kohort retrospektif analitik di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Data diambil dari Rekam Medis Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan dan dilakukan dengan total sampling pada periode 1 Januari 2013 sampai Desember 2016. Hasil: Sampel penelitian 31 subjek, dengan karateristik pasien laki-laki 51.61 median usia 54,5 tahun, range usia 38-70 tahun dan pasien adenokarsinoma paru perempuan 48,38 median usia 57 tahun, range usia 38-77 tahun . Lokasi mutasi EGFR didapatkan mutasi pada exon 21 L858R sebanyak 61,30 , exon 21 L861Q 16,12 dan delesi ekson 19 sebanyak 22,58 . Dosis radioterapi yang diberikan 30-60 Gy. Keadaan klinis pada saat penelitian SVKS 35,5 , klinis progresif 22,6 dan lain-lain 41,9 . Toksisitas non hematologi yang terbanyak adalah skin rash diikuti diare dan paronikia dengan derajat ringan. Toksisitas hematologi tersering adalah anemia derajat 1-2 sebanyak 15 orang. Progression free survival PFS 185 hari IK95 ; 123,69-246,30 , overall survival OS 300 hari IK95 ;130,94-469,06 dan 1 years survival 45,2 . Kesimpulan: Kombinasi radioterapi dan gefitinib dapat meningkatkan PFS pada pasien adenokarsinoma paru dengan klinis SVKS dan meningkatkan OS pada pasien dengan klinis yang progresif.. Kata kunci: Adenokarsinoma, Efikasi, Gefitinib, Radioterapi
ABSTRACT Background In vitro studies, combinations of gefitinib and radiotherapy have been observed to have synergistic and anti proliferative effects on lung adenocarsinoma.Objective To evaluate the efficacy and tolerance of combination radiotherapy and TKI in patients with pulmonary adenocarcinoma with EGFR mutation. Methods A cohorts retrospective observational analytical analytical at RSUP Persahabatan, Jakarta. In this study we use total sampling. Data was optained from January 2013 until December 2016. Results Data from 31 lung adenocarcinoma with EGFR mutations patients were collected , which is characterized male 51.61 median age 54.5 years, range 38 70 years and female patients 48.38 median age 57 years, range 38 77 year . Epidermal Growth Favtor Reseptor EGFR mutation in exon 21 L858R of 61.30 , exon 21 L861Q 16.12 and 19 exon delions of 22.58 . Radiotherapy dose were given 30 60 Gy. Clinical finding in this study SVCS 35,5 , progressive 22,6 and others 41,9 .The non hematological toxicities are skin rash, diarrhea and paronychia with mild degree. The common haematological toxicity is mild anemia 15 patients . Progression free survival PFS in radiation gefitinib are 185 days CI95 123,69 246,30 , overall survival OS are 300 days CI95 130,94 469,06 and 1 yeqrs survival 45,2 .Conclusion Combination therapy radiation gefitinib in Lung adenocarsinoma with SVCS increasing PFS and patient lung adenocarcinoma with progressive disease increasing OS.Keywords Lung adenocarcinoma, efficacy, gefitinib, radiation"
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ali Asdar
"Pendahuluan: Tyrosine Kinase Inhibitors (TKIs) sangat efektif terhadap Kanker
Paru jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil (KPKBSK) dengan mutasi Epidermal
Growth Factor Receptor (EGFR). Gefitinib dan Erlotinib adalah generasi pertama
EGFR-TKI untuk pengobatan KPKBSK dengan mutasi EGFR. Obat-obat ini telah
tersedia melalui asuransi kesehatan di Indonesia untuk pasien Adenokarsinoma
paru dengan mutasi EGFR. Data mengenai efikasi dan toksisitas EGFR-TKI saat
ini belum tersedia di Indonesia.
Metode: Kami melakukan analisis observasional kohort retrospektif pada pasien
Adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR di RSUP Persahabatan, Jakarta
Indonesia dari Januari 2015 sampai dengan Desember 2017. Kami meninjau
rekam medis 331 pasien dengan diagnosis Adenokarsinoma paru dengan mutasi
EGFR stage lanjut yang diobati dengan EGFR-TKI generasi pertama. Sebanyak
192 subjek yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Subjek yang mendapatkan Gefitinib (n=132) dan Erlotinib (n=60). Median
progression free survival (PFS) sebanding antara Gefitinib dan Erlotinib (9,0 dan
7,0 bulan, interval kepercayaan 95% [IK] 0,57-1,07, p=0,126). Median Overall
survival (OS) dan angka tahan hidup 1 tahun masing-masing kelompok adalah
44,5 vs 39,5 bulan (95% IK 0,35-1,29, p=0,670) dan 92% berbanding 92%
(p=0,228). Terdapat toksisitas termasuk diare, paronikia, skin rash dan stomatitis
yang diamati tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna pada toksisitas derajat 3
atau 4 antara kedua kelompok (p=0,713).
Kesimpulan: Kedua EGFR-TKIs generasi pertama sebanding dalam PFS dan OS,
meskipun Gefitinib terlihat lebih tinggi, tetapi secara statistik tidak bermakna dan
keduanya memiliki toksisitas yang sebanding dan dapat ditoleransi.

Introductions: Tyrosine kinase inhibitors (TKIs) are effective against non-small
cell lung cancer (NSCLC) with epidermal growth factor receptor (EGFR)
mutation. Gefitinib and erlotinib are the first-generation EGFR-TKIs
recommended as first-line treatments for NSCLC with EGFR mutations and are
available through Universal Health Coverage in Indonesia for lung
adenocarcinoma patients with EGFR mutations. However, the efficacy and safety
data of EGFR-TKIs are unavailable in Indonesia.
Methods: We did a retrospective cohort analysis of the patients of lung
adenocarcinoma with EGFR mutations treated in Persahabatan Hospital Jakarta,
Indonesia, between January 2015 and December 2017. We reviewed the records
of 331 patients with advanced stage lung adenocarcinoma with EGFR mutation
treated with the first-generation EGFR-TKIs. The subjects were 192 patients who
met the inclusion criteria.
Results: Subjects were receiving gefitinib (n=132) and erlotinib (n=60). Median
progression-free survival (PFS) was comparable between gefitinib and erlotinib
(9.0 vs 7.0 months, 95% confidence interval [CI] 0.57-1.07, p=0.126). The
median overall survival (OS) and 1-year survival were 44.5 vs 39.5 months
(95%CI 0.35-1.29, p=0.228; and 92% vs 92%, p=0.228, respectively). Reported
toxicities were diarrhea, paronychia, rash, and stomatitis but not of significant
difference between grade 3 or 4 toxicities (p=0.713).
Conclusions: The PFS and OS of the first-generation EGFR-TKIs were
comparable, although gefitinib PFS and OS was shown to be better, but without
significance. Both gefitinib and erlotinib had comparable and tolerable adverse
effects"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jamaluddin M
"ABSTRAK
Tesis ini menilai efikasi dan toksisiti Erlotinib/Gefitinib sebagai terapi lini kedua
pada pasien KPKBSK yang mengalami progresifitas. Ini adalah sebuah penelitian
kohor retrospektif antara tahun 2009 sampai 2013 dari rekam medis pasien
KPKBSK yang mengalami progresifitas. Respons (subjektif, semisubjektif dan
objektif) dievaluasi setiap bulan. Toksisiti dinilai setiap minggu sejak pemberian
Erlotinib/Gefitinib berdasarkan kriteria WHO. Hasil evaluasi respons objektif,
tidak ada pasien yang memberikan respons komplit. Best overall response rate
dari 31 pasien, 48,8% menetap, 22,6% perburukan,12,9% respons sebagian dan
6,5% tidak dinilai/inevaluable. Pada penilaian respons semisubjektif didapatkan
19.4% peningkatan berat badan, 51,6% penurunan berat badan dan 29,0%
menetap. Waktu tengah tahan hidup mencapai 18 bulan, rerata masa tahan hidup
1 tahunan 80,6% dan masa tahan hidup keseluruhan 6,50%. Data menunjukkan
tidak ada timbul toksisiti hematologi berat (grade ¾) dan data penilaian toksisiti
non hematologi sangat jarang timbul toksisiti berat (grade ¾). Efikasi monoterapi
EGFR-TKI (Erlotinib/Gefitinib) cukup tinggi dengan toksisiti yang ditimbulkan
tidak berat. Dengan demikian Erlotinib/Gefitinib sebagai terapi lini kedua cukup
baik.ABSTRACT This thesis assesses the efficacy and toxicity of Erlotinib/Gefitinib as a second
line therapy in NSCLC patients. This is a retrospective cohort study between 2009
and 2013 from the medical records of patients who experienced progression
NSCLC. Therapeutic response was evaluated every month. Toxicity assessed
every month since giving Erlotinib/Gefitinib according to WHO?s criteria. Results
of objective response evaluation none of the patients complete response. Best
overall response rate of 31 patients with the most stable response are 48.8%. Most
semisubjective response obtained are 51.6% weight loss. The middle survival time
reached 18 month, the mean 1 year survival time are 80.6% and a 6.50% overall
survival. The data showed no hematologic toxicity arise severe (grade ¾) and
non-hematological toxicity very rarely arise severe toxicity. The efficacy of EGFR
TKI monotherapy (Erlotinib/Gefitinib) is high enough with toxicity cause not
severe. Thus Erlotinib/Gefitinib as second-line therapy is quite good. ;This thesis assesses the efficacy and toxicity of Erlotinib/Gefitinib as a second
line therapy in NSCLC patients. This is a retrospective cohort study between 2009
and 2013 from the medical records of patients who experienced progression
NSCLC. Therapeutic response was evaluated every month. Toxicity assessed
every month since giving Erlotinib/Gefitinib according to WHO?s criteria. Results
of objective response evaluation none of the patients complete response. Best
overall response rate of 31 patients with the most stable response are 48.8%. Most
semisubjective response obtained are 51.6% weight loss. The middle survival time
reached 18 month, the mean 1 year survival time are 80.6% and a 6.50% overall
survival. The data showed no hematologic toxicity arise severe (grade ¾) and
non-hematological toxicity very rarely arise severe toxicity. The efficacy of EGFR
TKI monotherapy (Erlotinib/Gefitinib) is high enough with toxicity cause not
severe. Thus Erlotinib/Gefitinib as second-line therapy is quite good. "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Moulid Hidayat
"Latar Belakang: Beberapa bukti menunjukkan bahwa quiescent cancer stem cell (CSC) terlibat dalam resistans terhadap gefitinib pada adenokarsinoma paru sebagai mekanisme nonmutasi. Kami sebelumnya telah mempublikasikan bahwa gefitinib- resistant persister (GRP) mengekspresikan stemness factor dengan level yang tinggi dan memiliki ciri khas fenotip CSC. Studi terbaru menunjukkan bahwa FBXW7, merupakan jenis protein F-box, memainkan peran penting dalam pemeliharaan quiescent CSC dengan memediasi degradasi protein c-MYC melalui proses ubiquination. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran FBXW7 dalam resistans terhadap gefitinib pada adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR.
Metode: Cell line dari sel adenokarsinoma paru, PC9, yang mengandung mutasi sensitif EGFR dipajankan pada gefitinib dengan konsentrasi tinggi untuk mengembangkan GRP. Kami mencoba melakukan abrogasi ekspresi gen FBXW7, dan mengevaluasi sensitivitasnya terhadap gefitinib dan populasi CD133-positive stem cell di GRP. Kami juga memasukkan plasmid FUCCI melalui proses infeksi lentiviral ke dalam sel dan kemudian menyelidiki siklus sel dan sel pada fase G0 dalam GRP. Selanjutnya, kami telah mengembangkan model gefitinib-resistant tumor (GRT) dengan menyuntikkan sel PC9 ke dalam mencit NOG diikuti dengan pemberian gefitinib setelah pertumbuhan tumor, dan mengevaluasi ekspresi mRNA dan ekspresi protein dari penanda terkait quiescence, FBXW7 in vivo.
Hasil: GRP menunjukkan ekspresi yang tinggi dari penanda cancer stem cell, CD133 dan penanda terkait quiescence, FBXW7 dan ekspresi c-MYC yang rendah pada tingkat protein secara in vitro. Analisis siklus sel menunjukkan bahwa mayoritas GRP berada pada fase G0/G1. TIndakan abrogasi gen FBXW7 menurunkan populasi sel CD133-positive di GRPs. Abrogasi FBXW7 juga meningkatkan kerentanan sel terhadap gefitinib, membalikkan populasi sel fase G0/G1 menjadi sel S/G2/M, dan menurunkan jumlah sel GRP. Secara in vivo, pada GRT setelah pengobatan gefitinib menunjukkan ekspresi FBXW7 yang tinggi dan ekspresi c-MYC yang rendah. Kami juga menemukan bahwa ekspresi FBXW7 dalam sel CD133-positive meningkat dan ekspresi c-MYC menurun pada mencit dan pada 9 dari 14 spesimen tumor dari pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR resistan terhadap gefitinib.
Kesimpulan: Temuan ini menunjukkan bahwa FBXW7 dapat memainkan peran penting dalam pemeliharaan quiescence pada gefitinib-resistant lung CSC pada adenokarsinoma paru dengan mutasi positif EGFR

Background: Accumulating evidence indicates that quiescent cancer stem cells (CSCs) are involved in the resistance to gefitinib in non-small cell lung cancer (NSCLC) as non-mutational mechanism. We have previously reported that gefitinib-resistant persisters (GRPs) highly expressed stemness factors and had characteristic features of the CSCs phenotype. Recent studies demonstrate that FBXW7, a type of F-box protein, plays an important role in the maintenance of quiescent CSC by mediating the degradation of c-MYC protein by ubiquination. The aim of this study is to figure out the role of FBXW7 in the resistance to gefitinib in lung adenocarcinoma with EGFR mutation.
Methods: lung adenocarcnoma cell lines, PC9, harboring sensitive-EGFR mutation were exposed to high concentration of gefitinib in order to develop GRPs. We tried to knockdown FBXW7 gene expression, and evaluated their sensitivity to gefitinib and CD133-positive stem cell population in GRPs. We also introduced FUCCI plasmid via lentiviral infection in the cells and then investigated the cell cycle and G0-phase cells in GRPs. Furthermore, we established gefitinib-resistant tumor (GRT) model by injecting PC9 cells into NOG-mice followed by gefitinib administration after tumor growth, and evaluated mRNA and protein expression of quiescence-related markers including FBXW7 in vivo.
Results: In vitro, GRPs showed high expression of stem cell marker CD133 and quiescence-related markers including FBXW7 and low expression of c-MYC at protein level. Cell cycle analysis revealed that majority of GRPs existed in G0/G1 phase. Silencing of FBXW7 gene reduced CD133-positive cell population in GRPs. Knockdown of FBXW7 also increased susceptibility of cells to gefitinib, reversed population of G0/G1 cells to G2/S/M cells, and decreased cell number of GRPs. In vivo, GRTs after gefitinib treatment revealed high expression of FBXW7 and low expression of c-MYC. We also found that FBXW7 expression in CD133-positive cells was increased and c-MYC expression was decreased in mice and in 9 out of
14 tumor specimens from EGFR-mutant lung adenocarcinoma patients with acquired resistance to gefitinib.
Conclusion: These findings suggest that FBXW7 plays a pivotal role in the maintenance of quiescence in gefitinib-resistant lung CSCs in EGFR mutation- positive lung adenocarcinoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Enita Mayasari
"Latar belakang: Meningkatnya insidens kesakitan dan kematian akibat keganasan alternatif terapi dengan kemoterapi. Rejimen kemoterapi menggunakan obat sitotoksik yang mempunyai batas terapi sangat sempit sehingga memberi efek samping lebih besar dibandingkan manfaat dan angka harapan hidup. Kedua hal ini terjadi pada pasien KPKBSK jenis KSS dan adenokarsinoma EGFR wild type.
Metode: Desain penelitian ini dilakukan dengan metode Survey retrospektif dan studi analitik terhadap faktor yang mempengaruhi prognosis. Data diambil dari Rekam Medis RSUP Persahabatan dengan total sampling pada periode 2011 sampai 2016.
Hasil: Sampel penelitian teridiri dari 30 subjek kelompok KSS dan 30 subjek kelompok adenokarsinoma dengan karakteristik subjek laki-laki 86,7% dan subjek perempuan 13,3% dengan usia (median 57, range 36-66). Mendapatkan median TTP pada kelompok KSS yaitu 150 Hari (IK 95% 123,401-176,599) dan adenokarsinoma memiliki TTP 150 Hari (IK 95% 134,818-165,182).Mendapatkan KSS memiliki median PFS 150 Hari (IK 95% 99,790-200,210) dan adenokarsinoma memiliki PFS 150 Hari (IK 95% 121,597-178,403). Mendapatkan median KSS memiliki median OS 330 Hari (IK 95% 265,558-349,412) dan adenokarsinoma memiliki OS 341 Hari (IK 95% 227,930-404,070). Subjek dengan one year survival rate pada kedua kelompok sama banyak yaitu 47%. Kejadian anemia terbanyak yaitu grade 2 pada kelompok KSS sebanyak 8 subjek dan kelompok adenokarsinoma EGFR wild type sebanyak 5 subjek.
Kesimpulan:Perbandingan Efikasi dan toksisitas hematologi kemoterapi lini I kanker paru karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) jenis karsinoma sel skumosa (KSS) dengan adenokarsinoma EGFR wild typetidak mengalami perbedaan yang signifikan.

Background:The increasing incidence of morbidity and mortality is due to malignancy alternative therapy using chemotherapy. Chemotherapy using cytotoxic agents with narrow margin of safety results in greater side effects and decreasing chance of survival that occur in squamous cell carcinoma and wild-type EGFR adenocarcinoma.
Methods: This is a retrospective survey and analytic study of factors that affect prognosis. Data was obtained from patients’ medical records in RSUP Persahabatan from 2011 to 2016.
Results: The subjects of this study consist of 30 patients with squamous cell carcinoma (SCC) and 30 patients with wild-type EGFR adenocarcinoma, 86,7% of the subjects are male and 13,3% are female with median age 57 (range 36-66). Median TTP in SCC is 150 days (CI 95% 123,401-176,599) and in adenocarcinoma is 150 days (CI 95% 134,818-165,182). Progression free survival in SCC is 150 days (CI 95% 99,790-200,210) and in adenocarcinoma is 150 days (CI 95% 121,597-178,403). Median OS of SCC is 330 days (CI 95% 265,558-349,412) and adenocarcinoma is 341 days (CI 95% 227,930-404,070). One year survival rate subjects in those two groups are similar, which is 47%. Highest incidence of anemia is grade 2 anemia in 8 subjects with SCC and 5 subjects with adenocarcinoma.
Conclusion: First-line chemotherapy has similar efficacy and toxicity both in patient with NSCLC-SCC and NSCLC-wild type EGFR adenocarcinoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Angasreni
"Latar Belakang: Kanker paru merupakan kanker terbanyak kedua yang terdiagnosis dan menjadi penyebab terbanyak kematian akibat kanker. Pemberian afatinb sebagai terapi target Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR)-Tyrosine Kinase Inhibitor (TKI saat ini telah menjadi terapi standar untuk pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR di Indonesia, termasuk di RSUP Persahabatan. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pemberian terapi afatinib pada pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR di RSUP Persahabatan.
Metode: Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan data rekam medis fisik dan elektronik, dilakukan di Poli Onkologi RSUP Persahabatan, dengan teknik total sampling. Subjek penelitian adalah pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR yang mendapatkan afatinib pada Januari 2018-Desember 2021 di Poli Onkologi RSUP Persahabatan yang memenuhi kriteria penelitian.
Hasil: Didapatkan 116 subjek penelitian, pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR yang mendapatkan afatinib di RSUP Persahabatan dengan karakteristik lebih banyak laki-laki (52,6%), kelompok usia <65 tahun (80,2%), suku Jawa (81,9%), tanpa faktor risiko keganasan di keluarga (82,8%). Saat terdiagnosis subjek penelitian lebih banyak dengan stage IVA (75%), metastasis pleura (59,5%), mutasi EGFR delesi ekson 19 (53,4%) status tampilan 0-1 (75,9%) dan metastasis otak didapatkan pada 19% subjek. Nilai median progression free survivival (PFS) subjek penelitian yang mendapat afatinib adalah 13 bulan (95%IK 10,5-15,5 bulan), dan nilai median overall survival (OS) adalah 17 bulan (95%IK 14,9-19,1 bulan). Angka tahan hidup satu tahun yang didapat 65,1% dan Objective Respons Rate (ORR) adalah 36,1%. Sebanyak 35,3% subjek mendapatkan penurunan dosis afatinib 20 mg atau 30 mg. Toksisitas nonhematologi tersering pada pada penelitian ini adalah diare (74,1%), diikuti oleh stomatitis (61,2%), ruam kulit (59,5%) dan paronikia (49,1%).
Kesimpulan: Afatinib sebagai terapi lini pertama memberikan luaran yang cukup baik untuk pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR di RSUP Persahabatan dengan efek samping samping nonhematologi yang dapat dikelola. Riwayat penurunan dosis afatinib tidak memengaruhi angka kesintasan.

Background: Lung cancer is the second most diagnosed cancer and the most common cause of death from cancer. Afatinib as targeted therapy with Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR)-Tyrosine Kinase Inhibitor (TKI) has now become standard therapy for lung adenocarcinoma patients with EGFR mutations in Indonesia, including at RSUP Persahabatan. This study was conducted to analyze the administration of afatinib therapy in lung adenocarcinoma patients with EGFR mutations at Persahabatan General Hospital.
Metode: Design of the study was retrospective cohort using secondary data, physical and electronic medical records at Oncology Clinic Persahabatan Hospital with total sampling technique. Subject of this study were medical records of lung adenocarcinoma patients with EGFR mutation and received afatinib therapy by January 2018- December 2021 which met the inclusion criteria.
Results: There were 116 subjects of lung adenocarcinoma with EGFR mutation and received afatinib at Persahabatan Hospital, with predominant of male (52,6%), age <65 years old (80,2%), Javanese (81,9%), without history of cancer in family (82,8%). Most of subjects are diagnosed as lung adenocarcinoma at stage IVA (75%), with most of them have pleural metastases (59,5%), EGFR mutation with exon 19 deletion (53,4%), performa status 0-1 (75,9%), and brain metastases were found in 19% of subject. The median progression free survival (PFS) of subjects was 13 months (95% CI 10.5-15.5 months), and the median overall survival (OS)was 17 months (95% CI 14.9- 19.1 months). The one-year survival rate was 65.1% and the Objective Response Rate (ORR) was 36,1%. As many as 35.3% of subjects had adjustment dose of afatinib to 20 mg or 30 mg The most common non-hematological toxicity found was diarrhea (74.1%), followed by stomatitis (61.2%), skin rash (59.5%) and paronychia (49.1%).
Conclusion: Afatinib as a first-line therapy provides a good outcome for lung adenocarcinoma patients with EGFR mutations at Persahabatan General Hospital with manageable non-hematological adverse events. History of adjustment dose of afatinib did not affect survival rate.
"
2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hapsari Retno Dewanti
"Latar Belakang: Kanker paru menjadi penyebab kematian utama akibat keganasan pada laki-laki sebesar 31% dan perempuan sebesar 27%. Pada pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi pada exon 20 T790M memberikan respons yang buruk terhadap terapi EGFR-TKI generasi pertama maupun generasi kedua.
Tujuan: Mengetahui profil serta angka tahan hidup 1 tahun pasien kanker paru jenis Adenokarsinoma dengan mutasi exon 20 T790M primer.
Metode: Penelitian menggunakan desain kohort terhadap pasien-pasien adenokarsinoma paru stadium IV dengan mutasi exon 20 T790M primer dari bulan September 2015 sampai Desember 2017 di RSUP Persahabatan. Variabel yang diteliti adalah karakteristik klinis dan angka kesintasanberdasarkan kurva Kaplan Meier. Hasil analisis dinyatakan berbeda bermakna apabila nilai p<0,05.
Hasil: Didapatkan 27 subjek penelitian dengan rerata usia 58,5 tahun dan berjenis kelamin laki-laki (70,6%). Keluhan utama berupa sesak napas (73,5%) dan nyeri dada (55,9%). Mutasi genetik tunggal pada Exon 20 T790M (64,7%), sedangkan mutasi Exon 20 T790M dengan Exon 21 L858R (11,8%) dan mutasi Exon 20 T790M dengan 21 L861Q (8,8%). Organ target metastasis adalah efusi pleura (73,5%), tulang (26,5%) dan otak (20,6%). Angka kesintasan 360 dan 990 hari sebesar 35% dan 20% dengan median kesintasan sebesar 213 hari.
Kesimpulan: Mutasi exon 20 T790M pada adenokarsinoma paru memegang peranan penting terhadap kesintasan dan prediktor responsterhadap terapi yang diberikan.

Background: Lung cancer causes mortality in men (31%) and in women (27%). Lung adenocarcinoma patients with exon 20 T790Mepidermal growth factor receptor(EGFR) mutation showed poor response to the first generation and second generation of EGFR tyrosine kinase inhibitor (TKI) therapy.
Purpose: This study aims to reveal the characteristics and one year survival rate of lung adenocarcinoma patients with primary exon 20 T790M EGFR mutations treated at Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia.
Methods: The cohort study involved patients with primary exon 20 T790M EGFR mutation between September 2015 to December 2017 in Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia. The survival rate was observed from Kaplan Meier estimator curve and was statistically analyzed.
Results: There were 27 subjects with mean age of 58.5 years and were predominated male (70.6%). The most common chief complaints were shortness of breath (73.5%) and chest pain (55.9%). The EGFR mutations detected were exon 20 T790M (64.7%), exon 20 T790M with exon 21 L858R (11.8%) and exon 20 T790M with exon 21 L861Q (8.8%). Metastatic target organs were pleural effusions (73.5%), bone (26.5%) and brain (20.6%). Survival rate of 360 and 990 days was 35% and 20% respectively with median survival rate was 213 days.
Conclusion: Exon 20 T790M EGFR mutation in lung adenocarcinoma was revealed to be an important factor in survival and in predicting response to EGFR TKI chemotherapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syaifulloh
"Pengukuran dalam radioterapi untuk perhitungan dosis seperti percentage depth dose (PDD) dilakukan dalam fantom air yang memiliki densitas homogen, dengan densitas hampir sama densitas otot (1 g/cm3). Pada perlakuan radioterapi seperti pada kanker paru, berkas radiasi melewati material yang tidak homogen yaitu otot, tulang dan paru itu sendiri yang berakibat pada perubahan PDD, sehingga perlu pengukuran pada medium inhomogen seperti pada fantom rando.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur distribusi dosis pada paru dengan simulasi perlakuan radioterapi pasien kanker paru dengan fantom rando kemudian dibandingkan dengan hasil perhitungan TPS. Pengukuran distribusi dosis menggunakan TLD dan film Gafchromic. Untuk memperoleh distribusi dosis pada paru TLD diletakkan pada titik - titik yang berada pada bidang utama berkas dalam fantom rando. Pengukuran distribusi dosis dengan film dilakukan dengan meletakkan film Gafchromic diantara 2 irisan fantom rando. Pengukuran dilakukan untuk 3 lapangan, 5 x 5 cm2, 10 x 10 cm2, dan 15 x 15 cm2. Hasil pengukuran dengan film dan TLD kemudian dibandingkan dengan hasil perhitungan TPS.
Hasil penelitian menunjukkan persentase dosis pada berbagai kedalaman antara hasil pengukuran film Gafchromic dengan perhitungan TPS berbeda secara signifikan, dan semakin besar lapangan semakin besar deviasi. Hasil pengukuran dengan film gafchromic mendapatkan nilai deviasi persen dosis hingga 6 % untuk lapangan 5 x 5 cm2, 16 % untuk lapangan 10 x 10 cm2, dan 17% untuk lapangan 15 x 15 cm2. Untuk pengukuran dengan TLD deviasi persen dosis hingga 8% untuk lapangan 5 x 5 cm2, 11% untuk lapangan 10 x 10 cm2, 12% untuk lapangan 15 x 15 cm2 masing ? masing pada kedalaman 15 cm.

Measurements in radiotherapy for dose calculation as percentage depth dose (PDD) are done in a water phantom with homogeneous density (1 g/cm3). In the radiotherapy treatment such as lung cancer, the radiation beam passes through inhomogeneous materials i.e. muscle, bone and lung itself, which resulted change in PDD, so necessary measurements on inhomogeneous medium like the rando phantom.
The purpose of this study was to measure dose distribution in the lung with simulated radiotherapy treatment of lung cancer patients with a rando phantom and compared with the TPS calculation. Measurement of dose distributions is using TLD and gafchromic films. To obtain the dose distribution in the lung, TLD placed at the points located on the main field of the beam in the rando phantom. Field measurements were made for 3 field sizes, 5 x 5 cm2, 10 x 10 cm2, and 15 x 15 cm2. The results were then compared with the TPS calculation.
The results show the percentage dose at various depths between the measurement and TPS calculation differ significantly, and the larger the field the greater the deviation. Measurement using gafchromic film resulting in deviation in dose percentage reaching up to 6 % for 5 x 5 cm2 field size, 16 % for 10 x 10 cm2, and 17 % for the 15 x 15 cm2. For TLD measurement, deviation is up to 8% for 5 x 5 cm2 field size, 11% for 10 x 10 cm2, and 12% for 15 x 15 cm2 at 15 cm depth respectively.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
T35528
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riyadi Sutarto
"Latar belakang : Efek potensial EGFR-TKI terhadap fungsi paru belum diinvestigasi secara mendalam. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek pemberian EGFR TKI terhadap fungsi paru terutama nilai DLCO.
Metode : Penelitian berlangsung secara prospektif dari September 2018 hingga Juni 2019 di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta. Terdapat 20 subjek adenokarsinoma paru dengan mutasi tunggal di exon 19/21 yang dapat menyelesaikan pemeriksaan DLCO baik sebelum mendapat EGFR TKI dan setelah tiga bulan terapi.
Hasil : Penelitian ini mendapatkan peningkatan bermakna nilai rerata KVP prediksi dari 60,6% menjadi 68,25% (p=0,03), nilai rerata VEP1 Prediksi dari 59,7% menjadi 67,05% (p=0,036), nilai rerata DLCO dari 11,55 ml/menit/mmHg menjadi 13,72 ml/menit/mmHg (p=0,004) dan DLCO prediksi dari 53,4% menjadi 63,85% (p=0,03). Peningkatan nilai rerata DLCO prediksi paling besar pada kelompok dengan hasil RECIST partial response yaitu sebesar 16,43% (p=0,056).
Kesimpulan : Terapi EGFR TKI selama tiga bulan pada subyek adenokarsinoma paru dengan mutasi tunggal exon19/21 dapat meningkatkan fungsi paru secara bermakna baik nilai KVP prediksi, VEP1 prediksi, DLCO, dan DLCO prediksi.

Background : The epidermal growth factor receptor (EGFR) tyrosine kinase inhibitors (TKIs) are drugs of choice in non-small cell lung cancer possessing EGFR mutation. Its effect on the lung function is not well understood. This study aims to assess lung function using the lung diffusion capacity (DLCO) test in lung cancer patients treated with EGFR-TKIs. ming
Method :
This prospective study included lung cancer patients treated with EGFR-TKIs at Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia, between September 2018 andGrowt June 2019. The study recruited 20 lung adenocarcinoma patients presented with a single mutation at exon 19 or 21 as subjects in the process. Their DLCO was examined before and three months after receiving EGFR-TKI. Subjects were grouped according to the Response Evaluation Criteria in Solid Tumors (RECIST) assessment.
Results: There was an increase in predicted FVC from 60.60% to 68.25% (p=0.03), predicted FEV1 from 59.7% to 67.05% (p=0.036%), DLCO from 11.5 mL/minute/mmHg to 13.72 mL/minute/mmHg (p=0.004), and predicted DLCO from 53.4% to 63.85% (p=0.03) during the therapy. The largest increase of predicted DLCO was shown in RECIST group of partial response (16.43%, p=0.056) Conclusion: This study found an improvement in lung function (predicted FVC, predicted FEV1, DLCO, and predicted DLCO) among lung adenocarcinoma subjects exhibiting single mutation at exon 19 or 21 after three months of EGFR-TKIs treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Elhidsi
"Latar Belakang : Mutasi pada gen Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) berhubungan dengan karsinogenesis Adenokarsinoma paru terutama pada usia muda yang tidak terpajan cukup lama oleh rokok sebagai karsinogen. Penelitian ini untuk mengetahui profil mutasi gen EGFR dan angka tahan hidup pasien adenokarsinoma paru usia muda.
Metode: Penelitian observasional kohort retrospektif dan prospektif pada Adenokarsinoma paru usia muda yakni usia <45 tahun dibandingkan dengan usia yang lebih tua. Data diambil dari catatan medis rumah sakit umum pusat Persahabatan Jakarta 2012-2013 dan dilakukan observasi progresivitas dan kematian selama 2 tahun pasca tegak diagnosis.
Hasil: Total pasien Adenokarsinoma paru adalah 218 orang terdiri dari 65 orang usia muda dan 153 orang usia tua. Karakteristik Adenokasrsinoma paru usia muda adalah perempuan (58,3%), bukan perokok (66,7%), stage lanjut (98,5%), status tampilan WHO ≤2, metastasis ke luar rongga toraks (43,1%). Proporsi mutasi EGFR positif pada usia muda lebih tinggi dibandingkan usia tua (70,8%vs51%; p=0,007). Mutasi gen EGFR usia muda terdiri dari 36,9% delesi ekson 19; 30,8% mutasi ekson 21 L858R; 3,1% mutasi ekson 21 L861Q dan 29,2% wild type. Masa tengah tahan hidup Adenokarsinoma paru usia muda dengan EGFR positif yang diberikan EGFR tyrosine kinase inhibitor adalah 652 hari (590-713 hari, IK 95%) dengan angka tahan hidup 1 tahun adalah 87,5% dan masa bebas penyakit adalah 345 hari (IK 95%, 323-366 hari). Delesi ekson 19 memberikan masa bebas penyakit yang lebih baik dibandingkan dengan mutasi ekson 21 (RR 2,361; IK 95% 1,126-4,952; p=0,023). Masa tengah tahan hidup Adenokarsinoma paru usia muda dengan mutasi EGFR wild type yang mendapat kemo/kemoradioterapi adalah 515 hari (IK 95%, 487-542) dengan angka tahan hidup 1 tahun adalah 70,7% dan masa bebas penyakit adalah 202 hari (IK 95%, 137-266 hari).
Kesimpulan: Profil mutasi gen EGFR pada Adenokarsinoma paru usia muda sangat penting dalam pemilihan terapi lini pertama sehingga dapat meningkatkan angka tahan hidup.

Introduction: Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) mutation is associated with Lung Adebocarcinoma carcinogenesis particularly in young patients which don?t have long exposure to smoke as carcinogen. This study investigate Profile of Epidermal Growth Factor Receptor Mutation and Survival in Young Patients with lung Adenocarcinoma.
Method: Retrospective and prospective observational cohort study in lung Adenocarcinoma <45 years old compare with olders. Data are taken from medical record Persahabatan hospital Jakarta 2012-2013 and we observed for progressivity and mortality in 2 years since diagnosis.
Results: A total 218 lung Adenocarcinoma consists of 65 young patients and 153 olders. Young lung Adenocarcinomas are female (58,3%), nonsmokers (66,7%), advanced stage (98,5%), performance status WHO ≤2, extrathoracic metastatics (43,1%). EGFR mutation in youngers are higher than olders (70,8%vs51%; p=0,007). Mutation in young patients consists are 36,9% exon 19 deletion; 30,8% exon 21 L858R mutation; 3,1% exon 21 L861Q mutation and 29,2% wild type. Overall survival (OS) young patients with EGFR mutation positive treated with EGFR tyrosine kinase inhibitor are 652 days (95% CI, 590-713 days), 1 year survival is 87,5% and progression free survival (PFS) are 345 days (95% CI, 323-366 days). Exon 19 deletion give higher PFS than exon 21 (RR 2,361; IK 95% 1,126-4,952; p=0,023). Overall survival young patients with EGFR wild type treated with conventional chemotherapy are 515 days (487-542 days, 95%), 1 year survival is 70,7% and their PFS are 202 days (137-266 days, 95% CI).
Conclusion: EGFR mutation profile in young lung Adenocarcinoma is important to choose first line therapy so that can increase their survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>