Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 29993 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Gina Amanda
"ABSTRAK
Latar belakang: Streptococcus pneumoniae adalah etiologi yang paling sering ditemukan pada pneumonia komunitas. Studi di Semarang mendapatkan bahwa angka kejadian pneumonia pneumokokus adalah sebesar 13,5% dari seluruh kasus pneumonia komunitas. Beberapa faktor termasuk vaksinasi mempengaruhi kejadian pneumonia pneumokokus dan komplikasi penyakit pneumokokus invasif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi dan karakteristik pneumonia pneumokokus pada pasien pneumonia komunitas.
Metode: Penelitian ini adalah studi potong lintang yang dilakukan pada pasien pneumonia komunitas di rumah sakit umum pusat Persahabatan Jakarta pada bulan April-Oktober 2018. Diagnosis pneumonia komunitas ditegakkan apabila terdapat infiltrat baru pada foto toraks disertai dua dari lima gejala demam, sesak napas, batuk, batuk darah, atau nyeri dada yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari dua minggu. Pada tiap subjek penelitian akan dilakukan wawancara medis, pemeriksaan fisis, foto toraks, pemeriksaan laboratorium, dan biakan spesimen seperti sputum, darah, dan cairan pleura. Hasil biakan positif S. pneumoniae akan diperiksakan serotipe, uji kepekaan dan resistensi antibiotik.
Hasil: Dari 92 subjek penelitian didapatkan proporsi pneumonia pneumokokus sebesar 12%. Sebagian besar subjek pasien pneumonia pneumokokus berusia 19-64 tahun (72,7%), laki-laki (72,7%), memiliki komorbid paru (54,5%) dan ekstra paru (45,5%), malnutrisi (72,7%), tidak merokok saat ini (81,8%), dan tidak pernah divaksinasi pneumokokus (100%). Sesak napas, batuk, dan demam adalah gejala klinis yang sering ditemukan. Gambaran radiologis yang terbanyak ditemukan adalah infiltrat. Derajat penyakit pada kelompok ini adalah nilai CURB-65 ≤ 2 (100%). Pada penelitian ini didapatkan angka penyakit pneumokokus invasif sebesar 18,2%. Serotipe pada pasien pneumonia pneumokokus dengan penyakit pneumokokus invasif adalah 6A/6B dan 7F/7A, sedangkan pada pasien tanpa penyakit pneumokokus invasif adalah serotipe 3, 6A/6B, 4, 9V/9A, 15A/15F, dan 16F. Telah ditemukan beberapa serotipe pneumokokus yang resisten terhadap antibiotik seperti golongan penisilin, makrolid, tetrasiklin, kloramfenikol, dan klindamisin. Kesimpulan: Proporsi pneumonia pneumokokus pada pasien pneumonia komunitas dewasa di penelitian ini adalah sebesar 12% dan angka kekerapan penyakit pneumokokus invasif sebesar 18,2%. Beberapa karakteristik tampak dominan pada subjek pasien pneumonia pneumokokus, namun hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang tidak bermakna.
"
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Adanya kuman patogen di daerah nasofaring merupakan faktor risiko untuk pnemonia. Menurut badan kesehatan sedunia (WHO), di komunitas, untuk melakukan uji resistensi terhadap berbagai antimikroba, sebaiknya spesimen diambil dengan apus nasofaring. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola bakteri yang ada di nasofaring balita penderita pnemonia dan resistensi kuman terhadap kotrimoksasol. Penelitian ini dilaksanakan di 4 Puskesmas di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Semua anak dengan batuk dan /atau kesulitan bernafas dan diklasifikasikan sebagai pnemonia tidak berat menurut pedoman WHO, diikut sertakan pada penelitian. Apus nasofaring (sesuai pedoman CDC/WHO manual) dilakukan oleh dokter yang terlatih dan spesimen ditempatkan ke dalam media Amies transport, dan disimpan dalam termos, sebelum kemudian dibawa ke laboratorium untuk pemeriksaan selanjutnya, pada hari yang sama. Selama 9 bulan terdapat 698 anak dengan gejala klinis pnemonia tidak berat, yang diikut sertakan dalam penelitian. Sebanyak 25,4% (177/698) spesimen menunjukkan hasil isolat positif, 120 (67,8%) positif untuk S pneumoniae, masing-masing 21 untuk S epidermidis dan alpha streptococcus, 6 untuk Hafnia alvei, 5 untuk S aureus, 2 (1,13%) untuk B catarrhalis dan masing-masing 1 (0,6%) untuk H influenzae dan Klebsiella. Hasil uji resistensi S pneumonia terhadap kotrimoksasol menunjukkan 48,2% resisten penuh dan 32,7% resisten intermediate. Hasil ini hampir sama dengan penelitian lain di Asia. Tampaknya H influenzae tidak merupakan masalah, akan tetapi penelitian lebih lanjut perlu dilakukan. (Med J Indones 2002; 11: 164-8)

Pathogens in nasopharynx is a significant risk factor for pneumonia. According to WHO, isolates to be tested for antimicrobial resistance in the community should be obtained from nasopharyngeal (NP) swabs. The aim of this study is to know the bacterial patterns of the nasoparynx and cotrimoxazole resistance in under five-year old children with community acquired pneumonia. The study was carried out in 4 primary health clinic (Puskesmas) in Majalaya sub-district, Bandung, West Java, Indonesia. All underfive children with cough and/or difficult breathing and classified as having non-severe pneumonia (WHO guidelines) were included in the study. Nasopharyngeal swabs (CDC/WHO manual) were collected by the field doctor. The swabs were placed in Amies transport medium and stored in a sterile jar, before taken to the laboratory for further examination, in the same day. During this nine month study, 698 children with clinical signs of non-severe pneumonia were enrolled. About 25.4% (177/698) of the nasopharyngeal specimens yielded bacterial isolates; i.e. 120 (67.8%) were positive for S pneumoniae, 21 for S epidermidis and alpha streptococcus, 6 for Hafnia alvei, 5 for S aureus, 2 for B catarrhalis, and 1(0.6%) for H influenzae and Klebsiella, respectively. The antimicrobial resistance test to cotrimoxazole showed that 48.2% of S pneumoniae strain had full resistance and 32.7% showed intermediate resistance to cotrimoxazole. This result is almost similar to the other studies from Asian countries. It seems that H influenzae is not a problem in the study area, however, a further study is needed. (Med J Indones 2002; 11: 164-8)"
Medical Journal of Indonesia, 11 (3) July September 2002: 164-168, 2002
MJIN-11-3-JulSep2002-164
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nicholas Kristanta Sandjaja
"Latar Belakang. Pneumonia komunitas merupakan masalah kesehatan global dan memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Rasio neutrofil-limfosit merupakan petanda inflamasi yang sederhana, cepat dan murah serta dapat dilakukan di fasilitas terbatas. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa RNL saat awal perawatan dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas, lama rawat inap dan kemungkinan kejadian sepsis, tetapi belum ada studi yang meneliti perannya dalam memprediksi kesembuhan dalam 7 hari pada pasien dengan pneumonia komunitas.
Tujuan. Mengetahui peran rasio neutrofil-limfosit dalam memprediksi kesembuhan dalam 7 hari pada pasien dengan pneumonia komunitas.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif terhadap pasien pneumonia komunitas yang dirawat di RSCM dari periode 1 November 2017-31 Desember 2018. Data neutrofil, limfosit dan leukosit serta RNL pada awal perawatan diambil dari rekam medis. Kriteria kesembuhan dalam 7 hari berupa perbaikan keluhan, pemeriksaan fisik, tanda vital yang stabil sesuai panduan IDSA/ATS dan atau perbaikan rontgent toraks. Nilai rasio neutrofil-limfosit yang optimal didapatkan menggunakan kurva ROC. Analisis variabel perancu dilakukan dengan regresi logistik.
Hasil. Terdapat 195 subjek penelitian yang dianalisis. Median usia sampel 65 tahun (21-90), dengan penyakit komorbid terbanyak adalah diabetes melitus (49,7%), terdapat 1 pasien yang mendapatkan antibiotik sebelum perawatan, dan 72,1% pasien dengan skor CURB-65 ≥ 2. Dari kurva ROC didapatkan nilai AUC 0,554 (IK95%: 0,473-0,635) dengan p>0,05. Analisa regresi logistik dan analisis subgrup menunjukkan CURB-65 skor 2 merupakan effect modifier.
Kesimpulan. Rasio neutrofil-limfosit pada awal perawatan tidak dapat digunakan sebagai prediktor untuk memprediksi kesembuhan dalam 7 hari pada pasien dewasa pneumonia komunitas yang dirawat

Background. Community acquired pneumonia is a global health problem and has a high morbidity and mortality. The neutrophil to lymphocyte ratio is a simple, rapid, inexpensive marker of systemic inflammation and can be done in a limited facility. Other studies had shown that neutrophil to lymphocyte ratio can be used to predict mortality, length of stay and sepsis, but there are no studies that investigate its role in predicting cure within 7 days in patients with community acquired pneumonia.
Aim. To investigate neutrophil to lumphocyte ratio as a predictor of cure within 7 days in patients with community acquired pneumonia.
Method. A retrospective cohort study was conducted using medical records in Cipto Mangunkusumo Hospital for community acquired pneumonia patients who were admitted from the period 1st November 2017-31st December 2018. Neutrophil, lymphocytes and neutrophil to lymphocyte ratio was obtained upon admittance. Criteria for cure within 7 days include improvement of clinical symptoms, physical examination, stable vital signs according to IDSA / ATS guidelines and or improvement of chest X-ray. Neutrophil to lymphocyte cut off was determined using the ROC curve. Confounding factors was analysed using logistic regression.
Results. There were 195 subjects. Median age was 65 years (21-90). Diabetes mellitus (49.7%) was the most frequent comorbid. There were one patients treated with antibiotics prior to admission and 72.1 % of patients with a CURB-65 score ≥ 2. ROC curve showed that AUC 0.554 (95%CI: 0.473-0.635 ) with p>0.05. Logistic regression analysis and subgroup analysis showed that CURB-65 2 was an effect modifier.
Conclusion. Neutrophil to lymphocyte ratio upon admittance cannot be used as a predictor of cure within 7 days in adult patients with community acquired pneumonia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurraya Lukitasari
"Community-acquired pneumonia (CAP) adalah suatu peradangan akut pada parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme dan didapat dari masyarakat. Terapi optimal antibiotik extended empiric sering diperdebatkan sehingga penatalaksanaan CAP merupakan tantangan besar bagi para klinisi. Penelitian ini bertujuan menganalisis perbandingan luaran terapi, efektivitas biaya dan pilihan terapi antibiotik yang baik serta hubungan ketepatan penggunaan dengan biaya antibiotik extended empiric monoterapi dan dualterapi CAP. Desain penelitian ini adalah kohort prospektif dengan waktu pengambilan sampel Juni-September 2018 di ruang boarding IGD RSUP Fatmawati Jakarta. Diperoleh hasil dualterapi tertinggi diberikan pada komorbid gangguan kesadaran. Nilai P=0,643 untuk perbaikan klinis setelah hari ke-5 pemberian antibiotik extended empiric monoterapi dengan dualterapi. Nilai ACER monoterapi lebih rendah (Rp.256.896,36) dibandingkan dualterapi (Rp.609.505,56) dengan antibiotik terbaik yaitu seftriakson serta kombinasi siprofloksasin dan seftriakson. Terdapat hubungan antara ketepatan penggunaan dengan biaya antibiotik extended empiric (r=0,282;P=0,005). Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa antara penggunaan antibiotik monoterapi dengan dualterapi tidak berbeda signifikan dalam luaran klinis setelah hari ke-5 pemberian antibiotik extended empiric, efektivitas biaya monoterapi lebih baik dibandingkan dualterapi dengan pilihan monoterapi terbaik adalah seftriakson dan dapat dipertimbangkan pemberian kombinasi siprofloksasin dan seftriakson pada komorbid gangguan kesadaran serta terdapat kekuatan hubungan sedang antara ketepatan penggunaan dengan biaya antibiotik extended empiric.

Community-acquired pneumonia (CAP) is an acute inflammation of the pulmonary parenchyme caused by microorganisms and obtained from community. Optimal therapy for extended empirical antibiotics is debated so CAP management is still a major challenge. This study aims to analyze the comparison of therapeutic outcomes, cost effectiveness and the best choice of antibiotic therapy also the correlation between the accuracy of use and cost of monotherapy and dualtherapy extended empirical antibiotics in prospective cohort. The sampling time was June-September 2018 in the ED boarding room Fatmawati Hospital, Jakarta. Highest dualtherapy results for unconsciousness comorbid. P value=0,643 for clinical improvement after the 5th day of extended empiric monotherapy and dualtherapy. Monotherapy ACER is lower (Rp 256.896,36) than dualtherapy (Rp.609.505,56), the best antibiotics are ceftriaxone and ciprofloxacin-ceftriaxone. There is a relationship between the accuracy of use and cost of extended empiric antibiotics (r=0,282;P=0,005). It can be concluded that between the use of monotherapy and dualtherapy did not differ significantly in clinical outcomes after the 5th day, cost effectiveness of monotherapy was better than dualtherapy with the best choice was ceftriaxone and consideration of ciprofloxacin-ceftriaxone for unconsciousness comorbid, there is a moderate relationship between the accuracy of use and cost of extended empirical antibiotics."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T52526
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pambudi J.R.
"Background: Community acquired pneumonia (CAP) in the elderly is still a major problem due to its high morbidity and mortality. There is considerable variability in ?the result of various studies on prognostic factors. The prognostic factors in Indonesia have not been identified.
Methods: We performed a prospective cohort study on 147 elderly patients hospitalized with CAP in the internal medicine ward of Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital, Jakarta from September 2002 to March 2003. We calculated the survival rate during hospitalize-tion. We used Cox proportional-hazard regression analysis to examine factors associated with mortality in the first 48 hours of hospitalization. .
Results: There were 34 deaths (23.1) associated with CAP in 1471 person-days. The survival rate at day 5, 10 and 15 were 88.9%, 77.2 and 67.2% respectively. Severe. pneumonia, an serum albumin of d"3.5 g/dL, reduced
consciousness, temperature > 37.0"C, and a hemoglobin level of d" 9.0 g/dL demonstrated a tendency towards increased mortality rate. Other factors such as age, sex, immobilization, swollen disorders, co-morbidities, leukocyte count, and serum creatinine level demonstrated no significant relationship with mortality.
Conclusion: Severe pneumonia, low serum albumin, decreased consciousness, high temperature and low hemoglobin level in the first 48 hours hospitalization were found to be worse prognostic factors. Early identification and modification of these factors are recommended.
"
2003
AMIN-XXXV-4-OktDes2003-176
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sari Purnama Hidayat
"Latar belakang: Kematian akibat pneumonia komunitas dilaporkan paling sering pada kelompok lanjut usia. Tingginya kegagalan terapi pada kelompok ini yang berkaitan dengan keterlambatan diagnosis, keparahan penyakit, infeksi bakteri atipikal, multipatogen, multiresisten, dan kondisi multikomorbiditas. Dengan memprediksi kegagalan terapi pada kelompok ini, klinisi dapat menyusun strategi yang lebih agresif untuk mencapai keberhasilan terapi. Namun mengingat respon klinis lanjut usia yang lebih lambat, parameter pencapaian stabilitas klinis dini (<3 hari) tidak dapat digunakan pada kelompok usia ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan klinis yang dapat digunakan dalam memprediksi kegagalan terapi pada pneumonia komunitas lanjut usia.
Metode: Penelitian menggunakan desain kohort prospektif menggunakan data primer pada subjek pneumonia komunitas lanjut usia yang menjalani perawatan inap di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Dilakukan pemeriksaan status klinis awal sebagai nilai dasar, dilanjutkan dengan pemantauan klinis hari pertama (24 jam setelah mendapatkan antibiotik) dan pemantauan klinis hari ke-tiga (72 jam setelah mendapat antibiotik). Hasil keluaran kegagalan terapi dinilai bila terdapat eskalasi antibiotik dan kematian dalam 14 hari pemantauan.
Hasil: Sebanyak 231 subjek dimasukan dalam penelitian, 21 subjek mengalami drop out. Dari 210 subjek, kegagalan terapi dijumpai pada 111 subjek (52,9%). Setelah dilakukan analisis bivariat dan multivariat ditemukan perubahan klinis yang berhubungan dengan kegagalan terapi pada pneumonia komunitas lanjut usia adalah perubahan ADL pada hari pertama dengan RO 2,213 (95% IK: 1,269-3,861, p<0,01), perubahan ADL pada hari ke- tiga dengan RO 2,966 (95% IK: 1,603-5,489, p=0,001) dan perubahan tekanan darah sistolik pada hari ke-tiga dengan RO 1,021 (95%IK 1,005-1,036, p<0,01).
Kesimpulan: Perubahan klinis dapat dijadikan parameter prognosis kegagalan terapi pada pneumonia komunitas lanjut usia.  Perburukan atau tidak perbaikan status fungsional pada hari pertama dan hari ke-tiga pasca mendapatkan terapi antibiotik berhubungan dengan kegagalan terapi. Perubahan tekanan darah sistolik yang lebih tinggi juga berhubungan dengan kegagalan terapi dengan mekanisme yang belum dapat dijelaskan.

Background: The elderly with community-acquired pneumonia (CAP) had worse outcomes due to a high rate of treatment failure (TF). A more thorough clinical assessment is needed to evaluate treatment response in this population. Early detection of TF enables more aggressive management of CAP in the elderly, but the evidence is scarce.
Aim: To determine any clinical status changes that can be used to predict TF in the elderly with CAP.
Method: A cohort-prospective study with consecutive sampling methods was conducted. Included patients with CAP ≥60 years old. Clinical status, including blood pressure, pulse rate, respiratory rate, body temperature, peripheral oxygen saturation, functional status with Barthel Index, and mental status (delirium status and GCS), were recorded upon admission, 24 hours and 72 hours following the first antibiotic(s) administration. Treatment failure was determined in subjects required antibiotic escalation or died within 14 days of observation.
Results: The clinical status changes related to TF were: the change of functional status and mental status 24 hours following antibiotic(s) administration; and the changes of systolic blood pressure, pulse rate, functional status, and mental status 72 hours following antibiotic(s) administration. Multivariate analysis revealed.
Conclusion: Comprehensive clinical evaluation is required to predict TF in the elderly with CAP. Changes in functional status and mental status were recognized earlier than vital signs to predict TF in the elderly with CAP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Rohayat Bilmahdi
"Community acquired pneumonia (CAP) oleh patogen resisten obat (PRO) memiliki tingkat keparahan yang tinggi. CAP akibat PRO memerlukan terapi antibiotik spektrum luas, skor Drugs Resistance in Pneumonia (DRIP) mampu memprediksi kasus tersebut. Penggunaan skor DRIP dapat mencegah kegagalan terapi antibiotik empirik dan mempersingkat lama rawatan, untuk itu diperlukan validasi. Penelitian ini merupakan studi Cohort Retrospektif pada pasien CAP yang dirawat inap selama periode Januari 2019 hingga Juni 2020. Data diambil dari rekam medis, kegagalan antibiotik bila terdapat kematian, pindah rawat ICU dan eskalasi antibiotik. Performa skor DRIP dianalisis dengan menentukan nilai kalibrasi dan diskriminasi, uji Hosmer-Lemeshow dan Area Under Curve (AUC). Diperoleh 480 pasien yang telah memenuhi kriteria. Terdapat 331 pasien (69%) dengan skor DRIP <4 dan 149 pasien (31%) dengan skor DRIP ≥4, dengan jumlah kegagalan antibiotik sebesar 283 pasien (59%), 174 pasien (61,4%) skor DRIP <4 dan 109 pasien (38,5%) skor DRIP ≥4. Kalibrasi DRIP menggunakan uji Hosmer-Lemeshow diperoleh p-value = 0,667 (p>0,05), diskriminasi AUC pada kurva ROC diperoleh 0,651 (IK 95%; 0,601-0,700). Skor DRIP menunjukkan performa yang cukup baik dalam memprediksi kegagalan antibiotic empiric pada pasien CAP yang terinfeksi PRO. Skor DRIP tidak berhubungan dengan lama rawatan di Rumah Sakit.

Community-acquired pneumonia (CAP) caused by drug resistant pathogens (DRP) has a high level of severity. The incidence of CAP due to DRP requires broad spectrum antibiotic therapy, the Drugs Resistance in Pneumonia (DRIP) score is able to predict these cases. The use of the DRIP score can prevent antibiotic failure and minimize length of hospitalization, but validation is needed . This research is a retrospective cohort study in CAP patients who were hospitalized during the period January 2019 to June 2020. Data were taken from patient medical records, and failure of empiric antibiotics occurs when one of this criteria are found: patient mortality, ICU transfer and escalation of antibiotics as well as length of stay. Furthermore, the performance of the DRIP score was analyzed by determining the calibration and discrimination, using the Hosmer-Lemeshow test and the Area Under Curve (AUC). There were 480 patients who met the criteria. There were 331 patients (69%) with a DRIP score <4 and 149 patients (31%) with a DRIP score ≥4, with a total of 283 patients (59%) of antibiotic failures which were detailed in 174 patients (61.4%) with a DRIP score <4 and 109 patients (38.5%) DRIP score ≥4. DRIP calibration using the Hosmer-Lemeshow test obtained p-value=0.667 (p>0.05), AUC observations on the ROC curve obtained 0.651 (95% CI; 0.601-0.700). The DRIP score showed good performance in predicting failure of empiric antibiotics in infected CAP patients. PRO. The DRIP score is not related to the length of stay in the hospital."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Rini Anisa
"Community acquired pneumonia (CAP) adalah inflamasi yang menyerang parenkim sistem pernapasan bagian bawah. Penyakit ini banyak menyerang individu dari segala tahapan perkembangan. Penyakit ini rentan terjadi pada wilayah perkotaan diakibatkan oleh tingkat polusi udara di wilayah perkotaan yang tinggi. Pada pasien CAP terjadi perubahan pada alveolar sehingga terdapat konsolidasi yang menyebabkan perubahan pola napas. Pursed lip breathing adalah salah satu bentuk intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi manifestasi yang ditimbulkan berupa hiperventilasi. Karya Ilmiah Akhir Ners ini bertujuan untuk menganalisis asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien CAP dan penerapan pursed lip breathing. Hasil Analisa yang didapat dari penerapan pursed lip breathing adalah masalah ketidakefektifan pola napas teratasi ditandai dengan frekuensi napas dalam rentang normal dan tidak ada sesak.

Community acquired pneumonia (CAP) is an inflammation that occurred on lower respiratory system especially lung parenchyma. CAP can occur in all development stage. People who live in urban area are vulnerable to get CAP because the level of air pollution in urban area is higher than rural area. People with CAP will have dyspnea and increase of respiratory rate because there consolidation occurred in alveolus which cause ineffective breathing pattern. Pursed lip breathing is one of the intervention that nurse can do to solve ineffective breathing pattern related to hyperventilation. This nursing Scientific work aims to analyze nursing process on patient with CAP and application of pursed lip breathing. The result of applicating pursed lip breathing on CAP patient are decrease of dyspnea and decrease of respiratory "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>