Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61518 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hearty, Free
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015
800.956 HEA k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hearty, Free
"Penelitian ini melihat kontestasi pemikiran feminisme dan ideologi patriarki dalam tiga teks berbudaya Arab-Muslim, yakni: Women at Point Zero (WAPZ) karya Nawal El Saadawi (1976), A Wife for My Son (AWfMS) karya Ali Ghalem (1969), dan The Beginning and The End (TBTE) karya Naguib Mahfoudz (1949). Karena yang diamati adalah pertarungan ideologi, maka karya sastra di sini diperlakukan sebagai satu aspek budaya. Dengan begitu pendekatan yang digunakan adalah pendekatan budaya. Pengkajian budaya lebih mengamati aspek politis dari kehadiran teks sastra. Dalam hal ini teks sastra dianggap bisa menyosialisasikan berbagai hal untuk membangun atau meruntuhkan suatu ideologi.
Pendekatan budaya feminis, khususnya feminis Muslim, digunakan untuk mengamati bagaimana gagasan feminis dimunculkan menghadapi dominasi laki-laki, dan bagaimana citra perempuan sebagai korban atau citra perempuan yang berpotensi memperjuangkan kesetaraan ditampilkan dalam teks-teks WaPZ, AWfMS dan TBTE. Pendekatan budaya post-feminis yang digagas Naomi Wolf digabungkan dengan pandangan Fatima Mernissi dari feminis Muslim, digunakan untuk mengamati ketiga teks. Naomi Wolf menggunakan pendekatan Feminis Korban dan Feminis Kekuasaan untuk melihat permasalahan yang dihadapi perempuan dalam memperjuangkan ideologi feminisme. Feminis Kekuasaan adalah cara yang melihat potensi perempuan dan menganggap perempuan sebagai manusia biasa, sama seperti laki-laki, untuk menjadi setara. Kesetaraan memang sudah menjadi hak perempuan tanpa harus dimohon dari orang lain. Sedangkan Feminis Korban adalah cara yang digunakan dengan membuat catatan penderitaan perempuan karena kejahatan lelaki di bawah budaya patriarki, sebagai jalan menuntut hak. Gagasan Wolf ini sejalan dengan pemikiran Fatima Mernissi yang melihat permasalahan dengan melakukan pendekatan yang mempraktekkan toleransi, menunjukkan potensi diri, dan bukannya pembenaran diri sendiri. Wolf dan Mernissi punya pandangan sama, bahwa perlu membangun citra baru perempuan yang mengemukakan potensi diri yang mampu dan berhak untuk setara dengan laki-laki.
Nawal El Saadawi yang terkenal sebagai feminis yang aktif menggugat kekuasaan lelaki, dalam teks WAPZ menggunakan cara Feminis Korban. Nawal menggambarkan "catatan daftar kehancuran hidup Firdaus" dalam usahanya menggugat kekuasaan lelaki. Dalam kata pengantar dan cerita narator, Nawal membangun citra Firdaus yang korban kejahatan lelaki, sebagai perempuan yang berani dan terhormat. Namun lewat Firdaus yang menarasikan kisah hidupnya, yang muncul adalah gambaran kelemahan perempuan yang dengan mudah dibodohi dan ditindas lelaki tanpa pemberontakan yang berani. Keberanian Firdaus yang dimunculkan dengan membunuh mucikari dan menolak mengajukan grasi, tidak membangun citra baru perempuan. Keputusan membunuh muncul karena keadaan terdesak, tidak menunjukkan keberanian.
Dalam AWfMS, Ghalem tidak setajam dan sekeras Nawal mengangkat perjuangan perempuan yang menuntut perubahan. Namun caranya yang terkesan hati-hati mengusung gagasan perubahan dan modernisasi, Ghalem lebih menunjukkan bentuk pembelaan terhadap laki-laki. Laki-laki dalam teks dimunculkan juga sebagai korban budaya. Apalagi Ghalem secara tegas membedakan pemikiran tentang perubahan dan modernisasi dengan gagasan feminisme yang diangkat tokoh Fatouma. Sama seperti Nawal, Ghalem juga tidak membangun citra baru perempuan. Perempuan masih dimunculkan sebagai korban dalam konsep "Feminis Korbrm", dengan sifat dan sikap yang telah dibentuk budaya patriarki. Fatiha, tokoh utama, berontak hanya dalam gagasan. Sedangkan sikap dan pilihan hidup bertentangan dengan pikiran-pikiran yang menolak dominasi laki-laki. Ia menolak kawin paksa, tapi tidak menolak ketika dipaksa kawin dengan lelaki yang tidak dia kenal. Ia ingin mandiri tapi menggantungkan hidup kepada suami. Pada akhir kisah, Fatiha berontak dengan meninggalkan suami dan rumah mertua, tapi ditolak oleh orang tuanya. Menunggu dan berharap, seperti inilah citra perempuan yang ditampilkan. Khas patriarkis.
Dalam TBTE, Mahfoudz memunculkan tokoh perempuan yang berbeda. Mahfoudz menyorot potensi perempuan tidak dengan perspektif feminisme. Namun ketika potensi tersebut disorotnya, gambaran ini meruntuhkan mitos-mitos yang membagi kerja laki-laki dan perempuan. Gambaran ini bahkan membangun citra baru perempuan yang kuat, tegas, dan mandiri dalam membuat keputusan-keputusan. Citra seperti ini memungkinkan perempuan menunjukkan kemampuan dan berjuang memperoleh hak secara setara dengan laki-laki. Cara yang menyorot potensi perempuan seperti ini disebut sebagai "Feminis Kekuasaan".
Ketiga teks menunjukkan cara yang berbeda memunculkan kontestasi pemikiran feminisme dan ideologi patriarki. Perbedaan ini menampakkan bahwa kepedulian tentang diskriminasi jender dan kehendak memperjuangkan kesetaraan, tidak serta merta membuat sesorang bisa mengatur langkah strategis untuk memperjuangkan kesetaraan tersebut. Hal ini menunjukkan pula bahwa seorang feminis yang memperjuangkan keberpihakkan terhadap perempuan, bisa pula terjebak dalam perilaku yang dikonstruksi budaya patriarki. Secara sadar atau tidak, mereka terjebak dalam sikap yang meminggirkan perempuan dan mengukuhkan kekuasaan laki-laki.

The Contestation of Feminist Ideas and Patriarchal Ideology: An Analysis on Three Arab-Muslim Culture Literary Texts from a Moslem Feminist PerceptionThis research explores the contestation of feminist ideas and patriarchal ideology in three Arab-Moslem culture literary texts: Women at Point Zero (WaPZ) by Nawal El Saadawi (1976), A Wife for My Son (AWfMS) by Ali Ghalem(1969), and The Beginning and The End(TBTE) by Naguib Mahfoudz (1949). Referring to ideology contestation the above, literary works are viewed from a cultural aspect. Thus, the approach used is cultural. Cultural study perceives political aspects of a literary text. In this case, the literary text is assumed as being able to include everything, to build, or to destroy an ideology.
A cultural approach of feminists, especially Moslem feminists, is used to view how feminists ideas develop when the domination of men, and how the image of women as victims, or those having the potential to fight for equality is presented in the texts of WaPZ, AWIMS and TBTE. The cultural approach of post-feminism initiated by Naomi Wolf coupled with the view of Moslem feminist, Fatima Mernissi, is used to analyze those three texts. Naomi Wolf uses a Victim Feminist and Power Feminist approach to see problems facing women in their fight for feminist ideology. A Power Feminist approach is one way of seeing women's potential and assuming women as ordinary human beings, to become equal to men. Equality is truly considered as a woman's right without having to wrench it from others. A Victim Feminist approach shows women's suffering caused by men's under the culture of patriarchy, as a vehicle to demand justify. Wolfs idea is in line with Fatima Mernissi's, i.e. addressing problems through tolerance, showing self-potentials rather than self-justification. Both Wolf and Mernissi express it is necessary to build a new image of women, showing their self-potentials and entitled to be equal to men.
Nawal El Saadawi, famous as an active feminist, attacks men's power in the WaPZ text in a Victim Feminist manner. Nawal depicts "notes on the list of Firdaus living destruction" in an effort to fight men's power. In the narrator's account and preface, Nawal builds Firdaus image as the victim of men. But through Firdaus account of her life story, shows woman's weakness, i.e. she is easily cheated and victimized by men without offering resistance. The bravery of Firdaus by killing a pimp and refusing clemency does not produce a new image of women. The decision to kill is based on reason rather than bravery.
In AWfMS, Ghalem is not as keen and hard as Nawal in raising the problem of women's struggle for change. However, by a seemingly careful way of introducing change and modern ideas, Ghalem defends men. Man in literary text is considered also a cultural victim. More than anything else, Ghalem expresses the idea of change and modernization by introducing feminist Fatouma. Like Nawal, Ghalem does not build a new image of women. Woman is still a victim in the "Victim Feminist" concept, in which character are formed by patriarchal culture. Fatiha, the leading character, opposes patriarchy only in her mind. Her attitude and choices to live are against men's domination. She refuses a forced marriage, but agrees to be married to man she's never seen before. She wishes to be self-supporting, but depends economically on her husband. The end of the story shows how Fatiha rebels by leaving her husband and parent's in-law's house, but her parents refused to take her back. She just waits and hopes, a woman's image, typically built by patriarchy.
In TBTE Mahfoudz presents a different woman figure. Mahfoudz highlights the potential of woman unlike that approved of feminism. However, when emphasizing such potential, this picture demolishes myths with respect to the labor division of men and women. In fact, this picture builds a new image of woman who is strong, coherent, and self-supporting in making decisions. This image enables women to show their ability and to struggle for rights equal to men's. Stressing woman's potential like this is perceived as "Power Feminist".
The three texts offer different points of view in contesting feminist ideas and patriarchal ideology. This difference shows that the concern for gender discrimination and the will of fighting for equality do not necessarily make someone able to plan strategic steps to fight for equality. It is also indicates that feminists fighting for women's preference can be trapped also in a patriarchal cultured behavior. Consciously or not, they are trapped in an attitude forcing out women and confirming men's power.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
D538
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lianawati
"UU PKDRT adalah wujud nyata perjuangan kaum feminis untuk mengangkat KDRT ke ranah publik dengan menjadikannya sebagai kejahatan di mata hukum. Sayangnya keberfungsian UU ini menjadi diragukan ketika dalam pelaksanaannya terjadi sejumlah persoalan. Oleh karena itu evaluasi dan pemantauan terhadap kinerja aparat penegak hukum selaku pelaksana utama dari UU PKDRT perlu terus dilakukan agar tercipta perbaikan hukum. Dari pemantauan peradilan yang telah dilakukan sejauh ini oleh sejumlah lembaga terlihat bahwa tidak cukup untuk melihat pelaksanaan hukum hanya dari perspektif hukum itu sendiri. Sepertinya ada aspek-aspek psikologis yang kuat mewarnai sebuah proses hukum. Hal ini mendorong saya menggunakan metode grounded theory untuk melihat penanganan hukum kasus KDRT yang dialami oleh para perempuan korban. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengolahan data melibatkan 6 korban, 2 pengacara, 7 pendamping hukum, dan sejumlah aparat penegak hukum.
Hasilnya menunjukkan betapa sulit proses hukum yang dijalani perempuan korban. UU PKDRT sendiri masih terhambat pelaksanaannya di samping perlunya revisi dalam beberapa pasal. Pendamping hukum dibatasi oleh aspek personal dan lembaga. Aparat penegak hukum kaku dalam menjalankan prinsip hukum objektif namun tanpa sadar dipengaruhi oleh bias-bias pribadi. Hukum pun menjadi tidak se-objektif, se-netral, dan se-rasional seperti yang mereka inginkan. Subjektivitas dan keberpihakan pada dasarnya perlu untuk mencapai objektivitas asalkan disertai kepekaan psikologis yang mengandung kepedulian. Tanpa kepedulian, keadilan hanya impian yang sulit digapai perempuan korban. Untuk dapat mewujudkannya, saya menawarkan sebuah proses hukum berperspektif psikologi hukum feminis yang menekankan etika kepedulian.

The Law of the Elimination of Violence in the Family/Household is the manifestation of feminists? struggle to take domestic violence into the public sphere by making it as a crime before law. Unfortunately, the functionality of this ordinance is doubted when its implementation meets several problems. Therefore evaluation and monitoring towards the performance of law upholder as the main implementer of this law is continually needed in order to bring the law improvement into reality. The court monitoring has been done by some organizations show that it?s not sufficient to see the law implementation by the legal perspective itself. It seems there are psychological aspects that coloring the legal process strongly. It urges me to apply grounded theory method to look closer the legal intervention of domestic violence cases. This research was based on qualitative approach. Data processing involves 6 victims, 2 lawye officials.
The results reveal how difficult the process has been through by victims to get justice. The Law of the Elimination of Violence in the Family/Household is impeded on its implementation despite of the revision needed on several chapters. The legal counselors are restricted by institutional and personal limitations. The judicial personnel carry out the principle of objective law rigidly. However they are influenced by personal biases unconsciously. The law becomes less objective,neutral, and rational than they expect. Actually, subjectivity and impartiality are needed to reach objectivity. But they ought to be accompanied by psychological sensitivity with care within. Without care, justice is only a wish that?s difficult to reach by the female victims. To bring it into reality, I propose the legal process that has perspective of feminist legal psychology emphasizes the ethics of care."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25117
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Soenarjati Djajanegara
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000
801.95 SOE k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Irene Erlyska Oktafiany
"Skripsi ini berisi analisa novel berdasarkan kritik sastra feminis. Novel Ibunda karya Maxim Gorky ini dapat ditelaah dari segi feminis karena sang tokoh utama yaitu Pelagia Nilovna merupakan sosok perempuan yang bangkit dari intimidasi yang terima dan akhirnya mendapat pengakuan akan eksistensinya dalam masyarakat. Skripsi ini memakai kritik sastra feminis karena kritik sastra feminis bertujuan untuk menolak gambaran stereotipe perempuan yang merugikan dalam perjuangannya untuk setara dengan pria dalam suatu karya sastra. Berdasar mitos bangsa Rusia ada 3 figur mitos yang diagungkan yaitu Rusalka, Baba Yaga dan Mother Earth. Mereka bertiga melambangkan peranan perempuan dalam kehidupan berumah tangga dan juga dalam kehidupan social. Sedangkan dalam Kristen Orthodoks terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh Pangeran Vladimir dan pengikutnya. Di awal cerita Pelagia Nilovna digambarkan sebagai sosok yang menderita baik mental maupun fisik karena perlakuan suaminya yang kasar. Rasa takut yang dimiliki oleh Pelagia semakin melekat ketika Pavel anaknya bergabung dalam pergerakan sosialis yang membela kehidupan buruh yang ditekan kaum kapitalis. Pavel lalu menjadi pusat dari seluruh penyadaran awal dalam diri Pelagia. Pelagia mulai ikut pergerakan dengan menyebarkan pamflet-pamflet dan punya kemampuan untuk menolong orang lain. Pada akhirnya sosok Pelagia menjadi sosok perempuan yang diakui eksistensi dirinya. Ia menolak stereotipe bahwa perempuan adalah sosok yang pasif menerima keadilan. Sejalan dengan tujuan feminisme, Pelagia berhasil mewujudkan kemerdekaannya dan berani menghadapi ketidakadilan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S14908
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Laelasari Yuningsih
"Studi ini dilakukan bertolak dari suatu anggapan bahwa masyarakat termasuk perempuan direpresentasikan dengan menggunakan perspektif patriarkal. Selain itu, untuk menjawab persoalan representasi perempuan yang dilukiskan dalam trilogi karya Y. B. Mangunwijaya, apakah cenderung mengukuhkan, mereinterpretasi, atau bersifat ambivalen terhadap ideologi yang berlaku dalam masyarakat Indonesia pada masa '80-an?
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah reading as a woman ("membaca sebagai perempuan"). Pendekatan ini dipilih untuk membongkar prasangka dan ideologi patriarkal yang sampai sekarang diasumsikan masih mendorninasi penulisan dan pembacaan karya sastra. Selain itu, sosiologi sastra (berperspektif perempuan)' pun digunakan untuk memberi makna terhadap karya sastra, Suatu karya sastra, tentunya tidak bertolak dari kekosongan budaya. Pandangan, sikap, serta nilai yang tertuang dalam karya sastra pada dasarnya ditimba dari tata kemasyarakatan yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi perempuan yang ditampilkan dalam teks novel Roro Mendut (RM), Genduk Duku (GD), dan Lusi Lindri (LL) mereinterpretasi ideologi jender yang dianut oleh masyarakat Indonesia pada masa '80-an, yang telah merepresentasikan perempuan sebagai yang lain (other). Sementara itu, perempuan dalam ketiga teks novel itu ditampilkan sebagai subjek (self), yang marnpu mengenal dirinya, ikut menamakan, dan menemukan dunia untuk menentukan dirinya sendiri dalam dunianya.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Manalu, Abby Gina Boang, supervisor
"Tulisan ini merupakan kajian teoritis tentang konsep keadilan dari teori-teori filosofis yang cenderung mengesampingkan perspektif feminis. Sejak era filsafat Yunani Kuno, masalah keadilan telah menjadi perhatian utama teori sosial. Keadilan adalah konsep inti dari teori moral dan politik. Lebih jauh lagi, pemahaman tentang keadilan sangat penting karena menentukan bagaimana praktik politik, sosial, dan ekonomi terjadi dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, pembahasan tentang keadilan harus dimulai dengan persoalan-persoalan ketidakadilan yang konkrit. Namun ironisnya, ketidakadilan akibat diskriminasi gender cenderung dihilangkan dari analisis teori-teori keadilan arus utama, padahal dalam suatu masyarakat, kategori jenis kelamin dan gender saling terkait dengan status, kekuasaan, kesempatan, dan posisi seseorang dalam masyarakatnya. Tulisan ini menekankan prinsip universalisme interaktif untuk memastikan keadilan tidak terlepas dari etika kepedulian. Tulisan ini menemukan bahwa pendekatan keadilan sosial feminis merupakan pendekatan yang tepat untuk merespon situasi saat ini."
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2021
305 JP 26:3 (2021)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
ATA 16(1-2) 2013
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>