Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 128665 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Radhiyatam Mardhiyah
"Latar belakang: Pada saat puasa Ramadhan, terjadi penurunan rerata pH lambung dan memendeknya selisih waktu antara makan terakhir dan jam tidur sehingga memperberat keluhan Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastro-esophageal Reflux Disease, disingkat GERD). Sementara itu juga terjadi keteraturan jadwal makan, dan perubahan dalam kebiasaan merokok dan alkohol. Meski demikian, belum diketahui dengan pasti keluhan penyakit GERD selama berpuasa Ramadhan.
Tujuan: Mengetahui pengaruh puasa Ramadhan terhadap keluhan GERD.
Metode: Penelitian ini merupakan studi longitudinal yang mengevaluasi keluhan GERD pada pasien yang menjalani puasa Ramadhan. Penelitian dilakukan selama bulan Juli (Ramadhan) sampai bulan Oktober (tiga bulan setelah Ramadhan) 2015. Subjek penelitian yang didapatkan melalui metode consecutive sampling ini dikelompokkan menjadi kelompok berpuasa Ramadhan (n=66) dan kelompok tidak berpuasa Ramadhan (n=64). Evaluasi dilakukan antara kedua kelompok tesebut, dan antara bulan Ramadhan dengan di luar bulan Ramadhan pada kelompok berpuasa, dengan menggunakan kuesioner GERD (GERD-Q) yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Hasil: Pada kelompok yang berpuasa Ramadhan, terdapat perbedaan median nilai GERD-Q yang bermakna secara statistik (nilai p < 0,01) antara bulan Ramadhan dengan nilai median 0, dan di luar bulan Ramadhan dengan nilai median yang meningkat menjadi 4. Sementara itu, bila dilakukan analisis untuk membandingkan median nilai GERD-Q antara kelompok yang berpuasa Ramadhan dan tidak, juga didapatkan perbedaan yang bermakna (nilai p < 0,01).
Simpulan: Pada subjek yang menjalani puasa Ramadhan, keluhan GERD dirasakan lebih ringan saat menjalani puasa Ramadhan dibandingkan di luar bulan Ramadhan. Di bulan Ramadhan, keluhan GERD lebih ringan dirasakan oleh subjek yang menjalani puasa Ramadhan dibandingkan subjek yang tidak menjalani puasa Ramadhan.

Background: During Ramadan fasting, increasing gastric acid levels as a result of prolong fasting can precipitate symptoms of Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Meanwhile, lifestyle changes during Ramadan (such as smoking cessation) can relieve its symptoms. To the best of our knowledge, this is the first study to evaluate effect of Ramadan fasting on GERD.
Objective: The purpose of this study was to determine the effect of Ramadan fasting on GERD symptoms.
Method: This is a longitudinal study done in July (Ramadan) to October (three months after Ramadan) 2015. Using consecutive sampling method, a total of 130 GERD patients participated in this study. Patients were divided into two groups: patients who underwent Ramadan fasting (n=66), and patients who didn?t undergo fasting (n=64). The evaluation was done using Indonesian version of GERD questionnaire (GERD-Q) between the two groups, and between Ramadan month and non-Ramadan month of Ramadan fasting group.
Results: In Ramadan fasting group, there was a statistically significant difference (p < 0.01) in median of GERD-Q during Ramadan month and non-Ramadan month (median GERD-Q 0 and 4 respectively). Statistically significant difference (p < 0.01) was also found between Ramadan fasting group and non-fasting group.
Conclusion: In Ramadan fasting group, GERD symptoms were lighter during fasting month (Ramadan). During Ramadan month, GERD symptoms were also lighter in Ramadan fasting group than in non-fasting group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anak Agung Arie Widyastuti
"LATAR BELAKANG: Kualitas hidup telah menjadi salah satu komponen utama dalam penanganan Gastroesophageal Reflux Disease GERD . Penelitian ini bertujuan untuk menilai kesahihan eksternal kuesioner GERD-QOL berbahasa Indonesia.METODE:. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan subyek penelitiannya adalah pasien yang mengalami gejala GERD dan berusia 18 tahun atau lebih yang berobat ke Rumah Sakit Umum Kecamatan RSUK Tebet. Total skor GERD-Q minimal adalah 8. Pasien kemudian diminta mengisi kuesioner GERD-QOL berbahasa Indonesia dan kuesioner SF-36. Kuesioner Short Form SF-36 digunakan sebagai baku emas kuesioner penilaian kualitas hidup. Uji kesahihan dilakukan dengan menggunakan kesahihan eksternal. Uji statistik yang digunakan adalah koefisien korelasi Spearman.HASIL: Penelitian ini melibatkan 91 subyek.Korelasi domain physical functioning : 0,488; role physical : 0,590; bodily pain : 0,474; general health : 0,482; vitality : 0,549; social functioning : 0,700; role emotional : 0,555; mental health : 0,373. Kuesioner GERD-QOL berbahasa Indonesia memiliki kesahihan eksternal yang baik ketika dilakukan korelasi dengan domain pada kuesioner SF-36 koefisien korelasi : 0,373-0,700, P

Quality of life has become major concern in the management of Gastroesophageal Reflux Disease GERD . The aim of this study was to determine the external validity of the Indonesian Version of Gastroesophageal Reflux Disease Quality of Life GERD QOL questionnaire. METHODS This cross sectional study consisted of subjects who developed symptoms of GERD and aged 18 years or more. The subjects were recruited from district public hospital in Tebet. Total score for GERD Q was at least 8. These patients were invited to complete the Indonesian version of GERD QOL and validated Indonesian Short Form 36 SF 36 . External validity was then evaluated using Spearman rsquo s correlation coefficient.RESULT A total of 91 subjects completed the questionnaires. The coeeficient correlation of domain physical functioning 0,488 role physical 0,590 bodily pain 0,474 general health 0,482 vitality 0,549 social functioning 0,700 role emotional 0,555 mental health 0,373. The Indonesian version of GERD QOL questionnaire was externally valid compared to domain of SF 36 questionnaire correlation coefficient 0.373 0.700, P"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hardianto Setiawan
"Latar Belakang: Pemeriksaan impedans intraluminal multikanal dan pemantauan pH (MII-pH) baru diperkenalkan untuk mengevaluasi karakteristik refluksat pada pasien gastroesophageal reflux disease (GERD). Penggunaan MII-pH untuk prediksi hasil terapi empiris proton-pump inhibitor (PPI) belum dievaluasi.
Tujuan: Mengevaluasi pola refluksat menggunakan MII-pH untuk memprediksi respons terapi empiris dengan PPI pasien GERD.
Metode: Penelitianini merupakan studi prospektif dengan desain before-and-after treatment. Pasien direkrut dari Poliklinik Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Cipto Mangunkusumo antara Desember 2015 dan Februari 2016. Diagnosis GERD ditegakkan menggunakan kuesioner GERD (GerdQ). Endoskopi saluran cerna atas dilakukan untuk membedakan erosive (ERD) dannon-erosive reflux disease (NERD). Semua pasien menjalani pemeriksaan MII-pH evaluasi yang terdiri dari bentuk refluksat (cair, gas atau campuran); jenis refluksat (asam atau non-asam); dan persentase acid exposure time (AET). Kemudian pasien mendapat terapi PPI oral, dua kali sehari selama 14 hari. Respons terapi dievaluasi dengan GerdQ. Prediktor respons terapi dianalisis menggunakan analisis multivariat.
Hasil: Sejumlah 75 pasien dilibatkan dalam studi; 39 (52%) di antaranya adalah perempuan. Rerata usia adalah 40,4+10,20 tahun. Rerata skor GerdQ awal adalah 14 dan turun sampai 8 setelah terapi PPI empiris (p<0,001; uji t berpasangan). Sebanyak 41 (54,7%) pasien responsif terhadap terapi PPI. Respons terapi berhubungan dengan jenis GERD (OR: 3,763; IK95%: 1,381-10,253; p=0,008);jenis refluksat (OR: 10,636; IK95%: 2,179-51,926; p=0,001);dan AET (OR: 5,357; IK95%: 1,974-14,541; p=0,001). Analisis multivariat mendapatkan dua prediktor independen terhadap terapi PPI, yaitu jenis refluksat (ORadj:6,273; IK95%: 1,207-32,609; p=0,029) dan AET (ORadj: 3,363; IK95%: 1,134-9,974; p=0,029).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan respons terapi empiris PPI dimana ERD lebih responsif dari NERD, refluks asam lebih responsif dari non asam dan AET tinggi lebih responsif dari pada AET normal. Keberhasilan terapi empiris PPI dapat diprediksi dari jenis refluksat dan nilai AET.

Background: Combinedmulti-channel intraluminal impedance and pH monitoring (MII-pH) has been recently introduced to characterize patients with gastroesophageal reflux disease (GERD). The use of MII-pH to predict initial treatment response with proton-pump inhibitor (PPI) has not been evaluated.
Objective: To evaluate refluxate patterns using MII-pH to predict initial treatment response using PPI for GERD patients.
Method: This was a prospective study using before-and-after treatment design. Patients were enrolled in the Gastroenterology Polyclinic, Department of Internal Medicine, Cipto Mangunkusumo Hospital between December 2015 and February 2016. Diagnosis of GERD was established using GERD questionnaires (GerdQ).Upper endoscopy was done to distinguish erosive (ERD) and non-erosive reflux disease (NERD). All patients underwent MII-pH evaluation consisting of physical characteristics of the refluxate (liquid, gas or mixed); type of refluxate (acid or non-acid); and percent acid exposure time (AET). Then patients were given oral PPI treatment, twice a day, for 14 days. Treatment response was evaluated using GerdQ. Predictor of treatment response was analyzed using multivariate analysis.
Results: A total of 75 patients was enrolled; 39 (52%) of them were women. Mean age was 40.4+10.20 years. Initial mean GerdQ score was 14 and reduced to 8 after empirical PPI therapy (p<0.001; paired t test).Forty-one (54.7%) patients responded to PPI therapy.Treatment response was associated with type of GERD (OR: 3.763; 95%CI: 1.381-10.253; p=0,008;) type of refluxate (OR: 10.636; 95%CI: 2.179-51.926; p=0.001); and AET (OR: 5.357; 95%CI: 1.974-14.541; p=0.001). Multivariat analyses found two independent predictors of treatment response to PPI therapy, i.e. the type of refluxate(ORadj:6.273; 95%CI: 1.207-32.609; p=0.029) and AET (ORadj: 3.363; 95%CI: 1.134-9.974; p=0.029).
Conclusion: There are differences in response to empiric PPI therapy where ERD is more responsive than NERD, acid reflux is more responsive than non- acid and high AET is more responsive than a normal AET . PPI empirical therapy success can be predicted from the type and value refluksat AET.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hafiz
"Latar belakang dan tujuan: Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) merupakan salah satu penyebab terbanyak batuk kronik dan menjadi faktor risiko terjadinya eksaserbasi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), menurunkan kualitas hidup dan memperparah gejala respirasi dan pencernaan. Total 40 pasien diikutkan pada penelitian ini. Pasien diambil secara konsekutif dari poliklinik asma PPOK di RSUP Persahabatan dimulai dari bulan Mei 2017. Diagnosis PPOK berdasarkan GOLD 2017 yaitu nilai spirometri VEP1/KVP pasca bronkodilator < 0.7. Diagnosis PRGE menggunakan endoskopi saluran cerna bagian atas apabila ditemukan kerusakan mukosa esofagus. Kriteria eksklusi yaitu eksaserbasi dan kelainan esofagus yang sudah diderita sebelumnya.
Metode: Penelitian ini adalah potong lintang pada pasien PPOK stabil yang berkunjung ke poli asma-PPOK di RSUP Persahabatan mulai bulan Juli sampai Nopember 2017. Sebanyak 40 pasien dipilih secara konsekutif sejak bulan Mei 2017. Pemeriksaan berupa wawancara, spirometri dan endoskopi dilakukan pada semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Subjek yang mengikuti penelitian sebanyak 40. Prevalens PRGE pada PPOK adalah 40% (16/40). Tidak ada perbedaan bermakna diantara kedua grup berdasarkan usia, jenis kelamin, Indeks Brinkman (IB) dan Indeks Massa Tubuh (IMT). Keterbatasan aliran udara yang lebih berat dan nilai spirometri pascabronkodilator yang lebih rendah memiliki kecenderungan terjadinya PRGE lebih besar walaupun secara statistik tidak bermakna. Rerata pasien berusia lanjut dan mempunyai riwayat merokok. Eksaserbasi dan skor CAT berhubungan secara bermakna (p < 0.05) dengan kejadian PRGE. Penggunaan obat-obatan PPOK seperti LABA, LAMA dan SABA tidak berubungan bermakna dengan PRGE. Gejala dada terbakar (heartburn) bermakna secara statistik (p < 0.05) sebagai tanda PRGE.
Kesimpulan: Prevalens PRGE cukup tinggi pada pasien PPOK dan bahkan lebih tinggi dibandingkan pasien bukan PPOK dengan gejala dispepsia di Jakarta. Dokter harus mempertimbangkan kemungkinan PRGE sebagai salah satu komorbid yang penting pada PPOK. Penelitian kohort dan strategi pencegahan disarankan untuk dilakukan selanjutnya.

Background/Aim: Gastroesophageal reflux disease (GERD) is one of the most common causes of chronic cough and is a potential risk factor for exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease (COPD), decreasing quality of life in COPD patients, aggravating symptoms both respiratory and gastro-intestinal. Total 40 patients were recruited consecutively from the outpatient of Asthma and COPD clinic at Persahabatan hospital Jakarta started from May 2017. The diagnosis of gastroesophageal reflux disease (GERD) was based on the mucosal break on the esophageal lining through endoscopic examination. Exclusion criteria were COPD exacerbation and known esophageal disease.
Methods: This is a cross sectional study among stable COPD patients who visited asthma-COPD clinics at Persahabatan Hospital from July to November 2017. 40 patients were recruited consecutively started from May 2017. Interview, spirometry and endoscopy performed to all subjects who meet the inclusion criteria.
Results: A total 40 subjects were enrolled in our study. Prevalence of GERD in COPD was 40%. There was no significant difference between the two groups regarding age, sex, Index Brinkman (IB) and Body Mass Index (BMI), although in the RE group has a slightly higher BMI. More severe airflow obstruction tends to increase in GERD group although no significant statistical difference Most patients were elderly and smoker/ex. Exacerbation and CAT score were significantly associated with GERD (p<0.05). Post BD spirometry showed greater airway and severe COPD tends to also had GERD similar to results of other studies. Respiratory medication such as ICS + LABA, LAMA and SABA statistically insignificant with GERD. Heartburn as a symptom showed statistically significant to predict GERD (p < 0.05).
Conclusion: Prevalence of GERD was high in COPD patient and even higher than previously reported in general patient with dyspepsia syndrome in Jakarta. Physician should consider GERD as one of the most important comorbidities in COPD. Cohort study and preventive strategy are warranted in the future.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ivan Riyanto Widjaja
"Latar belakang: Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) adalah kejadian refluks gastroesofagus yang telah disertai gangguan kualitas hidup atau komplikasi. Angka kejadian PRGE di seluruh dunia sangat beragam dan dipengaruhi oleh distribusi usia. Penyakit gastrointestinal fungsional melatar belakangi terjadinya PRGE. Angka kejadian PRGE pada usia 10—12 tahun yang merupakan masa awal remaja serta hubungan PRGE dengan kejadian gastrointestinal di Indonesia belum pernah dilaporkan.
Metode: Studi potong lintang yang dilanjutkan dengan studi kasus kontrol dilakukan terhadap seluruh siswa kelas 4—6 SD, SDN Kenari 1—12, Jakarta pada bulan Mei—Juli 2014. Penegakkan diagnosis PRGE menggunakan kuesioner frequency scale for the symptoms of gastroesofageal reflux disorder (FSSG) dengan melalui translasi kuesioner. Kolik infantil dan gumoh ditegakkan sesuai kriteria ROME III. Sakit perut berulang ditegakkan sesuai kriteria Apley.
Hasil penelitian: Validasi kuesioner hasil translasi ke bahasa Indonesia menunjukkan validitas (seluruh pertanyaan memiliki r > 0,3 dengan p < 0,05) dan reabilitas (Cronbach alpha 0,853 dengan item reability index setiap pertanyaan > 0,3) yang baik. Angka kejadian PRGE 404 (44,6%) dari 905 orang anak usia 10—12 tahun dengan interval kepercayaan 95% (IK 95%) 41,4% sampai 47,9%. Odd ratio PRGE pada lelaki dibandingkan perempuan 0,841 (IK 95% 0,646 sampai 1,095; p = 0,198). Kejadian kolik infantil, gumoh, dan sakit perut berulang berturut-turut 23,3%, 16,9%, dan 3%. Tidak ditemukan hubungan bermakna antara jenis kelamin (p = 0,299), kelompok usia (p = 0,902), kolik (p = 0,226), dan sakit perut berulang (p = 0,353) dengan kejadian PRGE. Hasil analisis multivariat menunjukkan gumoh dan riwayat orang tua dengan PRGE berhubungan dengan kejadian PRGE pada anak usia 10—12 tahun dengan odd ratio berturut-turut 2,166 (IK 95% 1,226 sampai 3,827) dan 3,069 (IK 95% 1,233 sampai 7,637).
Simpulan: Angka kejadian PRGE pada anak usia 10—12 tahun di Indonesia adalah 44,6%. Regurgitasi pada masa bayi dan riwayat PRGE pada orang tua berhubungan dengan kejadian PRGE pada anak usia 10—12 tahun. Tidak ditemukan hubungan bermakna antara kolik infantil dan riwayat sakit perut berulang terhadap kejadian PRGE.

Introduction: Gastroesophageal reflux disease (GERD) is an event of gastroesophageal reflux followed by certain disruption in quality of life or one of which cause some complications. Prevalence of GERD varies greatly worldwide and influenced by age distribution. Functional gastrointestinal disorders are responsible for GERD. GERD prevalence in children aged 10—12 years old, which is an early adolescence phase, as well as correlation between GERD and other gastrointestinal disorder were never been reported in Indonesia.
Method: A cross sectional study followed by a case control study were done to all elementary students grade 4—6 who studied in SDN Kenari 1—12, from May to July 2014. Diagnosis of GERD was established using frequency scale for symptoms of gastroesophageal reflux disorder (FSSG), which was translated into Indonesian language. Infantile colic and regurgitation were diagnosed according to ROME III criteria while recurrent abdominal pain according to Apley criteria.
Result: Validation of the translated FSSG questionnaire showed that it was valid (all question had r > 0.3 with p < 0.05) and reliable (Cronbach alpha 0.853 with item reliability index on each question > 0.3). Prevalence of GERD was 404 (44.6%) out of 905 children aged 10—12 years old wih confidence interval of 95% (95% CI, 41.4% to 47.9%). Odd ratio (OR) of GERD in males compared to females was 0.841 (95% CI, 0.646 to 1.095; p = 0.198). Prevalence of infantile colic, regurgitation, and reccurent abdominal pain were 23.3%, 16.9%, and 3% respectively. There were no significant correlation in GERD prevalence with sex (p = 0.299), age group (p = 0.902), infantile colic (p = 0.226), and recurrent abdominal pain (p = 0.353). Multivariate analysis showed that GERD prevalence correlated with regurgitation (OR 2.166; 95% CI, 1.226 to 3.827) and parental history of GERD (OR 3.069; 95% CI, 1.233 to 7.637).
Conclusion: GERD prevalence in children aged 10—12 years old in Indonesia was 44.6%. Infant regurgitation and parental history of GERD correlated with the event of GERD in children aged 10—12 years old. There is no significant correlation between infantile colic and history of reccurent abdominal pain with GERD prevalence.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Laksmi Hidayati
"Regurgitasi atau gumoh merupakan manifestasi klinis tersering refluks gastro-esofagus (RGE) pada bayi. Regurgitasi pada bayi ini merupakan satu-satunya RGE bergejala yang dianggap fisiologis sehingga dapat timbul pada bayi sehat tanpa adanya masalah lain yang merupakan komplikasi RGE. RGE yang disertai komplikasi atau masalah seperti gagal tumbuh, esofagitis, hematemesis dan gejala saluran napas, dimasukkan dalam kelompok penyakit refluks gastro-esofagus (PRGEIGERD=gasiroesophageal refux disease). Komplikasi tersebut dapat timbul pada berbagai usia dan sulit untuk dibedakan antara RGE (fisiologis) dengan PRGE (patologis).
Regurgitasi pada bayi adalah kondisi yang umum ditemukan, dengan proporsi mencapai lebih dari 50% bayi pernah mengalami gejala ini dalam tahun pertama kehidupannya. Regurgitasi timbul paling sering pada bayi saat berusia 1-6 bulan, yaitu pada 65-86,9% bayi, kemudian akan berkurang secara bermakna pada usia 6-9 bulan dan terjadi hanya 1-10,3% bahkan hilang lama sekali saat berusia 12 bulan. Yang menjadi masalah adalah belum ada batasan yang jelas antara regurgitasi yang merupakan RGE fisiologis dengan yang patologis, karena RGE sampai menjadi PRGE merupakan suatu spektrum yang berkesinambungan dengan manifestasi klinis yang saling tumpang tindih antara keduanya, terutama pada masa bayi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Willy Leopatti Juhendi
"Efektivitas omeprazol setara dengan lansoprazol pada terapi pasien Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), namun harga satu tablet lansoprazol lebih tinggi dibandingkan dengan harga satu tablet omeprazol. Omeprazol memiliki efek samping yang lebih tinggi dibandingkan lansoprazol, sehingga dapat mempengaruhi total biaya terapi pasien GERD. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis minimalisasi biaya terapi omeprazol dibandingkan lansoprazol pada pasien GERD di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) tahun 2019-2020. Penelitian ini merupakan penelitian observasional menggunakan desain cross-sectional dengan pengambilan data secara retrospektif. Subjek penelitian pasien rawat jalan yang berusia diatas 18 tahun yang didiagnosis GERD dan mendapatkan terapi omeprazol atau lansoprazol dengan data billing lengkap. Hasil penelitian menunjukkan subjek penelitian didominasi oleh perempuan (61,3%) dengan usia 25 - <35 tahun (30,5%). Total biaya terapi pasien GERD di RSUI tahun 2019-2020 untuk omeprazol sebesar Rp301.000,00 sedangkan untuk lansoprazol adalah sebesar Rp437.950,00. Terapi omeprazol lebih ekonomis dibandingkan dengan terapi lansoprazol (p=0,120).

The effectiveness of omeprazole is equivalent to lansoprazole in the treatment of patients with Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), but the price of one tablet of lansoprazole is higher than omeprazole. Omeprazole has higher side effects than lansoprazole, so it can affect the total cost of therapy for GERD patients. The purpose of this study was to analyze the cost minimization of omeprazole therapy compared to lansoprazole in GERD patients at the University of Indonesia Hospital (RSUI) in 2019-2020. This study is an observational study using a cross-sectional design with retrospective data collection. The subjects were outpatients aged over 18 years who were diagnosed with GERD and received omeprazole or lansoprazole therapy with complete billing data. The results showed that the study subjects were dominated by women (61.3%) with ages 25 - <35 years old (30.5%). The total cost of therapy for GERD patients at RSUI in 2019-2020 for omeprazole is Rp. 301,000.00 and Rp. 437,950.00 for lansoprazole. It is concluded that omeprazole therapy was more economical than lansoprazole therapy (p=0.120)"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S70494
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuli Andari Muliati
"Latar belakang: Prevalensi penyakit refluks gastroesofageal (PRGE) cenderung mengalami peningkatan di Indonesia. Kondisi PRGE dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak. Namun, untuk menentukan diagnosis PRGE masih sulit dilakukan karena gejala yang ditimbulkan tidak spesifik, alat diagnostik yang hanya tersedia di rumah sakit besar dan data epidemiologi di Indonesia masih kurang.
Tujuan: Untuk mengetahui gambaran patologi anatomi anak dengan PRGE yang dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran cerna atas di Departemen IKA RSCM-FKUI, serta hubungannya dengan kelompok usia dan status gizi.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (cross-sectional) dengan subjek 76 pasien anak usia 2-18 tahun dengan PRGE yang dilakukan pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi yang memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan data status rekam medis pasien di Departemen IKA RSCM-FKUI pada Januari 2011 hingga Oktober 2015.
Hasil: Pada 76 pasien anak dengan PRGE yang dilakukan endoskopi didapatkan hasil anak lelaki dibandingkan perempuan adalah 4,1:3,5 dengan mayoritas kelompok usia sekolah (70%) dan status gizi malnutrisi (60%). Terdapat perbedaan bermakna pada hasil endoskopi berdasarkan kelompok usia yaitu ditemukannya infeksi H.Pylori pada 24% anak usia sekolah (p=0,013). Hasil endoskopi terkait status gizi secara bermakna (p=0,049) menunjukkan bahwa hiperemis pada lambung lebih banyak ditemukan pada pasien dengan status gizi malnutrisi (45/72 anak) dibandingkan dengan gizi baik (24/72 anak). Kelainan patologi anatomi anak dengan PRGE tidak berbeda antara kelompok usia maupun status gizi.
Kesimpulan: Anak yang mengalami PRGE lebih banyak terjadi pada usia sekolah dengan status gizi malnutrisi. Terdapat perbedaan bermakna pada hasil endoskopi anak dengan PRGE berdasarkan kelompok usia dan status gizi. Kelainan patologi anak dengan PRGE tidak berbeda menurut kelompok usia maupun status gizi.

Background: The prevalence of gastroesophageal reflux disease (GERD) has increased recently in Indonesia. The condition of GERD can impaired growth and development in children. However, to determine diagnosis of GERD is difficult because the symptoms are non-spesific, diagnostic tools are only available in large hospitals, and epidemiological data Indonesia still less.
Aim: To evaluate the anatomical pathology of GERD in children and the correlation according to age group and nutritional status.
Methods: This was a cross-sectional study comparing GERD anatomic pathology findings and its relation to age group and nutritional status. The data were evaluated from 76 subjects aged 2-to-18-years old who underwent esophagogastroduodenos-copy (EGD) that fullfiled inclusion criteria. The data based on the medical record of endoscopic procedure at Child Health Department of Cipto Mangun-kusumo Hospital – Faculty of Medicine of Universitas Indonesia (RSCM-FKUI) from January 2011 to October 2015.
Results: Among 76 children with GERD whom underwent EGD, the boy compare to girl was 4.1:3.5 and most of them (70%) were school-aged chidren with malnutrition (60%). The prevalence of H. pylori infection was 24% and it was significantly higher in school-aged group than under-five group (p=0,013). The macroscopic appearance of endoscopy in relation to nutritional status was significantly (p=0.049) more hyperemic stomach wall in malnutrition group (45/72 children) compare to that of good nutritional status group (24/72 children). The abnormality of upper gastrointestinal pathology was not statistically different (p>0.05) in both aged groups and nutritional status groups.
Conclusion: Children suffered from GERD were more often at school age and had malnutrition condition. There were significant different of endoscopic findings of children with GERD in regards to age groups and nutritional status groups. The abnormality of pathologic findings of GERD in children were not significantly different between age-groups and nutritional status groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ike Dimi Makarim
"Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) merupakan salah satu penyakit pada sistem pencernaan yang sering dijumpai di Indonesia. GERD adalah refluks isi lambung ke esophagus yang sudah berlangsung lama dan menimbulkan gejala yang dapat mengganggu atau menurunkan kualitas hidup. Salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan yaitu dengan pemberian posisi head of bed elevation 30 derajat untuk mencegah terjadinya refluks isi lambung. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keefektifan penerapan intervensi head of bed elevation 30 derajat pada pasien GERD untuk mengurangi gejala refluks. Intervensi ini dilakukan pada An. M selama 3 hari dan hasilnya menunjukan bahwa efektif untuk mengurangi gejala refluks dan menurunkan keinginan untuk muntah, terutama pada malam hari. Intervensi dilakukan selama 30 menit setelah makan. Intervensi juga dikombinasikan dengan pemberian medikasi dan edukasi kepada pasien dan keluarga. Pemberian posisi head of bed elevation 30 derajat direkomendasikan pada pasien GERD untuk mengurangi gejala refluks, mual, dan muntah karena mudah dilakukan saat perawatan di rumah dan tidak membutuhkan biaya.

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) is a disease of the digestive system that is often found in Indonesia. GERD is reflux of gastric contents into the esophagus which can cause symptoms that can reduce quality of life. One of the treatments for GERD patients is by giving a head of bed elevation position of 30 degrees to prevent reflux of gastric contents. The purpose of this study was to determine whether the application of a 30-degree head of bed elevation intervention in GERD patients was effective in reducing the symptoms of nausea and vomiting. This intervention was performed on An. M for 3 days and has been shown to reduce nausea and reduce the urge to vomit, especially at night. The intervention was carried out for 30 minutes after eating. Interventions are also combined with providing medication and education to patients and families. Giving a head of bed elevation position of 30 degrees is recommended for GERD patients to reduce symptoms of nausea and vomiting because it is easy and safe to do."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>