Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 128953 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lara Aristya
"Latar Belakang: Sepsis merupakan salah satu penyebab utama kematian di unit perawatan intensif. Dalam kasus infeksi, pemberian cairan intravena dan agen vasoaktif sangat direkomendasikan sebagai salah satu tatalaksana pasien sepsis. Namun, banyak studi yang belum dapat menunjukkan temuan positif sesuai dengan studi orisinil EGDT.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara mortalitas pasien sepsis dengan waktu pemberian vasoaktif selama proses resusitasi cairan di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Metode: Studi ini menggunakan metode cohort retrospective dengan 188 subjek yang didapatkan melalui pemenuhan kriteria penelitian dari rekam medis pasien. Subjek dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pasien sepsis yang mendapatkan terapi vasoaktif dalam enam jam pertama dan setelah enam jam.
Hasil: Terdapat karateristik sosiodemografi dari subjek, antara lain jenis kelamin, usia, total cairan rerata, status transfusi, jenis cairan, jenis vasoaktif, penyakit penyerta, dan lama rawat di unit perawatan intensif. Dari hasil uji Chi-square didapatkan waktu pemberian vasoaktif terhadap mortalitas, bernilai P=0.282 dengan RR 1.060 95 CI 0.974-1.153.
Diskusi: Hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan mortalitas dengan perbedaan waktu pemberian terapi vasoaktif tersebut.

Background: Sepsis is the leading cause of death in intensive care unit. In case of infection, intravenous resuscitation and vasoactive agent are very recommended as one of the treatment for septic patient. However, many studies not yet able to show the positive findings in accordance with the EGDT original study.
Objectives: This study aims to find out the association between septic patient rsquo s mortality and the time of vasoactive administration during fluid resuscitation in Intensive Care Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method: This is a cohort retrospective study with 188 subject which meet the criteria from medical record. The subjects are divided into two groups septic patients that are given vasoactive therapy within six hours and after six hours during fluid resuscitation.
Results: This study shows sociodemographic characteristics of the subjects, such as gender, age, total fluid average, transfusion status, type of fluid, type of vasoactive, comorbidities, and length of stay in ICU. Based on Chi Square test, relationship between mortality and timing of vasoactive administration, sequentially P 0.282 with RR 1.060 95 CI 0.974 1.153.
Discussion: No association between septic patient rsquo s mortality and time difference in administrating the vasoactive therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Pramudita
"Latar Belakang: Resusitasi cairan merupakan terapi yang sering diberikan pada ruang rawat intensif untuk mengembalikan perfusi jaringan. Namun, seringkali terapi resusitasi cairan menyebabkan kelebihan cairan yang memiliki efek buruk terhadap pasien termasuk kematian.
Tujuan: Penelitian retrospektif ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara mortalitas dengan durasi kelebihan cairan di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo.
Metode: Sebanyak 194 pasien yang mengalami kelebihan cairan dan berada di ruang rawat intensif selama 7 hari atau lebih, diperoleh melalui teknik consecutive sampling, dievaluasi. Durasi kelebihan cairan dan kematian 28 hari dicatat. Sampel yang diperoleh dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pasien yang mengalami kelebihan cairan kurang dari sama dengan 4 hari dan pasien yang mengalami kelebihan cairan lebih dari 4 hari. Sampel kemudian dianalisis menggunakan uji bivariat Chi square untuk diketahui hubungannya dengan kematian.
Hasil: Terdapat hubungan antara kematian dengan durasi kelebihan cairan dengan nilai P.

Background: Fluid resuscitation is a common therapy given at the Intensive Care Unit ICU to maintain tissue perfusions. However, this therapy usually results in fluid overload that has adverse outcome including death.
Objective: This retrospective study aimed to assess the association between mortality and fluid overload duration in Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital's.
Methods: A total of 194 ICU patients with fluid overload and stayed for 7 days or more that obtained by consecutive sampling, were evaluated. Fluid overload duration and 28 days mortality were recorded. Samples were divided into two groups, patients with fluid overload less than or equal to 4 days and patients with fluid overload more than 4 days. A bivariate analysis Chi square were perform to assess the association of mortality and fluid overload duration.
Results: Mortality and fluid overload duration were significantly associated P.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Richo Rudiyanto
"Latar Belakang: Mortalitas pasien UPI lebih tinggi dari pasien rawat lainnya. Instrumen prediktor mortalitas pada pasien UPI dapat membantu untuk melakukan stratifikasi risiko dan pengambilan keputusan klinis dalam tatalaksana pasien. Skor LODS merupakan salah satu instrumen yang terbukti memiliki keunggulan dibandingkan intrumen prediktor yang saat ini digunakan di UPI RSCM. Meskipun demikian, komponen skor LODS membutuhkan pemeriksaan yang tidak murah sehingga sulit diaplikasikan terutama pada pasien tanpa jaminan kesehatan. Bersihan laktat merupakan alternatif yang lebih murah dan ditemukan memiliki kemampuan prediktor mortalitas yang baik pada penelitian sebelumnya.
Tujuan: Mengetahui perbandingan kemampuan prediktor bersihan laktat dengan skor LODS terhadap mortalitas pasien dalam 30 hari pasien yang dirawat di UPI RSCM.
Metode: Penelitian ini adalah studi kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien UPI RSCM yang dirawat pada rentang Agustus 2015 – April 2018. Data yang di ambil berupa karakteristik, skor LODS hari pertama, laktat inisial, laktat 6-24 jam serta terjadi atau tidaknya mortalitas dalam 30 hari. Hubungan antara skor LODS dengan mortalitas dianalisis dengan regresi logistik sederhana, sementara hubungan antara bersihan laktat dan mortalitas dinilai dengan uji chi square. Kemampuan diskriminasi keduanya dinilai dengan analisis kurva ROC sementara kemampuan kalibrasi dinilai dengan uji goodness of fit Hosmer-Lemeshow. Kemampuan diagnostik dinilai dengan menghitung sensitivitas, spesifisitas, PPV, NPV, LR positif, serta LR negatif. Kemampuan diskriminasi, kalibrasi, serta diagnostik diantara skor LODS dan bersihan laktat kemudian dibandingkan.
Hasil: Dari 388 subjek yang dianalisis, didapatkan bersihan laktat memiliki diskriminasi lemah (AUC 0,597), kalibrasi lemah (Uji Hosmer-Lemeshow p<0,001), sensitivitas 65% (IK95% 48,3% - 79,3%), spesifisitas 54,3% (IK95% 48,9% - 59,6%), PPV 14,1% (IK95% 11,2% - 17,4%), NPV 93,1% (IK95% 89,7% - 95,4%), LR positif 1,420 (IK95% 1,10 – 1,84), dan LR negatif 0,640 (IK95% 0,42 – 0,99), dalam memprediksi mortalitas pasien dalam 30 hari di UPI RSCM. Sementara Skor LODS memiliki diskriminasi baik (AUC 0,79), kalibrasi baik (Uji Hosmer-Lemeshow p=0,818), sensitivitas 77,5% (IK95% 64,6% - 90,4%), spesifisitas 63,8% (IK95% 58,8% - 68,8%), PPV 19,7% (IK95% 13,4% - 25,9%), NPV 96,1% (IK95% 93,6% - 98,6%), LR positif 2,140 (IK95% 1,72 – 2,66), dan LR negatif 0,353 (IK95% 0,20 – 0,63), dalam memprediksi mortalitas pasien dalam 30 hari di UPI RSCM.
Kesimpulan: Performa bersihan laktat dari segi kemampuan diskriminasi, kalibrasi, atau diagnostik tidak lebih baik dari skor LODS dalam memprediksi mortalitas pasien dalam 30 hari di UPI RSCM.

Backgrounds: The mortality rate of ICU patients is higher than other inpatients. The mortality predicting tools of ICU patients can help a physician stratify the risk and make the clinical decision in patient management. The LODS score is one of the tools that has been proven better than predictor instruments currently used at RSCM ICU. However, the component of the LODS score requires an expensive examination, so it is difficult to apply, especially to patients without health insurance. Lactate clearance is a cheaper alternative and was found to have a good predictive ability of mortality in previous studies.
Objective: This study aimed to compare the predictor ability of LODS scores with lactate clearance on 30-days-patient-mortality treated at RSCM ICU.
Method: This was a cohort retrospective study using the medical records of RSCM ICU patients who were treated between August 2015 – April 2018. The data were demographic characteristics, first-day LODS score, initial lactate, lactate in 6-24 hours, and 30-days-patient-mortality. The relationship between LODS scores and mortality was analyzed with simple logistic regression, while the chi-square test assessed the relationship between lactate clearance and mortality. Discrimination ability was assessed by ROC curve analysis, while the Hosmer-Lemeshow goodness of fit test assessed calibration ability. Diagnostic ability was assessed by calculating sensitivity, specificity, PPV, NPV, positive LR, and negative LR. Discrimination, calibration, and diagnostic capabilities between LODS scores and lactate clearance were then compared between groups.
Results: From 388 subjects analyzed, lactate clearance was found to have weak discrimination (AUC 0.597), weak calibration (Hosmer-Lemeshow test p<0.001), sensitivity 65% ​​(CI 95% 48.3% – 79.3%), specificity 54 ,3% (95% CI 48.9% – 59.6%), PPV 14.1% (95% CI 11.2% – 17.4%), NPV 93.1% (95% CI 89.7% – 95 0.4%), positive LR 1.420 (95% CI 1.10 – 1.84), and negative LR 0.640 (95% CI 0.42 – 0.99), in predicting patient mortality within 30 days at RSCM ICU. Meanwhile, the LODS score had good discrimination (AUC 0.79), good calibration (Hosmer-Lemeshow test p=0.818), sensitivity 77.5% (95% CI 64.6% – 90.4%), specificity 63.8% (95% CI 58.8% – 68.8%), PPV 19.7% (95% CI 13.4% – 25.9%), NPV 96.1% (95% CI 93.6% – 98.6%), positive LR 2.140 (95% CI 1.72 – 2.66), and negative LR 0.353 (95% CI 0.20 – 0.63), in predicting patient mortality within 30 days at RSCM ICU.
Conclusion: Lactate clearance performance in terms of discriminatory ability, calibration, or diagnostic performance was not better than the LODS score in predicting patient mortality within 30 days at RSCM ICU.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Sejati
"ABSTRAK
Latar Belakang. Terdapat gangguan sistem imun pada sepsis. Fase awal ditandai
dengan hiperinflamasi, sedangkan fase lanjut ditandai dengan imunosupresi.
Kematian kumulatif lebih banyak pada fase lanjut. Saat ini belum terdapat
penelitian yang secara khusus meneliti faktor prognostik mortalitas sepsis fase
lanjut dan mengembangkan model prediksi mortalitasnya.
Tujuan. Mengetahui faktor prognostik mortalitas sepsis berat fase lanjut di ICU
dan mengembangkan sistem skor untuk memprediksi mortalitas.
Metode. Penelitian kohort retrospektif dilakukan pada pasien dewasa yang
mengalami sepsis berat di ICU RSCM pada periode Oktober 2011 – November
2012 dan masih bertahan setelah > 72 jam diagnosis sepsis ditegakkan di ICU.
Tujuh faktor prognostik diidentifikasi saat diagnosis sepsis berat ditegakkan di
ICU. Prediktor independen diidentifikasi dengan analisis Cox’s proportional
hazard. Prediktor yang bermakna secara statistik dikuantifikasi dalam model
prediksi. Kalibrasi model dinilai dengan uji Hosmer-Lemeshow dan kemampuan
diskriminasi dinilai dari area under curve (AUC) dari receiver operating curve.
Hasil. Subjek penelitian terdiri atas 220 pasien. Mortalitas 28 hari sepsis berat
fase lanjut adalah 40%. Faktor prognostik yang bermakna adalah alasan masuk
ICU (medis (HR 2,75; IK95%:1,56-4,84), pembedahan emergensi (HR 1,96;
IK95%:0,99 – 3,90), indeks komorbiditas Charlson > 2 (HR 2,07; IK95%:1,32-
3,23), dan skor MSOFA > 4 (HR 2,84; IK95%:1,54-5,24). Model prediksi
memiliki kemampuan diskriminasi yang baik (AUC 0,844) dan kalibrasi yang
baik (uji Hosmer-Lemeshow p 0,674). Berdasarkan model tersebut risiko
mortalitas dapat dibagi menjadi rendah (skor 0, mortalitas 5,4%), sedang (skor 1 –
2,5, mortalitas 20,6%), dan tinggi (skor > 2,5, mortalitas 73,6%).
Simpulan. Alasan masuk medis dan pembedahan emergensi, indeks komorbiditas
Charlson > 2, dan skor MSOFA > 4 merupakan faktor prognostik mortalitas
sepsis berat fase lanjut di ICU RSCM. Sebuah model telah dikembangkan untuk
memprediksi dan mengklasifikasikan risiko mortalitas.

ABSTRACT
Background. Immune system derrangement occurs during the course of sepsis,
characterized by hyperinflamation in early phase and hypoinflamation and
immunosupression in late phase. The number of patient die during late phase is
larger than early phase. Until now, there is no study specifically addressing
prognostic factors of mortality from late sepsis and developing a mortality
prediction model.
Aim. To determine prognostic factors of mortality from late phase of severe
sepsis in ICU and to develop scoring system to predict mortality.
Method. A retrospective cohort study was conducted to identify prognostic
factors associated with mortality. Adult patients admitted to ICU during
November 2011 until October 2012 who developed severe sepsis and still alive
for minimum 72 hours were included in this study. Seven predefined prognostic
factors were indentified at the onset of severe sepsis in ICU. Cox’s proportional
hazard ratio was used to identify independent prognostic factors. Each
independent factors was quantified to develop a prediction model. Calibration of
the model was tested by Hosmer-Lemeshow, and its discrimination ability was
calculated from area under receiver operating curve.
Result. Subjects consist of 220 patients. Twenty eight-day mortality was 40%.
Significant prognostic factors indentified were admission source (medical (HR
2.75; CI95%: 1.56 – 4.84), emergency surgery (HR 1.96; CI95%:0.99 – 3.90),
Charlson comorbidity index > 2(HR 2.07; CI95%:1.32 – 3.23), and MSOFA score
> 4 (HR 2.84; CI95% : 1.54 – 5.24). Prediction model developed has good
discrimination ability (AUC 0.844) and good calibration (Hosmer-Lemeshow test
p 0.674). Based on the model mortality risk can be classified as low (score 0,
mortality 5.4%), moderate (score 1 – 2.5, mortality 20.6%), and high (score > 2.5,
mortality 73.6%).
Conclusion. Medical and emergency surgery admission, Charlson comorbidity
index > 2, and MSOFA score > 4 were prognostic factors of mortality from late
phase of severe sepsis in ICU at Dr.Cipto Mangunkusumo general hospital. A
model has been developed to predict and classify mortality risk."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruth Vonky Rebecca
"Latar Belakang : Kejadian AKI di unit perawatan intensif berhubungan dengan peningkatan mortalitas, morbiditas pasca AKI dan biaya perawatan tinggi. Penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan mortalitas pasien AKI di unit perawatan intensif di Indonesia khususnya RSUPN dr. Cipto Mangungkusumo belum pernah dilakukan.Tujuan: Mengetahui prevalensi AKI, angka mortalitas pasien AKI, dan faktor- faktor yang berhubungan dengan peningkatan mortalitas pasien AKI di unit perawatan intensif di ICU RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo.Metode : Penelitian kohort retrospektif terhadap seluruh AKI di unit perawatan intensif di RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Januari 2015 ndash; Desember 2016. Dilakukan analisis hubungan bivariat saampai dengan multvariat dengan STATA Statistics 15.0 antara faktor usia >60 tahun, sepsis, ventilator, durasi ventilator, dialisis, oligoanuria, dan skor APACHE II saat admisi dengan mortalitas. Hasil : Prevalensi pasien AKI di unit perawatan intensif didapatkan 12,25 675 dari 5511 subjek dan sebanyak 220 subjek 32,59 dari 675 subjek yang dianalisis meninggal di unit perawatan intensif. Faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan mortalitas pada analisis multivariat adalah sepsis OR 6,174; IK95 3,116-12,233 , oligoanuria OR 4,173; IK95 2,104-8,274 , ventilator OR 3,085; IK95 1,348-7,057 , skor APACHE II saat admisi 1/2 [OR 1,597; IK95 1,154-2,209], dan durasi ventilator OR 1,062; IK95 1,012-1,114 . Simpulan : Prevalensi pasien AKI dan angka mortalitasnya di unit perawatan intensif RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo didapatkan sebesar 12,25 dan 32,59 . Sepsis, oligoanuria, ventilator, skor APACHE II saat admisi 1/2, dan durasi ventilator merupakan faktor-faktor yang berhubungan bermakna dengan peningkatan mortalitas pasien AKI di unit perawatan intensif. Kata Kunci : Acute Kidney Injury, Faktor Risiko, Mortalitas, Unit Perawatan Intensif

Background Acute kidney Injury AKI in ICU associated with increased mortality rate, morbidity post AKI, and high health care cost. There is no previous study about factors associated with mortality of AKI patients in ICU in Indonesia, especially at dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital.Aim To identify prevalence, mortality rate, and factors associated with mortality of AKI patients in ICU.Method This is a retrospective cohort study. Data were obtained from all of medical records of AKI patients period January 2015 until December 2016 in ICU at Cipto Mangunkusumo hospital. Association of risk factors age 60 years old, sepsis, ventilator, duration of ventilator, oligoanuria, and APACHE II score at admission and mortality will be analyzed using STATA Statistics 15.0. Results AKI prevalence in ICU was 12,25 675 subjects from total 5511 subjects . A total of 220 subjects out of 675 subjects AKI died at ICU. Sepsis OR 6,174 95 CI 3,116 12,233 , oligoanuria OR 4,173 95 CI 2,104 8,274 , ventilator OR 3,085 95 CI 1,348 7,057 , APACHE II score at admission 1 2 OR 1,597 95 CI 1,154 2,209 , and duration of ventilator OR 1,062 95 CI 1,012 1,114 . were significant factors associated with mortality of AKI patients in ICU. Conclusion AKI prevalence and mortality rate in ICU at dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital were 12,25 and 32,59 . Sepsis, oligoanuria, ventilator, APACHE II score at admission 1 2, and duration of ventilator were significant factors associated with mortality of AKI patients in ICU. Keywords Acute Kidney Injury, Intensive Care Unit, Mortality, Risk Factor "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58890
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Yuniar
"Anak yang dirawat di ICU cenderung mengalami malnutrisi sejak masuk atau selama perawatan yang dapat memperberat penyakit dasar, memperpanjang lama rawat serta meningkatkan mortalitas. Baik underfeeding atapun overfeeding dapat terjadi di ICU Anak selama perawatan. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang, menggunakan data rekam medis. Selama 3 bulan penelitian. didapatkan 45 subjek penelitian. Dari 45 data pasien didapatkan 127 peresepan untuk menilai keseuaian peresepan dengan pemberian nutrisi pada pasien. Pemberian nutrisi pada pasien yang dirawat di ICU Anak merupakan hal yang sangat penting. Perlu perhitungan kebutuhan nutrisi yang cermat, pemberian nutrisi tepat yang sesuai kebutuhan pasien agar tidak terjadi malnutrisi yang lebih berat lagi.

Children admitted to the Pediatric Intensive Care Unit (PICU) are at risk for poor and potentially worsening nutritional status, a factor that further increases comorbidities and complications, prolongs the hospital stay, increases cost and increases mortality. Both underfeeding and overfeeding are prevalent in PICU and may result in large energy imbalance. This was cross sectional study design, with 3 month consecutive sampling in PICU which met 45 patients as the subject and 127 prescription of nutrition. Nutrition support therapies in PICU is very important .Adequate nutrition therapy is essential to improve nutrition outcomes in critically ill children."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Kaltha
"Latar belakang: Luka bakar masih menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas pada pasien anak. Luka bakar dapat menyebabkan kehilangan cairan sehingga dapat terjadi syok akibat peningkatan permeabilitas vaskular dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia dapat berpengaruh pada hemodinamik karena albumin berperan dalam mempertahankan tekanan onkotik plasma, sehingga hipoalbuminemia dapat berpengaruh terhadap keberhasilan resusitasi cairan pasien dengan luka bakar. Belum diketahui apakah kadar albumin awal berhubungan dengan keberhasilan resusitasi cairan pada pasien anak dengan luka bakar.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara kadar albumin awal dengan keberhasilan resusitasi pada pasien anak di Unit Luka Bakar RS Cipto Mangunkusumo.
Metode: Desain penelitian kohort retrospektif berdasarkan data pasien anak yang dirawat di Unit Luka Bakar RSCM yang tercatat di rekam medis sejak Januari 2012-Maret 2018. Metode pengumpulan data dilakukan secara secara total sampling.
Hasil: Subyek yang memenuhi kriteria penelitian yaitu 61 pasien. Sebagian besar subyek berusia <4 tahun, derajat II, luas luka bakar >20%, rentang waktu antara kejadian dan resusitasi cairan yaitu 8-24 jam, status gizi baik, rerata albumin awal 3,1 g/dL, dan rerata laktat awal 2,5 mmol/L. Jumlah pasien anak dengan luka bakar yang menjalani resusitasi cairan dalam 24 jam pertama sebanyak 71,7%, dimana hampir seluruhnya berhasil diresusitasi dalam 24 jam pertama (95,1%). Tidak ditemukan hubungan antara kadar albumin awal dengan keberhasilan resusitasi awal [RR 1,175(95%CI 0,3-4,4) p=0,812]. Pada analisa regresi cox, tidak terdapat juga hubungan antara ureum, creatinin, laktat, berat badan dan luas/derajat luka bakar dengan keberhasilan resusitasi awal.
Simpulan: Angka keberhasilan resusitasi awal pasien anak di unit luka bakar RSCM masih tinggi. Tidak terdapat hubungan bermakna antara kadar albumin awal dengan keberhasilan resusitasi cairan 24 jam pada pasien anak dengan luka bakar.

Background: Burn injury in children has great mortality and morbidity rate. Burn injury can cause lost of fluid quickly, leading to dehydration and shock. Hypoalbuminemia is an important factior in fluid haemostasis, maintaining the oncotic pressure gradient to favor intravascularly. Hypoalbuminemia in a burn injury is a common occurence, and have the potential to impede the fluid resuscitation process. It is still unclear whether serum albumin has a role in the success of fluid resuscitation in children with burn injury.
Objective: To find out the association between serum albumin and the success of fluid resuscitation in children hospitalized in Cipto Mangunkusumo Hospital Burn Centre.
Method: This is a retrospective cohort study based on medical record of children hospitalized with burn injury at Cipto Mangunkusumo Hospital Burn Centre from January 2012-March 2018. The subjects collected with the total sampling method.
Result: Sixty one subjects were enrolled in this study. Burn injury mostly occured in the age group of <4 years old, grade II burn injury, >20% TBSA, normal nutritional status, mean albumin level 3,1 g/dL, mean lactate level 2,5 mmol/L. Almost all subjects was succesfully resuscitated in the first 24 hour (95,1%). No association was found between the success of fluid resuscitation with either serum albumin[RR 1,175(95%CI 0,3-4,4) p=0,812], or with ureum, creatinin, lactate level, weight and the degree/extent of the burn injury.
Conclusion: The success rate of fluid resuscitation in pediatric burn injury was quite high in Cipto Mangunkusumo Hospital Burn Centre. No association was found between serum albumin and the success of fluid resuscitation during the first 24 hour period."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Roswenda
"Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).

There are still many controversies regarding the impact of obesity on morbidity and mortality of the critically ill patient. Immune dysregulation, increased cardiovascular risk, impaired wound healing and changes antimicrobial pharmacokinetics can all be attributed to increased fat mass in obese individuals. Even so, numerous studies show increased survival of obese critically ill patiens compared to normal BMI. This phenomenon is known as the obesity paradox. This study aims to see the relationship between obesity with ICU Length of Stay and nosocomial infection in critically ill patient of RSUPN Cipto Mangunkusumo. Subjects’ anthropometric measurements were taken and then grouped into obese or normal BMI group based on Asia-Pacific BMI classification. Length of stay and diagnosis of nosocomial infection were recorded during daily follow up while the subjects were still admitted in the ICU. There is a total of 79 subjects, mostly female (65%) with median age of 46 years. Most patients were admitted to the ICU following surgery (89%) with a qSOFA score of 1 (52%). 92% of patients stepdown from the ICU with the remaining 8% died. 5% of patients had nosocomial infection, all of them being ventilator associate pneumonia. There is no significant relationship between rate of nosocomial infection and obesity status (OR (95% CI): 1,03 (0,1-14,85)). The median length of stay for both subject groups is 2 days. There is no difference in ICU length of stay between obese patients and normal BMI (p=0,663)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Surya Kusuma
"Latar belakang. Sepsis merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis. Pada sepsis berat dan melanjut, akan terjadi ketidakseimbangan sitokin inflamasi dan anti-inflamasi. Berbagai penelitian telah mencoba mengungkapkan peran mikronutrien bagi sistem imun, di antaranya adalah zinc. Defisiensi zinc dapat menyebabkan gangguan sistem imun alamiah dan didapat. Namun, sejauh ini di Indonesia, belum terdapat studi yang meneliti interaksi antara defisiensi zinc dengan sistem imun terutama pada sepsis melanjut.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) profil kadar zinc serum, TNF-α, IL-10, IFN-γ, (2) hubungan antara kadar zinc serum dengan skor PELOD. (3) hubungan antara masing-masing kadar zinc serum, TNF-α, IL-10, IFN-γ dengan luaran sepsis melanjut, (4) korelasi antara kadar zinc serum dengan TNF-α, IL-10, IFN-γ dan rasio TNF-α/IL-10 pada sepsis melanjut.
Metode. Penelitian potong lintang di Unit Perawatan Intensif (ICU) Anak RSCM, dengan subjek berusia 1 bulan?18 tahun. Pasien dengan diagnosis sepsis, berlangsung lebih dari 5 hari, memiliki skor PELOD ≥10, tanpa dugaan infeksi HIV, keganasan, dan tidak mendapat suplementasi zinc, dilakukan pemeriksaan kadar zinc serum, TNF-α, IL-10, dan IFN-γ. Dilakukan pemeriksaan kadar zinc serum pada populasi anak non-sepsis (dari pasien yang menjalani toleransi operasi elektif dengan diagnosis non-infeksi dan non-keganasan).
Hasil. Sebanyak 23 dari 52 subjek dengan sepsis memenuhi kriteria penelitian. Seluruh subjek memiliki kadar zinc serum yang rendah (median 0,56 μg/dL; 0,06-3,39 μg/dL), berbeda bermakna dengan kelompok kontrol (median 31,13 μg/dL; 21,71-55,57 μg/dL) (p = 0,00). Median kadar TNF-α, IL-10, dan IFN-γ pada penelitian ini berturut-turut adalah 13,73 (1,53-43,59) pg/mL, 5,15 (0,86-52) pg/mL, dan 5,17 (0,16-36,10) pg/mL. Zinc serum tidak berhubungan dengan mortalitas (p=0,186), namun berkorelasi terbalik dengan skor PELOD (r=-0,489, p=0,018). Kadar TNF-α berkorelasi lurus dengan mortalitas sepsis (r=-0,42, p= 0,046), namun IL-10 dan IFN-γ tidak terbukti berhubungan dengan luaran sepsis. Kadar zinc serum cenderung berkorelasi negatif terhadap kadar TNF-α dan IFN-γ, namun tidak berkorelasi dengan kadar IL-10 dan rasio TNF-α/IL-10.
Simpulan. Pada anak dengan sepsis melanjut terdapat penurunan kadar zinc serum yang berkorelasi dengan perburukan skor PELOD. Kadar zinc serum yang rendah cenderung berhubungan dengan peningkatan kadar TNF-α dan IFN-γ. Mortalitas pada sepsis melanjut berhubungan dengan peningkatan kadar TNF-α.

Background. Sepsis is a major cause of mortality in critically ill patients. Imbalance of the inflammatory and antiinflammatory reactions will results in severe and prolonged sepsis. Many researches have showed the role of micronutrients, such as zinc, in immune system. Yet, no research in Indonesia studied the interaction between zinc deficiency and the immune system, particularly in prolonged sepsis.
Objectives. This study was designed to identify: (1) serum zinc, TNF-α, IL-10, and IFN-γ profile in prolonged sepsis, (2) the relationship between serum zinc level and PELOD score in prolonged sepsis, (3) the relationship between serum zinc, TNF-α, IL-10, and IFN-γ with sepsis outcome in prolonged sepsis, (4) the correlation between serum zinc level and TNF-α, IL-10, IFN-γ, TNF-α/IL-10 ratio in prolonged sepsis.
Method. All patients age between 1 month ? 18 years old, with PELOD score ≥10 on >5 days after sepsis onset, and without any immunosupressive underlying disease, admitted to the pediatric intensive care unit from June through November 2012, were eligible for enrollment. After consent, blood samples were collected and pooled for serum zinc, TNF-α, IL-10, and IFN-γ level analysis. A control group consist of pre-operative children were also enrolled to compare the serum zinc level.
Results. Twenty-three out of 52 patients with sepsis were enrolled. All subjects had a low serum zinc level (median 0,56 μg/dL; 0,06-3,39 μg/dL), significantly differ to control group (median 31,13 μg/dL; 21,71-55,57 μg/dL) (p = 0,00). The median level of TNF-α, IL-10, and IFN-γ in this research were 13,73 (1,53-43,59) pg/mL, 5,15 (0,86-52) pg/mL, and 5,17 (0,16-36,10) pg/mL. Serum zinc did not correlate to mortality (p = 0,186), but correlate to PELOD score (r = -0,489, p = 0,018). There were trends toward an increase in the TNF-alpha, IL-10 and IFN-gamma level in the non-survivor group compare to the survivors, but these trends were not significantly different, except for the TNF-alpha level (r = -0.42, p = 0.046). The serum zinc level tend to inversely correlate to TNF-α and IFN-γ level, but not to IL-10 level and TNF-α/IL-10 ratio.
Conclusion. In children with prolonged and severe sepsis, the decrease in serum zinc level is correlate to PELOD score deterioration and tend to correlate with the increase of TNF-α and IFN-γ level, adding a risk toward increase mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisni Untari Dewi
"ABSTRAK
Latar belakang: Sepsis merupakan masalah kesehatan penting yang dapat menyebabkan insidens kematian sampai 50% pada pasien dengan sepsis berat. Antibiotik aminoglikosida
terutama amikasin semakin banyak digunakan untuk mengobati infeksi kuman Gram negatif pada pasien sepsis di ICU, meskipun penggunaan obat tersebut pada dosis
terapi dapat meningkatkan risiko kerusakan ginjal sekitar 10-25%. Pemantauan kadar lembah amikasin serta biomarker dini diperlukan untuk mencegah kerusakan ginjal pada pasien sepsis yang dirawat di ICU. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan kadar lembah amikasin pada pasien ICU dewasa yang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang diberikan amikasin 1000 mg/hari dengan
peningkatan kadar KIM-1 normalisasi dalam urin yang merupakan biomarker dini nefrotoksisitas.
Metode:
Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan yang dilakukan pada 12 pasien sepsis dewasa yang dirawat di ICU RSCM dan diberikan amikasin 1000 mg/hari pada bulan Mei-September 2015. Kadar lembah amikasin dosis ketiga dihubungkan dengan peningkatan kadar KIM-1 normalisasi yang diukur melalui urin 24 jam setelah pemberian amikasin dosis pertama/kedua dan dosis ketiga.
Hasil:
Dari 12 subyek penelitian, didapatkan 3 subyek penelitian dengan kadar lembah amikasin di atas 10 g/mL, sedangkan 9 subyek penelitian kadar lembahnya ada dalam batas aman (di bawah 10 g/mL). Delapan dari 12 subyek penelitian (66,7%) mengalami peningkatan kadar KIM-1 normalisasi dalam urin hari ketiga dibandingkan hari pertama. Tidak ada hubungan antara kadar lembah amikasin dengan peningkatan kadar KIM-1 normalisasi dalam urin (p=0,16; r=0,43).
Kesimpulan:
Pasien sepsis yang mendapat amikasin 1000 mg/hari di ICU RSCM selama 3 hari memperlihatkan kadar lembah amikasin plasma dalam batas aman untuk ginjal.

ABSTRACT
Background: Sepsis is a common caused of mortality which may account for up to 50% death rate in patients with severe sepsis. Aminoglycoside antibiotics, especially amikacin, are the most commonly used antibiotics in the septic patients with Gram-negative bacterial infections, despite these drugs may induce nephrotoxicity in 10-25%
patients. Hence, it is essential to monitor amikacin trough plasma concentration and to detect nephrotoxicity as early as possible. The aim of this study is to find out the correlation between amikacin trough plasma concentration with normalized KIM-1 concentration in the urine as a sensitive and specific biomarker.
Methods:
This is a pilot study conducted in 12 septic patients treated with amikacin 1000 mg/day from May, 2015 to September, 2015. The correlation between amikacin
trough plasma concentrations measured at the third doses with the elevation of urine normalized KIM-1 concentrations measured at the first/second and the third doses were evaluated.
Results:
We observed 3 patients with amikacin trough plasma concentration above the safe level (>10 g/mL), while 9 patients had amikacin concentrations within the safe
plasma level (<10 g/mL). Furthermore, we observed 8 out of 12 patients with higher normalized KIM-1 concentrations measured at third doses compared to normalized KIM-1 concentrations measured at first/second doses. There was no correlation between amikacin trough concentration with elevated urine normalized KIM-1
concentration (p=0,16; r=0,43).
Conclusion:
Septic patients treated with amikacin 1000 mg/day hospitalized in ICU RSCM for 3 days have amikacin safe trough plasma concentration.
"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>