Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 45419 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Natassya
"Penelitian ini merupakan studi maskulinitas yang merupakan bagian dari kajian gender yang bersinggungan dengan kajian budaya. Penelitian ini melihat konstruksi maskulinitas baru yang diwujudkan melalui konsumsi laki-laki atas produk perawatan. Informan penelitian ini adalah tujuh laki-laki dengan rentang usia 18-25 tahun dan pengguna produk perawatan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui wawancara mendalam dan observasi. Temuan menunjukkan bahwa ketujuh informan memiliki pemahaman mengenai maskulinitas yang berbeda sehingga masuk ke dalam beberapa kategori. Empat informan memiliki pemahaman maskulinitas normatif, Ada dua informan memiliki pemahaman maskulinitas yang disandingkan dengan maskulinitas, dan satu informan yang memiliki pemahaman maskulinitas yang semiotik.
This research is part of gender and cultural studies. This research wants to see the construction of new masculinity through grooming products. The informants in this research are men, 18 36 years old and using grooming products. This research used qualitative methods with in depth interviews and observation to collect data. The result of this research shows that informants had different idea of masculinity. There are four informants who had normative idea. There are two informants who had idea of masculinity which compared to feminism. Also there is one informant who had semiotic idea."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Salsabila
"Maskulinitas merujuk pada serangkaian perilaku, peran, dan atribut yang disematkan pada laki-laki. Sebagai hasil dari proses kebudayaan, standar, dan citra maskulinitas dari masa ke masa mengalami perubahan sehingga tidak ada bentuk baku dari maskulinitas itu sendiri, contohnya dalam gaya berbusana. Harry Styles menjadi topik hangat karena transisi gaya berbusananya yang digadang-gadang bertujuan untuk mendobrak batasan gender, ini mendatangkan berbagai opini dari penggemarnya tak terkecuali penggemar di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melibatkan lima penggemar Harry Styles Indonesia yang aktif dalam aktivitas penggemar di media sosial Twitter. Data penelitian bersumber dari wawancara mendalam dengan informan, observasi Twitter informan dan akun autobase, serta kajian pustaka. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan konsep maskulinitas, wacana, dan nilai guna mengetahui alasan yang mendasari informan memberikan pandangan yang berbeda atas transisi gaya berbusana sang idola. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan pandangan tersebut berangkat dari penanaman wacana dan norma gender yang ditanamkan oleh keluarga serta nilai yang mereka percayai secara turun temurun. Pendefinisian ulang maskulinitas sebagai penggemar ini tak terlepas dari negosiasi bahwa citra laki-laki maskulin tidak lagi merujuk pada mereka yang menggunakan pakaian serba gelap.

Masculinity refers to a set of behaviors, roles, and attributes ascribed to men. As a result of cultural processes, standards and images of masculinity have changed over time so that there is no standardized form of masculinity itself, for example in clothing styles. Harry Styles became a hot topic because of his fashion transition that was predicted to break gender boundaries, this brought various opinions from his fans, including fans in Indonesia. This research uses a qualitative method involving five Indonesian Harry Styles fans who are active in fan activities on social media Twitter. The research data comes from in-depth interviews with informants, observation of informants' Twitter and autobase accounts, and literature review. In this research, the concepts of masculinity, discourse, and value are used to find out the reasons why informants give different views on the transition of the idol's fashion style. The results show that the different views stem from the cultivation of gender discourses and norms instilled by the family and the values they believe in for generations. The redefinition of masculinity as a fan is inseparable from the negotiation that the image of masculine men no longer refers to those who wear all dark clothes."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Yuliana
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui redefinisi maskulinitas yang dianalisis melalui masculine performativity yang dilihat pada praktik dan pemaknaan pemakaian produk perawatan kulit pada laki-laki. Studi-studi terdahulu menunjukkan laki-laki yang memakai produk perawatan kulit, berguna untuk menjaga penampilan serta menarik perhatian lawan jenis, akan tetapi, belum banyak studi yang melihat fenomena ini sebagai bentuk redefinisi dari maskulinitas, khususnya dalam konteks pemakaian produk perawatan kulit pada laki-laki. Dengan memakai konsep masculine performativity oleh Butler dan body practice dari Shilling sebagai pisau analisis, peneliti berargumen bahwa laki-laki memakai produk perawatan kulit sebagai praktik yang dilakukan secara berulang dan terus-menerus sebagai cara untuk menunjukkan identitas gender mereka. Temuan penelitian menunjukkan bahwa praktik tubuh pada laki-laki yang memakai produk perawatan kulit bertujuan untuk mencapai bentuk tubuh yang mereka inginkan. Sementara, pemaknaan maskulinitas yang terdapat dalam pemakaian produk perawatan kulit dilakukan secara berulang dan konsisten yang dianggap sebagai maskulinitas modern, yaitu laki-laki yang peduli dengan penampilan wajah. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian fenomenologi, yaitu studi yang menggambarkan pengalaman beberapa individu dari suatu fenomena. Sumber data dari studi ini adalah wawancara mendalam dengan informan yang memiliki kriteria sebagai laki-laki yang memakai produk perawatan kulit dan content creator laki-laki di bidang beauty (skincare enthusiast).

This study aims to determine the redefinition of masculinity which is analyzed through masculine performativity which is seen in the practice and meaning of using skin care products for men. Previous studies have shown that men who use skin care products are useful for maintaining their appearance and attracting the attention of the opposite sex, however, not many studies have looked at this phenomenon as a form of redefinition of masculinity, especially in the context of using skin care products for men. man. Using Butler's concept of masculine performativity and Shilling's body practice as an analytical tool, the researcher argues that men use skin care products as a practice that is carried out repeatedly and continuously as a way to show their gender identity. Research findings show that men's body practices using skin care products aim to achieve the body shape they desire. Meanwhile, the meaning of masculinity contained in the use of skin care products is carried out repeatedly and consistently which is considered as modern masculinity, namely men who care about facial appearance. This study uses a qualitative approach with the type of phenomenological research, namely a study that describes the experiences of several individuals from a phenomenon. The data sources of this study are in-depth interviews with informants who have criteria as men who use skin care products and male content creators in the beauty field (skincare enthusiast).
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dzikri Muhammad Isthafa
"Sebagai ibukota negara, Jakarta merupakan kota dengan penduduk yang memiliki beragam latar belakang. Sebagai kota modern, kota Jakarta memiliki sebuah tempat yang merupakan cerminan dari masyarakatnya, terbentuk melalui internet menjadi dunia digital kota Jakarta. Sebagai digital natives, generasi Z kota Jakarta merupakan kelompok masyarakat yang paling familier dengan ruang virtual kota Jakarta. Generasi Z kota Jakarta memiliki peran penting dalam proses terbentuknya fenomena budaya populer. Makalah ini akan membahas mengenai peran generasi Z dalam ruang virtual kota Jakarta sebagai kunci dari terbentuknya budaya populer, dengan menggunakan konsep antropologi digital dari Horst dan Miller mengenai materialitas. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data makalah adalah studi literatur dengan mengkaji data-data berupa buku dan artikel. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa beberapa fenomena budaya populer kota Jakarta merupakan sebuah fenomena yang mendapatkan atensi masyarakat luas berkat bantuan generasi Z kota Jakarta.

As the national capital, Jakarta is a city with people from various backgrounds. As a modern city, the city of Jakarta has a place that is a reflection of its people, formed through the internet to become the digital world of the city of Jakarta. As digital natives, Generation Z of Jakarta is a group of people who are most familier with the virtual space of Jakarta. Generation Z of Jakarta has an important role in the formation of popular culture phenomena. This paper will discuss the role of generation Z in the virtual space of the city of Jakarta as the key to the formation of popular culture, using Horst and Miller's digital anthropological concept of materiality. The method used in collecting paper data is a literature study by examining data in the form of books and articles. Based on the results of the research, it can be concluded that several popular cultural phenomena in the city of Jakarta are phenomena that have received the attention of the wider community thanks to the help of generation Z in the city of Jakarta."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lutfiyah Haniifah Oktaviani
"Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan redefinisi maskulinitas melalui penggunaan genderless fashion di kalangan laki-laki melalui gender performativity. Studi-studi sebelumnya mengatakan bahwa penggunaan genderless fashion pada laki-laki merupakan salah satu bentuk dalam ekspresi gender melalui fashion telah mengalami redefinisi maskulinitas. Namun, peneliti melihat bahwa studi-studi sebelumnya tidak membahas bagaimana proses terbentuknya redefinisi maskulinitas melalui penggunaan genderless fashion yang digunakan sehari-hari di kalangan laki-laki. Dengan menggunakan konsep gender performativity dan identitas gender oleh Butler sebagai pisau analisis dari penelitian ini. Peneliti berargumen bahwa laki-laki menggunakan genderless fashion yang dilakukan secara terus menerus sebagai cara mereka untuk menunjukkan identitas gender mereka. Selain itu, penelitian ini berargumen bahwa penggunaan genderless fashion pada laki-laki menunjukkan redefinisi maskulinitas yang berbeda dengan masyarakat Indonesia yang pada akhirnya mampu menegosiasikan makna maskulinitas modern, yaitu laki-laki yang peduli dengan penampilan diri melalui genderless fashion. Data pada penelitian ini diperoleh dengan pendekatan kualitatif denganstudi fenomenologi yang menggambarkan pengalaman individu dari suatu fenomena. Sumber data dari studi ini adalah wawancara mendalam dengan laki-laki pengguna genderless fashion yang digunakan dalam kegiatan sehari-hari sebagai identitas diri.

This study aims to to describe the redefinition of masculinity through the genderless fashion among men through gender performativity. Previous studies say that the use of genderless fashion among men is a form of gender expression through fashion that has experienced a redefinition of masculinity. However, researchers see that previous studies did not discuss the process of redefinition of masculinity through genderless fashion in daily use among men. By using Butler's concepts of gender performativity and gender identity as analytical tools for this research. Researchers argue that men use genderless fashion continuously to show their gender identity. In addition, this research argues that the use of genderless fashion among men shows a redefinition of masculinity that is different from Indonesian society which is ultimately able to negotiate the meaning of modern masculinity, namely men who care about their own appearance through genderless fashion. The data in this research was obtained using a qualitative approach with a phenomenological study which describes individual experiences of a phenomenon. The data source for this study is in-depth interviews with men who wear genderless fashion in their daily activities."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Destia Nur Arafah
"Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa terdapat pergeseran representasi maskulinitas dalam film perang, di mana citra tradisional prajurit “ideal” yang maskulin telah sedikit demi sedikit tergantikan oleh citra tentara yang lebih “feminin.” The Yellow Birds (2017) adalah sebuah film Hollywood kontemporer mengenai perang yang mengangkat isu maskulinitas dalam dunia militer dengan menantang ideologi maskulinitas yang bersifat hegemonik dalam dunia militer. Makalah penelitian ini akan menganalisis konstruksi dan representasi maskulinitas yang diangkat oleh film tersebut dengan meneliti fitur-fitur eksplisit dan implisit, seperti simbol, penggunaan bahasa, dan aksi, yang muncul selama film berlangsung. Analisis dilakukan dengan menerapkan berbagai teori yang berkaitan dengan isu maskulinitas, seperti konsep maskulinitas militer, dan teori yang berhubungan dengan setiap fitur yang dianalisis, seperti simbolisme dan penggunaan bahasa oleh pihak atasan utuk menunjukkan kekuasan terhadap bawahan. Penelitian ini menunjukkan bahwa film The Yellow Birds berusaha menantang ideologi maskulinitas yang bersifat hegemonik dalam dunia militer dengan cara memanusiakan tokoh prajurit, mengkritik institusi militer, dan menampilkan tokoh prajurit sebagai korban dari maskulinitas hegemonik militer.

A number of research has found that there has been a shift in the representation of masculinity in war movies, in which the image of traditional masculine “ideal” soldier has gradually been replaced by the image of a more “feminine” soldier. The Yellow Birds (2017) is a contemporary Hollywood war movie which grapples with the issue of masculinity by challenging the notion of hegemonic military masculinity. This research paper will analyze the movie’s construction and representation of masculinity by examining the explicit and implicit elements, such as symbols, language use, and actions, which appear throughout the movie. To do so, it employs various theories and concepts related to the issue, such as the concept of military masculinity, and those related to each of the features of the movie, such as symbolism and the use of language as a means by the superior to demonstrate power over the subordinates. This research demonstrates that the movie attempts to contest hegemonic military masculinity by means of humanizing the characters, criticizing the military institution, and presenting characters as victims of hegemonic military masculinity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Risyam Rakhmatullah
"ABSTRAK
Idolling yang dibawa oleh JKT48 dari Jepang telah mengalami proses kontekstualisasi terhadap nilai dan norma yang ada di Indonesia dengan tujuan agar dapat diterima sebagai budaya populer seperti di Jepang. Studi-studi sebelumnya menyatakan bahwa manajemen dari grup idola telah melakukan proses komodifikasi dan lokalisasi budaya dalam membawa idolling sebagai budaya populer ke Indonesia. Berbeda dengan studi-studi sebelumnya, argumentasi dari penelitian ini adalah idolling yang dibawa oleh JKT48 muncul sebagai ruang negosiasi bagi manajemen JKT48 yang berasal dari Jepang dengan manajemen, anggota dan penggemar JKT48 yang kemudian membentuk idolling versi hybrid. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam dan observasi sebagai metode pengumpulan data. JKT48 di dalam tulisan ini didefinisikan sebagai sebuah entitas yang melibatkan manajemen, anggota dan penggemar JKT48. Idolling versi hybrid muncul sebagai hasil negosiasi budaya yang berbeda antara Jepang dan Indonesia. Proses negosiasi tersebut melibatkan manajemen, anggota dan penggemar JKT48 sebagai bentuk resistensi terhadap budaya populer yang masuk yaitu idolling.

ABSTRACT
Idolling that was brought by JKT48 from Japan has experienced the process of contextualization of values and norms in Indonesia with the purpose to be accepted as popular culture as in Japan. Previous studies have stated that from within the management of the idol group has done the process of commodification and localization of culture in bringing idolling as a popular culture to Indonesia. Different from previous studies, the argument from this research is that the idolling that was brought by JKT48 emerged as a third space for JKT48 management from Japan with management, members and fans of JKT48 which later formed a hybrid version of idolling. This research is a qualitative research with in depth interview and observation as data collecting method. JKT48 in this paper define as an entity that involving management, members and fans of JKT48. Hybrid version idolling emerged as a result of cultural negotiations that took place in the third space . The negotiation process involves the management, members and fans of JKT48 as a form of resistance to idolling as popular culture which was originated from Japan."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Pritha Ayunita
"Penggunaan sosok metroseksual dalam eksekusi iklan Men's Biore Black White digunakan sebagai suatu konstruksi dari mitos yang telah secara mendalam tertanam dalam masyarakat. Iklan televisi yang digunakan sebagai medium utama dalam mengiklankan produk karena dinilai sebagai medium yang paling luas jangkuan dan efeknya dirasa paling besar. Dalam iklan televisi yang berdurasi 15 dan 30 detik, beserta shelftalker dengan eksekusi yang kental dengan pendekatan sepak bola, bertujuan untuk membangun kembali awareness khalayak yang menjadi target market karena dirasa banyaknya gempuran merek lain yang merupakan kompetitor dari Men's Biore itu sendiri. Untuk mengetahui bagaimana pengiklan melakukan sebuah konstruksi sosial akan gaya hidup metroseksual terhadap pria yang menjadi target market, maka peneliti menggunakan analisis semiotika dari Roland Barthes untuk membedah iklan dan mengetahui mitos yang dikonstruksikan dalam eksekusi iklan tersebut. Data sekunder yang digunakan adalah wawancara dengan pekerja kreatif yang berada di balik eksekusi iklan tersebut. Dari kedua metode tersebut ditemukan ternyata banyak faktor yang mempengaruhi konstruksi sosial yang berada di dalam eksekusi iklan tersebut, seperti ideologi dari Jepang sebagai negara asal atau cikal bakal terbentuknya PT Kao Indonesia selaku pihak produk dan Dentsu Indonesia selaku agensi iklan, dengan dilakukan adaptasi budaya khalayak Indonesia itu sendiri dengan melakukan FGD (Focus Group Discussion).

Uses of the ideal man or nowadays has becoming more popular with the name metrosexual, in Men's Biore Black White television commercial has becoming a greater issue. It is belief that the television commercial constructed myths which most of people have already known. The agency uses television because it is the most powerful advertising tools that can change men's behavior. Advertising objectives for this 15 and 30 seconds and also the using of shelftalker of the television commercial execution which contains football as the main object, is to rebuild the product awareness to their market. It is because they feel threatened by their competitors. To know how they constructed the metrosexual life style by placing myths, writer used semiotic method of Roland Barthes in order to dig the television commercial. The writer also interviewed with one of the member of the team who handled the product itself to keep the validity of the research. From both methods, the writer found out that many factors which influenced the making and the television commercial itself. The point is that Japan has transferred their ideology to both companies, Dentsu Indonesia and PT Kao Indonesia, by the guideline they purposed to both companies. But the ideology comes in separated ways and they have it adapted with the Indonesian culture by having a Focus Group Discussion."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Adelia
"ABSTRACT
Setelah Perang Dunia II, masyarakat Jepang menganut maskulinitas hegemonik sarariiman, di mana laki-laki dewasa diekspektasikan untuk menjadi pencari nafkah dengan cara menjadi pekerja kantoran berkerah putih. Namun, setelah resesi ekonomi di era 1990an, ketidaktertarikan dari pemuda Jepang untuk bekerja kantoran mulai terlihat dan maskulinitas-maskulinitas baru pun mulai muncul. Salah satunya adalah maskulinitas alternatif bapak rumah tangga. Manga Gokushufudo bercerita tentang seorang mantan yakuza bernama Tatsu yang beralih profesi menjadi bapak rumah tangga. Dengan metode deskriptif analisis, penelitian ini menganalisis bagaimana representasi maskulinitas alternatif tersebut ditampilkan secara positif di dalam manga untuk memberikan sugesti kepada pembaca bahwa maskulinitas alternatif merupakan sesuatu yang dapat diterima oleh masyarakat Jepang.

ABSTRACT
After World War II, Japanese society embraced the sarariiman hegemonic masculinity, in which adult men are expected to become breadwinners by becoming white-collar office workers. However, after the economic recession in the 1990s, the Japanese youths interest to become office workers has begun to decline, and new masculinities began to emerge. One of those masculinities is the alternative masculinity of househusband. Manga Gokushufudo tells the story of a former Yakuza named Tatsu who became a househusband. Using the descriptive analysis method, this study analyzes how the representation of alternative masculinity is shown positively in the manga to suggest that the alternative masculinity of househusband is something that can be accepted in the Japanese society."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosalina
"ABSTRAK
Iklan adalah salah satu cara untuk mempromosikan produk. Diantara iklan yang
muncul di media massa, terdapat iklan yang menggunakan ilustrasi imaji
maskulinitas. Media secara teoritis dapat mengembangkan imaji tersebut menjadi
konsep yang sering tidak disadari oleh khalayak. Penelitian ini bertujuan untuk
mengungkap representasi dan konsep maskulinitas dalam iklan-iklan produk
minuman berenergi, produk rokok, serta pelembap wajah khusus pria serta untuk
menggali ideologi apa yang ada di balik penggambaran maskulinitas pada ketiga
iklan tersebut. Analisis penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis
semiotik dan menggunakan paradigma critical constructionism. Dengan
perbandingan karakteristik maskulinitas pada tiga iklan, yaitu minuman berenergi
Extra Joss, rokok Surya Pro Mild dan Vaseline Men Face Moisturiser. Penelitian
ini menemukan iklan dibuat oleh produsen dengan melanggengkan ideologi
patriarki di Indonesia supaya industri tetap berjalan sesuai dengan kepentingan
para elit kapitalis. Sehingga iklan bukan sekedar mengemas produk, tetapi juga
bagaimana para produsen menggunakan imaji maskulinitas sebagai komoditas
bagi produk mereka. Para produsen berusaha memberi masukkan ideologi kepada
khalayak, yang akhirnya memperlihatkan sebuah kesadaran palsu.

ABSTRACT
Advertising is one way to promote products. Among the ads that appear in the
mass media, there are ads that use illustration images of masculinity. Media
theoretically can develop that image become the concept that is often not aware of
it by audience. This research aims to uncover the representation and the concept
of masculinity in the advertisements of products, namely energy drinks, cigarettes
and face moisturizer for men products as well as to explore what ideology what is
behind depiction masculinity in third those ads. Analysis of this research was
conducted by using semiotic analysis and using the paradigm of critical
constructionism. By comparing the characteristics of masculinity in three ads, i.e.
energy drink Extra Joss, cigarettes Surya Pro Mild and Vaseline Men Face
Moisturiser. This research found ads created by the producer with a patriarchal
ideology in Indonesia perpetuate that industry continue to run according to the
interests of capitalist elites. So the ads not just pack the products, but also how the
producers use images of masculinity as a commodity for their products. The
producer tried to put in ideology to public, that eventually show a false
consciousness."
2012
T30777
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>