Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 188971 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Saragih, Frida Avianing Isnanda
"Latar Belakang: Self-perceived pada penyakit periodontal yang sering ditemui pada anak-anak umur 12-15 tahun masih rendah dan masih memiliki disparitas yang signifikan dengan diagnosis klinis.
Tujuan: Menganalisis self-perceived dan diagnosis klinis status gingiva pada anak usia 12-15 tahun di Jakarta.
Metode: Penelitian dengan desain cross sectional menggunakan kuesioner untuk mendapatkan informasi self-perceived dan pemeriksaan indeks plak dan gingiva dilakukan pada 494 anak di enam SMP Negeri di Jakarta.
Hasil: Persentase plak dan prevalensi gingivitis masing-masing adalah 99,6 dan 95,7 . Sensitivitas dan spesifisitas pada diagnosis klinis plak dengan cut-off point= 0,74 yang paling baik masing-masing adalah 86 yaitu kebutuhan perawatan gigi dan mulut dan 89 yaitu gusi bengkak sedangkan pada diagnosis klinis indeks gingiva dengan cut-off point= 0,51 yang paling baik masing-masing adalah 85 yaitu kebutuhan perawatan gigi dan mulut dan 88 yaitu gusi bengkak, namun, kedua variabel self-perceived tersebut tidak menunjukkan keseimbangan antara nilai spesifisitas dan sensitivitasnya.
Kesimpulan: Gingivitis masih lazim. Penggunaan kuesioner untuk menilai self-perceived terhadap status gingiva rendah.

Background: Self perceived of periodontal diseases which is commonly found among 12 15 year old children is still low and has significant disparity with clinical diagnosis.
Objective: The study aims to analyze self perceived and clinically diagnosed of gingival status among 12 15 year old children in Jakarta.
Methods: A cross sectional study using questionnaire to obtain self perceived information and clinical examination using plaque and gingival index was performed on 494 children in six junior high school in Jakarta.
Results: Plaque percentage and gingivitis prevalence respectively were 99,6 and 95,7. The highest sensitivity and specificity of clinically diagnosed plaque with 0,74 cut off points were respectively 86 for dental treatment need and 89 for swelling gums, meanwhile for gingival index with 0,51 cut off points were respectively 85 for dental treatment need and 88 for swelling gums, nevertheless both self perceived variables didn rsquo t show balanced values.
Conclusions: Gingivitis is still prevalent, however the use of questionnaire as a self perceived assessment has low value to gingival status among 12 15 year old children.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Kurniawan
"Tujuan: Menganalisis perbandingan informasi self-perceived dengan diagnosis klinis status karies gigi anak usia 12-15 tahun.
Metode: Penelitian dengan desain cross sectional menggunakan kuesioner untuk mendapatkan informasi self-perceived dan pemeriksaan indeks DMFT dan PUFA dilakukan pada 494 anak di enam SMP Negeri di Jakarta.
Hasil: Hasil sensitivitas paling tinggi untuk indeks DMFT gold standard adalah dari pertanyaan kebutuhan perawatan, yaitu 0.86 dengan spesifisitas 0.23. Hasil spesifisitas paling tinggi adalah dari pertanyaan mengenai sakit gigi 0.89 dengan sensitivitas 0.26. Untuk indeks PUFA gold standard , sensitivitas tertinggi adalah pertanyaan pendapat keadaan gigi 0.92 dengan spesifisitas 0.57. Spesifisitas paling tinggi adalah pertanyaan mengenai sakit gigi 0.82 dengan sensitivitas 0.40. Prevalensi dan skor rata-rata DMFT dan PUFA berurutan adalah 68.4 dan 2.4; 17.6 dan 0.2.
Kesimpulan: Kuesioner lebih sensitif terhadap indeks PUFA sebagai gold standard dibandingkan dengan indeks DMFT. Informasi self-perceived yang didapat dari kuesioner tidak dapat dengan baik mengevaluasi status klinis karies gigi karena kurangnya persepsi anak terhadap sehat dan sakit.

Objective: To analyze the comparison of self perceived information and clinically diagnosed dental health status among children aged 12 15 years.
Methods: A cross sectional study using questionnaire to obtain self perceived information and clinical examination using DMFT and PUFA indices was performed on 494 children in six junior high school in Jakarta.
Results: The highest sensitivity for DMFT index as the gold standard was found in question about treatment need, 0.86 with specificity of 0.23. The highest specificity was found in question about dental pain 0.89 with specificity of 0.26. When using the PUFA index as the gold standard, the highest sensitivity was found in question about opinion regarding dental health, 0.92 with specificity of 0.57. The highest specificity was found in question about dental pain 0.82 with sensitivity of 0.40. The prevalence and mean DMFT and PUFA index was 68.4 and 2.4 17.6 and 0.2, respectively.
Conclusion: Questionnaire was more sensitive using the PUFA index as the gold standard than the DMFT index. Self perceived information obtained from the questionnaire were of low value in evaluating dental health status due to the lack of children rsquo s health and disease perception.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Tsania Zahra
"Latar Belakang: Self-perceived halitosis ditandai dengan bau tidak sedap yang timbul dari rongga mulut dan ditemukan penyebab utamanya berasal dari intraoral. Sehingga sangat penting bagi setiap individu untuk memelihara kesehatan mulutnya. Selain itu, walaupun etiologi utama dari faktor intraoral tersebut adalah tongue coating, namun prevalensi masyarakat yang membersihkan lidah setiap hari masih rendah. Oleh karena itu, pada penelitan ini akan lebih dikhususkan untuk membahas mengenai kebiasaan membersihkan lidah.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara kesehatan oral subjektif dengan self-perceived halitosis.
Metode: Penelitian cross-sectional pada 298 remaja yang berusia 12-21 tahun yang berdomisili di DKI Jakarta dan merasa memiliki halitosis melalui kuisioner yang pengisiannya dilakukan secara daring menggunakan google form.
Hasil : Penilaian subjektif penyakit dan kondisi rongga mulut yang terdiri dari gingivitis, mulut kering, dan tongue coating memiliki hubungan dengan self-perceived halitosis (p<0.05). Semakin besar responden yang merasa memiliki gingivitis, mulut kering, dan tongue coating di dalam rongga mulutnya, semakin tinggi nilai self-perceived halitosis. Faktor kesehatan oral subjektif lainnya yaitu penilaian subjektif karies dan kebiasaan menjaga kesehatan gigi dan mulut yang terdiri dari menyikat gigi, flossing, menggunakan obat kumur, dan membersihkan lidah tidak memiliki hubungan dengan self-perceived halitosis (p>0.05).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara faktor penilaian subjektif penyakit dan kondisi rongga mulut yang terdiri dari gingivitis, mulut kering, dan tongue coating terhadap self-perceived halitosis pada remaja di DKI Jakarta.

Background: Self-perceived halitosis is characterized by an unpleasant odor arising from the oral cavity. It was found that the main cause of halitosis was from intraoral origin, so it is very important for each individual to maintain their oral health. In addition, although the main etiology of the intraoral factor is tongue coating, the prevalence of people cleaning their tongue every day is still low. Therefore, this research will be more devoted to discussing the habit of cleaning the tongue.
Objective: This study aims to identify the relationship between subjective oral health and self-perceived halitosis.
Methods: A-cross sectional study of 298 adolescents who live in DKI Jakarta and have a subjective halitosis through a questionnaire with a google form.
Results: Subjective assessment of oral diseases and conditions consisting of gingivitis, dry mouth, and tongue coating were associated with self-perceived halitosis (p <0.05). The greater the respondents who feel they have gingivitis, dry mouth, and tongue coating in their oral cavity, the higher the self-perceived halitosis value. Other subjective oral health factors, namely the subjective assessment of caries and oral hygiene habits which consisted of brushing, flossing, using mouthwash, and cleaning the tongue had no relationship with self-perceived halitosis (p> 0.05).
Conclusion: There is a relationship between the subjective assessment of oral diseases and conditions consisting of gingivitis, dry mouth, and tongue coating with self-perceived halitosis of adolescents who live in DKI Jakarta.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Rahmakarina
"Latar Belakang: Terdapat penelitian yang menunjukkan adanya hubungan antara faktor interaksi sosial, yaitu jenis kelamin dan tingkat pengetahuan dengan self-perceived halitosis. Masih terdapat beberapa faktor interaksi sosial lainnya yang belum diketahui hubungannya dengan self-perceived halitosis.
Tujuan: Mengidentifikasi hubungan antara faktor-faktor interaksi sosial dan self-perceived halitosis pada remaja DKI Jakarta.
Metode: Penelitian menggunakan desain cross-sectional. Self-perceived halitosis diukur melalui self-assessment halitosis menggunakan metode licking wrist dan interaksi sosial diukur menggunakan 23 pertanyaan kueioner.
Hasil: self-perceived halitosis lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan (p = 0,038, r = - 0,139). Selain itu, adanya pengalaman tidak menyenangkan mengenai bau mulut meningkatkan self-perceived halitosis (p = 0,011, r = 0,136) dan semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi self-perceived halitosis. Faktor interaksi sosial lainnya tidak memiliki hubungan dengan self-perceived halitosis (p>0,05).
Kesimpulan: terdapat hubungan antara faktor jenis kelamin, pengalaman/persepsi sosial, dan pendidikan terhadap self-perceived halitosis.

Background: There are studies that show a relationship between social interaction factors, that is gender and level of knowledge with self-perceived halitosis. There are still several other social interaction factors in which the relationships toward self-perceived halitosis have not yet known.
Objective: To identify the relationship between social interaction factors and self-perceived halitosis toward adolescents in DKI Jakarta.
Methods: The study is using cross-sectional design. Self-perceived halitosis was measured through self-assessment of halitosis using the licking wrist method and social interaction was measured using 23 questionnaire questions.
Result: self-perceived halitosis was higher in males than females (p = 0.038, r = - 0.139). In addition, having an unpleasant experience with halitosis increases self-perceived halitosis (p = 0.011, r = 0.136) and the higher the level of education, the higher the self-perceived halitosis. Other social interaction factors have no relationship with self-perceived halitosis (p>0,05).
Conclusion: There is a relationship between gender, social experience factors, and level of education on self-perceived halitosis.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aqila Putri Sabrina
"ABSTRACT
Latar Belakang: Berdasarkan Riskesdas 2013, proporsi penduduk Indonesia yang menerima perawatan ortodontik masih sangat rendah. Salah satu penyebabnya adalah sering kali seseorang tidak menyadari bahwa dirinya membutuhkan perawatan ortodontik. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi kebutuhan perawatan ortodontik memiliki peran yang penting. Adapun salah satu faktor yang memengaruhi persepsi kebutuhan perawatan ortodontik adalah status sosioekonomi, namun penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang kontradiktif. Selain itu, belum pernah dilakukan penelitian mengenai hal ini di Indonesia. Tujuan: Mengetahui hubungan antara status sosioekonomi dengan persepsi kebutuhan perawatan ortodontik pada siswa SMAN 27 Jakarta. Metode: Dilakukan penelitian potong lintang pada 85 siswa SMAN 27 Jakarta yang berusia 15-17 tahun. Diberikan kuesioner Family Affluence Scale III (FAS III) pada 85 subjek penelitian untuk menilai status sosioekonominya dan diberikan lembar index of Orthodontic Treatment Need-Aesthetic Component (IOTN-AC) guna menilai persepsi kebutuhan perawatan ortodontiknya. Digunakan uji chi-square untuk analisis data. Hasil: Uji chi-square menunjukkan nilai signifikansi kurang dari 0,05 (p = 0,009) yang berarti terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara status sosioekonomi dengan persepsi kebutuhan perawatan ortodontik. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara status sosioekonomi dengan persepsi kebutuhan perawatan ortodontik pada siswa SMAN 27 Jakarta.

ABSTRACT
Background: According to Riskesdas 2013, the proportion of people who had received orthodontic treatment in Indonesia is very low. One of the reasons is that people oftentimes dont realize that they need orthodontic treatment. It shows that self-perceived orthodontic treatment need has an important role. One of the factors affecting self-perceived orthodontic treatment need is socioeconomic status, but previous studies showed contradictory results. Furthermore, this research has never been conducted in Indonesia. Objective: To determine whether the socioeconomic status associated with self-perceived orthodontic treatment need in students of SMAN 27 Jakarta. Methods: This cross-sectional study comprised 85 students of SMAN 27 Jakarta aged 15-17 years. Family Affluence Scale III (FAS III) questionnaire was given to assess their socioeconomic status and Index of Orthodontic Treatment Need-Aesthetic Component (IOTN-AC) sheet was given to assess their self-perceived orthodontic treatment need. The chi-square test was used for data analysis. Results: The significance value is less than 0,05 (p = 0,009) which indicates that there is a statistically significant difference between socioeconomic status and self-perceived orthodontic treatment need. Conclusion: There is an association between socioeconomic status and self-perceived orthodontic treatment need in students of SMAN 27 Jakarta."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rininta Enggartiasti
"Stunting merefleksikan kondisi kekurangan gizi kronis pada awal kehidupan. Kondisi tersebut dapat diikuti dampak negatif jangka panjang berupa penurunan kapasitas kognitif, rendahnya tingkat kehadiran di sekolah, hingga dapat memicu rendahnya produktivitas dan pendapatan seseorang di masa depan. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara praktik pemberian kolostrum, status imunisasi dan faktor lainnya dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Jakarta Utara. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei 2017. Penelitian ini melibatkan sampel sebanyak 210 orang anak usia 6-23 bulan di 11 posyandu terpilih di Jakarta Utara. Data penelitian diperoleh melalui pengukuran panjang badan anak dan wawancara responden. Analisis data yang dilakukan berupa analisis univariat, analisis bivariat dan analisis multivariat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 20 anak mengalami stunting, serta terdapat hubungan yang bermakna antara praktik pemberian kolostrum dan status imunisasi dengan kejadian stunting. Praktik pemberian kolostrum ditemukan sebagai faktor dominan kejadian stunting pada penelitian ini. Diperlukan peningkatan frekuensi dan cakupan penyuluhan mengenai praktik gizi dan kesehatan untuk anak usia 6-23 bulan, khususnya kepada masyarakat dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah, dan dengan jumlah anak yang banyak serta diperlukan pemantauan tinggi badan anak secara berkala.

Stunting reflects chronic malnutrition in early childhood. This condition can be followed by long term negative impacts such as decreased cognitive capacity, low attendance rates in schools, and lead to low productivity and income in the future. The aim of this study is to determine the association between colostrum feeding, immunization status and other factors with stunting among children aged 6 23 months in North Jakarta. Cross sectional was used as the research design. Data was conducted in May 2017. This study enrolled 210 children aged 6 23 months in 11 Posyandu in North Jakarta. Research data obtained through measurement of child length and respondents interview. Data analysis included univariate analysis, bivariate analysis and multivariate analysis.
The results showed that 20 of children had stunting, and there was a significant association between colostrum feeding and immunization status with stunting. Colostrum feeding was found as the dominant factor of stunting in this study. Researcher suggests to increase the frequency and coverage area of nutrition and health practices education, especially for people with low levels of education and income, and large number of children, also to monitor of children aged 6 23 months 39 s length periodically.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
S68501
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umaima Kamila
"Latar Belakang : Masalah status gizi kurang masih menjadi salah satu problem kesehatan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia hingga saat ini. Berbagai program telah dicanangkan oleh pemerintah untuk menanggulanginya namun belum membuahkan hasil. Untuk menyelesaikan masalah status gizi diperlukan pemahaman yang mendalam atas faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi, dimana salah satunya adalah asupan kalori harian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status gizi dengan asupan kalori harian.
Metode : Penelitian ini dilakukan terhadap 73 orang anak usia sekolah di Yayasan Kampung Kids dengan menggunakan desain cross-sectional. Data yang diambil meliputi jenis kelamin, usia, berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh dan asupan nutrisi harian. Status gizi diukur dengan menggunakan persentil kurva Center for Disease Control (CDC) sedangkan asupan nutrisi harian dengan metode wawancara. Selanjutnya dicari hubungan antara keduanya dengan menggunakan software SPSS 11.5.
Hasil : Rerata tinggi badan (132,09cm) dan berat badan (27,07kg) responden tidak ideal berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004. Responden umumnya memiliki status gizi normal berdasarkan ketiga status gizi yaitu 50,7% (BB/U), 71,2% (TB/U), dan 63 % (IMT). Mayoritas responden mendapatkan asupan nutrisi harian yang normal (60,3%). Analisis variabel dengan menggunakan two sample Kolmogorov-Smirnov test untuk menentukan hubungan antara status gizi dan asupan nutrisi harian adalah p=1,000 (BB/U)., p=0,461(TB/U), dan p=0,799 (IMT).
Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan bermakna antara asupan kalori harian dan status gizi pada anak usia sekolah di Yayasan Kampung Kids.

Background : Nutritional Problem has been one of many health problems which are faced by Indonesian people until now. Various programmes have been launched by the government to overcome this problem but still have not get significant result. To handle this nutritional problem, we need to understand completely about all factors influnce the nutritional status. One of those key factors is daily calorie intake.
Method: This research conducted on 73 schoolaged children who were registered in KampungKids Foundation using crosssectional method. Data collected were gender, age, weight, height, body mass index (BMI) and daily calorie intake. Nutritional status was measured by using CDC percentile curve. In other hand, daily calorie intake data were collected by interviewing. The data then were analyzed with SPSS 11.5 software.
Result : The height average (132,09cm) and weight average (27,07kg) were not ideal according to Nutritional Sufficiency Value (AKG) 2004. Most of the respondent had normal nutritional status for all indicators : 50,7% for (Body Weight/Age), 71,2% for (Body Height/ Age), and 63% for (BMI/Age). Most of respondents had normal daily calorie intake (60,3%). Analysis of variables using two sample Kolmogorov-Smirnov test to find the association between daily calorie intake and nutritional status gave results, p=1,000 (BW/A), p=0,461(BH/A), and 0,799 (BMI).
Conclusion : There is no significant association between daily calorie intake and nutritional status among school-aged children in Kampung Kids Foundation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sacha Audindra
"Latar Belakang: Prevalensi infeksi parasit usus masih tinggi di Indonesia, terutama pada anak-anak usia sekolah karena beberapa faktor termasuk kebersihan yang buruk, faktor sosial ekonomi, perilaku, dan penduduk yang padat. Saat ini faktor-faktor tersebut masih ditemukan di Indonesia, sehingga angka infeksi masih tinggi. Nutrisi dan infeksi parasit memiliki hubungan erat. Infeksi parasite usus dapat menyebabkan gangguan penyerapan makanan dan status gizi pada anak usia sekolah yang membutuhkan nutrisi yang cukup untuk tumbuh. Infeksi parasit usus sebagai penyebab kekurangan gizi masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat dan dapat menunda pertumbuhan anak.Metode: Sampel diperoleh dari SDN Kalibata 04, Jakarta Selatan dengan cara mengumpulkan tinja dari murid kelas 1-5. Secara total ada 157 anak mengumpulkan sampel mereka. Pemeriksaan langsung dari tinja dilakukan di Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia menggunakan lugol dan eosin. Data status gizi didapatkan dengan pemeriksaan fisik langsung berat dan tinggi badan yang digunakan untuk menghitung persentil indeks massa tubuh IMT. Setelah itu, data dianalisis menggunakan uji Chi-square; SPSS versi 20 untuk mengetahui apakah ada hubungan antara infeksi parasit usus dan status gizi.Hasil: Sampel diperiksa sebanyak 157 tinja dan ditemukan adanya 60 anak 38.2 positif terinfeksi dengan berbagai macam parasit. Sebagian besar infeksi disebabkan oleh B. hominis, yang menginfeksi 44 anak 69,4. Infeksi lain disebabkan oleh G. intestinalis 15,3, T. trichiura 1,4, cacing tambang 1,4, dan infeksi campuran B. hominis dan E. coli 4,2 , dan B.hominis dengan G. intestinalis 4,2. Dari total anak yang terinfeksi, 17 anak 28,3 memiliki IMT di bawah 5 persentil, dianggap sebagai kekurangan gizi. Secara statistik, terdapat hubungan antara infeksi parasit usus dan status gizi di SDN Kalibata 04, Jakarta Selatan. Kesimpulan: Kejadian infeksi parasit usus di SDN Kalibata 04 adalah 38,2 dengan 28,3 dari anak-anak yang terinfeksi memiliki gizi kurang. Pada penelitian ini bisa disimpulkan ada hubungan antara infeksi parasit usus dan status gizi di SDN Kalibata 04, Jakarta Selatan.

Background Prevalence of intestinal parasitic infection still high in Indonesia, especially in the school aged children. Several factors including poor hygiene, socioeconomic factors, behavior, and crowded population have a contribution in this high prevalence. Nutrition and parasitic infection are closely linked. Intestinal parasitic infection can cause malabsorption and malnutrition especially in school aged children while they need adequate nutrition intake to grow. Therefore, intestinal parasite infection in school aged children is become a major public health problem since it will delay their growth.Methods Sample is obtained from SDN Kalibata 04, South Jakarta by collecting the children's stool from 1st 5th grade. Direct examination of the stool is conducted in the Parasitology Department, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia by Lugol and eosin staining. Additionally, data of nutritional status was obtained by direct physical examination of the weight and height of the children and then they were used to calculate the BMI percentile. Thereafter, data was analyzed using Chi square test, SPSS version 20 to know is there any association between intestinal parasitic infection and nutritional status.Results From the total 157 stool examined in the laboratory, there were 60 38.2 children positively infected with various kinds of intestinal parasites. Mostly the infection is caused by B. hominis, which infect 44 children 69.4 . Other infection is caused by G. intestinalis 15.3, T. trichiura 1.4, hookworm 1.4, and mixed infection of B. hominis and E. coli 4.2, and B.hominis with G. intestinalis 4.2 . From the total of infected children, 17 children 28.3 have BMI below 5th percentile, and it was considered as malnourished. Moreover, 67 uninfected children have healthy weight. Statistically, there is association between intestinal parasitic infection and nutritional status in SDN Kalibata 04, South Jakarta. Conclusion The incidence of intestinal parasitic infection in SDN Kalibata 04 is 38.2. Moreover, 28.3 of the infected children were malnourished and it is suggested that children with intestinal parasite infection has low nutritional status in SDN Kalibata 04, South Jakarta. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alisa Novianty Pratiwi
"ABSTRAK
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status erosi gigi, dan faktor faktor yang berkontribusi terhadapnya pada anak usia 5 tahun di Taman Kanak-Kanak DKI Jakarta.
Metode: Survei epidemiologi dilakukan dengan desain penelitian cross sectional. Pemeriksaan keadaan erosi gigi dilakukan oleh satu pemeriksa, menggunakan kriteria Basic Erosive Wear Examination (BEWE), serta memberikan kuesioner yang dijawab oleh orang tua untuk mendapatkan informasi mengenai perilaku diet anak, perilaku kesehatan gigi dan mulut anak, pengetahuan kesehatan gigi dan mulut orang tua anak, dan keadaan sosio-demografi. Data kemudian dianalisis dengan analitik komparatif, dan multivariat binari regresi logistik.
Hasil: Total sampel sebanyak 691 anak, dengan prevalensi yang mengalami erosi sebesar 23,3% anak. Sebagian besar memiliki erosi gigi dengan tingkat keparahan telah mencapai dentin (BEWE = 2). Meminum minuman asam/teh sitrus (OR; 2,478, 95 CI : 1,532-4,00), minuman jus buah (OR: 1,955, 95 CI: 1,309-2,920), minuman suplemen Vitamin C (OR: 2,171, 95 CI: 1,144-4,119), dan pengalaman karies gigi (OR: 0,533, 95 CI: 0,342-0,831) terbukti memiliki hubungan yang signifikan terhadap erosi gigi. Kesimpulan: Status erosi gigi pada anak usia 5 tahun di Taman Kanak Kanak DKI Jakarta tergolong rendah, dengan tingkat erosi sedang yang paling tinggi dijumpai. Meminum minuman asam/teh sitrus, minuman jus buah, minuman suplemen vitamin C, serta pengalaman karies gigi terbukti signifikan terhadap erosi gigi.

ABSTRACT
Objective: This study aimed to asses the dental erosion status, and determinants of dental erosions among 5 years old preschool children in DKI Jakarta.
Methods: Epidemiology surveys were conducted with cross sectional study design. Examination of dental erosion is carried out by one examiner, use the Basic Erosive Wear Examination (BEWE) criteria, and parents answered questions to obtain information on the diet and oral health behavior, parents's dental health knowledge, and socio demographic status. Data were analyzed with comparative analytic, and multivariate binary logistic regresion.
Results A total of 691 children, with an erosion prevalence of 23.3 of children. Most have dental erosions with severity reaching dentine BEWE 2 . Drinking citrus citrus fruits (OR 2,478, 95 CI 1,532-4,00), fruit juice drinks (OR 1,955, 95 CI 1,309-2,920), vitamin C supplements (OR 2,171, 95 CI 1,144-4,119), and dental caries experience (OR 0,533, 95 CI 0.342-0.831) was shown to have a significant relationship to dental erosion. Conclusion The 5 year old preschool children in Jakarta had low dental erosion, with a moderate erosion being most prevalent condition. Consumption of acid drinks, fruit juice, supplement of vitamin C, and dental caries experience were associated with dental erosion in this population."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Seala Septiani
"Obesitas di usia dini dapat merugikan kesehatan anak sepanjang hidupnya secara permanen. Dewasa ini, asam lemak omega-3 diperkenalkan sebagai alternatif solusi obesitas. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi pengaruh dari konseling asam lemak omega-3 selama 10 minggu terhadap pengetahuan, sikap, asupan, dan IMT/U. Penelitian ini membagi acak subjek; grup yang mendapat konseling dengan optimalisasi asam lemak omega-3 disertai rekomendasi menu harian yang spesifik (Grup intervensi, n=18); dan yang mendapat konseling dan menu standar (Grup kontrol, n=20). Hasil menunjukkan tingkat pengetahuan pada grup intervensi meningkat signifikan (p<.001). Dibutuhkan investigasi lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh intervensi ini terhadap keluaran lain yang diharapkan.

Obesity in early life could result in permanent heath consequences. Omega-3 fatty acids (FAs) are beneficial in obesity management, but food-based nutrition education enhancing omega-3 FAs especially in children was lacking. We investigated the effect of 10-week enhanced counseling on caregivers knowledge, attitude, as well as children's intakes and body mass index-for-age (BAZ). Children were randomly assigned to receive; enhanced counseling with specific daily menu (intervention group, n=18), or standard counseling with general menu (control group, n=20). Intervention group significantly improved knowledge (p<.001). However, its effect on other outcomes may need further investigation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>