Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166776 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Labibah Qotrunnada
"ABSTRAK
Jumlah parasitemia pada infeksi malaria yang ada di dalam darah perifer tidak mampu menunjukkan total biomassa parasit malaria. Total biomassa parasit malaria yang diukur dengan pemeriksaan antibodi histidine rich protein HRP dan Plasmodium lactate dehydrogenase pLDH menunjukkan bahwa biomassa parasit malaria lebih tinggi dibandingkan dengan parasitemia di darah perifer. Biomassa parasit malaria berhubungan dengan inflamasi sistemik dan tidak berhubungan dengan aktivasi endotel. Oleh karena itu, biomassa parasit malaria kemungkinan tidak terakumulasi di sel-sel endotel, melainkan di organ non endotel seperti limpa. Penelitian tentang malaria di limpa masih sangat jarang dilakukan, namun ada beberapa yang menunjukkan terdapat perbedaan arsitektur limpa yang terinfeksi oleh P. falciparum dan P. vivax. Perbedaan tersebut diduga karena perbedaan sel inang yang diinfeksi, yaitu eritrosit pada P. falciparum dan retikulosit pada P. vivax. Sebanyak 12 sampel limpa pasien splenektomi digunakan untuk membuktikan apakah limpa manusia merupakan reservoir parasit malaria dan terjadi penghindaran respons imun di limpa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi berat limpa pasien berhubungan dengan tingginya parasitemia, luas pulpa putih dan akumulasi parasit malaria. Akumulasi P. falciparum juga terjadi di limpa dengan tingginya parasitemia di limpa namun stadium hidup yang muda lebih banyak ditemukan di limpa. Hal tersebut berhubungan dengan mekanisme penghindaran respons imun dengan dugaan sekuestrasi di pembuluh darah sehingga menurunkan stadium matang di limpa. Mekanisme penghindaran pada stadium yang lebih muda juga dilakukan dengan cara membentuk rosetting. Akumulasi P. vivax di limpa tidak dapat dideskripsikan di penelitian ini karena jumlah sampel yang sedikit dengan parasitemia rendah. Namun penelitian ini mampu memprediksi kemungkinan akumulasi P. vivax di limpa dengan tingginya retikulosit di limpa.Kata kunci: Limpa, Malaria, P. falciparum, P. vivax, limpa, retikulosit.

ABSTRACT
The number of parasitemia in malaria infections from peripheral blood was not able to show the total parasite biomass. Total malaria parasite biomass as measured by histidine rich protein HRP and Plasmodium lactate dehydrogenase pLDH antibody test showed higher parasitic biomass than parasitemia in peripheral blood. Total parasite biomass was not correlated with endothelial activation. Therefore parasite biomass was possible to accumulate in non endothelial organ such as the spleen. Research on malaria in the spleen was still very limited, but there were some that showed the differences of splenic architecture in P. falciparum and P. vivax infection. The difference was due to the difference of infected host cell ie red blood cell in P. falciparum and reticulocyte in P. vivax. A total of 12 spleen from splenectomy patients were used to prove whether the human spleen is malaria parasite reservoir and the escaping immune response in the spleen. The results showed that the higher spleen weight was associated with high parasitemia, white pulp area, and accumulation of malaria parasites. P. falciparum accumulation also occurs in the spleen with high parasitemia in the spleen but younger life stages are more common in the spleen. It is related to the mechanism of escaping the immune response with sequestration in the blood vessels thereby decreasing the mature stage in the spleen. The mechanism of escaping immune respons in the spleen at younger stages was also done by forming rosetting. The accumulation of P. vivax in the spleen can not be described in this study because of the limited number of samples with low parasitemia. However, this study was able to predict the possibility of P. vivax accumulation in the spleen with high reticulocytes in the spleen.Keywords Spleen, Malaria, P. falciparum, P. vivax, spleen, reticulocyte.
"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leily Trianty
"Proses invasi Plasmodium falciparum ke dalam sel darah merah merupakan tahapan penting pada infeksi malaria. Proses ini sangat kompleks melibatkan interaksi antara protein ligan pada permukaan merozoit parasit dengan reseptor permukaan pada sel darah merah inang. Reseptor sel darah merah yang digunakan pada saat invasi parasit P. falciparum diidentifikasi berdasarkan sensitivitasnya terhadap enzim neuraminidase (N), tripsin (T) dan kimotripsin (K). Penelitian ini dilakukan pada 69 darah pasien yang terinfeksi P. falciparum yang dikultur secara ex vivo secara langsung di laboratorium di Timika. Sel darah donor yang digunakan untuk uji invasi sebelumnya diberi perlakuan dengan 50 mU/ml neuraminidase, 1 mg/ml tripsin, atau 1 mg/ml kimotripsin. Kami mengidentifikasi 8 pola invasi parasit malaria dengan tipe terbanyak yang ditemukan adalah tipe A yang resistan terhadap ketiga perlakuan enzim (NrTrKr; 28,99%) dan tipe B (NsTsKr; 21,74%). Selain itu dilakukan pula analisis untuk mengetahui ekspresi relatif protein kelompok Duffy Binding Ligand (DBL) dan Reticulocytes Homolog (Rh) yang berperan pada proses invasi dengan mendeteksi ekspresi protein tersebut dari RNA yang disintesis menjadi cDNA yang diisolasi pada stadium schizon dari masing-masing isolat klinis. Protein kelompok DBL yang dianalisis adalah EBA-140, 175, 181 sedangkan dari kelompok Rh adalah Rh-1, 2a, dan 2b. Hasil analisis kuantitatif dengan real time reverse transcription PCR menunjukkan bahwa protein EBA-140, Rh-1 dan EBA-175 merupakan tiga protein ligan P. falciparum yang paling umum ditemukan pada isolat klinis parasit malaria di Timika, Papua. Variasi genetik sel darah merah seperti Southeast Asian Ovalocytosis (SAO), Gerbich negatif, dan varian hemoglobin (HbE) tidak ditemukan pengaruhnya pada proses invasi pada penelitian ini. Informasi yang dihasilkan pada penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukkan untuk pengembangan vaksin malaria berbasis hambatan invasi parasit ke dalam sel darah merah.

Plasmodium falciparum invasion is a complex process involving several parasite ligands and their receptors expressed on the red blood cell surface. We reported various receptors used by the parasite ligands during their invasion based on their sensitivity to neuraminidase (N), trypsin (T) or chymotrypsin (C). Most field isolates in Timika invaded red blood cells through type A receptor that was resistant to all enzyme treatments (NrTrCr; 28,99%) and type B that was sensitive to neuraminidase and trypsin (NsTsCr; 21,74%). The expression of two invasion ligands; Plasmodium falciparum Duffy binding ligand (PfDBL) and P. falciparum reticulocyte homolog (PfRh) were quantified from the schizonts stage of each isolate. We employed quantitative real-time reverse-transcription polymerase chain reaction (QRT-RT-PCR) to detect the expression of PfDBL family including EBA-140, EBA-175 and EBL-181 and PfRh genes such as Rh-1, Rh-2a, Rh-2b. We demonstrated thatEBA-140, Rh-1 and EBA-175 werethe major invasion ligands expressed in P. falciparum of Timikan isolates. The presence of red cell polymorphisms including the Southeast Asian Ovalocytosis (SAO), Gerbich negativity, and variant hemoglobin (HbE) as detected by PCR was not found to affect parasite invasion. The present study strengthens the support to include malaria invasion proteins into the development of malaria vaccine platform."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fauzi
"P. falciparum, salah satu parasit penyebab malaria, melekat pada plasenta dan menyebabkan kehamilan malnutrisi. Dampak buruknya ialah BBLR dan pemrograman janin yang meningkatkan risiko penyakit degeneratif di kemudian hari. Plasenta diduga akan beradaptasi terhadap kondisi malnutrisi dengan meningkatkan jumlah salinan mtDNA. Polimorfisme T16189C dilaporkan berasosiasi dengan jumlah salinan mtDNA, BBLR, dan penyakit degeneratif. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui asosiasi antara jumlah salinan mtDNA, berat lahir, dan polimorfisme T16189C di Timika, Papua, yang merupakan daerah endemik malaria. Jumlah salinan mtDNA diestimasi dengan metode qRT-PCR, sedangkan polimorfisme T16189C dideteksi dengan metode PCR-RFLP. Hasil analisis pada 52 sampel plasenta terinfeksi P. falciparum menunjukkan indikasi awal peningkatan rasio mtDNA terhadap berat lahir (r = 0,09, p = 0,521). Korelasi mtDNA dengan berat lahir ditemukan lebih kuat pada multigravida (r = 0,235) dibandingkan primigravida (r < 0,001). Diduga adaptasi berupa peningkatan rasio mtDNA dipengaruhi secara antagonis oleh komplikasi infeksi malaria. Frekuensi T16189C ditemukan pada 15 dari 126 sampel (12%). Tidak ditemukan asosiasi antara T16189C dengan berat lahir (p =0,57). Hal tersebut karena pengaruh T16189C tertutupi oleh infeksi malaria dan asupan nutrisi. T16189C ditemukan tidak berasosiasi dengan jumlah salinan mtDNA, namun wild-type T (r = 0,08) terindikasi berkorelasi lebih kuat dengan peningkatan mtDNA dibandingkan varian C (r = 0,01). Diperlukan jumlah sampel yang lebih banyak dan kontrol bebas infeksi malaria untuk studi selanjutnya.

Malaria parasite, P. falciparum, has the properties to sequester in the placenta, consequently cause malnutrition in pregnancy. It is suggested that the adverse effects are LBW and fetal programming leading to degenerative diseases in later life. It is hypothesized that placenta will adapt with malnutrition by increasing mtDNA copy number. T16189C is associated with mtDNA copy number, LBW, and degenerative diseases. The aim of this study was to elucidate the association between mtDNA copy number, birth weight, and T16189C in Timika, Papua, which enlisted as malaria endemic region. MtDNA copy number was determined using qRT-PCR, while T16189C polymorphism is detected using PCR-RFLP. Analysis of 52 falciparum-infected placenta samples indicated that mtDNA ratio increased proportionally with birth weight (r = 0,09, p = 0,521). Stronger correlation was found in multigravidae as compared to primigravidae, suggesting placental adaptation by increasing mtDNA copy number was influenced antagonistically by malaria infections. T16189C was detected in 15 of 126 samples (12%) but no association was found between T16189C and birth weight (p = 0,57). The presence of confounding factors, such as malaria infection and nutrition supply, might masked the effect of T16189C. The result showed no association between T16189C and mtDNA copy number, even though wild-type T (r = 0,08) showed stronger correlation with mtDNA copy number than variant C (r = 0,01). More samples and uninfected control are needed in futher study."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S52841
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Resisten klorokain merupakan masalah penanggulangan malaria di Indonesia terutama di Papua."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
H. Siswantoto
"Resisten klorokuin merupakan masalah penanggulangan malaria di Indonesia, terutama di Papua. DaIam rangka menilai efikasi pengobatan malaria yang tersedia di Timika, Papua, telah dilakukan uji pengobatan klorokuin dan atan fanpa sulfadoksin-pirimetamin. Pasien dengan malaria Plasmodium falciparum, P. vivax, P. ovale atau P. malariae tanpa komplikasi ditkulkan datum stiuli dan diberikan obat klorokuin plus sulfadoksin-pirimetamin (malaria falsiparum) afau klorokuin (malaria non-falsipanim) dengan pengawasan ininum obat. Selanjutnya pasien dipantau selama 28 sampai 42 hari. Pasien yang tidak sembuh akan diobali ulang dengan kina dan atau tanpa doksisiklin. Sebanyak 207 pasien diikutkan dalam studi (88 P. falciparum, 40 P. vivax, 15 campuran P. falciparum dan P. vivax, 50 P. malariae dan 14 P. ovale). Kegagalan pengobatan dini ditemukan 4 dan 86 pasien (5%) dengan malaria falciparum, 6 dari 37 pasien (16%) dengan malaria vivaks dan tidak dijumpai pada jenis infeksi yang laiimya. Kegagalan pengobatan pada hari ke-28 untuk P. vivax sebanyak 22 dart 30 pasien (73%) dengan konsentrasi klorokuin daiain plasma lebih linggi dari konsentrasi efektif minimal (Minimum Effective Concentration/MEC>15ng/inl). Setelali dikoreksi dari adanya infeksi yang baru, angka kegagalan pengobatan kasep pada hari ke-42 untuk malaria falciparum 48%[95%:CI 31-65] dan 61 % di antaranya dengan konsentrasi klorokuin lebih dari 30ng/ml. Pasien yang tidak sembuh diberikan pengobatan itiang dengan kina dan afau lanpa doksisiklin tanpa pengawasan mimtm obat. Angka kegagalan pengobatan ulang tersebut sebesar 48%{95%Cl:3I-65J pada infeksi P. falciparum dan 70%[95CI:37-100] pada infeksi P. vivax. Kegagalan pengobatan tidak ditemukan pada infeksi P. malariae atau P. ovale dengan species yang sama setelah dipantau selama 28 hari. Di Papua, terdapat prevalensi resistensi obat yang tinggi untuk malaria P. falciparum dan P. vivax dengan pengobalan yang tersedia (klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin). Klorokuin masih memiliki efikasi yang baik pada P. ovale dan P. malariae. (MedJ Indones 2006; 15:251-8)

Chloroquine resistant malaria is a serious problem in Indonesia particularly in Papua. A trial of the existing antimalarial drugs was conducted in Timika, Papua. The objective of the study wax to determine the efficacy ofcloroquine (CQ) +. sulfadoxine-pyri/nethamine (SP). Patients with uncomplicated malaria due to Plasmodium falciparum, P. vivax, P. ovale or P. malariae were enrolled and treated with supervised CQ+SP (P. falciparum) or CQ (non-P. falciparum). Patients were followed for 28-42 days. Patients failing thernpv were retreated with unstipen'ised quinine+tioxycycline. 207 patients were enrolled in the studv (88 P. falciparum, 40 P. vivax, 15 mixed infections, 50 P. malariae and 14 P. ovale). Early treatment failures occurred in 4 of 86 (5%) patients with falciparum malaria. 6 of 37 (16%) patients with vivax malaria and none of those with P. ovale or P. malariae infection.1,'. The failure rate by day 28 for P. vivax was 22 of 30 (73%) patients, with all recurrences occurring in the presence of plasma chloroquine concentration above the minimum effective concentration (MEC>15ng/ml). After correcting for re infect ions the dav 42 recrudescence rate for falciparum malaria was 48% 195%CI:31-65I and in 61% of cases this was in the presence of chloroquine levels above 30 ng/ml. Retreatment with unsiipervised quinine+tloxycycline resulted in further recurrence of malaria in 48% [95%CI:31-65] of P. falciparum infections and 70% {95%Cl:37-100] of P. vivax infections. None of the patients with P. ovale or P. malariae had treatment failures within 28 da\s. There is a high prevalence of antimalarial drug resistance of P. falciparum and P. vivax to the existing antimalarial drugs. However chloroquine retains adequate efficacy against P. ovale and P. malariae in Papua. (Med J Indones 2006; 15:251-8)"
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-4-OctDec2006-251
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Djunaedi
"ABSTRACT
Penelitian ini menggunakan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 untuk mengetahui hubungan perilaku pencegahan malaria dengan kejadian malaria di Provinsi Papua. Desain penelitian ini adalah potong lintang, dengan besar sampel sebanyak 1.660 orang. Hubungan ditentukan dengan analisis multiple logistic regression. Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat yang tidak menggunakan kelambu memiliki risiko 0,61 lebih kecil untuk mengalami malaria setelah dikontrol oleh variabel pemasangan kasa nyamuk, tempat perindukan nyamuk dan daerah pantai, risiko terjadinya malaria pada orang yang tidak memasang kasa nyamuk dan tinggal jauh dari perindukan nyamuk sebesar 2,6 kali lebih besar daripada mereka yang memasang kasa nyamuk dan tinggal jauh dari perindukan nyamuk. Masyarakat yang tinggal di daerah pantai mempunyai risiko terkena malaria 2,3 kali lebih besar dibandingkan masyarakat yang tidak tinggal di daerah pantai. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat efektifitas penggunaan kelambu, dan pengendalian lingkungan untuk menurunkan kejadian malaria.

ABSTRACT
This study used data Riskesdas 2010 to determine the relationship of malaria prevention behaviors with malaria incidens in Papua Province. The study design was cross-sectional, with a sample size of 1,660 people. The relationship is determined by multiple logistic regression analysis. The results showed that people used mosquito nets to sleep have a 0.61 lower risk for experiencing malaria, once controlled by the variable mosquito netting at every ventilation, mosquito breeding places and coastal areas, House ventilation that doesn?t use mosquito nets and stay away from mosquito breeding places have risk of malaria incidens 2.6 times greater compare house who used mosquito netting and stay away from mosquito breeding. People living in coastal areas at risk of malaria 2.3 times more likely than people who do not live in coastal areas. Further research needs to be done to see the effectiveness of the use of bed nets, and environmental control to reduce the incidence of malaria.
"
2014
S56497
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Pekey
"ABSTRAK
Latar Belakang : Infeksi malaria menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang cukup signifikan pada semua usia terutama kelompok berisiko tinggi. Golongan darah ABO dikatakan dapat mempengaruhi berat ringannya malaria namun pada etnik dan geografis tertentu dapat berbeda. Meskipun beberapa penelitian terakhir mengatakan terdapat hubungan namun terdapat beberapa penelitian yang tidak menemukan hubungan tersebut termasuk di Papua New Guinea yang memiliki karakteristik etnik dan alam yang mirip dengan Papua. Selain itu pada beberapa studi sebelumnya jumlah sampel yang digunakan hanya sedikit, terdapat hasil statistik yang tidak bermakna, melibatkan sampel anak serta beberapa hanya dilakukan berbasis laboratorium Laboratory base . Pada penelitian ini kami menggunakan sampel yang lebih banyak, tidak melibatkan sampel anak dan penelitian dilakukan berbasis rumah sakit Hospital base . Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan di RSUD Dok II Jayapura Indonesia dari September hingga November 2016. Sebanyak 210 subjek malaria yang memenuhi kriteria dikategorikan menjadi golongan darah O dan Non O serta malaria berat dan malaria ringan berdasarkan kriteria WHO. Data yang diperoleh diolah menggunakan SPSS versi 17 dengan melakukan analisis statistik kai-kuadrat dan menghitung rasio prevalensi serta interval kepercayaan. Hasil Penelitian : Dari 210 pasien, golongan darah non-O 80 pasien 38,2 dan golongan darah O 130 pasien 61,9 . Malaria berat pada golongan darah Non O sebanyak 13 kasus 16,3 dan Golongan darah O sebanyak 9 kasus 6,9 . Terdapat perbedaan prevalensi kejadian malaria berat yang bermakna antara kedua golongan darah p = 0,032 dengan Prevalensi rasio PR 2,4 IK95 : 1,06-6,42 . Golongan darah B terbanyak mengalami malaria berat p = 0,038 dan IK95 1,06-6,42 . Prevalensi malaria berat golongan darah non O pada kedua etnik lebih tinggi terutama pada etnik non Papua non Papua, PR 3,8 IK95 0,84-17,9, p=0,143 dibandingkan Papua, PR 1,83 IK 95 0,56-5,9, p=0,356 . Kesimpulan : Terdapat hubungan bermakna golongan darah ABO dengan berat ringanya malaria. Malaria berat lebih banyak terjadi pada Golongan darah Non O terutama golongan darah B.

ABSTRACT
Background Malaria infection has caused a significant morbidity and mortality in all ages, especially in high risk groups. Various factors, including ABO blood type, can influence the severity of malaria to certain ethnic group and location. In terms of ABO blood types, several studies showed their relationship with severity of malaria. Others, such as study on Papua New Guinea which has the same characteristic with Papua Province in Indonesia, showed a contrary result. However, these studies were considered invalid due to the usage of smaller samples, with no statistical differences results, only included children and laboratory based studies. In our study, we included more samples, not involving children and did a hospital based studies. Methods This was a cross sectional study in Dok II Jayapura Hospital, Indonesia, from September to November 2016. 210 subjects were diagnosed with malaria, clinically classified according to WHO criteria and underwent ABO blood type examination. Blood type was categorized into O and Non O groups. Malaria severity was classified into severe and mild malaria. Results Out of 210 patients, 80 38.2 and 130 61.9 were Non O and O blood types respectively. Severe malaria was commonly found in Non O compare to O blood type 16.3 vs 6.9 prevalence ratio PR 2.4 95 CI 1.06 6.42 p 0.032 . Moreover, group B blood type had the highest incidence of severe malaria p 0.038 95 CI 1.06 6.42 . In addition, Non O blood group in both Papuan and Non Papuan races had a greater prevalence of severe malaria Papuan, PR 1.83, 95 CI 0.56 5.9 p 0.356, compared with Non Papuan, PR 3.8, 95 CI 0.84 17.9, p 0.143 .Conclusion There is a significant relationship between ABO blood group and the severity of malaria in Papua. Severe malaria was more common in Non O, especially type B blood group. "
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rossa Avrina
"[ABSTRAK
Tingkat bebas parasit dini merupakan gambaran fungsi dari aktivitas artemisinin. Beberapa faktor yang dianggap berperan terhadap bebas parasit hari pertama setelah pengobatan salah satunya adalah kepadatan parasit sebelum pengobatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepadatan parasit sebelum pengobatan dengan bebas parasit pada hari pertama setelah pengobatan dihidroartemisinin-piperakuin pada anak dengan malaria tanpa komplikasi di enam propinsi di Indonesia. Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif yang dianalisis dengan cox regression dan menggunakan data sekunder efikasi dan keamanan obat dihidroartemisinin-piperakuin (DP) di enam propinsi di Indonesia. Kejadian tidak bebas parasit pada penelitian ini sebesar 31,74%. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara kepadatan parasit sebelum pengobatan dengan kejadian bebas parasit setelah hari pertama setelah pengobatan, dimana kepadatan parasit >20000/μl mempunyai risiko tidak bebas parasit sebesar 2,327 kali (CI 95% 1,418-3,820, p-value = 0,001) dibandingkan kepadatan parasit <4000/μl dan kepadatan parasit 4000-20000/μl berisiko tidak bebas parasit sebesar 1,669 kali (CI 95% 1,099-2,533, p-value = 0,016) dibandingkan kepadatan parasit <4000/μl setelah dikendalikan faktor jenis parasit dan wilayah. Kepadatan parasit (μl) dapat dijadikan pemeriksaan standar penderita malaria dan penilaian pengobatan.

ABSTRACT
Early parasite clearance is the function of artemisinin?s activity. One of the factors that are related to parasite clearance on the first day after treatment is parasite density pre treatment. The aim of this study was to determine the relationship between parasite density pre treatment and parasite clearance on first day after treatment in children with uncomplicated malaria at six provinces in Indonesia. The design of this study was retrospective cohort and analyzed with cox regression and used the secondary data of efficacy and safety of dihydroartemisinin-piperaquine (DP) at six provinces in Indonesia. The proportion of uncleared parasite in this study was 31,74%. There was statically relationship between parasite density pre treatment and parasite clearance on the first day after treatment, where parasite density >20000/μl had uncleared parasite? risk 2,327 times (CI 95% 1,418-3,820, p-value = 0,001) more than parasite density <4000/μl and parasite density 4000-20000/μl had uncleared parasite? risk 1,669 times (CI 95% 1,099-2,533, p-value = 0,016) more than parasite density <4000/μl after controlled by Plasmodium species and region. Parasite density (μl) can be used as standard tests for patients with malaria and treatment evalution., Early parasite clearance is the function of artemisinin’s activity. One of the factors that are related to parasite clearance on the first day after treatment is parasite density pre treatment. The aim of this study was to determine the relationship between parasite density pre treatment and parasite clearance on first day after treatment in children with uncomplicated malaria at six provinces in Indonesia. The design of this study was retrospective cohort and analyzed with cox regression and used the secondary data of efficacy and safety of dihydroartemisinin-piperaquine (DP) at six provinces in Indonesia. The proportion of uncleared parasite in this study was 31,74%. There was statically relationship between parasite density pre treatment and parasite clearance on the first day after treatment, where parasite density >20000/μl had uncleared parasite’ risk 2,327 times (CI 95% 1,418-3,820, p-value = 0,001) more than parasite density <4000/μl and parasite density 4000-20000/μl had uncleared parasite’ risk 1,669 times (CI 95% 1,099-2,533, p-value = 0,016) more than parasite density <4000/μl after controlled by Plasmodium species and region. Parasite density (μl) can be used as standard tests for patients with malaria and treatment evalution.]"
2015
T44227
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evy Beatrix Senduk
"Malaria masih menjadi masalah di Indonesia termasuk di Sulawesi Utara dengan Annual parasite incidence(API) 0,35. Parasitemia dapat menyebabkan perubahan profil hematologi.Adanya asosiasi antara parasitemia dengan profil hematologi,sehingga kegunaannya sebagai indikator pemeriksaan laboratorium malaria perlu diteliti.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil hematologi (Hb, hitung leukosit dan trombosit) pada penderita malaria rawat inap di daerah hipoendemis ) dan hubungannya dengan hitung parasit. Penelitian ini potong lintang menggunakan data rekam medis pasien malaria rawat inap dari tiga RS di kota Manado, kota Bitung and kab Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara yang positif P. vivax atau P. falciparum dan memiliki data hematologi serta hitung parasit. Analisis data dan asosiasi menggunakan uji statistik bivariat pada perangkat lunak SPSS. Sebanyak 65 rekam medis pasien malaria berusia 1 bulan – 67 tahun dianalisis dan didapatkan 28 pasien (43,1%) terinfeksi Plasmodinum falciparum, 37 pasien (56,9%) terinfeksi P. vivax; pasien anak terdiri dari 10.8% balita dan 9,2% anak SD yang tinggal di kota Manado, Bitung dan kab Minahasa tenggara. Kelainan hematologi yang dominan adalah trombositopeni (90,3%), diikuti oleh anemia (61,6%). Sedangkan hitung lekosit umumnya normal, 15,4% lekopeni dan 12,3% lekositosis. Penderita malaria falciparum mengalami trombositopenia sedang-berat sedangkan malaria vivax ringan-berat, perbedaan ini bermakna pada uji statistik (p=0.034, p<0.05). Anemia yang terjadi pada subyek bersifat ringan sampai berat dan tidak ada perbedaan bermakna antara malaria falciparum dan vivax (p=0,278, p>0,05). Pada penghitungan parasitemia, 64,6% pasien dengan hitung parasit sedang, proporsi parasitemia sedang lebih banyak pada penderita malaria vivax dibanding malaria falciparum (78,4% versus 46,4).Pada P. vivax kadar trombosit berbanding terbalik dengan hitung parasit walaupun secara statistik tidak signifikan. Pada P. vivax kadar Hb dan leukosit tidak ada perbandingan terbalik dengan hitung parasit.Pada Plasmodinum falciparum kadar Hb,trombosit dan leukosit tidak ada perbandingan terbalik dengan hitung parasit.Tombositopenia merupakan parameter hematologi yang dapat menjadi indicator untuk penegakkan diagnosis malaria lebih lanjut.

Malaria is still a problem in Indonesia, including in North Sulawesi with an annual parasite incidence (API) of 0.35. Parasitemia can cause changes in the hematological profile. There is an association between parasitemia and the hematological profile, so its use as an indicator for malaria laboratory tests needs to be studied. This research aims to determine the hematological profile (Hb, leukocyte and platelet count) in hospitalized malaria sufferers in hypoendemic areas) and relationship with parasite count.This cross- sectional study used medical record data from inpatient malaria patients from three hospitals in Manado city, Bitung city and Southeast Minahasa district, North Sulawesi who were positive for P. vivax or P. falciparum and had hematology data and parasite counts. Data and association analysis used bivariate statistical tests in SPSS software. A total of 65 medical records of malaria patients aged 1 month – 67 years were analyzed and it was found that 28 patients (43.1%) were infected with Plasmodinum falciparum, 37 patients (56.9%) were infected with P. vivax; Pediatric patients consist of 10.8% toddlers and 9.2% elementary school children living in the cities of Manado, Bitung and southeast Minahasa district. The predominant hematological disorder was thrombocytopenia (90.3%), followed by anemia (61.6%). Meanwhile, the leukocyte count was generally normal, 15.4% leukopenia and 12.3% leukocytosis. Patients with falciparum malaria experienced moderate-severe thrombocytopenia while vivax malaria had mild-severe, this difference was significant in statistical tests (p=0.034, p<0.05). The anemia that occurred in the subjects was mild to severe and there was no significant difference between falciparum and vivax malaria (p=0.278, p>0.05). In calculating parasitemia, 64.6% of patients had a moderate parasitemia count, the proportion of moderate parasitemia was greater in vivax malaria sufferers than falciparum malaria (78.4% versus 46.4). statistically insignificant. In P. vivax there is no inverse comparison of Hb and leukocyte levels with the parasite count. In Plasmodinum falciparum there is no inverse comparison of the Hb, platelet and leukocyte levels with the parasite count. Thrombocytopenia is a hematological parameter that can be an indicator for further diagnosis of malaria."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Alfian Zainuddin
"Indonesia masih menjadi negara yang belum terbebas dari malaria. Terdapat kesenjangan kasus malaria di Indonesia dengan prevalensi tertinggi di Provinsi Papua, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model manajemen malaria berbasis wilayah yang nantinya dikembangkan menjadi algoritma manajemen malaria berbasis wilayah. Desain penelitian ini adalah desain penelitian analitik yang menggabungkan studi ekologi dan studi potong lintang. Sampel diambil dari empat desa yang berdekatan di Kecamatan Kodi Balaghar Kabupaten Sumba Barat Daya Provinsi Nusa Tenggara Timur yang memiliki perbedaan prevalensi malaria dan perbedaan ekosistem yaitu Desa Mata Kapore, Desa Waikarara, Desa Kahale dan Desa Karang Indah.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat variabilitas dinamika transmisi di antara keempat desa tersebut yaitu jenis parasit, densitas parasit, kepadatan nyamuk, perilaku pemajanan, jarak rumah dari tempat perindukan nyamuk. Terdapat variabilitas respons imun di antara keempat desa yaitu kadar IgG dan alel gen MSP2. Pola persebaran kasus dan alel gen MSP2 di masing-masing desa memiliki karakteristik tertentu. Ada hubungan antara jarak rumah dari tempat perindukan nyamuk (p=0,041) dan alel gen MSP2 (p=0,032) dengan densitas parasit. Model akhir menunjukkan alel gen MSP2 memiliki hubungan dengan densitas parasit.
Penelitian ini menyarankan algoritma manajemen malaria berbasis wilayah yang memuat manajemen kasus, manajemen faktor risiko, integrasi dan keterlibatan lintas sektor.

Indonesia is not malaria-free country. There is a gap of malaria cases in Indonesia with the highest prevalence in the province of Papua, West Papua and East Nusa Tenggara.
This study aims to obtain spatial management of malaria model which will be developed into an spatial management of malaria algorithms. This study design is an analytic study designs that combines ecological study and cross-sectional study. Samples taken from four adjacent villages in the district of Kodi Balaghar Southwest Sumba Regency East Nusa Tenggara Province which have differences in prevalence of malaria and ecosystem diversity. They are Mata Kapore Village, Waikarara Village, Kahale Village and Karang Indah Village.
The results showed there are variabilities in the transmission dynamics among the four villages. The variabilities are the type of parasite, parasite density, density of mosquitoes, behavioral exposure, the distance of house from breeding places. There are variabilities in immune response among the four villages. They are IgG level and MSP2 gene alleles. Distribution patterns of cases distributif and MSP2 gene alleles in each village have certain characteristics. There is a association between the distance of house from breeding place (p=0,041) and MSP2 gene alleles (p=0,032) with parasite density. The final model shows MSP2 gene alleles have a relationship with parasit density.
This study suggested spatial management of malaria algorithm that includes case management, risk factor management, integration and cross-sector involvement.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
D2101
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>