Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153740 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Moningka, Yushak
"Penelitian ini membahas mengenai perbandingan respon antara struktur fixed base dan struktur yang menggunakan base isolation High Damping Rubber Bearing yang dianalisa menggunakan analisa riwayat waktu nonlinear. Struktur fixed base didesain dengan Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus SRPMK dengan R=8, sedangkan struktur dengan base isolation didesain menggunakan Sistem Rangka Pemikul Momen Biasa SRPMB dengan R=2.
Dari hasil penelitian menunjukkan penggunaan base isolation dapat meningkatkan periode getar. Dengan menggunakan base isolation, dapat mereduksi gaya geser, displacement, kecepatan, dan percepatan pada struktur atas jika dibandingkan dengan struktur fixed base. Struktur yang menggunakan base isolation memiliki respon yang lebih baik dan sendi ndash; sendi plastis yang terbentuk lebih sedikit dari struktur fixed base. Dari kurva histeretik isolator yang dihasilkan menunjukkan bahwa pada isolator yang digunakan tidak mengalami degradasi kekakuan dan degradasi kekuatan.

This study discusses the response comparison between fixed base structure and base isolation structure High Damping Rubber Bearing using nonlinear time history analysis. Fixed base structure is designed with Special Moment Resisting Frame SMRF with R 8, while structure with base isolation is designed with Ordinary Moment Resisting Frame OMRF with R 2.
The results shows that the use of base isolation can increase the natural period of structure. By using base isolation, it can reduce the shear forces, displacement, velocity, and acceleration on the upper structure if compared with fixed base structure. Structure with base isolation has better response and the plastic hinges that formed are lesser than conventional structure. From the hysteretic curve of isolator shows that there is no stiffness degradation and strength degradation.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
T49658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendro Hendro
"Denah L merupakan salah satu denah asimetris tipikal yang sering digunakan berdasarkan pertimbangan sisi arsitektural dan keterbatasan lahan. Namun, terdapat beberapa masalah yang muncul akibat dari penggunaan bentuk denah tersebut terkait dengan kerusakan struktural akibat gempa bumi. Di era teknologi sekarang ini, rekayasa seismik telah menemukan suatu inovasi teknologi dalam menyelesaikan permasalahan struktur konvensional, yang dikenal dengan istilah isolasi dasar. Sistem isolasi dasar telah menjadi ciri utama desain struktural dalam dekade terakhir ini. Dalam penelitian ini, objek yang digunakan berupa isolator jenis lead rubber bearing LRB.
Hasil penelitian ini akan membahas perbandingan respon global, rasio tulangan, dan tebal ekivalen beton pada kedua model, baik pada model konvensional maupun model berisolasi dasar. Untuk mencapai objektif penelitian, akan digunakan variasi panjang sayap denah L dan ketinggian bangunan. Sebanyak 18 jenis model diperuntukkan sebagai gedung perkantoran mulai dari 5 hingga 7 tingkat; setengah dari jumlah tersebut akan didesain secara sistem ganda berbasis DBE Design Basis Earthquake dan lainnya akan didesain secara distribusi linier gaya vertikal berbasis target spektrum MCE Maximum Considered Earthquake kota Jakarta kasus tanah lunak. Pada akhirnya, respon utama dinamik pada model berisolasi dasar akan diperoleh hasil yang lebih baik dibanding model konvensional. Lebih jauhnya, dengan penggunaan isolasi dasar dapat menunjukkan penghematan terhadap material tulangan dan beton masing ndash; masing berkisar 4-16 dan 3-5.

An 'L' shaped building is one of the typical asymetrical plan being used due to the architectural consideration and limited available area boundaries. However, there are several problems created by these shaped related to structural damage of earthquake. In today rsquo s technological era, seismic engineering has an innovation for thinking advanced technology beyond conventional solutions, called base isolation. Base isolation has become a major feature of structural design in the past decade. In this study, the selected research object is Lead Rubber Bearing LRB .
This paper will focus on comparison the global response, rebar ratio, and equivalent thickness concrete of both conditions, either fixed base or base isolated structures. To compelete this research topic, the variation of length of the wings and building height will be introduced. As many as eighteen models are functioned as office buildings starting form 5 to 7 story tall while half of them are fixed base models designed with dual system in DBE Design Basis Earthquake and others are designed using linear distribution lateral forces in MCE Maximum Considered Earthquake target spectra of Jakarta with soft soil condition. In the end, the dynamic main responses of isolated structure may provide better result compared to fixed base structure. Furthermore, the usage of base isolation could lead to the saving effort of rebar and concrete, 4 16 and 3 5 , respectively.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
T50873
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Makalah ini menyampaikan beberapa analisa tentang perubahan sifat dan kerusakan struktur
beton bertulang pada suhu yang sangat tinggi, akibat terjadinya kebakaran, yang dilanjutkan
dengan beberapa cara pengamatan praktis di lapangan, untuk mengetahui tingkat degradasi
kekuatan struktur tersebut. Sebagai penunjang analisa, disampaikan juga beberapa catatan
dari hasil penelitian yang dilakukan di CSTB, Paris, mengenai analisa suhu pada waktu
kebakaran, dan kerusakan material struktur beton bertulang sesudah kebakaran."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1997
01/Sup/a-1
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum RI, 2002
690.1 IND m X
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum R.I., 2002
690.1 IND m VII
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum RI, 2002
690.1 IND m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Rachmanto Wibowo
"Perilaku struktur dapat berubah akibat peristiwa kebakaran yang menimpa struktur tersebut. Kebakaran menyebabkan perubahan suhu yang besar dalam waktu yang relatif singkat pada elemen-elemen struktur dan mengakibatkan perubahan kekuatan. Kekuatan material sesudah kebakaran akan berbeda tergantung pada besarnya perubahan suhu dan selang waktu terjadninya perubahan suhu. Akibat kebakaran juga terjadi pemuaian lebih besar pada baja dibanding pada beton sehingga lendutan baja lebih besar dari lendutan beton. Selain itu juga menyebabkan pada elemen struktur timbul retak-retak dan kehancuran lokal. Gedung Dekanat FTUI adalah sebuah struktur beton 3 lantai dan atap rangka baja dengan menggunakan beton K-225. Musibah kebakaran yang terjadi pada tanggal 5 Mei 2001 selama 30 menit menyebabkan gedung Dekanat FTUI harus dibangun kembali denganmemanfaatkan kekuatan dari struktur yang masih ada. Pembangunan kembali gedung ini ternyata menimbulkan perubahan tata guna ruang sehingga terjadi perubahan beban yang bekerja pada struktur. Selain itu terdapat perubahan kuat tekan beton dan lendutan pada batang baja di beberapa lokasi. Kondisi ini mengakibatkan pembangunang gedung Dekanat FTUI harus dirancang ulang dengan berbagai analisa. Tugas akhir ini bertujuan meneliti perilaku struktur dengan berbagai analisa. Analisa linier dilakukan untuk mengevaluasi kekuatan struktur dengan strength design dan analisa secara non-linier dengan push-over analysis dengan memperhatikan sifat non-linier beton bertulang. Analisa sterngth design dilakukan dengan bantuan program Structure Analysis Program 2000 (SAP 2000) sedangkan analisa pushover dilakukan dengan program Dynamic Response Analisys of Inelastic Building Structure 2DX (DRAIN 2DX)."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2002
S34723
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sobari
"ABSTRAK
Perhatian terhadap polusi udara ruangan meningkat karena adanya fakta bahwa polusi yang terjadi di dalam ruangan tidak mudah untuk disebar atau diencerkan, sehingga polusi yang terjadi dapat lebih besar dibanding dengan polusi yang terjadi di udara bebas (outdoor). Faktor lain yang turut mendukung meningkatnya perhatian terhadap polusi udara ruangan adalah kenyataan bahwa manusia menghabiskan waktunya 93% dalam ruangan, 5% dihabiskan dalam perjalanan, dan hanya 2% dihabiskan di udara bebas (Nriagu, 1992).
Faktor panting lain yang menyebabkan menurunnya kualitas udara ruangan adalah karena adanya sifat toksis kontaminan yang ada, baik berupa gas maupun partikulat kecil. Kontaminan toksis ini dapat berasal dari materi penghias ruangan, furnitur, peralatan kantor, adanya kebocoran senyawa kimia yang berbahaya, adanya kontaminasi pada bagian gedung, atau dari luar gedung, hasil pembakaran seperti asap rokok, pemakaian gas (asap dapur), adanya bioefluen dari manusia, dan materi dari produk-produk perawatan gedung.
Environmental Protection Agency (1988) menyatakan bahwa, Sick Building Syndrome (SBS) merupakan fenomena yang berkaitan dengan masalah kesehatan dan kenyamanan bekerja atau berada di dalam sebuah gedung. Istilah SBS biasanya digunakan dalam hubungannya dengan masalah-masalah yang terkait dengan polusi udara ruangan.
Rendahnya kualitas udara ruangan yang menimbulkan fenomena SBS disebabkan oleh sejumlah faktor utama yang saling berinteraksi, yaitu : a. ventilasi udara yang tidak baik, b. adanya polusi yang terjadi di dalam gedung, c. kontaminasi dari luar gedung, serta d. kontaminasi biologi. Faktor-faktor tersebut berinteraksi dengan kondisi lingkungan fisis seperti suhu yang kurang sesuai, kelembaban yang tidak memadai, dan kurangnya penerangan (Baechler et al, 1991).
Sebuah gedung dikatakan sakit tergantung kepada prevalensi SBS pada populasi penghuni gedung tersebut. Menurut WHO, keluhan-keluhan pada kasus SBS sangat luas, yaitu meliputi iritasi mata, hidung tenggorokan, saluran pernafasan, reaksi pada kulit, reaksi hipersensitivitas yang kurang spesifik, kelelahan mental, sakit kepala, mual, dan pusing-pusing (Lenvik, 1993; Aditama, 1992). Sedangkan Jackson et al (1991), menyatakan bahwa keluhan-keluhan SBS sangat samar, dan sering diabaikan karena dianggap sebagai pilek atau flu biasa.
Prevalensi SBS dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan juga faktor individu. Faktor-faktor lingkungan adalah kondisi ruangan yang bersifat fisis seperti kelembaban, suhu, dan pencahayaan, atau karena adanya materi toksis, adanya partikulat, serta kondisi mikrobiologis ruangan. Faktor-faktor individu yang dapat mempengaruhi besarnya angka prevalensi SBS antara lain adalah umur, seks, pendidikan, status gizi, status kesehatan, ada tidaknya penyakit alergi, kebiasaan merokok, jenis pekerjaan dan lain-lain (Baechler et al, 1991; Lenvik, 1993).
Gedung Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII) Jakarta merupakan salah satu gedung perkantoran di Jalan Jenderal Gatot Subroto yang memakai sistem pengatur udara (AC) sentral. Gedung perkantoran berlantai lima ini pada awal bulan Agustus tahun 1994 mulai mengalami pekerjaan renovasi struktur, serta pergantian komponen-komponen gedung yang perlu.
Dengan adanya kegiatan renovasi, lingkungan dalam gedung PDII mengalami perubahan fisik yang cukup besar. Pada pertengahan tahun 1995, seluruh pegawai PDII Jakarta telah mengalami perubahan lingkungan tempat kerja karena mereka menempati ruangan-ruangan yang telah selesai direnovasi atau ruangan-ruangan darurat.
Para pegawai tidak bisa lepas dari gangguan yang timbul akibat kegiatan renovasi tersebut. Beberapa keluhan berupa gangguan kenyamanan dan kesehatan di lingkungan kerja pernah terjadi. Di samping itu, kondisi udara AC juga pernah dikeluhkan oleh para pegawai. Namun demikian, angka kejadian timbulnya kesakitan dan keluhan-keluhan akibat kondisi ruang kerja di gedung PDII sampai sekarang belum ada dokumentasi yang jelas.
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui prevalensi SBS yang dialami oleh para pegawai yang bekerja di gedung PDII.
2. Untuk mengetahui apakah prevalensi SBS di gedung PDII mempunyai hubungan dengan karakteristik sosial individu pegawai yang meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan, hipersensitivitas, kebiasaan merokok, kebiasaan olah raga, pola perjalanan, dan kondisi psikososial.
3. Untuk mengetahui apakah prevalensi SBS di gedung PDII mempunyai hubungan dengan faktor-faktor lingkungan tempat kerja yang meliputi tingkat ventilasi, kadar partikulat, kadar C02, kadar NCx, aliran kecepatan udara, kelembaban, dan suhu ruangan.
4. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh faktor-faktor risiko tertentu secara relatif menyebabkan munculnya SBS.
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologik dengan pendekatan cross-sectional untuk mencari hubungan antara faktor risiko dengan prevalensi SBS. Faktor risiko dapat berupa faktor lingkungan dan faktor individu.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan menggunakan kuesioner, dan pengukuran variabel kondisi lingkungan fisik dengan menggunakan alat ukur yang telah ditetapkan. Analisis data yang dilakukan adalah distribusi frekuensi, rasio prevalensi, uji Chi-Square, dan koefisien kontingensi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi SBS di gedung PDII Jakarta adalah sebesar 53,62%. Sedangkan prevalensi SBS sesuai dengan kelompok gejala adalah keluhan pada mata 19,56%, hidung 32,61%, tenggorokan 34,78%, kulit 13,04%, dan umum 39,14%.
Prevalensi SBS mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan jenis kelamin dan kondisi psikososial responden, dan tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan umur, pendidikan, hipersensitivitas, kebiasaan olah raga, kebiasaan merokok, lama perjalanan, dan jenis kendaraan responden.
Prevalensi SBS mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan kelembaban, dan suhu kering ruangan kerja gedung PDII Jakarta, dan mempunyai hubungan yang signifikan dengan kadar partikulat dan kadar CO2 di dalam ruangan kerja gedung PDII Jakarta. Prevalensi SBS tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan tingkat ventilasi, kadar NOx, kecepatan aliran udara, dan suhu basah ruangan gedung PDII Jakarta.
Rasio prevalensi faktor risiko karakteristik sosial responden masing-masing adalah jenis kelamin 1,57, umur 1,18, pendidikan 0,78, status atopi 1,42, kebiasaan olah raga 1,28, kebiasaan merokok 0,70, lama perjalanan 1,02, jenis kendaraan 1,13, dan kondisi psikososial 1,79.
Rasio prevalensi faktor risiko lingkungan fisik masing-masing adalah tingkat ventilasi 1,14, kadar partikulat 1,55, kadar CO02 0,86, kadar NOx 1,46, kelembaban 0,82, kecepatan aliran udara 1,70, suhu kering 1,72, dan suhu basah 1,42,

ABSTRACT
The attention towards indoor air pollution is increasing due to the fact that indoor air pollution is not easy to be diluted. It makes the pollution could be greater indoor than outdoor. Another factor supported that argument was the fact that the people spend their time 93% indoor, 5% traveling, and approximately 2% outdoor (Nriagu, 1992).
The most important factor that caused of decreased indoor air quality is the toxicity of contaminants such as gaseous or particulate form from a variety of sources, including the building materials, furnishings, office equipments and incidental spill of hazardous chemical substances, contaminants generated from other parts of the building or outdoors, tobacco smoke, gas appliances, and human's bioeffluents (Godish, 1991).
Environmental Protection Agency (EPA) declared that Sick Building Syndrome (SBS) refered to health and comfort problems associated with working in a particular building. The term generally applied to problems related to indoor air pollution.The poor indoor air quality that cause SBS phenomenon, may caused by a number of factors, such as : (a) inadequate ventilation; (b) pollution; (c) contamination from outside sources; and (d) biological contamination. These factors will interact with other environmental factors such as temperature, humidity, or lighting (Baechler et al, 1991).
A building will be classified as a sick building on the basis of the prevalence of the symptoms of population in the building. According to WHO, the Sick Building Syndrome (SBS) includes a broad range of symptoms such as eyes, nose, throat, and lower airways irritation, skin reaction, unspecific hypersensitive reactions, mental fatigue, head-ache, nausea, and dizziness (Lenvik, 1993; Aditama, 1992). Jackson et al (1991) described in his paper that SBS were so vague, and it disparaged because it was considered as ordinary flu symptoms.
The prevalence of each SBS can be influenced by several environmental and individual factors. Environmental factors were physical room condition such as humidity, temperature, and lighting, or the content of toxic substance, particulate, and microbiological condition of the room. The individual factors were age, sex, education, nutritional status, health status, allergic condition, smoking habits, job categories, etc. (Baechler et al, 1991; Lenvik, 1993).
Centre for Scientific Documentation and Information (PDII) Building Jakarta has five floors located at J'1. Jenderal Gatot Subroto Jakarta using central air conditioning (AC) system, at early of August 1994 was being renovation and changing of building component. This activity was carried out with office activities remain in that building. At the middle of 1995, all of office workers move to newly renovation room with some of them still worked in the emergency rooms.
Due to this conditions some of office workers complain of discomfort and health problems in the workplace, included the air from AC system. However, the prevalence of sickness and complaints caused by workplace environment condition in PDII building has not been clearly documented.
The objectives of this research :
1. to identify the prevalence of SBS among the office workers in PDII building.
2. to identify the association between SBS and the individual caracteristics of office workers including sex, age, education, hypersensitivity, smoking habits, exercising habits, traveling mode, and psychosocial condition.
3. to identify the association between the prevalence of SBS and workplace environment factors included ventilation rate, respirable suspended particulate, C02, NOx consentration, air flow rate, humidity, and temperature of the room.
4. to identify how far certain risk factors relatively cause SBS.
The study method used is survey, using questionnaire and measurements of physical environmental condition variable using pre-determined measurement tools. Data analysis carried out were frequency distribution, prevalence ratio, Chi-Square test, and Coefficient Contingency.
This was cross-sectional epidemiologic study looking for the associations between risk factors and the prevalence of SBS. The risk factor can be in the form of individual or environmental factors.
The result of the study showed that the prevalence of SBS in PDII building is 53.62%. According to symptom group are 19.56% for eyes; 32.61% for nose, 34.78% for throat, 13.04% for skin symptoms, and 39.14% for general symptoms.
The prevalence of SBS was highly significant in association with sex and psychosocial condition of respondences, and there is no significant association with age, education, hypersensitivity, exercising habits, length of transportation transportation, and the type of responden's vehicle.
The prevalence of SBS was highly significant association with humidity and dry temperature of workplace of PDII building Jakarta, and has significant association with concentration of respirable suspended particulate and CO2 in workplace of PDII building Jakarta.
The prevalence of SBS does not show a significant association with ventilation rate, concentration of NOx, air flow rate, and wet temperature of workplace in PDII building Jakarta.
The prevalence ratio of risk factors from despondence?s social caracteristics respectively : sex 1.57; age 1.18; education 0.78; hypersensitivity 1.42; smoking habits 0.70; exercising habits 1.28; length of transportation 1.02; the type of responden's vehicle 1.13; and psychosocial condition 1.79. The prevalence ratio of risk factors from physical environmental condition respectively ventilation 1.14; concentration of respirable suspended particulate 1.55; concentration of CO2 0.86; concentration of NOx 1.46; air flow rate 1.70, humidity 0.82; dry temperature 1.72; and wet temperature 1.42.
E. Total of References : 45 (1957 - 1995).
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moningka, Yushak
"Penelitian ini membahas mengenai perbandingan desain antara struktur dengan perletakan biasa dengan yang menggunakan base isolation (High Damping Rubber Bearing). Faktor-faktor struktural tersebut adalah metode desain (Strength Based Design dan Performance Based Design), basement, dan pengaruh P-Delta. Struktur dengan perletakan biasa didesain dengan Sistem Rangka Pemikul Momen Biasa (SRPMB) dan Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK), sedangkan struktur dengan base isolation didesain dengan metode Strength Based Design dan Performance Based Design.
Dari hasil penelitian menunjukkan penggunaan base isolation dapat meningkatkan periode getar. Struktur terisolasi dengan metode Strength Based Design dapat mengurangi gaya gempa, displacement, simpangan antar lantai, dan rasio tulangan, dibandingkan dengan struktur SRPMB (konvensional). Pengaruh P-Delta memberikan tambahan gaya geser pada struktur terisolasi, dan penambahan basement dalam modelisasi struktur dapat mengurangi gaya geser struktur secara signifikan.

This study discusses the design comparison between structure with conventional restraint with the use of base isolation (High Damping Rubber Bearing). Those structural factors are design method (Strength Based Design and Performance Based Design), basement, and effect of P-Delta. Structure with regular restraint is designed with Ordinary Moment Resisting Frame (OMRF) and Special Moment Resisting Frame (SMRF), while structure with base isolation is designed with Strength Based Design and Performance Based Design method.
The results shows that the use of base isolation can increase the natural period of structure. Isolated structure with Strength Based Design method can reduce the earthquake forces, displacement, story drift, and rebar ratio, compared with conventional OMRF structure. The effect of P-Delta provides additional shear forces on the isolated structure and the addition of basement in structural modeling can significantly reduce shear forces on the structure.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S42934
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>