Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 198448 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lonah
"ABSTRAK
Pendahuluan: Hiperemesis gravidarum adalah keluhan mual dan muntah pada perempuan hamil yang mengganggu aktivitas sehari-hari dan menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang dapat terjadi adalah ketonuria, dehidrasi, hipokalemia, dan penurunan berat badan lebih dari 3 kg atau 5 berat badan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan tatalaksana farmakoterapi berjenjang menggunakan metoklopramid atau ondansetron. Harga ondansetron yang lebih mahal daripada metoklopramid dapat meningkatkan biaya perawatan pasien hiperemesis gravidarum. Dengan efektivitas yang sama dan harga yang berbeda, perlu dilakukan kajian farmakoekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas dan biaya obat ondansetron yang digunakan pada pasien hiperemesis gravidarum dengan biaya BPJS di RSCM periode tahun 2012 sampai 2016.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang, dengan menggunakan rekam medis dari 60 pasien hiperemesis gravidarum yang dirawat di ruang perawatan kelas-3 RSCM dalam periode 2012-2016. Analisis farmakoekonomi dilakukan berdasarkan keluaran klinis yang terdiri dari efektivitas dan biaya perawatan biaya langsung . Efektivitas dinilai berdasarkan jumlah hari sampai keluhan mual dan muntah menghilang setelah pemberian tatalaksana antiemetik ondansetron atau tatalaksana antiemetik tanpa ondansetron.Hasil: Sebagian besar subjek penelitian menderita hiperemesis gravidarum tingkat I sampai II, dengan rentang usia antara 18 tahun hingga 39 tahun, rerata usia gestasi 12 minggu, dan jumlah graviditas ke-1 sampai ke-5. Efektivitas kedua obat antiemetik, secara statistik tidak berbeda bermakna, yang dilihat dari hari ke berapa keluhan menghilang P=0,370 . Tidak diperoleh informasi efek samping obat ondansetron atau metoklopramid dari rekam medis pasien. Dari perhitungan analisis minimalisisasi biaya AMiB diperoleh hasil bahwa biaya rerata per pasien dengan ondansetron dibandingkan tanpa ondansetron tidak berbeda bermakna P=0,966 .Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan efektivitas dan efisiensi biaya pada penggunaan ondansetron dibandingkan metoklopramid untuk tatalaksana hiperemesis gravidarum. Diperlukan penelitian prospektif dengan jumlah subjek penelitian yang lebih banyak di pusat pelayanan kesehatan primer.

ABSTRACT
Introduction Hyperemesis gravidarum is defined as presence of nausea and vomiting in pregnancy which interfere daily activities and cause complications. Complications that can occur are ketonuria, dehydration, hypokalemia, and weight loss more than 3 kg or 5 weight. In order to overcome this problem, it is necessary to have a pharmacotherapy course with metoclopramide or ondansetron. Ondansetron is more expensive than metoclopramide. It can increase the cost of treating hyperemesis gravidarum patients. With the same effectiveness and different prices, a pharmacoeconomic study needs to be done. This study aims to analyze the effectiveness and cost of ondansetron drugs used for hyperemesis gravidarum patients in RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo period 2012 until 2016.Method This is a cross sectional study, using a medical record of 60 hyperemesis gravidarum patients treated in RSCM 3rd class treatment rooms within the period 2012 2016. Pharmacoeconomic analysis is performed on the basis of clinical outcomes consisting of effectiveness and direct cost. Effectiveness is assessed by the number of days of clinical improvement following administration of ondansetron antiemetics or non ondansetron antiemetic management. Result Most of the study subjects are grade I to II hyperemesis gravidarum patients, with a study subject span between 18 years to 39 years old, the mean of gestational age was 12 weeks gestation, and the number of gravidities 1 to 5. The effectiveness of both antiemetic drugs, statistically not significantly different, seen from day to how the complaint disappeared P 0.370 . No information on side effects of ondansetron or metoclopramide drugs from patient medical records was obtained. From the calculation of cost minimization analysis AMiB obtained the result that the average cost per patient with ondansetron compared without ondansetron not significantly different P 0,966 . Conclusion There is no difference in effectiveness and cost efficiency in use ondansetron versus metoclopramide for the management of hyperemesis gravidarum. A prospective study is required with a larger number of study subjects in primary care centers. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T58895
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lonah
"Pendahuluan: Hiperemesis gravidarum adalah keluhan mual dan muntah pada perempuan hamil yang mengganggu aktivitas sehari-hari dan menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang dapat terjadi adalah ketonuria, dehidrasi, hipokalemia, dan penurunan berat badan lebih dari 3 kg atau 5 berat badan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan tatalaksana farmakoterapi berjenjang menggunakan metoklopramid atau ondansetron. Harga ondansetron yang lebih mahal daripada metoklopramid dapat meningkatkan biaya perawatan pasien hiperemesis gravidarum. Dengan efektivitas yang sama dan harga yang berbeda, perlu dilakukan kajian farmakoekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas dan biaya obat ondansetron yang digunakan pada pasien hiperemesis gravidarum dengan biaya BPJS di RSCM periode tahun 2012 sampai 2016.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang, dengan menggunakan rekam medis dari 60 pasien hiperemesis gravidarum yang dirawat di ruang perawatan kelas-3 RSCM dalam periode 2012-2016. Analisis farmakoekonomi dilakukan berdasarkan keluaran klinis yang terdiri dari efektivitas dan biaya perawatan biaya langsung . Efektivitas dinilai berdasarkan jumlah hari sampai keluhan mual dan muntah menghilang setelah pemberian tatalaksana antiemetik ondansetron atau tatalaksana antiemetik tanpa ondansetron.
Hasil: Sebagian besar subjek penelitian menderita hiperemesis gravidarum tingkat I sampai II, dengan rentang usia antara 18 tahun hingga 39 tahun, rerata usia gestasi 12 minggu, dan jumlah graviditas ke-1 sampai ke-5. Efektivitas kedua obat antiemetik, secara statistik tidak berbeda bermakna, yang dilihat dari hari ke berapa keluhan menghilang P=0,370 . Tidak diperoleh informasi efek samping obat ondansetron atau metoklopramid dari rekam medis pasien. Dari perhitungan analisis minimalisisasi biaya AMiB diperoleh hasil bahwa biaya rerata per pasien dengan ondansetron dibandingkan tanpa ondansetron tidak berbeda bermakna P=0,966.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan efektivitas dan efisiensi biaya pada penggunaan ondansetron dibandingkan metoklopramid untuk tatalaksana hiperemesis gravidarum. Diperlukan penelitian prospektif dengan jumlah subjek penelitian yang lebih banyak di pusat pelayanan kesehatan primer.

Introduction: Hyperemesis gravidarum is defined as presence of nausea and vomiting in pregnancy which interfere daily activities and cause complications. Complications that can occur are ketonuria, dehydration, hypokalemia, and weight loss more than 3 kg or 5 weight. In order to overcome this problem, it is necessary to have a pharmacotherapy course with metoclopramide or ondansetron. Ondansetron is more expensive than metoclopramide. It can increase the cost of treating hyperemesis gravidarum patients. With the same effectiveness and different prices, a pharmacoeconomic study needs to be done. This study aims to analyze the effectiveness and cost of ondansetron drugs used for hyperemesis gravidarum patients in RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo period 2012 until 2016.
Method: This is a cross sectional study, using a medical record of 60 hyperemesis gravidarum patients treated in RSCM 3rd class treatment rooms within the period 2012 2016. Pharmacoeconomic analysis is performed on the basis of clinical outcomes consisting of effectiveness and direct cost. Effectiveness is assessed by the number of days of clinical improvement following administration of ondansetron antiemetics or non ondansetron antiemetic management.
Result: Most of the study subjects are grade I to II hyperemesis gravidarum patients, with a study subject span between 18 years to 39 years old, the mean of gestational age was 12 weeks gestation, and the number of gravidities 1 to 5. The effectiveness of both antiemetic drugs, statistically not significantly different, seen from day to how the complaint disappeared P 0.370 . No information on side effects of ondansetron or metoclopramide drugs from patient medical records was obtained. From the calculation of cost minimization analysis AMiB obtained the result that the average cost per patient with ondansetron compared without ondansetron not significantly different P 0,966.
Conclusion: There is no difference in effectiveness and cost efficiency in use ondansetron versus metoclopramide for the management of hyperemesis gravidarum. A prospective study is required with a larger number of study subjects in primary care centers.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vincent Pratama
"Infeksi kaki diabetik (IKD) menjadi masalah utama secara global untuk pasien dan sistem pelayanan kesehatan. Selain mempertimbangkan efektivitas antibiotik, beban biaya medis pengobatan juga menjadi perhatian utama dalam penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah analisis efektivitas-biaya antara ampisilin/sulbaktam dan non-ampisilin/sulbaktam pada pasien IKD rawat inap. Desain penelitian ini kohort retrospektif dengan menggunakan data rekam medis dan data biaya pengobatan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Perbaikan klinis infeksi kaki dinilai pada periode 5-7 hari dan dihitung total biaya medis langsung. Total 135 pasien IKD rawat inap teriklusi terdiri dari 93 pasien kelompok ampisilin/sulbaktam dan 42 pasien kelompok non-ampisilin/sulbaktam. Tidak ada perbedaan signifikan dalam efektivitas perbaikan klinis IKD pada kedua kelompok (55,9% vs 64,3%; p = 0,361). Pada analisis bivariat, derajat infeksi luka ringan 1,63 kali lebih berpeluang mencapai perbaikan klinis infeksi dibandingkan dengan pasien derajat sedang-berat (p = 0,026). Tidak ada perbedaan signifikan pada total biaya medis langsung antara ampisilin/sulbaktam dengan non-ampisilin/sulbaktam (Rp30.645.710 vs Rp32.980.126; p = 0,601). Pada perhitungan ACER dan model decision-tree, kelompok non-ampisilin/sulbaktam lebih cost-effective dibandingkan ampisilin/sulbaktam. Pada perhitungan ICER non-ampisilin/sulbaktam, untuk penambahan 1% perbaikan klinis IKD, dibutuhkan biaya tambahan sebesar Rp 277.907.

Diabetic foot infections (DFI) is a major problem globally and health system services. In addition to considering effectiveness of antibiotics, the burden of medical treatment costs is also a major concern in this study. This study aimed to analyze cost-effectiveness between ampicillin/sulbactam and non-ampicillin/sulbactam in hospitalized DFI patients. The design of this study was a retrospective cohort using medical record data and medical cost data at Dr. Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital. Assessment of clinical improvement of foot infections in 5-7 days and calculated total direct medical costs. A total of 135 inpatients with DFI, consisting of 93 patients in the ampicillin/sulbactam group and 42 patients in the non-ampicillin/sulbactam group. There was no significant difference in the effectiveness of clinical improvement between two groups (55.9% vs. 64.3%; p = 0.361). In bivariate analysis, mild infection had a 1.63 times probability of clinical improvement compared to moderate-severe infection (p = 0.026). There was no significant difference in total direct medical costs (IDR 30,645,710 vs IDR 32,980,126; p = 0.601). In ACER and decision-tree models, non-ampicillin/sulbactam group was more cost-effective. In ICER of non-ampicillin/sulbactam, for an additional 1% of clinical improvement in DFI, an additional fee of IDR 277,907 is required."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Mawar Hadini
"Pendahuluan: Jumlah pasien Sindrom Koroner Akut SKA semakin meningkat dari tahun ketahun. Ticagrelor merupakan penghambat P2Y12 dengan onset cepat dan efekhambatan platelet lebih besar dibandingkan klopidogrel, namun memiliki masalahmeningkatnya efek samping perdarahan mayor, efek samping lain, dan biaya yanglebih mahal. Penelitian ini bertujuan melakukan evaluasi efektifitas, keamanan,dan cost effectiveness analysis ticagrelor dibandingkan klopidogrel add on aspirinpada pasien SKA sejak tahun 2014-2016 di RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Metode:Penelitian ini menggunakan design kohort retrospektif. Rekam medis dari pasienSKA yang pertama kali didiagnosa dan diterapi dengan klopidogrel dan pasienSKA yang pertama kali didiagnosa dan diterapi dengan ticagrelor dimasukkankedalam kriteria inklusi. Outcome efektivitas adalah insiden major adversecardiovascular events MACE yang dapat dicegah dalam 3, 6, 9, dan 12 bulan.Outcome safety adalah insiden efek samping yang timbul dalam 3 bulan.Outcomebiaya dinilai dengan cost effectiveness analysis CEA . Data untuk CEA disajikandalam bentuk incremental cost effectiveness ratio ICER . Untuk menilaiketidakpastian data uncertainty digunakan analisa sensitivitas satu arah.
Hasil:Rekam medis dari 123 pasien klopidogrel-aspirin dan 57 pasien ticagrelor-aspirinberhasil dievaluasi. Trend pemakaian ticagrelor semakin meningkat sejak tahun2014 sampai dengan 2016, sedangkan klopidogrel semakin menurun. Outcomeefektivitas adalah MACE yang dapat dicegah dalam 3 bulan. Dalam 3 bulanMACE terjadi pada 15.8 pasien di kelompok ticagrelor dan 31.7 pasien dikelompok klopidogrel RR; 0,498, 95 CI; 0,259 ndash;0,957, P = 0,039 . Tidak adaperbedaan signifikan pada bulan ke 6,9, dan 12. Ticagrelor memiliki efek sampingperdarahan mayor melena lebih tinggi dibanding klopidogrel 5,3 vs 1,62 , P= 0,681 , terutama pada pasien geriatri. ICER = Rp 279.438,87., denganpengertian diperlukan tambahan biaya Rp 279.438,87., untuk setiap insidenMACE yang dapat dihindari dalam 3 bulan jika digunakan ticagrelor sebagaiDAPT. ICER tersebut dianggap cost effective karena berada dibawah 1 GDP Gross Domestic Product Indonesia tahun 2016, yaitu 3603 Rp 49.000.800.
Kesimpulan: Ticagrelor-aspirin lebih efektif dan lebih cost-effective dalam mencegah MACEdalam 3 bulan dibandingkan klopidogrel-aspirin pada pasien SKA. Masihdiperlukan penelitian prospektif lanjutan dengan jumlah besar terutama padapasien geriatri dengan SKA.

Introduction The enormous number of acute coronary syndrome ACS cases make it importantto evaluate the economic burden of this illness. Ticagrelor is a P2Y12 inhibitorwith pronounced platelet inhibition effect and more rapid onset compared toclopidogrel, with disadvantages of higher price and major bleeding adverseeffects. This study aimed to evaluate effectiveness, safety, and cost effectivenessanalysis of dual antiplatelet aspirin ticagrelor compared with aspirin clopidogrelat ACS patients in Cipto Mangunkusumo Hospital during 2014 2016
Methods This is a retrospective cohort study from data records of ACS patient treated inCipto Mangunkusumo Hospital between 2014 2016 period. ACS patientsdiagnosed and treated for the first time with aspirin clopidogrel and patientsdiagnosed and treated for the first time with aspirin ticagrelor were included.Effectiveness outcome were the occurence of major adverse cardiovascular events MACE successfully avoided within 3, 6, 9, and 12 months of antiplatelettreatment. Safety outcome were the insidence of adverse drug reactions within 3months. Cost outcome were determined with cost effectiveness analysis CEA .Data for CEA calculation were presented as Incremental Cost Effectiveness Ratio ICER . One way sensitivity analysis were performed to evaluate data uncertainty.
Results A total of 123 data records of ACS patients treated with aspirin clopidogrel and57 with aspirin ticagrelor were evaluated. Trend for antiplatelet prescriptionshowed that ticagrelor prescription increased since 2014 until 2016, whileclopidogrel decreased. Within the first three months, the MACE rate was 15.8 inticagrelor group and 31.7 in clopidogrel group RR 0,498, 95 CI 0,259 ndash 0,957, P 0,039 . There were no significant differences of MACE betweengroups after 6, 9, and 12 months treatment. Ticagrelor had unsignificant majorbleeding melena higher than clopidogrel 5,3 vs 1,62 , P 0,681, especiallyin geriatric patients. ICER value was IDR 279.438,87, indicating additional costneeded for every MACE incidence successfully avoided within 3 month if aspirinticagrelorwas used. ICER under 1 Indonesian GDP Gross Domestic Product in2016 3603, equal to IDR 49.000.800 is considered cost effective.
Conclusions Ticagrelor aspirin is a clinically superior and cost effective option for MACEprevention among ACS patients especially during the first three monthsantiplatelet treatment. Further prospective rearch with higher number especially ingeriatric patients with ACS is still needed."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58952
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novianti Santoso
"Analisis gelombang bekuan dapat mengevaluasi profil reaksi pembentukan bekuan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis gelombang bekuan ini didapatkan dari pemeriksaan masa tromboplastin parsial teraktivasi (APTT) tanpa menambah biaya pemeriksaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola gelombang bekuan dan mengetahui nilai max velocity (Min1), max acceleration (Min2), dan max deceleration (Max2) pada pasien hemostasis normal dan hemofilia; serta mengetahui korelasi antara parameter tersebut dengan aktivitas F.VIII/F.IX. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang menggunakan 160 sampel pasien hemostasis normal dan 145 sampel pasien hemofilia di Laboratorium Pusat Departemen Patologi Klinik RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo yang berlangsung pada bulan Agustus-Desember 2019. Pada penelitian ini didapatkan titik awal koagulasi pada pasien normal adalah ±30-40 detik dengan fase prekoagulasi pendek dan slope yang lebih curam. Pada pasien hemofilia didapatkan fase prekoagulasi yang lebih panjang dan slope yang lebih landai dengan titik awal koagulasi yang lebih panjang dan bervariasi. Nilai median Min1, Min2, dan Max2 dewasa hemostasis normal didapatkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan pasien anak. Nilai Min1, Min2, dan Max2 pada pasien hemofilia A dan B juga didapatkan nilai yang lebih rendah dibandingkan pasien hemostasis normal dan didapatkan perbedaan yang bermakna antara parameter Min1, Min2, dan Max2 pada pasien hemostasis normal dengan pasien hemofilia. Korelasi antara parameter Min1, Min2, dan Max2 dengan aktivitas F.VIII didapatkan korelasi sedang (p<0,001), dan Analisis gelombang bekuan dapat bermanfaat untuk skrining pasien hemofilia di fasilitas kesehatan yang memiliki keterbatasan pemeriksan F.VIII dan memberikan gambaran yang lebih lanjut terhadap pasien hemofilia A berat yang memiliki aktivitas F.VIII <1% dan pasien hemofilia A yang dengan atau tanpa inhibitor.

Clot waveform analysis can be used to evaluate clot formation profile both qualitatively and quantitatively. This waveform may be obtained from activated partial thrombolpastin time (APTT) assay without additional cost. This study aims to determine the clot wave pattern as well as the value of max velocity (Min1), max acceleration (Min2), and max deceleration (Max2) in patients with normal hemostasis and hemophilia; and to determine the correlation between these parameters with F.VIII/F.IX activities. The study was conducted with a cross-sectional design using 160 samples of normal hemostasis patients and 145 samples of hemophilia patients in the Central Laboratory of the Department of Clinical Pathology of Dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital which takes place in August-December 2019. In this study, the starting point of coagulation in normal patients is ± 30-40 seconds with shorter precocagulation phase and steeper slope. In hemophilia patients, longer precoagulation phase and flatter slope was seen with longer and more variable starting point for coagulation. The min1, min2, and max2 value of adult with normal hemostasis are higher than that of children. The min1, min2 and max2 value of hemophilia A and B are also lower than the patients with normal hemostasis. There is a significant difference between min1, min2, and max2 parameters of patients with normal hemostasis and hemophilia patients. Moderate correlation was found between Min1, Min2, and Max2 parameters with F.VIII activity (p <0.001). Clot wave analysis is a very useful tool for screening hemophilia patients in health facilities with limited F.VIII examination and may provides much detailed information of severe hemophilia A patients who have F.VIII activity <1% as well as hemophilia A patients with or without inhibitors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
R. Amanda Sumantri
"ABSTRAK
Penelitian ini membandingkan efektivitas terapi topikal larutan KOH 10% dengan larutan kantaridin 0,7% terhadap moluskum kontagiosum pada anak, dilihat dari aspek medis dan efektivitas-biaya. Penelitian analitik dengan rancangan uji klinis acak terbuka dilakukan di Divisi Dermatologi Anak poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2012. Pembuatan larutan KOH 10% dilakukan di Departemen Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara klinis efektivitas larutan KOH 10% lebih baik daripada larutan kantaridin 0,7% dan biaya keseluruhan yang diperlukan lebih rendah. Meskipun demikian, tidak ditemukan perbedaan bermakna secara statistik.

ABSTRACT
This study compares the effectiveness between topical 10% potassium hydroxide solution and 0,7% cantharidin solution against molluscum contagiosum in children, viewed from the medical and cost-effectiveness aspects. The analytical open randomized clinical trial was conducted in Pediatric Dermatology Division, Dermatovenereology Clinic of dr. Cipto Mangunkusumo Hospital in 2012. The making of 10% potassium hydroxide solution was performed at the Department of Pharmacy Faculty of Medicine, University of Indonesia. Result shows that clinically, 10% potassium hydroxide solution is more effective than 0,7% cantharidin solution with less total cost. There were no statistically significant difference."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rezaalka Helto
"Latar Belakang: malformasi arteri-vena (MAV) adalah struktur abnormal yang menyebabkan fistula antara arteri dan vena tanpa perantara kapiler. MAV serebral memiliki risiko ruptur yang tinggi, dimana keadaan ruptur dapat menyebabkan kondisi katastrofik bagi pasien. Terdapat berbagai modalitas penatalaksanaan dalam manajemen MAV, seperti reseksi, embolisasi endovaskular, pembedahan stereotaktik, atau kombinasi tindakan-tindakan tersebut. Penelitian mengenai MAV sudah banyak dilakukan di luar negeri, namun masih sedikit dilakukan di Indonesia.
Tujuan: memperoleh data profil klinis, manajemen, luaran, dan gambaran pembiayaan pasien MAV serebral di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, serta memperoleh hubungan antara variabel tersebut.
Metode: penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dengan memperoleh data dari rekam medis pasien sejak tahun 2012 hingga 2021.
Hasil: sebanyak 128 tindakan dilakukan pada pasien MAV serebral di RSCM. Jenis tindakan terbanyak adalah DSA diagnostik, disusul dengan GKRS dan embolisasi. Pada tindakan embolisasi,  luaran klinis yang memiliki perbedaan signifikan atara pra dan pasca operasi adalah kejang, nyeri kepala, dan penurunan kesadaran. Pada tindakan GKRS, luaran klinis yang memiliki perbedaan signifikan pra dan pasca operasi adalah kejang, nyeri kepala, mual muntah, penurunan kesadaran, hemiparesis, dan hemihipestesia. Median persentase obliterasi GKRS adalah 51,86%. Data tindakan reseksi tidak dianalisis karena jumlah sampel tidak mencukupi. Biaya tindakan paling tinggi adalah tindakan GKRS, dengan rerata pembiayaan tindakan sebesar Rp. 134.878.643,00.
Kesimpulan: dibandingkan dengan embolisasi dan reseksi, tindakan GKRS menunjukkan luaran klinis yang lebih baik dengan nilai median obliterasi 51,86%, namun merupakan tindakan dengan pembiayaan paling tinggi dan tidak ditanggung oleh asuransi negara.

Backgrounds: Arteriovenous malformation (AVM) is an abnormal structure that causes fistulas between arteries and veins without capillary intermediaries. Cerebral AVM has a high risk of rupture, where the state of rupture can cause catastrophic conditions for the patient. There are various treatment modalities in the management of AVM, such as resection, endovascular embolization, stereotactic surgery, or a combination of the treatments above. Many researches on AVM have been carried out abroad, but little has been done in Indonesia.
Objective: to obtain data on clinical profiles, management, outcomes, and costs of cerebral AVM patients at Dr. Cipto Mangunkusumo, and to obtain the relationship between the variables.
Method: this study is a descriptive observational study by extracting data from patient medical records from 2012 to 2021.
Results: a total of 128 procedures were performed on cerebral AVM patients at RSCM. The most common type of procedure was diagnostic DSA, followed by GKRS and embolization. In the embolization procedure, the clinical outcomes that had a significant difference between pre and post-procedure were seizures, headache, and decreased consciousness. In the GKRS procedure, the clinical outcomes that had significant differences before and after the procedure were seizures, headache, nausea and vomiting, decreased consciousness, hemiparesis, and hemihypesthesia. The median percentage of GKRS obliteration was 51.86%. Resection data were not analyzed because the number of samples was insufficient. The highest cost of procedure is GKRS, with an average cost of action of Rp. 134,878,643.00.
Conclusion: compared to embolization and resection, the GKRS procedure showed a better clinical outcome with a median obliteration value of 51.86%, but it was the procedure with the highest cost and was not covered by national health coverage.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hamida Hayati Faisal
"Kanker Nasofaring KNF merupakan salah satu kasus keganasan paling sering di Indonesia dengan karakteristik yang unik secara epidemiologi, patologi dan klinis. Faktor prognosis KNF telah menjadi fokus penelitian yang cukup penting dalam sejumlah studi yang telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik pasien KNF yang terdiagnosis di Poli THT RSCM serta angka kesintasan dengan melakukan analisis terhadap faktor yang berperan terhadap prognosis. Penelitian ini merupakan suatu penelitian kohort retrospektif dengan subjek penelitian bersifat total sampling pasien KNF yang terdiagnosis di Poli THT. Sebanyak 561 subjek penelitian ini, pria memiliki prevalensi sebanyak 2.8 kali daripada wanita. WHO tipe 3 dan WF tipe A menjadi jenis histopatologi paling dominan. Stadium IV A didapatkan pada 30.1 subjek dan 18.9 subjek sudah berada dalam kondisi metastasis jauh. Nilai tengah untuk waktu tunggu radiasi adalah 91 12-344 hari dengan durasi radiasi 53 39-95 hari. Stadium IVC, p= 0,000 , N3 p= 0,018 , metastasis jauh p= 0,000 , dan drop out atau tidak mendapat terapi p= 0,000 menjadi faktor yang memberikan kesintasan lebih buruk pada penelitian ini.

Nasopharyngeal Cancer NPC is one of the most frequent cancer in Indonesia which has a unique characteristic in epidemiology, pathology and clinical features. Prognostic factors are recently became the most important research foci, and a large number of investigation in this area have been performed. The objective of this study is to know the characteristics of NPC patients that have been diagnosed in ENT Department of RSCM and analyzed some factors that might have role in overall survival. This is the retrospective cohort study with total sampling subject. From 561 subjects, Male has 2.8 higher prevalence than female. WHO type 3 92,3 and WF type A 97,1 are the majority hisopathological result. Stage IV A is found in 30,1 subjects and 18,9 subjects were already in metastatic state. The median value of radiation waiting time was 91 12 344 days, duration time of radiation was 53 39 95 days. Stage IVC p 0,000 , N3 p 0,018 , distant metastatic p 0,000 , and drop out or no treatment p 0,000 are found to be the factors that give a negative impact in overall survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Nur Komarudin
"Latar Belakang
Kanker ginekologi dan infeksi COVID-19 memiliki tingkat insidensi dan mortalitas yang tinggi di Indonesia serta berdampak pada aspek kesehatan, sosial, dan budaya. Kanker ginekologi dan infeksi COVID-19 memicu inflamasi yang dapat mengakibatkan ganguan multi-organ. Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan sebagai indikator keparahan untuk menilai inflamasi dan kerusakan organ. Oleh karena itu penelitian ini akan membahas mengenai analisis kakteristik klinis dan hasil laboratorium pasien kanker ginekologi dengan COVID-19.
Metode
Metode yang akan digunakan di dalam penelitian ini adalah deskritif dan analitik dengan pendekatan potong lintang retrospektif.
Hasil
Tingkat insidensi pasien kanker ginekologi dengan COVID-19 2020-2022 sebesar 154 per 100.000. Kanker serviks (54,3%) menjadi diagnosis terbanyak diikuti dengan kanker ovarium (28,7%), kanker rahim (14,9%), kanker vulva (1,1%), dan kanker vagina (1,1%). Stadium III (37,2%) menjadi yang terbanyak diikuti stadium IV (26,6%), stadium I (20,2%), stadium II (16%). Karakteristik klinis dan hasil laboratorium yang memiliki hubungan signifikan dengan stadium kanker adalah obesitas (OR 0,321; CI 0,125-0,826; P value 0,018), neutrofil absolut tinggi (OR 5,006; Cl 95%, 1,307 – 19,176; P value 0,019), ureum tinggi (OR 3,977; Cl 95%, 1,112 – 14,224; P value 0,034), dan platelet to leucocyte ratio (PLR) tinggi (OR 7,379; 95% CI 2,067-26,466; P value 0,002). Karakteristik klinis dan hasil laboratorium yang memiliki hubungan signifikan dengan derajat keparahan COVID-19 adalah sesak napas (OR 12,364; Cl 95%, 4,148 – 36,848; P value <0.001) dan PLR tinggi (OR 6,787; 95% CI 1,103 - 41,774; P value 0,039).
Kesimpulan
Karakteristik klinis dan hasil laboratorium yang dapat dikaitkan sebagai indikator keparahan berdasarkan stadium kanker ginekologi adalah obesitas, neutrofil absolut tingg, ureum dan PLR tinggi. Karakteristik klinis dan hasil laboratorium yang dapat dikaitkan dengan indikator keparahan berdasarkan derajat keparahan COVID-19 adalah sesak napas dan PLR tinggi.

Introduction
Gynecologic cancer and COVID-19 infection have high incidence and mortality rates in Indonesia and impact health, social and cultural aspects. Gynecological cancers and COVID-19 infections trigger inflammation that can lead to multi-organ disorders. Laboratory tests can be used as an indicator of severity to assess inflammation and organ damage. Therefore, this study will discuss the analysis of clinical characteristics and laboratory results of gynecological cancer patients with COVID-19.
Method
The method used in this study is descriptive and analytic with a retrospective cross- sectional approach.
Results
The incidence rate of gynecologic cancer patients with COVID-19 2020-2022 was 154 per 100,000. Cervical cancer (54.3%) was the most common diagnosis followed by ovarian cancer (28.7%), uterine cancer (14.9%), vulvar cancer (1.1%), and vaginal cancer (1.1%). Stage III (37.2%) was the most common followed by stage IV (26.6%), stage I (20.2%), stage II (16%). Clinical characteristics and laboratory results that had a significant association with cancer stage were obesity (OR 0,321; CI 0,125-0,826; P value 0,018), high absolute neutrophils (OR 5.006; 95% CI, 1.307-19.176; P value 0.019), high high ureum level (OR 3.977; 95% CI, 1.112-14.224; P value 0.034), and high PLR (OR 7.379; 95% CI 2.067-26.466; P value 0.002). Clinical characteristics and laboratory results that had a significant association with COVID-19 severity were shortness of breath (OR 12.364; Cl 95%, 4.148 - 36.848; P value <0.001) and high PLR (OR 6.787; 95% CI 1.103 - 41.774; P value 0.039).
Conclusion Clinical characteristics and laboratory results associated with gynecologic cancer stage were obesity, high absolute neutrophils, high ureum level, and high PLR. Clinical characteristics and laboratory results associated with COVID-19 severity were shortness of breath and high PLR.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisha Virginia
"Mual dan muntah akibat kemoterapi merupakan salah satu efek samping yang dapat menurunkan kualitas hidup pasien. Antagonis reseptor 5-HT3 seperti ondansetron telah digunakan dalam mengontrol mual dan muntah akibat kemoterapi emetogenik moderat. Perbedaan biaya obat antara ondansetron generik berlogo dan bermerek dagang diketahui cukup signifikan. Metode analisis efektivitas-biaya (AEB) dilakukan untuk mengukur dan membandingkan efektivitas serta biaya antara kedua pengobatan.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pengambilan data secara retrospektif. Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling. Data primer dan sekunder didapatkan melalui catatan rekam medik, sistem informasi rumah sakit, dan wawancara. Pasien wanita dengan kanker payudara yang menggunakan kemoterapi emetogenik moderat untuk pertama kalinya di RS Kanker Dharmais pada tahun 2012 diikutsertakan dalam penelitian. Sampel yang dilibatkan dalam analisis sebanyak 21 pasien, yaitu 12 pasien ondansetron generik berlogo dan 9 pasien ondansetron generik bermerek dagang. Efektivitas pengobatan diukur berdasarkan proporsi pasien yang terbebas dari mual dan muntah akut. Biaya didapatkan dari median total biaya pengobatan, meliputi biaya obat, alat kesehatan, rawat singkat, dan jasa dokter.
Berdasarkan hasil penelitian, efektivitas ondansetron generik bermerek dagang lebih besar (0,444) dibandingkan ondansetron generik berlogo (0,250). Median total biaya pengobatan ondansetron generik bermerek dagang lebih mahal (Rp 468.649,00) dibandingkan ondansetron generik berlogo (Rp 405.022,00). Hasil akhir menunjukkan bahwa ondansetron generik bermerek dagang (REB: Rp 1.055.515,77) lebih cost-effective dibandingkan ondansetron generik berlogo (REB: Rp 1.620.088,00). Perpindahan pengobatan dari ondansetron generik berlogo ke bermerek dagang membutuhkan biaya tambahan sebesar Rp 327.974,23 agar terbebas resiko mual dan muntah akut akibat kemoterapi emetogenik moderat.

Chemotherapy-induced nausea and vomiting (CINV) is one of the side effects that can reduce the quality of life. A 5-HT3 receptor antagonist like ondansetron has been used to control moderately emetogenic chemotherapy induced-nausea and vomiting. Difference in drug costs between ondansetron generics and brand names appear significantly. Cost-effectiveness analysis (CEA) were conducted to measure and compare the effectiveness and cost of the treatment.
A observasional study was done using total sampling method from retrospective data. Primary and secondary data collected from medical records, hopital information systems, and interviews. Female patients with breast cancer who were prescribed moderately emetogenic chemotherapy for the first time in 2012 were included in this research. The number of samples were 21 patients, which included 12 patients with generics ondansetron and 9 patients with brand names ondansetron. The effectiveness is measured by the proportion of patients free of acute nausea and vomiting. The cost is median of the total cost, summed from the cost of drugs, medical devices, hospitalization, and physician.
Based on the results of this study, the effectiveness of brand names ondansetron (0.444) is greater than generics ondansetron (0.250). Median total cost of brand names ondansetron is more expensive (Rp 468,649.00) than generics ondansetron (Rp 405,022.00). The final result showed that brand names ondansetron (CER: Rp 1,055,515.77) is more cost-effective than generics ondansetron (CER: Rp 1,620,088.00). Change of medication from generics to brand names ondansetron require extra cost Rp 327,974.23 for controlling acute nausea and vomiting due to moderately emetogenic chemotherapy.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S46238
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>