Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139671 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sinurat, Julfreser
"Latar Belakang : Skin prick test SPT merupakan baku emas mendiagnosis sensitisasi alergen, namun memiliki keterbatasan. Pemeriksaan IgE spesifik merupakan pemeriksaan in vitro, nyaman dan tidak ada risiko anafilaksis.Tujuan: Mendapatkan akurasi pemeriksaan IgE spesifik serum metode ELISA dalam mendiagnosis sensitisasi alergen hirup pada pasien asma dan/atau rinitis alergi.Metode: Merupakan uji diagnostik dengan desain cross sectional pada pasien asma dan rinitis alergi di poliklinik Alergi-Imunologi FKUI-RSCM. Seratus pasien diperiksa IgE spesifik serum tungau debu rumah D.pterossinus, D.farinae, B.tropicalis , kulit anjing, kulit kucing dan kecoak dengan metode ELISA serta SPT sebagai baku emas mendiagnosis sensitisasi alergen tersebut. Sensitivitas, spesifisitas, nilai duga, dan rasio kemungkinan dari IgE spesifik serum dinilai untuk masing-masing alergen.Hasil: Sensitivitas IgE spesifik serum dalam mendiagnosis sensitisasi alergen tungau debu rumah berkisar 48-77 , dengan sensitivitas tertinggi 77 IK 95 66-86 pada D.farinae. Spesifisitas berkisar 64-95 , dengan spesifitas tertinggi 95 IK 95 76-99 pada B.tropicalis, serta nilai RK antara 2,1-11, dengan tertinggi untuk B.tropicalis. Sensitivitas mendiagnosis sensitisasi kecoak 12 IK 95 4,5-27 , namun spesifisitas 100 IK 95 92-100 , dengan RK . Spesifisitas mendiagnosis sensitisasi kulit anjing 89 IK 95 79-95 , namun senstitivitas 3 IK 95 1,5-17 , dengan RK hanya 0,29 IK 95 0,03-2,26 . IgE spesifik serum memiliki spesifitas 88 IK 95 77-95 dalam mendiagnosis sensitisasi kulit kucing, namun sensitivitas 10 IK 95 3,5-26 dan RK 0,9 IK 95 0,3-3,1 .Kesimpuan: Pemeriksaan IgE spesifik serum metode ELISA memiliki akurasi diagnostik yang sedang dalam mendiagnosis sensitisasi terhadap tungau debu rumah dan kecoak, namun akurasi rendah untuk kulit anjing dan kucingKata Kunci: Skin prick test IgE spesifik serum, Akurasi, Alergen hirup
Background Skin prick test SPT is the gold standard to diagnose allergen sensitization, but has some limitations. Serum specific IgE SSIgE is in vitro test, comfortable and has no anaphylaxis risk.Aim To get the accuracy of SSIgE test using ELISA method in diagnosing inhalant allergens sensitization in asthma and or allergic rhinitis patients.Method This is diagnostic study with subjects were asthma and or allergic rhinitis patients. One hundreds patients had SSIgE test for house dust mites D.pterossinus, D.farinae, B.tropicalis , dog dander, cat dander and cockroach allergens and SPT as gold standard to diagnose allergen sensitization. Sensitivity, specificity, predictive value, and likelihood ratio of SSIgE were evaluated.Result To diagnose house dust mites sensitization SSIgE has 48 77 sensitivity, with the highest is for D.farinae 77 95 CI 66 86 , while specificity is 64 95 , with the highest is for B.tropicalis 95 95 CI 76 99 and LR around 2,1 11, with the highest is for B.tropicalis. Sensitivity of SSIgE to diagnose cockroach sensitization is 12 95 CI 4.5 27 , but has high specificity 100 95 CI 92 100 , and high LR . SSIgE has high specificity 89 95 CI 79 95 in diagnosing dog dander sensitization, but low sensitivity 3 95 CI 1.5 17 and low LR 0.29 95 CI 0.03 2.26 . To diagnose cat dander sensitization SSIgE has 88 95 CI 77 95 specificity, but low sensitivity 10 95 CI 3.5 26 and low LR 0.9 95 CI 0.3 3.1 Conclusion SSIgE test using ELISA method has moderate accuracy in diagnosing house dust mites and cockroach sensitization, but low accuracy for dog and cat dander sensitization.Keywords Skin prick test, Serum specific IgE, Accuracy, Inhalant Allergens"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suriani Alimuddin
"ABSTRAK
Latar Belakang: Pemeriksaan IgE spesifik serum baru diperkenalkan di Indonesia, tetapi belum ada data uji diagnostik mengenai akurasinya dalam mendeteksi alergen tungau debu rumah dan kecoa pada pasien asma dan atau rinitis alergi. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan akurasi diagnosis pemeriksaan IgE spesifik serum dalam mendiagnosis sensitisasi alergen Dermatophagoides pteronyssinus Der p , Dermatophagoides farinae Der f , Blomia tropicalis Blo t dan Blatella germanica Bla g pada pasien asma dan atau rinitis alergi.Metode: Penelitian ini adalah studi potong lintang pada pasien alergi pernapasan dan merupakan bagian dari studi epidemiologi mengenai sensitisasi IgE spesifik di Divisi Alergi-Immunologi, RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, antara September dan Desember 2016. Pengukuran sensitisasi IgE spesifik dilakukan dengan metode imunoblot Euroline , Euroimmun AG, Germany . Alergen yang diuji adalah Der p, Der f, Blo t, dan Bla g. Hasilnya dibandingkan dengan baku emas uji tusuk kulit. Uji diagnostik yang dilakukan meliputi sensitivitas, spesifisitas, positive predicitive value PPV , negative predictive value NPV , likelihood ratio positif dan negatif LR and LR- .Hasil: Serbanyak 101 pasien dilibatkan dalam studi, 77 76,2 di antaranya adalah perempuan. Rerata usia pasien adalah 38,8 tahun. Berdasarkan uji tusuk kulit, sensitisasi tertinggi yang didapatkan adalah terhadap Blo t 76,2 , disusul oleh Der p 70,3 , Der f 69,3 , dan Bla g 41,6 . Sensitisasi IgE-spesifik tertinggi ditunjukkan oleh Der f 52,9 , diikuti oleh Der p 38,2 , Blo t 33,3 dan Bla g 10,8 . Alergen Der p memiliki 50,7 sentivitas, 90 spesifisitas, 92,3 PPV, 43,5 NPV, 5,1 LR dan 0,1 LR-. Der f memperlihatkan 71,4 sensitivitas, 87,1 spesifisitas, 82,6 PPV, 57,4 NPV, 5,5 LR dan 0,3 LR-. Alergen Blo t menunjukkan 41,6 sensitivitas, 91,7 spesifisitas, 94,1 PPV, 32,8 NPV, 5,0 LR , dan 0,6 LR-. Alergen Bla g menghasilkan 23,8 sensitivitas, 98,3 spesifisitas, 90,9 PPV, 64,4 NPV, 14,5 LR dan 0,8 LR-.Kesimpulan: Pemeriksaan IgE spesifik serum dalam mendiagnosis sensitisasi alergen Dermatophagoides pteronyssinus, Dermatophagoides farinae, Blomia tropicalis, dan Blatella germanica pada pasien asma dan atau rinitis alergi memperlihatkan sensitivitas rendah sampai sedang, tetapi spesifisitas dan PPV yang tinggi.

ABSTRACT
Background Serum specific IgE testing has recently been introduced in Indonesia, but diagnostic test has not been performed to know its performance to detect house dust mite and cockroach allergens in patients with allergic asthma and or rhinitis.Objective The objective of this study was to obtain diagnostic accuracy of serum specific IgE testing in diagnosing allergen sensitization to Dermatophagoides pteronyssinus, Dermatophagoides farinae, Blomia tropicalis, and Blatella germanica allergens in patients with allergic asthma and or rhinitis.Method This was a cross sectional study among patients with respiratory allergy and was part of a larger epidemiology study on specific IgE sensitization in the Division of Allergy Immunology, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta between September and December 2016. Specific IgE sensitization was measured using immunoblot method Euroline , EuroImmun AG, Germany . Allergens tested were Dermatophagoides pteronyssinus Der p , Dermatophagoides farinae Der f , Blomia tropicalis Blo t , and Blatella germanica Bla g . The results was compared to the standard skin prick test . Diagnostic test were performed and include sensitivity, specificity, positive predicitive value PPV , negative predictive value NPV , positive and negative likelihood ratio LR and LR .Results A total of 101 patients were enrolled 77 76.2 were women. Patients mean age was 38.8 years old. Based on SPT, sensitization was highest for Blo t 76.2 , followed by Der p 70.3 , Der f 69.3 , and Bla g 41.6 . Specific IgE sensitization was highest for Der f 52.9 , followed by Der p 38.2 , Blo t 33.3 and Bla g 10.8 . Der p allergen had 50.7 sentivity, 90 specificity, 92.3 PPV, 43.5 NPV, 5.1 LR and 0.1LR . Der f showed 71.4 sensitivity, 87.1 specificity, 82.6 PPV, 57.4 NPV, 5.5 LR and 0.3 LR . Blo t allergen had 41.6 sensitivity, 91.7 specificity, 94.1 PPV, 32.8 NPV, 5.0 LR , and 0.6 LR . Bla g allergen had 23.8 sensitivity, 98.3 specificity, 90.9 PPV, 64.4 NPV, 14.5 LR and 0.8 LR .Conclusion Serum specific IgE testing to Dermatophagoides pteronyssinus, Dermatophagoides farinae, Blomia tropicalis, and Blatella germanica allergens in patients with allergic asthma and or rhinitis showed only low to moderate sensitivity, but high specificity and PPV."
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Maurits
"Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang merupakan masalah kesehatan dengan kekerapan yang meningkat baik di negara maju maupun di negara berkembang seperti di Indonesia. Di Indonesia asma merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak setelah infeksi. Berdasarkan survai kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986 asma, bronkitis dan penyakit saluran napas lain merupakan penyebab kesakitan nomor lima dan penyebab kematian nomor sepuluh, sedangkan menurut SKRT 1992 asma, bronkitis dan emfisema penyebab kematian nomor tujuh di Indonesia.
Proses inflamasi pada asma sangat kompleks karena melibatkan banyak komponen set inflamasi pada asma. Sel inflamasi yang utama berperan pada patogenesis asma adalah set limfosit T, sel mast dan eosinofil. Aktivasi sel limfosit T menyebabkan pengerahan sekresi eosinofil yang menimbukan kerrasakan epitel dan hipereaktiviti bronkus. Eosinofil merupakan sel inflamasi yang berperan dalam proses inflamasi kronik saluran napas penderita asma dan migrasi eosinofil ke saluran napas merupakan tanda khas pada penderita asma termasuk pada saat eksaserbasi. Inflamasi saluran napas ini dapat dinilai secara langsung dengan mengukur jumlah eosinofil bronkus maupun melalui eosinofil darah.
Pada sejumlah kasus terutama anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan atopi atau alergi melalui mekanisme IgE dependent Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kadar IgE total serum dengan hiperreaktiviti bronkus pada penderita asma. Jensen dkk menyimpulkan kadar IgE total serum tidak berhubungan dengan derajat hipereaktiviti bronkus. Peran infeksi saluran napas pada eksaserbasi asma sudah diketahui sejak lama terutama infeksi oleh virus yang diperkirakan sebesar 80% pasien. Infeksi bakteri beberapa tahun terakhir ini saja dianggap berperan pada asma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ina Ariani Kirana Masna
"ABSTRAK
Pendahuluan: Faktor lingkungan seperti alergen dan polusi udara dapat memicu ataupun memperberat gejala asma akut serta menyebabkan persitens gejala asma terutama asma alergi. Telah banyak usaha dilakukan untuk mengurangi kadar alergen dalam udara. Salah satu caranya adalah dengan mempertahankan keseimbangan anion-kation sehingga terjadi denaturasi protein tungau debu rumah yang merupakan alergen utama. Kondisi keseimbangan anion-kation dalam udara ini serupa dengan kondisi alamiah hutan. Lingkungan yang serupa dapat dicapai menggunakan filter udara dengan ioniser sehingga tercapai keseimbangan anion-kation dalam udara. Apakah kondisi ini akan mempengaruhi kondisi inflamasi saluran napas dan fungsi paru pasien asma alergi belum pernah dibuktikan sebelumnya.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan dengan uji klinis silang (cross-over), terbuka, pada pasien-pasien asma alergi. Data subjek diambil secara mandiri oleh pasien dan pemeriksaan berkala di Poli Asma. PPOK RS Persahabatan sejak Desember 2011 sampai September 2012. Pemeriksaan FeNO menggunakan NIOX mino, uji fungsi paru (spirometri), serta penilaian ACT dilakukan setiap bulan di RS Persahabatan.
Hasil Penelitian: Terdapat 36 pasien yang berhasil mengikuti penelitian sampai selesai, selebihnya mengundurkan diri. Terdapat enam subjek laki-laki dan 30 perempuan, rerata usia 42,72 tahun (18-63). Klasifikasi terbanyak adalah asma persisten ringan (19) diikuti dengan asma persisten sedang dan berat (10 dan 7). Perbandingan selisih nilai ACT akhir dengan nilai awal antara kelompok kontrol dengan perlakuan berbeda bermakna secara statistik (p=0,008) maupun secara klinis (rerata kenaikan 3,31 poin). Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik dalam nilai FeNO dan uji fungsi paru antara kedua kelompok pengamatan.
Kesimpulan: Pada penelitian ini didapatkan peningkatan nilai asthma control test setelah penggunaan filter udara dengan ioniser namun tidak didapatkan perbedaan inflamasi saluran napas dan nilai faal paru. Penggunaan filter udara anion-kation seimbang dapat direkomendasikan pada pasien asma alergi.

ABSTRACT
Introduction: Many attempts have been tried to reduce concentration of allergens which may precipitate acute asthma or cause persistence of symptoms especially in allergic asthma patients. One of the techniques used is air filter and ionizer which creates a balance anion-cation ambiance. Studies have showed that its use can reduce airborne allergen concentration. Indoor ionised air has been proven to cause protein denaturation of house dust mite allergen, one of the most prominent indoor allergen. Ionised air has been proved to cause protein denaturation of mite allergens. This condition is similar to the natural condition existing in uncontaminated natural forests. This condition may be achieved by using a commercially available air purifier and ionizer. Whether this condition affects airway inflammation and lung function test in allergic asthma patients is yet to be proven.
Methods: This is a cross-over, unblinded, clinical trial, conducted in allergic asthma patients. Serial spirometry and FeNO measurements are performed monthly. Subjects are also asked to fill ACT for assement of asthma control. Subjects is observed for two months without using air filter in their bedrooms and two months using air filter in their bedrooms with a two weeks interval in between observation.
Results: There were 50 patients enrolled in the beginning of this study but 14 dropped out while 36 completed the study. There were six male subjects and 30 female, averaging 42,72 (min 18, max 63). Most patients were mild persistent (n=30), followed by moderate ande severe persistent asthma (10 and 7, respectively). The difference between baseline and end of two months observation in control and treatment group was statistically and clinically significant (paired t-test, p=0,008, 3 points ACT increase). Although there was a trend of decreased FeNO and increased FEV1/predicted ratio, time series and multivariate analysis in both was not statistically significant.
Conclusion: There was an increase of ACT score after air filter with ionizer usage but the change in FeNO and lung function test was not statistically significant. Air purifier can be recommended in allergic asthma patients to increase asthma control."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Prastiti Utami
"Latar Belakang: Pajanan terhadap jamur telah diketahui berperan dalam perburukan gejala asma, fungsi paru yang buruk, rawat inap dan kematian. Kolonisasi atau pajanan jamur dapat mencetuskan respons alergi dan inflamasi paru. Sensititasi jamur oleh Aspergillus dapat menyebabkan Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis (ABPA) maupun Severe Asthma with Fungal Sensitization (SAFS). Pemeriksaan Immunodiffusion test (IDT) merupakan uji serologi untuk mengetahui terdapatnya antibodi anti-Aspergillus, namun pemeriksaan ini belum banyak digunakan di Indonesia dan perannya terhadap pasien asma belum diketahui.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian prospektif dengan metode consecutive sampling dan desain potong lintang. Subjek penelitian ini adalah pasien asma yang berobat di Poliklinik Asma Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. Subjek penelitian menjalani pemeriksaan spirometri, Asthma Control Test (ACT) dan serologi antibodi anti-Aspergillus dengan metode IDT Aspergillus menggunakan crude antigen Aspergillus.
Hasil: Subjek penelitian ini sebanyak 59 pasien. Sejumlah 49 subjek (83,1%) berjenis kelamin perempuan, 37 subjek (62,7%) berusia ≥50 tahun, 45 subjek (76,3%) berpendidikan SLTA atau lebih, 25 subjek (42,4%) obesitas I, 5 subjek (8,5%) obesitas II dan 11 subjek (18,6%) bekas perokok. Sebagian besar subjek (62,71%) merupakan pasien asma persisten sedang. Asma terkontrol penuh ditemukan pada 7 subjek (11,86%), sedangkan asma tidak terkontrol pada 32 subjek (54,24%). Derajat obstruksi yang terbanyak ditemukan adalah obstruksi sedang pada 31 subjek (52,5%). Nilai %VEP1 ≥80% prediksi setelah uji bronkodilator ditemukan pada 24 subjek (40,7%). Dari 59 sampel darah yang diperiksa, tidak ada yang menunjukkan hasil IDT positif (0%), termasuk subjek yang datang dalam keadaan eksaserbasi dan subjek dengan asma persisten berat.
Kesimpulan: Hasil positif pemeriksaan IDT Aspergillus pada pasien asma sebesar 0%. Pemeriksaan IDT Aspergillus tidak dapat digunakan secara tunggal tanpa pemeriksaan lain untuk mendeteksi sensititasi terhadap Aspergillus pada pasien asma dan tanpa validasi terhadap crude antigen Aspergillus yang digunakan.

Background: Exposure to fungi has been known to play a role in worsening symptoms of asthma, poor lung function, hospitalization and death. Fungal colonization or exposure can trigger an allergic response and lung inflammation. Fungal sensitization by Aspergillus spp. can cause allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA) or severe asthma with fungal sensitization (SAFS). Immunodiffusion test (IDT) is a serological test to determine the presence of anti-Aspergillus antibodies, but this examination has not been widely used in Indonesia and its role in asthma patients is unknown.
Method: This study was a prospective study with consecutive sampling method and cross-sectional design. The subjects were asthma patients treated at Asthma Outpatient Clinic at Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia. Subjects underwent spirometry, Asthma Control Test (ACT) and serology of anti-Aspergillus antibodies examination with the IDT Aspergillus method using crude antigen Aspergillus.
Results: The subjects of this study were 59 patients. A total of 49 subjects (83.1%) were females, 37 subjects (62.7%) were ≥50 years old, 45 subjects (76.3%) had high school education level or higher, 25 subjects (42.4%) were obese I, 5 subjects (8.5%) were obese II and 11 subjects (18.6%) were former smokers. Most subjects (62.71%) were moderate persistent asthma patients. Fully-controlled asthma was found in 7 subjects (11.86%), while uncontrolled asthma was found in 32 subjects (54.24%). The highest degree of obstruction found was moderate obstruction in 31 subjects (52.5%). The %VEP1 ≥80% predicted after the bronchodilator test was found in 24 subjects (40.7%). Of the 59 blood samples examined, none showed positive IDT results (0%), including subjects who came in exacerbations and subjects with severe persistent asthma.
Conclusion: Positive results of IDT Aspergillus examination in asthma patients were 0%. The Aspergillus IDT examination cannot be used singly without other examinations to detect Aspergillus sensitization in asthmatic patients and without validation of the crude antigen Aspergillus used."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vivi Kurniati Tjahjadi
"Asma merupakan penyakit saluran napas kronik yang merupakan masalah kesehatan dunia. Adanya perubahan gaya hidup, kerusakan lingkungan, meningkatnya paparan polusi dan alergen berdampak pada kesehatan sistem pernapasan, mengakibatkan angka kejadian asma semakin meningkat. Ekstrak etanol patikan kebo (Euphorbia hirta) diketahui mengandung antiinflamasi, salah satunya adalah β-amyrin, yang secara turun-temurun dipakai untuk mengurangi keluhan batuk pada asma.
Oleh karena itu peneliti ingin melihat apakah herbal patikan kebo benar mempercepat pengurangan keluhan gejala asma bila ditambahkan pada pengobatan penderita asma persisten sedang. Studi awal ini melibatkan 20 orang responden yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok plasebo, masing-masing 10 orang. Kelompok perlakuan mendapat kapsul ekstrak patikan kebo 2 x 2 kapsul / hari yang mengandung 385 mg tiap kapsulnya selama 8 minggu.
Hasil studi secara statistik ditemukan adanya kecenderungan perbaikan nilai skor asma kontrol test (ACT). Ditemukan peningkatan yang tidak bermakna dari nilai arus puncak ekspirasi (APE) maupun penurunan jumlah eosinofil sputum.

Asthma is a chronic respiratory disease which has become a global health issue. Effect of lifestyle changes, environmental degradation, pollution and allergen exposure on the health of the respiratory system, have led to the increasing incidence of asthma. Ethanolic extract of patikan kebo (Euphorbia hirta) is known to have an antiinflamatory effect due to one of its active compound, β-amyrin. Patikan kebo has been used for generations to reduce cough in asthma.
Therefore, we wanted to see whether or not the addition of patikan kebo in treatment of moderate persistent allergic asthma can accelerate the reduction of asthma symptoms. This is a preliminary study, consisted of 20 subjects divided into 2 groups: the treatment group and the placebo group, 10 people each. The treatment group received extract capsules patikan kebo extract capsules at 2 x 2 capsules / day containing 385 mg per capsule for 8 weeks.
The study shows a statistically significant trend toward improved asthma control test (ACT) scores. There is no significant increase of peak expiratory flow or decrease in the number of sputum eosinophils."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
T32159
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gatot Sudiro Hendarto
"Tujuan penelitian potong lintang ini adalah menggambarkan tingkat keterkontrolan asma, kualitas hidup, dan kepatuhan pengobatan serta melihat hubungan antara keterkontrolan asma dengan kualitas hidup dan kepatuhan pengobatan. Sebanyak 132 pasien asma poli rawat jalan RSUP Persahabatan menyatakan kesediaan dan mengikuti penelitian ini dengan lengkap. Data diambil melalui wawancara dan pengamatan cara pakai obat. Sebesar 64 pasien (48,5%) menderita asma yang tidak terkontrol dan 68 pasien (51,5%) termasuk dalam asma yang terkontrol. Gambaran kualitas hidup menunjukkan nilai rerata domain gejala sebesar 4,83 (±1,49), domain keterbatasan aktivitas sebesar 5,99 (±0,86), domain fungsi emosi sebesar 5,13 (±1,63), dan domain pajanan lingkungan sebesar 3,89 (±1,88).
Gambaran kepatuhan pengobatan pada penelitian ini sebesar 45,5% pasien minum obat sesuai anjuran dokter, 38,6% pasien rutin kontrol ke petugas kesehatan, dan 45,5% menggunakan obat inhalasi dengan benar. Domain pajanan lingkungan berdampak lebih besar terhadap gangguan kualitas hidup dibandingkan dengan domain lainnya. Terdapat hubungan antara keterkontrolan asma dengan kualitas hidup (r=0,307, p<0,05) dan hubungan antara keterkontrolan asma dengan kepatuhan pengobatan (penggunaan dosis obat, rutin kontrol, dan penggunaan obat inhalasi) (p<0.05).

The aim of this cross-sectional study was to describe the level of asthma control, quality of life, medication compliance, and assess correlation between the level of asthma control, quality of life, and compliance with treatment. A hundred and thirty two patients with asthma in outpatient ward of RSUP Persahabatan hospital have provided consent and completed study. Data collection were conducted from interviews and observation how to use the drug. Sixty four patients (48.5%) had uncontrolled asthma and 68 patients (51.5 %) included in the controlled asthma. The mini asthma quality of life questionaire showed the mean symptom domains score of 4.83 (±1.49), activity limitations domain score of 5.99 (± 0.86), emotional function domain score of 5.13 (±1.63 ), and the environmental stimuli domain of 3.89 (±1.88).
Medication compliance revealed that 45,5% used medication dose as recommended by physician, 38,6% visited the physician for routine follow up, and 45,5% used the inhaled medication correctly. Environmental stimuli had more impact in quality of life compared to symptoms, activity limitation and emotional function. There is a relationship between the domain of quality of life with asthma control level (r=0,307, p<0,05) and there is a relationship between medication dose as recommended by physician, visiting the physician for routine follow up and using the inhaled medication correctly with asthma control level (p <0.05).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T39286
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Sundaru
"Penelitian ini adalah penelitian berbasis komuniias untuk memperoleh gambaran kadar alergen tungau debu rumah (TDR) dan sensitisasi alergen sebagai faktor risiko asma. Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan responden 3.840 pelajar sekolah menengah pertama dari 19 sekolah yang dipilih secara acak dari 131 sekolah di Jakarta Pusat. Seinua responden mengisi kuesioner International Study on Asthma and Allergy in Children (ISAAC). Dari 3.840 responden, 288 (7,5%) digolongkan dalatn kelompok asma karena mempunyai riwayat mengi selama 12 bulan terakhir. Pada kelompok asma, 207 responden melakukan uji kulit dan 135 diambil sampel debu rumah. Dari 2.601 responden yang tidak memiliki riwayat asma atau atopi lain, dipilih secara acak 274 orang untuk uji kulit dan 165 di antaranya diambil sampel debu rumah. Kadar alergen TDR tidak berbeda bermakna antara kelompok asma maupun non-asma baik untuk Der pi, Der fl, rnaupun Grup I. Risiko asma terutama disebabkan oleh sensitisasi alergen TDR D.pteronyssinuss (rasio odds (OR):12,68, interval kepercayaan (Cl): 7,50-21,44), D.farinae (OR: 10,50, CI: 6,35-17,34), serta kecoak (OR-.5.57, Cf:3,44-9.0l). Perbedaan risiko asma tidak berhubungan dengan tinggi rendahnya kadar alergen TDR tetapi oleh sensitisasinya. Kesimpulannya, sensitisasi alergen TDR dan kecoak perlu diperhatikan dalam upaya menurunkan risiko dan prevalensi asma. (MedJ Indones 2006; 15:55-9).

This study is a community-based study to get an overview about House Dust Mite (HDM) allergen level, allergen sensitization as risk factors of asthma. This is a cross-sectional study on 3,840 students from 19 junior high schools, aged 13-14 years. AH of the respondents filled out the International Study on Asthma and Allergy in Children (ISAAC) questionnaire. Of 3840 respondents, 288 (7.5%) were assigned to asthma group (experience wheezing during the last 12 months). The skin prick test was performed on 207 respondents and the house dust mite was collected from 135 respondents. Of 2601 respondents in non-asthma group, the skin prick test was randomly performed on 274 respondents and the house dust mite was collected from 165 respondents. There is no significant difference on HDM allergen concentration for Der pi, Derfl or Group I between asthma and control group. The risk of asthma was caused especially by sen D.pteronyssinus (crude odds ration (OR): 12.68, 95% confidence interval (Cl): 7.50-21.44), D.farinae (OR: 10.50, Cl: 6.35-17.34) and cockroach allergen {OR: 5.57, Cl:3.44-9.01). The risk for asthma was not correlated with the level of house dust mile allergens but its sensitization. In conclusion, sensitization to HDM and cockroach allergen should be concerned in order to reduce risk and prevalence of asthma. (MedJ Indones 2006; 15:55-9)."
Depok: Medical Journal of Indonesia, 15 (1) January-March 2006: 55-59, 2006
MJIN-15-1-JanMarch2006-55
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Sundaru
"Asma bagi sebagian besar negara di dunia sudah menjadi masalah. Peningkatan prevalensi, morbiditas, mortalitas, menurunnya kualitas hidup merupakan contoh yang perlu mendapat perhatian. Upaya penanggulangan penyakit tersebut, terbentur kepada belum diketahuinya penyebab asma, sehingga penelitian umumnya ditujukan kepada faktor risiko asma dengan harapan suatu hari diketemukan penyebab yang pasti. Dua faktor utama yang mempengaruhi asma yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik tidak dapat menerangkan terjadinya peningkatan prevalensi asma. Hal ini terbukti dari penelitian-penelitian pada ras yang sama, tetapi tinggal di berbagai negara atau wilayah mempunyai prevalensi asma yang berbeda- beda. Oleh karena itu penelitian terutama ditujukan kepada faktor lingkungan. Faktor genetik seperti terwakili dalam riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang khususnya rinitis alergik yang menyertai asma punya peranan dalam terjadinya serta prevalnsi asma. Dari faktor lingkungan, kadar alergen tungau debu rumah (TDR), sensitisasi alergen, urutan kelahiran anak serta polusi udara dilaporkan berkaitan dengan prevalensi dan berat asma.
Daerah urban sering dilaporkan mempunyai prevalensi asma yang Iebih tinggi dibandingkan daerah rural. Jakarta yang dapat dikatakan mewakili daerah urban dilaporkan mempunyai polusi udara dan frekuensi sensitisasi alergen yang tinggi dibanding dengan Subang suatu wilayah perkebunan dan pertanian dianggap sebagai daerah rural mempunyai udara yang relatif bersih. Sampai sejauh ini belum ada penelitian asma yang mencari faktor risiko terjadinya asma yang membandingkan daerah urban dan rural di Indonesia. Data ini penting untuk upaya pencegahan baik terjadinya asma maupun serangan asma.
PENETAPAN MASALAH
Dari latar belakang di atas timbul pertanyaan apakah ada perbedaan prevalensi dan berat asma antara urban dan rural, jika ada apakah disebabkan oleh riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang menyertai, kadar alergen TDR, sensitisasi alergen, urutan kelahiran, dan polusi udara.
METODOLOGI PENELITIAN
Disain dan analisis penelitian
Potong Iintang, sedangkan analisis yang menyangkut prevalensi menggunakan analisis univariat, untuk membandingkan faktor risiko digunakan analisis bivariat atau analisis kasus kontrol. Analisis multivariat digunakan untuk menghilangkan faktor-faktor pengganggu. Diharapkan penelitian ini menghasilkan model prediksi terjadinya penyakit asma.
Populasi dan sampel penelitian
Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) berusia 13-14 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan.
Tempat dan waktu penelitian
SLTP terpilih di wilayah Jakarta Pusat dan Kabupaten Subang, dari Maret 2003 sampai Oktober 2004.
Cara kerja
Semua siswa dari SLTP terpilih, mengisi kuesioner ISAAC (lnternational Study of Asthma and Allergy in Chifdren) yang berisi gejala asma, riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang menyertai. Sebagian siswa yang terpilih secara random dan kontrol dilakukan uji kulit terhadap 6 macam alergen dan kontrol positif serta negatif. Sampel debu dari atas kasur diambil untuk pengukuran kadar alergen TDR. Polusi udara diukur di Jakarta Pusat dan di Kalijati serta Lapangan Bintang Subang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik kasus
Dari 131 SLTP di Jakarta Pusat, terpilih secara random 19 SLTP yang diikutkan dalam penelitian ini, sedangkan di Subang 12 SLTP dari 72 SLTP. Di Jakarta didapatkan 3840 responden dengan response rate 97,5% dan 3019 responden di Kabupaten Subang dengan response rate 98%. Dari seluruh responden di Jakarta 1751 (45,6%) berjenis kelamin Iaki-laki dan 2089 (54,4%) perempuan, sedangkan di Subang dari total responden 1476 (48,9%) berjenis kelamin laki-Iaki dan 1543 (51,1%) perempuan.
Di Jakarta didapatkan 2601 responden masuk kriteria kontrol dan 480 masuk kriteria asma (mengi 12 bulan terakhir, mengi, olah raga dan batuk malam). Di Subang didapatkan 1094 responden masuk kriteria kontrol dan 737 kriteria asma.
Pada pengukuran kadar alergen TDR di Jakarta terpilih secara random untuk kontrol 164 responden dan kasus 165 responden, di Subang kontrol terpilih secara random 138 dan kasus 168 responden. Uji tusuk kulit pada responden secara random di Jakarta pada 274 kontrol dan 253 kasus dan di Subang 247 kontrol dan kasus 269 orang.
Prevalensi asma
Prevalensi asma 12 bulan terakhir yang merupakan kombinasi gejala mengi, mengi setelah olah raga dan batuk malam 12 bulan terakhir didapatkan 12,5% (480 kasus) di Jakarta dan 24,4% (737 kasus) di Subang, terdapat perbedaan yang bermakna p 0,000 OR 2,26 (IK 95%, 1,49-2,57). Dengan demikian pada penelitian ini prevalensi asma di daerah rural lebih tinggi dari daerah urban.
Prevalensi mengi 12 bulan di Jakarta 7,5% (288 kasus) dan di Subang 9,6% (290 kasus), berbeda bem1akna p 0,001 OR (odds rasio) 1,10 (IK 95% 1,10;1,50). Didapatkan prevalensi batuk malam yang tinggi di Subang, Pada analisis batuk malam menggunakan diagram Venn diperoleh kasus batuk malam saja tanpa disertai mengi sebanyak 190 kasus (4.95%) di Jakarta dan 442 kasus (14,6%) di Subang. Karakteristik batuk malam di Jakarta lebih atopi ( p 0,000 OR 8,81 IK 95% 4,12;19,7) dibanding Subang (p 0,043 OR 1,53 IK 95% 0,99;2,31). Data ini menunjukkan bahwa batuk malam di Jakarta lebih mungkin berkembang menjadi asma, sedangkan di Subang batuk malam Iebih mungkin karena iritasi.
Pengukuran kadar polusi udara di Subang ternyata mempunyai kadar SO; (111,76-114,08 pg/ma) dibanding Jakarta 30,75 pglm3. Dilaporkan kadar S02 yang tinggi menyebabkan mengi dan batuk. Beberapa Iaporan menunjukkan intervensi terhadap tingginya kadar SO2 sampai mendekati normal menyebabkan prevalensi mengi dan batuk menurun secara bermakna. Tingginya prevalensi mengi di Subang berasal dari S02 yang dihasilkan gunung berapi yang masih aktif (Gunung Tangkuban Perahu).
Prevalensi mengi 12 bulan terakhir
Prevalensi mengi 12 bulan terakhir di Subang 9,6% Iebih tinggi dari akarta 7,5% (p 0,001). Perbedaan prevalensi karena Subang mempunyai kadar S02 yang tinggi sehingga menimbulkan mengi dan batuk. Tingginya prevalensi asma di Subang tidak didukung oleh riwayat asma dalam keluarga (Jakarta 30,9%, Subang 28,9% dan p 0,611), penyakit atopi yang menyertai (Jakarta rinitis 50%, Subang 40%), kadar alergen Grup I (Jakarta 2,08 pglg debu, Subang 1,24 pg/g debu dan p 0,013), sementara sensitisasi alergen (Jakarta 79,23%, Subang 55,83% dan p 0,000), urutan kelahiran anak tidak berbeda bermakna (Jakarta OR 0.70, p.0.191, Subang OR 0.86, p. 0.625). Satu-satunya perbedaan yang mendukung tingginya prevalensi mengi 12 bulan di Subang adalah tingginya kadar SO2.
Berbagai faktor risiko di Jakarta yang masuk analisis multivariat seperti riwayat asma dalam keluarga (p 0,000), sensitisasi alergik D pteronyssinus (p 0,000) D.farinae (p 0,000), kecoak (p 0,000) dan Qalbicans (p 0,0429) dan urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 (p 0,09), tetapi setelah analisis multivariat yang bermakna berhubungan dengan asma adalah (model prediksi 1.2), ayah OR 11,73 (IK 95% 3,76;36,62; p 0,000), ibu OR 16.10 (IK 95% _5,44;47,60; p 0,000), ayahdan ibu OR 8,06 (IK 95% 0,85;76,46; p 0,069), D.pteronyssinus OR 14,35 (IK 95% 8,79;23,43; p 0,000), urutan kelahiran anak makin tinggi, makin besar daya proteksi. Urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 OR 0,70 (IK 95% 0,41;1,20; p 0,191) dan Iebih dari 4 OR 0,51(IK 95% 0,22 ; 1,20) (p 0,123).
Sensitisasi alergen D.p1?eronyssinus dan D. farinae kolinier sehingga dimasukkan analisis Salah satu. Population Atributable Risk (PAR) D.pteronyssinus di Jakarta 71,9%. Di Subang hasil analisis multivariat faktor risiko yang ada (model prediksi 2_2) menunjukkan ayah OR 15,04 (IK 95% 4,87-46,39; p 0,000), ibu OR 18,12 (IK 95% 4,98;66,00; p 0,000), D.pteronyssinus OR 2,36 (IK 95% 1,43;3,91; p 0,001), C.albicans OR 15.00 (IK 95% 1,69;1,33). Urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 OR 0,86 (IK 95% 0,46;1,59; p 0,625) dan Iebih dari 4 OR 0,50 (IK 95% 0,13;1,88; p 0,306). Jumlah saudara kandung kolinier dengan urutan kelahiran anak. PAR untuk D.pteronyssinus di Subang 28,2%, Calbicans meskipun mempunyai OR 15,00 tetapi secara klinis kurang penting, dan nilai PARnya hanya 5,4%.
Model prediksi, skoring dan titik potong
Dari analisis multivariat, juga menghasilkan nilai prediksi bentuk terjadinya asma. Nilai prediksi tersebut diperuntukkan bagi masyarakat, dokter maupun peneliti. Bagi masyarakat (model prediksi 1.1 di Jakarta atau 2.1 di Subang) hanya membutuhkan data adanya riwayat asma dalam keluarga, serta urutan kelahiran anak. Bagi dokter (model 1.2 di Jakarta dan 2.2 di Subang) ditambahkan data hasil uji tusuk kulit, terutama alergen TDR), sedangkan bagi peneliti selain data di atas perlu tambahan kadar TDR (model 1.3 di Jakarta dan 2.3 di Subang). Dalam diskusi ini Jakarta diambil sebagai model (1.2 dan 1.3).
Dari hasil analisis Receiver Operator Curve (ROC) antara model prediksi secara matematis dengan skoring ternyata menunjukkan hasil yang tidak berbeda yang dapat dilihat dari 95% IK yang saling bersinggungan dengan kata Iain memprediksi terjadinya asma dengan menggunakan skoring sama baiknya dengan menggunakan model prediksi. Titik potong (cutoff) untuk menentukan batas sensitivitas dan spesitisitas yang terbaik. Model 1.2 skor total 83, titik potong 2 20, sensitivitas 84,6%, spesitisitas 76,01% dan akurasi 79,5%. Model 1.3 skor total 130, titik potong 2 40, sensitivitas 82,96%, spesitisitas 71,34%, prediksi 36,68% dan akurasi 76,59%.
Berat asma
Pada penelitian ini secara statistik derajat berat asma di Jakarta Iebih berat dari pada di Subang, baik untuk frekuensi mengi 12 bulan terakhir (p 0,000) OR 2,87 (IK 95% 1,55;5,33), bangun malam akibat mengi (p 0,000) OR 2,92 (IK 95% 1,71-4.01), mengi serangan hebat dalam 12 bulan terakhir (p 0,000) OR 2,18 (IK 95% 1,46-2,47).
Baik di Jakarta maupun di Subang riwayat asma dalam keluarga tidak mempengaruhi berat asma (p > 0,427) demikian pula dengan penyakit atopi yang menyertai (p > 0,171). Kadar alergen TDR di Jakarta tidak berhubungan dengan derajat berat asma (p > 1,01), begitu pula di Subang (p > 0,250).
Sensitisasi alergen Dfarinae mempunyai kecenderungan berhubungan dengan serangan asma berat di Jakarta (p 0,071), sedangkan di Subang sensitisasi Dpteronyssinus mempunyai hubungan dengan serangan asma berat (p 0,034) dan sensitisasi alergen Dfarinae berhubungan dengan frekuensi tidur ternganggu > 1 malamlminggu (p 0,035) dan serangan asma berat (p 0,004).
Urutan kelahiran anak baik di Jakarta (p > 0,229) maupun di Subang (p > O,349) tidak berhubungan dengan derajat asma.
Kadar emisi kendaraan bermotor NO2, CO, O3 3 sampai 4 kali Iebih tinggi di Jakarta yang umumnya telah mendekati, bahkan kadang-kadang Iebih tinggi dan ambang batas merupakan iritan bagi peserta asma, sehingga memperberat gejala asma yang sudah ada.
KESIMPULAN
- Prevalensi asma baik menurut kriteria kombinasi tiga gejala asma maupun menurut kriteria mengi 12 bulan ternyata Iebih tinggi di Subang (rural) dibanding Jakarta (Urban). Tingginya prevalensi ini berkaitan dengan tingginya kadar SO2, faktor risiko yang Iain seperti riwayat asma datam keluarga, penyakit atopi yang menyertai, kadar alergen TDR, sensitisasi alergen maupun urutan kelahiran anak tidak mendukung tingginya prvalensi asma, sehingga hipotesis ditolak.
- Derajat berat asma berhubungan dengansensitisasi alergen TDR dan kuat dugaan dengan polusi udara dari kendaraan bermotor.
- Dari faktor risiko yang dapat di intervensi sensitivitas alergen TDR merupakan risiko yang penting, terutama di Jakarta karena memberikan nilai PAR 71 ,9%.
- Telah dikembangkan sistem untuk memprediksi terjadinya asma baik untuk masyarakat, dokter maupun peneliti di bidang penyakit asma.
- Riwayat asma dalam keluarga dan sensitisasi alergen TDR berperan dalam terjadinya asma.
SARAN
- Untuk mengurangi terjadinya asma disarankan untuk menghindari perkawinan sesama penderita asma, menghindari alergen TDR sehingga diharapkan dapat mengurangi sensitisasi alergen.
- Perlu kebijakan mengurangi polusi udara dart emisi kendaraan bermotor terutama di Jakarta.
- Penelitian lanjutan mengenai sistem skor pada terjadinya asma di berbagai daerah.
- Pengukuran prevalensi asma dengan menggunakan kuesioner ISAAC pada daerah yang mempunyai kadar SO2 yang tinggi, interprestasinya harus hati-hati.
- Perlu penelitian lanjutan bagi penduduk yang tinggal di sekitar gunung berapi yang masih aktif."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D712
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lily Amirullah A.S
"

Pendahuluan: Tujuan jangka panjang penatalaksanaan asma adalah mencapai status kontrol yang baik, mempertahankan aktivitas secara normal, mengurangi risiko eksaserbasi, mempertahankan fungsi paru mencapai normal atau mendekati normal dan menghindari efek samping obat. Penatalaksanaan secara farmakoterapi dan non farmakoterapi saling berkaitan. Salah satu penatalaksanaan non farmakologi yaitu menilai kepatuhan penggunaan obat pengontrol serta pendekatan kepada pasien terhadap penilaian pengetahuan dan sikap pasien mengenai penyakit asma

Tujuan: Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap mengenai asma dengan kepatuhan penggunaan obat pengontrol pada asma tidak terkontrol di poli asma Rumah Sakit Pusat Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan Jakarta

Metode: Desain penelitian menggunakan metode desain potong lintang pada 96 subjek dengan status asma tidak terkontrol dan terkontrol sebagian yang berobat di poli asma RSUP Persahabatan Jakarta mulai Juli hingga Agustus 2019. Analisis deskriptif pada data menggunakan SPSS versi 20 dan uji Chi square untuk menilai kemaknaan (dikatakan bermakna bila p<0,05).

Hasil: Subjek perempuan, usia dewasa, tingkat pendidikan sedang, tidak bekerja dan IMT lebih merupakan karakteristik subjek yang terbanyak pada penelitian ini. Sebanyak 80 subjek memiliki tingkat kepatuhan yang baik terhadap penggunaan obat pengontrol. 80 subjek memiliki tingkat pengetahuan yang baik, 11 subjek memiliki tingkat pengetahuan yang sangat baik, 5 subjek memiliki tingkat pengetahuan sedang. Sebanyak 84 subjek memiliki sikap yang baik mengenai asma. Tidak terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan penggunaan obat pengontrol (p=0,765) dan juga tidak terdapat hubungan antara sikap dengan kepatuhan penggunaan obat pengontrol (p=0,408).

Kesimpulan: Hubungan tingkat pengetahuan subjek dan sikap subjek mengenai asma tidak bermakna secara statistik terhadap kepatuhan penggunaan obat pengontrol. Walaupun demikian, tingkat pengetahuan asma yang sangat baik dan sikap yang baik mengenai asma menunjukkan proporsi kepatuhan penggunaan obat pengontrol yang lebih baik dibandingkan kategori lainnya.

 

Kata Kunci: Pengetahuan, sikap, kepatuhan, obat pengontrol, status 


Introduction:The long-term goals asthma management are achieve symptom control, maintain normal activity, risk reduction, maintain normal lung function and avoid medication side effect. Pharmacology and non-pharmacology management are related each other. Non-pharmacology management are asses the adherence controller medication and approach to the patient in evaluating the knowledge and attitude about asthma.

Aim:Asses the association of knowledge and attitude about asthma with controller medication adherence of uncontrolled asthma patients in asthma clinic Persahabatan Hospital Jakarta.

Method:Cross sectional study of 96 adults with uncontrolled and partial controlled asthma attending asthma clinic at Persahabatan hospital Jakarta in July until August 2019. Descriptive analysis method with SPSS version 20 and Chi square test to asses significancy (p<0,05).

Result:Woman, adult, moderate educational level, non job and higher body mass index are the most characteristic subject in this study. 80 subjects have good adherence with controller medication. 80 subjects have good knowledge, 11 subjects have very good knowledge, 5 subjects have moderate knowledge. Asthma can be cured/controlled and adjust dose of the medications according to patients symptoms/cost are the most attitude found in this study. There is no association between knowledge and controller medication adherence (p=0,765) and no association between attitude and controller medication adherence (p=0,408).

Conclusion: The association between knowledge and attitude about asthma with controller medication adherence have no significancy in statistical analysis. Eventhough, excellent knowledge and good adherence show better proportion in controller medication adherence than other category

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>