Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 220772 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Stesy Natassa
"Latar Belakang: Penanda anatomi yang dipakai pada anestesia spinal adalah ruang sela tulang belakang setinggi L4-L5. Letak ruang sela tulang L4-L5 selama ini dianggap tepat berada pada garis Tuffier yang merupakan garis khayal transversal yang menghubungkan kedua krista iliaka. Letaknya sangat bervariasi karena pengaruh beberapa faktor seperti adanya perbedaan ras, jenis kelamin, usia, dan faktor antropometrik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara usia, jenis kelamin dan faktor antropometri terhadap jarak ruang sela tulang belakang L4-L5 dari garis Tuffier pada ras Melayu dengan menggunakan panduan ultrasonografi di RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian ini bersifat analitik observasional dengan rancangan potong lintang pada pasien yang menjalani anestesia spinal di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan Februari-Mei 2017 setelah mendapatkan izin dari komite etik. Sebanyak 93 subjek diambil dengan metode consecutive sampling. Analisis statistik dilakukan untuk mengetahui hubungan antara usia, jenis kelamin dan faktor antropometri terhadap jarak antara sela tulang L4-L5 dari garis Tuffier pada ras Melayu dengan menggunakan uji Mann Withney dan uji Pearson, kemudian dilakukan analisis multivariat dengan metode regresi linier berganda untuk memperoleh formula prediksi jarak antara sela tulang belakang L4-L5 dari garis Tuffier pada ras Melayu.
Hasil: Hasil penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa jarak ruang sela tulang belakang L4-L5 dari garis Tuffier adalah -2.59 1.58 cm. Analisis korelasi menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara tinggi badan dan jenis kelamin terhadap jarak antara sela tulang belakang L4-L5 dari garis Tuffier. Formula prediksi jarak yang diperoleh pada penelitian ini adalah 4.921 [0.536 x 1 bila laki-laki atau 2 bila perempuan ] ndash;0.052 x tinggi badan dalam cm.
Simpulan: Terdapat pengaruh jenis kelamin dan tinggi badan terhadap jarak antara sela tulang L4-L5 dari garis Tuffier. Formula prediksi jarak antara ruang sela tulang belakang L4-L5 dari garis Tuffier pada subjek ras Melayu dewasa adalah 4.921 [0.536 x 1 bila laki-laki atau 2 bila perempuan ] ndash;0.052 x tinggi badan dalam cm . Kata kunci: garis Tuffier ndash; ras Melayu dewasa-ruang sela tulang belakang L4-L5 ndash; Ultrasonografi

Background The anatomical marker used in spinal anesthesia is L4 L5 interspace. The L4 L5 interspace is thought to be right on the Tuffier`s line which connects the two highest point on the iliac crest. The location of L4 L5 interspace from the Tuffier`s line varies greatly due to the influence of several factors such as differences in race, sex, age, and anthropometric factors. This study aimid to examine the relationship between age, sex and anthropometry factors with the distance of L4 L5 interspace from Tuffier`s line among Malay race patients using ultrasound guidance at Cipto Mangunkusumo hospital.
Methods This was an observational analytic study with cross sectional design. Following assessment the ethics committee, patients undergoing spinal anesthesia at Cipto Mangunkusumo hospital in February May 2017 were admitted in the study.. A total of 93 subjects were included by using the consecutive sampling method. Statistical analysis was performed to find the relationship between age, sex and anthropometry factors with the distance L4 L5 interspace from Tuffier`s line using Mann Withney and Pearson test. Additionally, multivariate analysis with multiple linear regression method was used to obtain the prediction formula of the distance between L4 L5 interspace to the Tuffier`s line on the Malay race.
Result This study generated that the distance of L4 L5 interspace from the Tuffier line is 2.59 1.58 cm. Correlation analysis showed a significant relationship between height and sex to the distance of L4 L5 interspace and the Tuffier`s line. The distance prediction formula obtained in this study is 4.921 0.536 x 1 for male or 2 for female 0.052 x height in cm.
Conclusion There was a significant relationship between height and sex to the distance of L4 L5 interspace from the Tuffier`s line. The distance prediction formula between L4 L5 interspace and Tuffier`s line on adult Malay race subject is 4.921 0.536 x 1 for male or 2 for female 0.052 x height in cm . Keywords adult Malay race L4 L5 interspace Tuffier`s line Ultrasonography.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Sugianto
"Latar belakang dan tujuan: Dalam dekade terakhir. penggunaan PCS termasuk N. Tibialis posterior, semakin dirasakan manfaatnya Kegunaannya terutama untuk memperkirakan keluaran dari penderita gangguan medula spinalis. Hasil perekaman PCS dapat dikatakan normal ataupun abnormal tergantung dari nilai normal yang sudah didapat sebelumnya, dalam hal ini masa laten dan amplitudo. Saat ini nilai normal yang dipakai berasal dari rujukan luar negeri. Terdapat kemungkinan nilai normal tersebut kurang tepat dipakai untuk orang Indonesia dikarenakan perbedaan yang ada antara orang Indonesia dan Non Indonesia. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan rerata nilai normal masa laten dan amplitudo PCS N. Tibialis posterior orang dewasa Indonesia. Metode: Perekaman PCS N. Tibialis posterior diambil dari para sukarelawan di lingkungan bagian Ilmu Penyakit Saraf FKUI RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta mulai bulan Desember 1997 sampai Juli 1998. Analisis statistik menggunakan metode uji-t, dan uji regresi linier dan multivariat. Hasil Rekaman dilakukan pada 104 subyek, terdiri dari 52 pria dan 52 wanita, berusia antara 15-50 tahun. Hasilnya adalah sebagai berikut (1) tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara masa laten pria dan wanita, (2) tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara masa laten dari tungkai kanan dan tungkai kiri; (3) terdapat korelasi yang bermakna antara usia ataupun tinggi badan dengan masa laten, di mana semakin tua ataupun tinggi seseorang masa latennya semakin panjang, dan (4) hanya pada usia saja terdapat hubungan yang bermakna dengan amplitudo, di mana semakin tua seseorang amplitudonya semakin kecil. Oleh karena itu, usia dan tinggi badan harus diperhatikan saat mengevaluasi hasil perekaman PCS N. Tibialis posterior."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57300
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dede Wirdah Budiastuti
"Pasien dengan kasus cedera/trauma spinal memerlukan perawatan yang komprehensif dan mungkin akan membutuhkan waktu yang lama untuk pasien dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya. Selama pasien menjalani masa perawatan di rumah sakit, asuhan keperawatan yang tepat diberikan kepada pasien adalah dengan model konsep teori adaptasi Roy. Asuhan dengan pendekatan model adaptasi ini menjadi pilihan yang sesuai untuk kasus-kasus perawatan jangka panjang sehingga pasien dapat menjalani kehidupan lanjutan pasca perawatan dengan baik, mengembalikan kemandirian, kepercayaan diri terutama konsep gambaran diri dan status peran di masyarakat. Perawat dengan pendidikan spesialis harus mampu menjalankan berbagai peran terutama sebagai Clinical Care Manager, dengan demikian peningkatan layanan keperawatan di rumah sakit dapat dicapai dengan lebih optimal dan memberikan kepuasan pelanggan. Adapun pasien dengan masalah neurologis yang menjalani perawatan jangka panjang, immobilisasi dan disabilitas akan beresiko besar terhadap kejadian thrombosis vena dalam, dengan demikian perlu adanya suatu model asesmen penilaian resiko sehingga pencegahan dan tatalaksana terhadap kondisi tersebut dapat dilakukan lebih dini agar pasien terhindar dari komplikasi perawatan dan meningkatkan keselamatan pasien selama perawatan di rumah sakit. Laporan analisis praktek ini membahas mengenai asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera spinal dengan menggunakan pendekatan model konsep adaptasi Roy, resume 30 kasus pasien dengan gangguan neurologis di RSCM dan RS PON Jakarta, laporan praktik keperawatan berbasis fakta yaitu model asesmen resiko kejadian thrombosis vena dalam dan inovasi keperawatan. Diharapkan laporan karya ilmiah akhir ini dapat menjadi salah satu informasi untuk pengembangan pendidikan keperawatan spesialis terutama perawat yang memberikan layanan kepada pasien dengan gangguan neurologis.

Patients with spinal injuries or neurological disorders require comprehensive care and it may take a long time for the patient to adapt with the changes. During the patient's stay in the hospital, appropriate nursing care should be given to the patient, using the Roy adaptation theory concept model. This model is one of the best appropriate nursing care approach for long-term care cases so that patients can lead a good post-treatment life, restore independence, self-confidence, especially the concept of self-image and role status in society. Nurses with specialist education must be able to carry out various roles, especially as a Clinical Care Managers, thus improving nursing services in hospitals can be achieved more optimally and provide customer satisfaction. As for patients with neurological problems who undergo long-term care, immobilization and disabilities will be at great risk for the incidence of deep vein thrombosis, thus it is necessary to have a risk assessment model so that prevention and management of these conditions can be carried out earlier to avoid complications of treatment and improve patient safety during hospitalization. This practice analysis report discusses nursing care in patients with spinal injuries using Roy's adaptation concept model approach, resumes of 30 cases of patients with neurological disorders at RSCM and PON Jakarta Hospital, reports on fact- based nursing practice, namely a model of risk assessment for deep vein thrombosis and innovation. nursing. It is hoped that this final scientific paper report can be one of the information for the development of specialist nursing education, especially nurses who provide services in neuro care unit."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hanung Sunarwibowo
"ABSTRAK
OBJECTIVE: We determined whether the accuracy of thoracaolumbar pedicle screw
direction placement is optimized with a technique using anatomic landmarks for
pedicle screw and using S30 as guidance (Technique 1). This technique was
compared with a technique using anatomic landmarks for pedicle screw placement
without S3D as guidance (Technique 2).
METHODS: T7-L1 specimens were harvested from fresh human cadavers. Pedicle
screw placement using technique 2 was performed on lelt side. Vertebral rotation
and vertebral tilting measurement was determined using S3D. Then pedicle screw
placement using technique 1 was performed on right side. Axial dissections were
performed on pedicular specimens. Deviation of the screws from the ideal entry point
or trajectory was analyzed to quantitatively compare the two techniques.
RESULTS: Axial analysis of the specimens showed that all screw placements were
within the pedicles. Scatter plot analysis demonstrated that screws placed using
Technique 2 were more likely to have the combination of entry points and
trajectories medial to the ideal entry point and trajectory.
CONCLUSION: All screw placements were grossly within the confines of the
pedicles, regardless of technique, as evidenced by axial dissections analysis."
2007
T21343
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Hayati Heryundari
"Tujuan : dilakukan penelitian untuk membandingkan keefektifan morfin 0,05 mg intratekal plus ketorolak 30 mg intramuskular dengan morfin 0,1 mg intratekal untuk mencegah nyeri pasca bedah sesar dengan analgesia spinal bupivakain 0,5% 12,5 mg.
Disain : uji klinis acak tersamar ganda.
Metode : 96 pasien yang menjalani bedah sesar dibagi 2 kelompok. Kelompok A sebanyak 48 orang mendapat 0,05 mg morfin pada suntikan bupivakain 0,5% 12,5 mg intratekal plus ketorolak 30 mg intramuskular dan kelompok B sebanyak 48 orang mendapat 0,1 mg morfin pada suntikan bupivakain 0,5% 12,5 mg plus NaCi 0,9% 1 cc intramuscular. Selanjutnya dilakukan pemantauan nyeri menggunakan VAS, tekanan darah, frekuensi nadi, nafas dan efek samping pada jam ke 2, 4, 6, 8, 16 dan 24 pasca operasi.
Hasil : kelompok A mempunyai efek analgesia yang setara dengan kelompok pada pemantauan jam ke 2 hingga ke 24 dan pa 0,05_ Efek samping pruritus, mual muntah kelompok A 14,6%, 2,1%, 2,1% sedangkan kelompok B 43,0%, 10,4%, 4,2%.
Kesimpulan : morfin intratekal 0,05 mg plus ketorolak 30 mg intramuskular menghasilkan analgesia yang tidak berbeda bermakna dengan morfin 0,1 mg dan menurunnya efek samping pruritus, mual dan muntah pasca bedah sesar.

Objective : this study was conducted to compare the effectiveness of 0,05 mg intrathecal morphine plus 30 mg intramuscular ketorolac with 0,1 mg intrathecal morphine for postoperative pain control after cesarean delivery under spinal analgesia with 12,5 mg of 0,5 % plain bupivacaine.
Design : double blind, randomized clinical study
Methods : 96 patients who underwent cesarean delivery, were divided into 2 groups. Group A : 48 patients got 0,05 mg intrathecal morphine at injection of 12,5 mg bupivacaine 0,5 % combined with 30 mg intramuscular ketorolac. Group B : 48 patients got 0,1 mg intrathecal morphine at injection of 12,5 mg bupivacaine 0,5 % plus NaCl 0,9 % intramuscular. All patients were observed and evaluated for the first 24 hours : the effectiveness of analgesia using VAS, BP, HR and RR.
Result : group A have the same effectiveness of post operative pain control with group B during the observations. A significanty greater incidence of pruritus was observed in the group B receiving 0,1 mg of intrathecal morphine. Although no significant difference among groups was observed regarding the incidence of vomiting, there was a trend toward less vomiting with the use of smaller doses of morphine.
Conclusion : a multimodal approach to pain control with the use of a combination drug ( 0,05 intrathecal morphine and 30 mg im ketorolac) have same quality of analgesia that provided with 0,1 mg intrathecal morphine but the incidence of side effects trend to decrease."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T58437
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahmi Agnesha
"Latar Belakang : Brakhiterapi intrakaviter merupakan terapi keganasan pada stadium lanjut yang sering digunakan pada bidang ginekologi. Pasien brakhiterapi pada umumnya dilakukan dengan pelayanan rawat jalan sehingga anestesia yang menjadi pilihan selama ini adalah anestesia spinal.Pemilihan obat yang memiliki waktu pulih anestesia spinal yang lebih cepat membuat pasien dapat pulang kerumah lebih cepat. Penelitian ini mencoba mengetahui waktu pulih anestesia spinal levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg dibandingkan dengan bupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg pada brakhiterapi intrakaviter rawat jalan.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dan uji klinik acak tersamar ganda yang akan dilaksanakan di unit radioterapi RSCM pada bulan Oktober 2015. Sebanyak 60 orang subyek penelitian akan dibagi menjadi dua kelompok perlakuan yaitu levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg (LV) dan bupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg (BV) untuk menilai waktu pulih anestesia spinal antara kedua kelompok perlakuan tersebut.
Hasil : Pengukuran waktu pulih dilakukan dengan menilai waktu kesiapan pulang pasien, waktu ambulasi dan waktu pasien dapat miksi spontan. Pada variabel waktu ambulasi, miksi spontan, dan waktu kesiapan pulang didapatkan hasil berbeda bermakna (p < 0,05).
Simpulan : Waktu pulih anestesia spinal, waktu ambulasi dan waktu miksi pada kelompok levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg lebih cepat jika dibandingkan dengan bupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg pada brakhiterapi intrakaviter rawat jalan.

Introduction : Intracavitary brachytherapy is one of advanced stage cervical cancer modality treatment. These patients were treated as outpatient clinic fashion and the chosen anesthesia was spinal anesthesia. The regimens of spinal anesthesia will influenced the recovery time. The aim of the study is to compare the recovery time between two spinal anesthesia regimens Levobupivacaine + 25 mcg Fentanyl and 5 mgs Hyperbaric Bupivacaine+ 25 mcg Fentanyl for brachytherapy outpatient clinic patient.
Method: This is a double blind randomized control trial study. The study was taken place at radiotherapy unit RSCM at October 2015. There were 60 patients that divided into two groups Levobupivacaine + 25 mcg Fentanyl group and 5 mgs Hyperbaric Bupivacaine+ 25 mcg Fentanyl group. These two groups will be measured for spinal anesthesia recovery time.
Result : The spinal anesthesia recovery time measured by discharged readiness time, ambulation time, spontaneous micturition time. From the result of the study all of these three variables were significantly different between these two group regimens (P< 0,05).
Conclusion : spinal anesthesia recovery time, ambulation time, spontaneous micturition time of Levobupivacaine + 25 mcg Fentanyl group were faster than 5 mgs Hyperbaric Bupivacaine+ 25 mcg Fentanyl group at intracavitary brachytherapy outpatient clinic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T55725
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Witantra Dhamar Hutami
"Pendahuluan
Untuk menentukan apakah diperlukan fusi tulang belakang disamping dekompresi untuk kasus stenosis spinal lumbar (SSL) akan bergantung kepada stabilitas segmen tulang belakang yang terkena. Stabilitas tulang belakang didefinisikan sebagai kemampuan tulang belakang untuk mempertahankan kemampuan geraknya dengan serta mencegah terjadinya nyeri, defisit neurologis, dan angulasi yang tidak normal. Namun, sampai saat ini, belum ada konsensus yang jelas tentang definisi ketidakstabilan untuk menentukan apakah diperlukan fusi pada kasus SSL. Dalam penelitian ini, kami mengembangkan sistem penilaian baru, yang disebut dengan Indonesia Score of Spinal Instability (ISSI), untuk membantu menentukan adanya ketidakstabilan pada tulang belakang dan mengevaluasi kebutuhan fusi pada LSS.
Metodologi Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, tahap pertama adalah tinjauan sistematis untuk menemukan prediktor ketidakstabilan tulang belakang pada SSL, tahap kedua adalah pengembangan sistem penilaian untuk ketidakstabilan tulang belakang - Indonesia Score of Spinal Instability (ISSI) melalui pendapat ahli dan teknik Delphi yang dimodifikasi, dan tahap ketiga adalah studi validitas dan reliabilitas sistem penilaian yang baru dikembangkan. Tinjauan sistematis dilakukan dengan menggunakan pedoman dari Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA). Pendapat ahli dan teknik Delphi yang dimodifikasi dilakukan oleh ahli bedah tulang belakang berpengalaman di Indonesia yang telah terpilih, tahap ini dilakukan dua kali untuk menilai apakah ada perbedaan antara putaran pertama dan kedua. Tahap kedua akan menghasilkan ISSI yang baru. Pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan di rumah sakit institusional kami, yang melibatkan ahli bedah Ortopedi dan Ahli Radiologi yang bersertifikasi dan dibandingkan dengan penilaian radiologis dari White & Panjabi.
Hasil
Sebanyak 54 studi dimasukkan dalam tinjauan sistematis, dan prediktor ketidakstabilan pada stenosis tulang belakang dibagi menjadi klinis (adanya nyeri punggung sebagai gejala primer atau sekunder), radiografi polos statis (adanya vacuum phenomenon, kolaps diskus intervertebralis, sklerosis subkondral, dan traction spur), radiografi polos dinamik (translasi dan angulasi dinamik), dan temuan pencitraan resonansi magnetik/ (magnetic resonance imaging, MRI) yang terdiri dari efusi sendi faset, degenerasi otot multifidus, degenerasi endplate, dan degenerasi diskus. Melalui pendapat para ahli dan teknik Delphi yang dimodifikasi, penilaian ISSI dikembangkan dan terdiri dari komponen klinis (nyeri punggung), komponen radiografi dinamik (translasi horizontal dan angulasi), dan komponen MRI (efusi sendi faset), masing- masing komponen tersebut akan diberi nilai, dan total nilai adalah 0 hingga 14. Penilaian akhir akan mengklasifikasikan pasien ke dalam tiga kelompok: kelompok stabil (nilai 0 hingga 4) di mana fusi tidak diperlukan, kelompok berpotensi tidak stabil (nilai 5 hingga 8) di mana keputusan fusi didasarkan pada penilaian klinis dokter bedah, dan kelompok tidak stabil (nilai 9 hingga 14) di mana fusi diperlukan. Tahap akhir penelitian menyimpulkan bahwa ISSI ini memiliki validitas dan reliabilitas yang baik.
Diskusi dan Kesimpulan
ISSI yang baru dikembangkan adalah sistem penilaian ketidakstabilan tulang belakang pada kasus SLL degeneratif yang sahih (valid) dan dapat diandalkan (reliabel), yang dapat membantu mengidentifikasi adanya ketidakstabilan pada SSL degenratif. ISSI diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman untuk memutuskan apakah fusi tulang belakang diperlukan.

Introduction
Whether spinal fusion is performed in addition to a decompression for lumbar spinal stenosis (LSS) depends on the stability of the involved spinal segments. Spinal stability is defined as the ability of the spine to maintain its degree of motion while simultaneously preventing pain, neurologic deficits, and abnormal angulation. However, until currently, there is no clear consensus regarding the definition of instability to perform fusion in the cases of LSS. We developed a new scoring system, the Indonesia Score of Spinal Instability (ISSI), to identify spinal instability and to evaluate the need of spinal fusion in LSS.
Materials and Methods
This study consisted of three stages, the first stage was the systematic review to find predictors of spinal instability in LSS, the second stage was the development of scoring system for spinal instability – the Indonesia Score of Spinal Instability (ISSI) through expert opinion and modified Delphi technique, and the third stage was validity and reliability studies of the new developed scoring system. The systematic review was performed through Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta- Analyses (PRISMA) guideline. Expert opinion and modified Delphi technique were performed by experience spine surgeons in Indonesia who had been elected, this stage was performed twice to assess whether there was difference between first and second rounds. The second stage would yield the new developing ISSI. Validity and reliability testing were performed in our institutional hospitals, which included the board-certified Orthopaedic surgeon and Radiologist and was compared with the radiological checklist from White & Panjabi.
Results
A total of 54 studies were included in the systematic reviews, and the predictors of instability in spinal stenosis were divided into clinical (presence of back pain as primary or secondary symptoms), static plain radiograph (presence of vacuum phenomenon, intervertebral disk collapse, subchondral sclerosis, and traction spurs), dynamic plain radiograph (horizontal translation and angulation), and magnetic resonance imaging/ MRI findings (facet joint effusion, fatty degeneration of multifidus, endplate degeneration, and disk degeneration). Through expert opinion and modified Delphi technique, ISSI score was developed and consisted of the clinical component (back pain), dynamic radiograph component (horizontal translation and angulation), and MRI component (facet joint effusion), each of the component would be scored, and the total scoring would be from 0 to 14. The final scoring would classify patients into three groups: stable group (score of 0 to 4) in which the fusion is not needed, potentially unstable group (score of 5 to 8) in which the decision of fusion is based on surgeon’s clinical judgment, and unstable group (score of 9 to 14) in which the fusion is needed. Final stage of study concluded that this ISSI had good reliability and validity
Discussion and Conclusion
The new developed ISSI was a valid and reliable scoring system that could help to identify the presence of instability in LSS and the need of fusion. This ISSI can be used as a guideline to decide whether spinal fusion would be needed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Fardian
"ABSTRAK
Menggigil merupakan komplikasi paska anestesi spinal dengan insidens yang cukup tinggi dan memberikan dampak perubahan fisiologis yang merugikan bagi pasien sehingga perlu dicegah dan ditanggulangi secepatnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian premedikasi obat golongan antagonis 5-HT3 Granisetron 10 μg/kgBB intravena terhadap kejadian menggigil paska anestesi spinal. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda yang bersifat eksperimental pada 32 pasien, dengan status fisik ASA 1-2 yang menjalani operasi dengan anestesi spinal yang terbagi dua kelompok yaitu yang mendapat perlakuan (kelompok G) dan kelompok kontrol (kelompok K). Hasil penelitian didapatkan perbedaan angka kejadian menggigil yang bermakna pada kedua kelompok serta terdapat perbedaan signifikan derajat menggigil maksimal pada kedua kelompok. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberian premedikasi Granisetron dengan dosis 10 μg/kgBB intravena sebelum dilakukan anestesi spinal terbukti bermakna menurunkan angka kejadian menggigil dan mengurangi derajat atau intensitas menggigil paska anestesi spinal.

ABSTRAK
Shivering is a complication of spinal anesthesia with high incidence which has adverse physiological changes to patient. It is important to prevent and treat immediately. This study aims to determine the premedication effect of intravenous Granisetron 10 μg/kgBW on the incidence of post spinal anesthesia shivering. This study was designed as double blind experimental study to 32 patients with ASA 1-2, who underwent surgery under spinal anesthesia and divided into two groups The patients were randomized and divided into two groups : Group G who received premedication before spinal puncture, Group K as a control. The result showed that incidence of shivering between two groups were statistically different and there were significant difference in maximal intensity of shivering between two groups. The conclusion of this study is intravenous Granisetron 10 μg/kgBW as premedication before spinal anesthesia has decreased the incidence and intensity of post anesthesia shivering"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emi Setyaningsih
"Insersi jarum spinal dapat menimbulkan nyeri sehingga perlu dilakukan teknik stimulasi kompres dingin guna menurunkan intensitas nyeri yang dialami. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi efektivitas kompres dingin dalam menurunkan intensitas nyeri insersi jarum spinal pada prosedur spinal anestesi. Desain yang digunakan adalah quasy experimental dengan pendekatan post test only design non equivalent control group. Sampel terdiri dari 72 pasien dewasa yang terbagi atas 36 orang kelompok intervensi dan 36 orang kelompok kontrol.
Analisis data untuk mengetahui perbedaan rerata kelompok perlakuan (kompres dingin) dan kelompok kontrol (standar prosedur) dengan intensitas nyeri dan menganalisis hubungan variabel jenis kelamin dan pengalaman nyeri insersi spinal dengan intensitas nyeri menggunakan uji Mann Whitney. Analisis data untuk mengetahui hubungan variabel usia, ukuran jarum spinal dan kecemasan dilakukan uji Kruskal Wallis.
Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara kelompok perlakuan (kompres dingin) dan kelompok kontrol (standar prosedur) dan hubungan bermakna antara variabel kecemasan dengan intensitas nyeri (p<0,05). Hasil analisis menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna pada variabel usia, jenis kelamin, pengalaman nyeri insersi dan ukuran jarum spinal (p>0,05). Dapat disimpulkan kompres dingin merupakan intervensi yang terbukti efektif untuk menurunkan intensitas nyeri insersi jarum spinal pada prosedur spinal anestesi.

Spinal needle insertion may cause pain hence cold compress stimulation technique to reduce the intensity of the pain is required. This study aims to identify the effectiveness of cold compress in reducing the intensity of spinal needle insertion pain in spinal anesthesia procedures. The design used was quasy experimental with post test only design non equivalent control group approach. The sample consisted of 72 adult patients divided into 36 intervention groups and 36 control groups.
Data analysis is to obtain the difference average of treatment group (cold compress) and control group (standard procedure) with pain intensity and analyze the connection of gender and spinal insertion pain variables and the intensity of pain using Mann Whitney test. Data analysis to obtain the correlation of age, spinal needle size and anxiety variables was conducted using Kruskal Wallis test.
Analysis results show that there are significant differences between treatment group (cold compress) and control group (standard procedure) and significant relationship between anxiety variables with pain intensity (p <0.05). The results show no significant association in age, sex, insertion pain experience and spinal needle size (p> 0.05). It can be concluded that cold compress is an effective intervention to decrease the intensity of spinal needle insertion pain in spinal anesthesia procedure."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49253
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
K.M.A. Halim Habibi
"LATAR BELAKANG Pembedahan merupakan pengobatan utama tumor spinal pada umumnya. Pembedahan minimal invasif menjadi trend karena menghasilkan cidera jaringan minimal dengan tujuan operasi tetap tercapai. Laminektomi unilateral merupakan salah satu teknik yang memenuhi pilar dasar operasi minimal invasif. Penulis mengevaluasi efektivitas dan efisiensi teknik laminektomi unilateral removal tumor serta perbandingan terhadap teknik konvensional.
METODE Disain studi deskriptif analitik dengan data rekam medis periode Januari 2015 – Juni 2020. Skor fungsional (VAS, KPS, Recovery rate/Hirabayashi, Nurick) dihitung saat pra dan pascaoperasi 1, 3, 6, 12, dan 24 bulan. Efisiensi teknik laminektomi unilateral dievaluasi melalui lama operasi, jumlah perdarahan, lama rawat. Efektivitas dievaluasi melalui resektabiltas intraoperasi dan MRI kontrol tulang belakang pasca operasi
HASIL Terdapat 26 pasien, rerata usia (44.17 ± 14.4) tahun, lelaki 12 (46.1%) dan perempuan 14 (53.8%). Skor fungsional pra operasi (Median VAS 4 (0-8), Nurick 4.5 (1-6), JOA servikal 5 (2-10), Torakal 3.5 (2-9), lumbal 19 (14-23) dan KPS 60 (40-80). Follow up 24 bulan pascaoperasi VAS (0) 94%, recovery rate excellent 81%, Nurick (< 3) 87% dan KPS (> 70%) 87%. Median perdarahan intraoperasi 175 (50-1200) ml, lama operasi 180 (120-540) menit dan lama rawat 6.5 (4-42) hari. Gross total resection 76.9%. Terdapat satu komplikasi pseudomeningocele pada follow up 3 bulan pascaoperasi yang menghilang tanpa intervensi pada follow up MRI kontrol 6 bulan pascaoperasi.
SIMPULAN Laminektomi unilateral memungkinkan gross total resection dengan recovery rate baik, trauma operasi dan komplikasi lebih kecil terhadap teknik konvensional.

BACKGROUND Pembedahan merupakan pengobatan utama tumor spinal pada umumnya. Pembedahan minimal invasif menjadi trend karena menghasilkan cidera jaringan minimal dengan tujuan operasi tetap tercapai. Laminektomi unilateral merupakan salah satu teknik yang memenuhi pilar dasar operasi minimal invasif. Penulis mengevaluasi efektivitas dan efisiensi teknik laminektomi unilateral removal tumor serta perbandingan terhadap teknik konvensional.
METHOD Design of study is analytic descriptive using medical records period January 2015 – June 2020. Functional Scores (VAS, KPS, Recovery rate/Hirabayashi, Nurick) achieved pre and postoperation 1,3,6,12,and 24 months. Efficiency is observed from operative time, intraoperative bleeding, length of stay. Effectivity is observed from resectability during intraoperative and MRI control post operation.
RESULT There are 26 patients, mean age ( 44.17 ± 14.4) years, male 12 (46.1%), female 14 (53.8%). Functional score pre operation (median VAS 4 (0-8), Nurick 4.5 (1-6), JOA cervical 5 (2-10), Thoracal 3.5 (2-9), lumbar 19 (14-23) and KPS 60 (40-80). At Follow up 24 months after operation there are 94% with no pain, 81% excellent recovery rate, 87% Nurick <3 and 87% KPS >70%. Median of estimated blood loss 175 (50-1200) ml, operative time 180 (120-540) min and length of stay 6.5 (4-42) days. Gross total resection are 20 (76.9)% cases. There are one complication pseudomeningocele which detected in MRI control after 3 month surgery, then resolved without surgery by the 6 months control.
CONCLUSION Gross total resection maybe achieved by unilateral laminectomy and produces less complication and trauma compare to conventional technique.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>