Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178772 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fanny Fachrucha
"ABSTRAK
Latar belakang: Pneumonia komunitas merupakan penyakit yang sering terjadi dan berhubungan dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengeluarkan pedoman pemberian antibiotik penanganan pasien pneumonia komunitas di Indonesia untuk mengurangi angka kematian pasien pneumonia komunitas.
Tujuan: untuk mengetahui angka kepatuhan penggunaan panduan antibiotik untuk pasien pneumonia komunitas yang di rawat inap berdasarkan panduan PDPI di RSUP Persahabatan serta pengaruhnya terhadap lama perawatan dan angka mortalitas pasien.
Metode: Penelitian observasional kohort retrospektif di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Data diambil dari data rekam medis pasien yang didiagnosis pneumonia komunitas, yang dirawat di ruang rawat inap Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi RSUP Persahabatan, periode Juli 2014 sampai dengan Juli 2016.
Hasil: Sampel penelitian 107 subjek, dengan karateristik pasien laki-laki 70,1% dan perempuan 29,9%. Median usia 56 tahun dengan usia minimum 18 tahun dan usia maksimum 96 tahun. Angka kepatuhan dokter terhadap penggunaan antibiotik berdasarkan pedoman penatalaksanaan pneumonia PDPI pada pasien pneumonia komunitas yang dirawat inap di RSUP Persahabatan sebesar 70,1%. Angka mortalitas pasien pneumonia komunitas berhubungan secara bermakna dengan kesesuaian pemberian antibiotik dengan pedoman PDPI dan derajat risiko PSI dengan nilai OR berturut-turut 2,93 (95%IK1,23-6,94) dan OR 3.02 (95%IK 1.25-7.29). Kesimpulan: Angka kepatuhan penggunaan antibiotik angka kepatuhan penggunaan panduan antibiotik untuk pasien pneumonia komunitas berdasarkan panduan PDPI berhubungan dengan angka mortalitas pasien.

ABSTRACT<>br>
Background: Community acquired pneumonia (CAP) is a common disease and is associated with high morbidity and mortality. Indonesian Society of Respirology has been recommended empiric antibiotic guidelines for patients with community-acquired pneumonia in 2014. These guidelines are designed to reduce the mortality rate of CAP patients. Objective: to determine the compliance rate of antibiotic guidance for inpatient community pneumonia patients based on PDPI antibiotic guidelines in Persahabatan Hospital and its effect on the length of stay and mortality rate CAP patients. Method: This is a retrospective cohort observational study inPersahabatan Hospital. Data were collected from medical records of patients diagnosed with CAP, who were admitted to the Department of Pulmonology and Respiratory Medicine during July 2014 to July 2016. Results: The sample was 107 subjects. Proportion male and female were 70.1% and 29.9%. The median age was 56 years old with a minimum age was 18 years and a maximum age was 96 years. Doctors' compliance rates on PDPI's guidelines for the management CAP patients was 70.1%. The mortality rate of CAP patients was significantly associated with the national guidelines-concordant empiric antibiotic therapy and the class risk of PSI with OR 2.93 (95% IK1,23-6,94) and OR 3.02 (95% IK 1.25-7.29) reversely. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jaswin Dhillon
"Latar belakang dan tujuan: Dari berbagai literatur, salah satu penyebab kegagalan respons klinis pasien pneumonia komunitas adalah akibat pemberian terapi antibiotik yang tidak tepat. Pemberian terapi antibiotik yang tidak tepat dapat meningkatkan risiko kematian dan resistensi antibiotik di kemudian hari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik dengan menggunakan metode Gyssens yang merupakan alat penilaian kualitatif yang dipakai oleh PPRA di Indonesia serta membandingkannya dengan luaran pasien pneumonia komunitas.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Data diambil dari rekam medis pasien berusia di atas 18 tahun yang didiagnosis pneumonia komunitas dan dirawat inap selama periode Januari- Desember 2019. Penelitian ini menganalisis pemberian antibiotik empiris pada saat pasien pertama kali didiagnosis pneumonia komunitas.
Hasil: Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 108 subjek. Proporsi pasien yang diberikan antibiotik empiris tidak tepat berdasarkan metode Gyssens adalah 58,3% dan yang diberikan antibiotik empiris telah tepat adalah 41,7%. Pasien yang mendapatkan terapi antibiotik empiris tidak sesuai dengan pedoman PDPI memiliki risiko meninggal sebesar 2,875 kali lipat (IK 95% 1,440 – 5,739, p=0,004). Pasien yang diberikan antibiotik empiris dalam waktu setelah 8 jam didiagnosis pnemunia komunitas memiliki risiko meninggal sebesar 3,018 kali lipat (IK 95% 1,612 – 5,650, p=0,002). Dari analisis multivariat, faktor prediktor independen yang berhubungan dengan kejadian mortalitas pasien pneumonia komunitas dalam 30 hari adalah kejadian pneumonia berat dengan risiko sebesar 7,3 kali lipat (IK 95% 2,24-23,88, p=0,001), penyakit CVD dengan risiko sebesar 5,8 kali lipat (IK 95% 1,28-26,46, p=0,023), dan ketidaktepatan pemberian antibiotik empiris dengan risiko sebesar 4,2 kali lipat (IK 95% 1,02-17,74, p=0,048).
Kesimpulan: Pada penelitian ini terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan antibiotik empiris tidak tepat berdasarkan metode Gyssens dengan luaran pasien yaitu kejadian mortalitas 30 hari (p=0,001).

Background and Purpose: From many literatures, one of the causes of clinical response failure in community-acquired pneumonia patients is due to the inappropriate empirical antibiotics use. Improper administration of empirical antibiotics can increase the risk of death and antibiotic resistance later in life. The purpose of this study is to evaluate the appropriateness of the empirical antibiotics use using the Gyssens method which is a qualitative assessment tool used by the antibiotic stewardship program in Indonesia and to compare it with the outcome of community-acquired pneumonia patients.
Method: This study is a retrospective cohort study at the Persahabatan General Hospital. Data is taken from the medical records of patients over the age of 18 who are diagnosed with community-acquired pneumonia and hospitalized during the January- December 2019 period. This study analyzes the administration of empirical antibiotics when the patient is first diagnosed with community-acquired pneumonia.
Results: The number of samples in this study were 108 subjects. The proportion of patients who were given empirical antibiotics incorrectly based on the Gyssens method was 58.3% and those given empirical antibiotics were appropriate was 41.7%. Patients who received empirical antibiotic therapy not in accordance with PDPI guidelines had a 2.875-fold risk of death (95% CI 1.440 - 5.739, p = 0.004). Patients who were given empirical antibiotics after 8 hours of being diagnosed by the community-acquired pneumonia had a risk of death of 3,018-fold (95% CI 1.612 – 5.650, p = 0,002). From a multivariate analysis, independent predictors related to the mortality of community- acquired pneumonia patients within 30 days were the incidence of severe pneumonia with a risk of 7.3-fold (95% CI 2.24-23.88, p = 0.001), CVD with a risk of 5.8-fold (95% CI 1.28-26.46, p = 0.023), and inappropriate empirical antibiotics use with a risk of 4.2 fold (95% CI 1.02-17.74, p = 0.048).
Conclusion: In this study there was a significant relationship between the use of inappropriate empirical antibiotics use based on the Gyssens method and the outcome of community-acquired patients, which was the 30-days mortality (p = 0.001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Suratini
"ABSTRAK
Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyakit infeksi yang umum terjadi danmerupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan terbanyak. Penyakit ini memilikidampak terhadap sosioekonomi dimana tingginya biaya kesehatan terutama disebabkanoleh biaya rawat inap. Evaluasi farmakoekonomi dilaksanakan untuk menilai efektivitasbiaya antibiotik untuk mengetahui apakah pengobatan antibiotik memberikan outcometerapi yang baik dengan biaya yang minimal. Penelitian dilakukan terhadap kombinasiseftriakson-azitromisin dan levofloksasin tunggal sebagai antibiotik empiris untuk pasienpneumonia rawat inap. Analisis efektivitas biaya dilakukan dengan membandingkan totalbiaya medis langsung dan efektivitas yang dilihat dari lama rawat masing-masingkelompok pengobatan. Penelitian dilakukan di RSUP Persahabatan, Jakarta, dengandesain penelitian studi kohort retrospektif, dimana pengambilan data dilakukan secararetrospektif terhadap data sekunder, berupa rekam medis pasien dari tahun 2014-2016.Jumlah pasien yang dilibatkan dalam analisis 100 pasien, yaitu 64 pasien menggunakanantibiotik seftriakson iv dan azitromisin oral, dan 36 pasien menggunakan levofloksasiniv tunggal. Median biaya antibiotik berbeda signifikan antara kelompok seftriaksonazitromisindan kelompok levofloksasin, yaitu Rp.130.756,- dan Rp.286.952,-. Medianbiaya medis langsung kelompok seftriakson-azitromisin lebih tinggi dibandingkankelompok levofloksasin tunggal, yaitu Rp. 6.494.998,- dan Rp. 5.444.242,-. Keberhasilanterapi kelompok seftriakson-azitromisin yaitu 95,3 , sementara keberhasilan terapikelompok levofloksasin sebesar 97,2 namun tidak terdapat perbedaaan signifikan.Median lama rawat LOS dan lama rawat terkait antibiotik LOSAR kelompoklevofloksasin berturut-turut sebesar 6 hari dan 5 hari, lebih singkat dibandingkan LOSdan LOSAR kelompok seftriakson-azitromisin, yaitu 7 hari dan 6 hari. Nilai ACERkelompok levofloksasin sebesar Rp.56.011,-/persen efektivitas lebih rendahdibandingkan kelompok seftriakson-azitromisin sebesar Rp. 68.153,-/persen efektivitas.Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa levofloksasin lebih cost-effectivedibanding kombinasi seftriakson-azitromisin.

ABSTRACT
Community Acquired Pneumonia CAP is one of the most common infectious diseasesand is one of the leading causes of death and morbidity. This disease has an impact onsocioeconomic where the high cost of health is mainly caused by the cost ofhospitalization. A pharmacoeconomic evaluation was conducted to assess the costeffectivenessof antibiotics to find out whether antibiotic treatment results in a goodtherapeutic outcome with a minimal cost. The study was conducted on a combination ofceftriaxone azithromycin and single levofloxacin as an empirical antibiotic for inpatientCAP patients. Cost effectiveness analysis is conducted by comparing the total directmedical costs and the effectiveness measured from length of stay of each treatmentgroup. The study was conducted in RSUP Persahabatan, Jakarta, with a cohortretrospective design study, where retrospective data retrieval was conducted onsecondary data, in the form of patient medical records from 2014 2016. The number ofpatients involved in the analysis of 100 patients, ie 64 patients using combination of ivceftriaxone and oral azithromycin, and 36 patients using single iv levofloxacin. Medianantibiotic costs differed significantly between the ceftriaxone azithromycin group andthe levofloxacin group, which were Rp.130,756, and Rp.286,952, . Median directmedical costs of the ceftriaxone azithromycin group were higher than the singlelevofloxacin group, which was Rp. 6,494,998, and Rp. 5,444,242, . Success rate ofgroup of ceftriaxone azithromycin group was 95.3 , while the success rate oflevofloxacin group was 97.2 but there was no significant difference. Median length ofstay LOS and length of stay antibiotic related LOSAR of levofloxacin group wererespectively 6 days and 5 days, shorter than LOS and LOSAR of ceftriaxoneazithromycingroup, which were 7 days and 6 days. The value of the ACER levofloxacingroup was Rp.56.011, percent effectiveness, lower than the ceftriaxone azithromycingroup of Rp. 68.153, percent effectiveness. Based on the results of the study, it isconcluded that levofloxacin is more cost effective than a combination of ceftriaxoneazithromycin."
2017
T48638
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggie Indari
"Latar Belakang : Data World Health Organization (WHO) tahun 2019 menunjukkan infeksi saluran napas bawah menjadi penyebab kematian keempat di dunia dengan angka kematian 6.1%. Pneumonia merupakan salah satu infeksi saluran napas bawah yang disebabkan oleh mikroorganisme. Jenis pneumonia yang banyak di masyarakat adalah pneumonia komunitas. Tingginya angka kejadian penumonia komunitas yang disebabkan oleh bakteri menyebabkan meningkatnya kebutuhan antibiotik sebagai pengobatan. Pemberian antibiotik dapat berupa empirical antibiotic treatment (EAT) atau pathogen-directed treatment (PDT). Penelitian ini bertujuan untuk melihat keberhasilan pengobatan pasien pneumonia komunitas rawat inap dengan EAT atau PDT.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional menggunakan desain kohort retrospektif dengan pengambilan data rekam medis di RSUP Persahabatan. Subjek peneltian ini adalah pasien pneumonia komunitas rawat inap periode 1 Januari 2021 hingga 31 Desember 2022. Pemilihan sampel menggunakan metode total sampling.
Hasil : Subjek penelitian terdiri dari 220 pasien EAT dan 62 pasien PDT. Mayoritas bakteri yang ditemukan pada biakan sputum adalah gram negatif (82%) dengan jenis terbanyak adalah Klebsiella pneumonia (29.3%), Acinetobacter baumanii (16.7%) dan Eschericia coli (15.3%). Antibiotik terbanyak pada EAT adalah levofloksasin (87.3%) dan pada PDT adalah meropenem (34%). Keberhasilan pengobatan pasien dengan EAT sebesar 74.5% yang dipengaruhi oleh skor PSI (OR 5.318 (IK 95% 2.046 - 13.820, p=<.001), lama perawatan (OR 1.949 (IK 95% 1.043 - 3.641, p=0.035) dan riwayat penggunaan ventilator (OR 29.364 (IK 95% 12.80 - 67.34, p= <.001). Keberhasilan pengobatan pasien dengan PDT sebesar 46.8% yang dipengaruhi oleh riwayat penggunaan ventilator (OR 9.615 (IK 95% 2.712-34.08, p=<.001) dan hasil biakan sputum Acinetobacter baumanii (OR 2.608 (IK 95% 1.089 - 6.246), p = 0.028).
Kesimpulan : Keberhasilan pengobatan pasien dengan EAT sebesar 74.5% dipengaruhi oleh skor PSI, lama perawatan dan riwayat penggunaan ventilator. Keberhasilan pengobatan pasien dengan PDT sebesar 46.8% dipengaruhi oleh riwayat penggunaan ventilator dan biakan sputum Acinetobacter baumanii.

Background: Data from the World Health Organization (WHO) in 2019 shows that lower respiratory tract infections are the fourth cause of death in the world with a mortality rate of 6.1%. Pneumonia is a lower respiratory tract infection caused by microorganisms. The type of pneumonia that is common is community-acquired pneumonia. The high incidence of community-acquired pneumonia caused by bacteria causes an increased need for antibiotics as treatment. Antibiotics can be given as empirical antibiotic treatment (EAT) or pathogen-directed treatment (PDT). This study aims to see the success rate of inpatient community-acquired pneumonia with EAT or PDT.
Methods : This study was an observational study using a retrospective cohort design by collecting medical record data at Persahabatan Hospital. The subjects of this study were inpatient community-acquired pneumonia patients for the period January 1, 2021 to December 31, 2022. The total sampling method was selected for the study.
Results : The subjects in this study consisted of 220 EAT patients and 62 PDT patients. The majority of bacteria found were gram-negative (82%) with the most common types were Klebsiella pneumonia (29.3%), Acinetobacter baumannii (16.7%) and Escherichia coli (15.3%). The most antibiotics in EAT was levofloxacin (87.3%) and in PDT was meropenem (34%). The success rate of patients with EAT was 74.5%, which was affected by PSI score (OR 5.318 (IK 95% 2.046 - 13.820, p=<.001), length of stay (OR 1.949 (IK 95% 1.043 - 3.641, p=0.035) and history of ventilator use (OR 29.364 (IK 95% 12.80 - 67.34, p= <.001). The success rate of PDT was 46.8%, influenced by the history of ventilator use (OR 9.615 (IK 95% 2.712-34.08, p=<.001) and Acinetobacter baumanii in sputum culture (OR 2.608 (IK 95% 1.089 - 6.246), p = 0.028).
Conclusions : The success rate of patients with EAT was 74.5%, influenced by PSI score, length of stay and history of ventilator use while those with PDT were 46.8%, influenced by the history of ventilator use and Acinetobacter baumanii in sputum culture.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurraya Lukitasari
"Community-acquired pneumonia (CAP) adalah suatu peradangan akut pada parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme dan didapat dari masyarakat. Terapi optimal antibiotik extended empiric sering diperdebatkan sehingga penatalaksanaan CAP merupakan tantangan besar bagi para klinisi. Penelitian ini bertujuan menganalisis perbandingan luaran terapi, efektivitas biaya dan pilihan terapi antibiotik yang baik serta hubungan ketepatan penggunaan dengan biaya antibiotik extended empiric monoterapi dan dualterapi CAP. Desain penelitian ini adalah kohort prospektif dengan waktu pengambilan sampel Juni-September 2018 di ruang boarding IGD RSUP Fatmawati Jakarta. Diperoleh hasil dualterapi tertinggi diberikan pada komorbid gangguan kesadaran. Nilai P=0,643 untuk perbaikan klinis setelah hari ke-5 pemberian antibiotik extended empiric monoterapi dengan dualterapi. Nilai ACER monoterapi lebih rendah (Rp.256.896,36) dibandingkan dualterapi (Rp.609.505,56) dengan antibiotik terbaik yaitu seftriakson serta kombinasi siprofloksasin dan seftriakson. Terdapat hubungan antara ketepatan penggunaan dengan biaya antibiotik extended empiric (r=0,282;P=0,005). Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa antara penggunaan antibiotik monoterapi dengan dualterapi tidak berbeda signifikan dalam luaran klinis setelah hari ke-5 pemberian antibiotik extended empiric, efektivitas biaya monoterapi lebih baik dibandingkan dualterapi dengan pilihan monoterapi terbaik adalah seftriakson dan dapat dipertimbangkan pemberian kombinasi siprofloksasin dan seftriakson pada komorbid gangguan kesadaran serta terdapat kekuatan hubungan sedang antara ketepatan penggunaan dengan biaya antibiotik extended empiric.

Community-acquired pneumonia (CAP) is an acute inflammation of the pulmonary parenchyme caused by microorganisms and obtained from community. Optimal therapy for extended empirical antibiotics is debated so CAP management is still a major challenge. This study aims to analyze the comparison of therapeutic outcomes, cost effectiveness and the best choice of antibiotic therapy also the correlation between the accuracy of use and cost of monotherapy and dualtherapy extended empirical antibiotics in prospective cohort. The sampling time was June-September 2018 in the ED boarding room Fatmawati Hospital, Jakarta. Highest dualtherapy results for unconsciousness comorbid. P value=0,643 for clinical improvement after the 5th day of extended empiric monotherapy and dualtherapy. Monotherapy ACER is lower (Rp 256.896,36) than dualtherapy (Rp.609.505,56), the best antibiotics are ceftriaxone and ciprofloxacin-ceftriaxone. There is a relationship between the accuracy of use and cost of extended empiric antibiotics (r=0,282;P=0,005). It can be concluded that between the use of monotherapy and dualtherapy did not differ significantly in clinical outcomes after the 5th day, cost effectiveness of monotherapy was better than dualtherapy with the best choice was ceftriaxone and consideration of ciprofloxacin-ceftriaxone for unconsciousness comorbid, there is a moderate relationship between the accuracy of use and cost of extended empirical antibiotics."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T52526
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fikri Faisal
"ABSTRAK
Pendahuluan: Pneumonia komunitas CAP salah satu penyebab kematian tertinggi. Tujuan mengetahui respons pengobatan selama perawatan pasien CAP secara empiris serta faktor yang berkaitan dengan pola kuman, respons pengobatan, gejala klinis, laboratorium, foto toraks, lama rawat dan faktor komorbid di RS persahabatan.
Metode: Kohort prospektif pasien pneumonia komunitas rawat inap di RS Persahabatan selama 15 bulan terkumpul 47 pasien. Gejala klinis, hasil laboratorium, foto toraks dan hasil mikrobiologi. Sampel mirkobiologi dikumpulkan sebelum dan sesudah pemberian antibiotik.
Hasil: Terkumpul 47 pasien. laki-laki 74,5% dan perempuan 25,5%. Rerata umur 61 tahun. Gejala klinis awal paling banyak sesak napas 51% berkurang 27,7% dan batuk 32% berkurang 23,4%. Nilai awal leukosit rerata 15,27. sel/mm3 berkurang 12,0. sel/mm3. Foto toraks awal infiltrat 89,3% menurun 38,3%. Patogen pada sputum sebelum penggobatan Klebseiella pneumonia 34,0%. Hasil sputum pasca terapi empiris eradikasi 91.5%. Pengobatan antibiotik tersering seftriakson. Faktor komorbid tersering keganasan rongga toraks. Lama rawat minimal 4 hari dengan terapi sulih minimal 3 hari.
Kesimpulan: Pasien CAP paling dominan menunjukan gejala klinis sesak napas dan batuk, gambaran infiltrat pada foto toraks dan gram-negatif Klebsiella pneumonia pada sputum. Terjadi penurunan leukosit setelah pemberian antibiotik. Terapi empiris dengan antibiotik tunggal masih sensitif.

ABSTRACT
Introduction : Pneumonia is the first leading disease with the highest mortality in hospitalized patients. The purpose of this study is to determine treatment response for the empirical treatment of CAP patients and factors associated with patterns of bacteria, treatment response, clinical symptoms, laboratory and chest X-ray, length of stay and comorbidities in Persahabatan Hospital, Jakarta.
Methods : Prospective cohort study in hospitalized community acquired pneumonia patients at Persahabatan Hospital while 15 month. Clinical symptoms, laboratory findings, chest x-ray and microbiologic. Microbiologic sample is before and after antibiotic administration.
Results : There were 47 patients. Male accounted 74,5% and female 25,5%. The average age was 61 years old. Clinical symptoms before treatment were dyspnea 51% decreased to 27,7% and cough 32% decreased to 23,4%. Leukocytes count was 15,27 cell/mm3 decreased to 12,0 cell/mm3. Chest x-ray infiltrates 89,3% decreased to 38,3%. Before-treatment microbiological patterns were K. pneumoniae 34,0%. Result after empirical treatment was eradication 91,5%. The most frequent innitial antibiotic administration was ceftriaxone.The most frequent comorbidity was thoracic malignancy. The patients were hospitalized at least for 4 days with replacement therapy at least for 3 days.
Conclusion: Patients with CAP predominantly showed symptoms of dypnea and cough, infiltrates on chest x-ray and gram-negative Klebsiella pneumonia in sputum samples. There were resolution of leucocyte counts after antibiotic administration. Empirical antibiotic treatments with single drug were still sensitive."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adriel Sebastian Loekito
"Pneumonia merupakan salah satu penyakit menular yang sering terlihat pada pasien penyakit ginjal kronis (PGK). Antibiotik yang digunakan dalam terapi farmakologis pneumonia sering kali memerlukan pengaturan dosis akibat penurunan fungsi ginjal. Studi cross-sectional ini dilakukan untuk mengetahui ketepatan dosis antibiotik dan pengaruhnya pada luaran terapi dan durasi rawat pada pasien pneumonia dengan PGK di RSUP Persahabatan Jakarta. Data pasien diambil secara retrospektif pada periode 2021-2023 menggunakan metode total sampling. Analisis statistik dilakukan dengan metode Chi-squared untuk kesesuaian dosis dan hubungan kesesuaian dosis dengan luaran terapi dan Mann-Whitney untuk kesesuaian dosis dengan durasi rawat. Diperoleh 111 sampel penelitian yang mayoritias merupakan laki-laki dengan median usia 59 tahun dengan penyakit ginjal stadium akhir. Sefoperazon merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan, diikuti oleh levofloksasin dan sefotaksim. Mayoritas pasien (51,4%) menerima peresepan antibiotik dengan pengaturan dosis yang tidak tepat. Ditemukan bahwa nilai laju filtrasi glomerulus (LFG) (p < 0,001; RR = 1,048) dan hemodialisis (p = 0,003; RR = 0,571) memengaruhi kesesuaian dosis. Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara kesesuaian dosis dengan luaran terapi; faktor lain yang memengaruhi luaran terapi meliputi nilai Charlson comorbidity index (CCI) (p = 0,007; RR = 1,829), jenis terapi (p = 0,023; RR = 1,183) dan sepsis (p < 0,001; RR = 0,368). Kesesuaian dosis memengaruhi durasi rawat secara signifikan (p < 0,001) dan faktor lain yang memengaruhi durasi rawat adalah hemodialisis (p = 0,019). Temuan ini menunjukkan masih adanya ketidaksesuaian pengaturan dosis yang perlu diperbaiki dengan melibatkan apoteker dan tenaga kesehatan lain dalam pengaturan dosis antibiotik.

Pneumonia is one of the most prevalent infectious diseases in patients with chronic kidney disease (CKD). Antibiotics used in pneumonia often require dose adjustments. A cross-sectional study was conducted to determine antibiotic dose appropriateness and its impact on patients’ outcomes and length of stay (LOS) at the Persahabatan National Respiratory Hospital Jakarta. Patients’ data were retrospectively reviewed between 2021 and 2023 using the total sampling method. Statistical analyses were performed with the Chi-squared analyses for dose appropriateness and outcomes and the Mann-Whitney test for LOS. A total of 111 samples were included in the study, with the majority being males with a median age of 59 and end-stage renal disease. Cefoperazone was prescribed more than any other antibiotics, followed by levofloxacin and cefotaxime. Most patients (51,4%) received antibiotics with inappropriate dose adjustment. Low estimated glomerular filtration rate (eGFR) (p < 0,001; RR = 1,048) and haemodialysis (p = 0,003; RR = 0,571) were independently associated with inappropriate dose adjustment. No statistically significant association was found between dose appropriateness and clinical outcome; other associated factors include a high Charlson comorbidity index (CCI) score (p = 0,007; RR = 1,829), type of therapy (p = 0,023; RR = 1,183), and sepsis (p < 0,001; RR = 0,368). Inappropriate dose adjustments were associated with a longer LOS (p < 0,001). Other associated factors include haemodialysis (p = 0,019). These findings indicate substantial dose adjustment inappropriateness that requires immediate attention and collaboration by pharmacists and other healthcare professionals to ensure appropriate adjustment."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Buti Ariani Ar Nur
"Latar Belakang: Coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit yang sedang menjadi pandemi di dunia saat ini. Kasus COVID-19 semakin meningkat di seluruh dunia, hingga September 2022 tercatat kasus COVID-19 telah menyebar ke 233 negara dengan total kasus terkonfirmasi lebih dari 600.000.000 dan kasus kematian lebih dari 6.500.000. Coronavirus disease 2019 dapat berkembang menjadi kondisi yang berat dan kritis. Terapi sel punca mesenkimal (SPM) sedang dikembangkan sebagai tambahan tata laksana COVID-19 berat melalui potensi imunomodulator. Skor sequential organ failure assessment (SOFA) adalah sistem penilaian yang dapat digunakan untuk mengetahui derajat keparahan penyakit dan memprediksi mortalitas pasien COVID-19. Sampai saat ini, belum terdapat sistem penilaian yang digunakan sebagai parameter untuk mengetahui efikasi pemberian terapi sel punca mesenkimal tali pusat (SPM-TP). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan skor SOFA pada pasien pneumonia COVID-19 yang mendapatkan terapi SPM-TP dan plasebo di RSUP Persahabatan.
Metode: Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan data rekam medik pasien, dilakukan di RSUP Persahabatan Juli 2021-September 2022, dengan teknik total sampling. Subjek penelitian adalah pasien pneumonia COVID-19 derajat sedang, berat dan kritis yang mendapat terapi SPM-TP atau plasebo di RSUP Persahabatan bulan Juni 2020-Juli 2021 yang memenuhi kriteria penelitian.
Hasil: Didapatkan 29 subjek penelitian yang terdiri dari 13 subjek kelompok perlakuan dan 16 subjek kelompok kontrol. Kedua kelompok memiliki karakteristik dasar yang sama. Perbedaan skor SOFA pada kedua kelompok tidak bermakna secara statistik. Namun, terdapat tren penurunan skor SOFA pada kelompok perlakuan. Perbedaan nilai C-reactive protein (CRP), prokalsitonin (Pct) dan rasio neutrofil limfosit (NLR) pada kedua kelompok tidak bermakna secara statistik. Namun, terdapat penurunan ketiga nilai tersebut pada kelompok perlakuan. Perbedaan lama rawat, pemakaian kanula hidung arus tinggi (KHAT) dan ventilasi mekanis pada kedua kelompok tidak bermakna secara statistik. Proporsi mortalitas lebih rendah pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol walaupun tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna skor SOFA, nilai CRP, nilai Pct, nilai NLR, lama perawatan, lama pemakaian KHAT atau ventilasi mekanis serta mortalitas pada kedua kelompok. Tetapi secara keseluruhan kelompok perlakuan mengalami perbaikan klinis dan laboratorium dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Background: Coronavirus disease 2019 (COVID-19) is a disease that is currently a pandemic in the world. Coronavirus disease 2019 are increasing worldwide, as of September 2022, COVID-19 cases have spread to 233 countries with a total of more than 600,000,000 confirmed cases and more than 6,500,000 deaths. Coronavirus disease 2019 can develop into a severe and critical condition. Mesenchymal stem cell (MSC) therapy is being developed as an adjunct to the management of severe COVID-19 through its immunomodulatory potential. The sequential organ failure assessment (SOFA) score is a scoring system that can be used to determine the severity of disease and predict mortality in COVID-19 patients. Until now, there is no scoring system that is used as a parameter to determine the efficacy of umbilical cord mesenchymal stem cell (UC-MSC) therapy. This study aims to determine the difference in SOFA scores in COVID-19 pneumonia patients who received UC-MSC therapy and placebo at Persahabatan Hospital.
Methods: The design of this study was a retrospective cohort using patient medical record data, conducted at Persahabatan Hospital July 2021-September 2022, with a total sampling technique. The subjects were patients with moderate, severe and critical COVID-19 pneumonia who received UC-MSC or placebo therapy at Persahabatan Hospital in June 2020-July 2021 who met the inclusion criteria.
Results: There were 29 subjects consisting of 13 treatment group and 16 control group. Both groups have the same basic characteristics. The difference in SOFA scores in the two groups was not statistically significant. However, there was a downward trend in SOFA scores in the treatment group. The difference in the value of C-reactive protein (CRP), procalcitonin (Pct) and neutrophil lymphocyte ratio (NLR) in the both group was not statistically significant. However, there was a decrease values ​​in the treatment group. Differences in length of stay, use of high flow nasal cannula (HFNC) and mechanical ventilation in the two groups were not statistically significant. The proportion of mortality was lower in the treatment group compared to the control group although not statistically significant.
Conclusion: There were no significant differences in SOFA, CRP, Pct, NLR, length of stay, length of use of HFNC or mechanical ventilation and mortality in the two groups. However, the treatment group experienced clinical and laboratory improvement compared to the control group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anissa Rizkianti
"Skripsi ini membahas mengenai gambaran kejadian pneumonia pada balita 10-59 bulan yang dirawat inap di RSUP Persahabatan Jakarta tahun 2008 serta faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian tersebut, mencakup antara lain karakteristik balita (jenis kelamin, umur, status gizi, status imunisasi, dan riwayat BBLR), karakteristik ibu (tingkat pendidikan dan status pekerjaan), dan karakteristik pelayanan kesehatan (lama hari rawat). Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif dengan desain cross-sectional.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi kejadian pneumonia adalah sebesar 13,4%. Karakteristik balita, karakteristik ibu, dan karakteristik pelayanan kesehatan tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kejadian. Akan tetapi, diketahui bahwa balita laki-laki (PR 1,25; 0,48-3,29), berumur 12-59 bulan (PR 0,82; 0,12-5,52), berstatus gizi baik (PR 0,68; 0,23-1,99), memiliki status imunisasi (DPT dan campak) yang tidak lengkap (PR 110; 0,36-3,37), memiliki riwayat lahir normal (PR 0,81; 0,78-1,37), dengan ibu yang tingkat pendidikannya tinggi (PR 0,95; 0,34-2,69), ibu yang bekerja (PR 1,42; 0,43-4,64), dan dirawat ≤5 hari (PR 0,90; 0,33-2,45) memiliki proporsi menderita pneumonia yang lebih tinggi.
Dari hasil tersebut, diharapkan adanya penelitian lebih lanjut mengenai faktor risiko pneumonia pada balita di rumah sakit sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan lebih dini terkait faktor-faktor risiko tersebut; penyuluhan kepada orang tua pasien mengenai gejala-gejala yang ditimbulkan oleh penyakit pneumonia juga perlu dilakukan sehingga penyakitnya tidak bertambah berat.

The aim of this study is to find out the occurrence of pneumonia among infant age 10-59 months hospitalized in Persahabatan Hospital Jakarta during 2008 and factors related to the occurrence, such as infant characteristics (sex, age, nutritional status, immunization status, and low-birth weight), mother characteristics (education and working status), and health service characteristic (length of stay). This study is a descriptive-quantitative study with cross-sectional design.
The result shows that the proportion of pneumonia within infant is 7%. Infant characteristics, mother characteristics, and health service characteristic is not correlated significantly to the occurrence of pneumonia. Other wise, male infant (PR 1,25; 0,48-3,29), age 12-59 months (PR 0,82; 0,12-5,52), has good nutritional status (PR 0,68; 0,23-1,99), has incomplete immunization (PR 110; 0,36-3,37), normal birth-weight (PR 0,81; 0,78-1,37), with mother in higher grade education (PR 0,95; 0,34-2,69), with mother who works (PR 1,42; 0,43-4,64), and hospitalized ≤5 days (PR 0,90; 0,33-2,45) increased risk of pneumonia.
Based on the results, it is necessary to conduct further study about the risk factors of infant pneumonia in the hospital so that prevention-due to those risk factors can be done earlier; giving the information about pneumonia symptoms to parents is needed in order to prevent disease becomes more severe."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fransiska Kurniati Natul
"Praktik keperawatan residensi yang dilakukan di rumah sakit Persahabatan dengan kekhususan respirasi diharapkan dapat mengatasi masalah pernapasan. Disamping itu juga selama proses residensi residen harus memiliki kemampuan menerapkan intervensi berdasarkan evidence base nursing (EBN), mampu menjadi seorang Clinical Care Manajer (CCM) yang bertugas sebagai konsultan keperawatan bagi staf keperawatan dan pemberi terapi keperawatan kepada pasien dalam rangka pemberi asuhan keperawatan untuk meningkatan mutu pada layanan asuhan keperawatan yang diberikan. Dalam memberikan asuhan kepeawatan pada kasus kelolaan pasien dengan CAP dan 30 kasus resume menggunakan teori Virginia Henderson 14 kebutuhan dasar manusia yang menunjukkan peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan dalam membantu individu baik dalam keadaan sehat maupun sakit, melalui usahanya melakukan berbagai aktivitas guna mendukung kesehatan dan penyembuhan individu secara mandiri atau proses meninggal dengan damai. Masalah keperawatan yang banyak muncul yaitu tentang pemenuhan kebutuhan bernapas normal. Penerapan EBN Buteyko Breathing Techinque (BBT) pada pasien asma yang mengalami hiperventilasi. Hasil analisis praktik residensi keperawatan didapatkan bahwa asuhan keperawatan menggunakan pendekatan teori Henderson bertujuan untuk sesegera mungkin membantu kemandirian pasien. Penerapan BBT dapat meningkatkan nilai Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) pada pasien asma. Proyek inovasi Pengembangan self managemen dengan video latihan breathing exercise : ACBT dalam meningkatkan airway clearance pada pasien PPOK.

Residency nursing practice which is carried out at the Persahabatan Hospital with a specialization in respiration is expected to be able to overcome respiratory problems. Besides that, during the residency process, residents must have the ability to apply interventions based on evidence-based nursing (EBN), be able to become a Clinical Care Manager (CCM) who serves as a nursing consultant for nursing staff and provides nursing therapy to patients in order to provide nursing care to improve quality of nursing care services provided. In providing nursing care to cases managed by patients with CAP and 30 resume cases using Virginia Henderson's theory of 14 basic human needs which shows the role of nurses as providers of nursing care in helping individuals both in health and illness, through their efforts to carry out various activities to support health and healing individual independently or the process of dying peacefully. Nursing problems that arise are about meeting the needs of normal breathing. Application of EBN Buteyko Breathing Techinque (BBT) in hyperventilating asthma patients. The results of the analysis of nursing residency practice found that nursing care using the Henderson theory approach aims to help the patient's independence as soon as possible. The application of BBT can increase the Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) value in asthma patients. Innovation project Development of self-management with videos of breathing exercise exercises: ACBT in increasing airway clearance in COPD patients."
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>