Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12892 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cheltenham: UK Edward Elgar, 2013
382.3 RES
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Tio Serepina
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993
S25896
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiesnawati Wahyuningsih
"Tesis ini membahas mengenai penerapan Pasal 2.1 dan Pasal 2.2 TBT Agreement sebagai acuan dalam penyelesaian sengketa antarnegara, yaitu Indonesia dengan kasus Sale of Clove Cigarettes, Tuna and Tuna Products, dan Certain Country of Origin Labelling. Klaim Indonesia kepada Amerika Serikat tidak ditanggapi, karena AS menggunakan isu kesehatan melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) untuk menghambat perdagangan rokok beraroma dalam negerinya. Sedangkan dalam kasus Tuna and Tuna Products, Meksiko mengajukan klaim kepada AS yang telah melakukan embargo terhadap tuna asal Meksiko. Disini AS menggunakan isu lingkungan melalui Marine Mammal Protection Act 1972 (MMPA) dengan label dolphin-safe. Kasus yang terakhir, Certain Country of Origin Labeling Requirement dengan Kanada. Dalam kasus ini AS menggunakan isu asal barang dengan aturan Rules of Origin yang mewajibkan negara pengekspor mencantumkan informasi komoditi dan asal barang. Terhadap ketiga kasus tersebut Amerika dianggap melanggar Pasal 2.1 dan Pasal 2.2 TBT Agreement sebagai klaim utama para anggota WTO.

This thesis discusses about the application of Article 2.1 and Article 2.2 TBT Agreement as a reference in the resolution of the disputes between countries about Sale of Clove Cigarettes (Indonesia?s case), Tuna and Tuna Products (Mexico?s case), and Certain Country of Origin Labelling (Canada?s case). United States did not respond to Indonesia's claim because the U.S. uses health issues based on Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) to restrain flavored cigarettes trading. In the case of Tuna and Tuna Products, Mexico filed a claim to the U.S. about embargo that has made to counter the tuna from Mexico. In this case, the U.S. using environmental issues based on Marine Mammal Protection Act (MMPA) 1972 about the dolphin-safe label. The last case is about The Origin Labeling Requirements. In this case the U.S. using the rules about Rules of Origin which requires exporting countries for attaching the label information about the origin of goods and commodities. Against these cases, the U.S considered to violate Article 2.1 and Article 2.2 TBT Agreement as the main claims of the members of the WTO."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35299
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Haris Aryanto
"ISPO sebagai suatu standar minyak kelapa sawit berkelanjutan dibuat untuk menjawab permintaan pasar dunia untuk minyak kelapa sawit yang berkelanjutan di tengah kontroversi yang beredar tentang produk tersebut, terutama dari aspek lingkungan. Dikarenakan standar sebagai salah satu jenis hambatan teknis terhadap perdagangan internasional diatur oleh Perjanjian TBT, ISPO semestinya dinilai dengan mengacu pada perjanjian tersebut dan juga kasus-kasus lainnya yang relevan dengan standar. ISPO juga bukan merupakan satu-satunya standar yang ada yang berlaku terhadap minyak kelapa sawit dengan adanya MSPO dan RSPO sebagai standar lainnya. ISPO mempunyai posisi yang tidak jelas sebagai suatu hambatan teknis, karena walaupun ia dapat dikatakan sebagai suatu standar atau regulasi teknis, ia tidak berlaku untuk produsen minyak kelapa sawit di luar Indonesia akibat isi aturan di dalamnya dan juga keterkaitannya yang erat dengan peraturan perundang-undangan Indonesia, sehingga juga menghambat adopsi ISPO sebagai suatu standar internasional yang relevan menurut Perjanjian TBT untuk minyak kelapa sawit
ISPO as a standard for sustainable palm oil was formulated to answer the demand of the international market for sustainable palm oil in the light of the controversies associated with the product, especially of enviromental issues. As standards as a technical barrier to international trade are regulated untder the premises of the TBT Agreement, ISPO must be assessed with the aforementioned agreement as well with relevant cases concerning standards. ISPO is not the only standard applicable for sustainable palm oil as MSPO and RSPO are present as standards regulating the same product. ISPO's position as a technical barrier to trade is uncertain, as one of ISPO’s main concern is that it is not applicable to foreign palm oil producers outside of Indonesia due to its content and deep connection with Indonesian regulations, impacting the viability of adopting ISPO as a relevant international standard for palm oil under the premises of the TBT Agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathya Asti Ramadina
"Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan penjelasan deskriptif tentang komitmen Indonesia dibawah kewajibannya dalam perjanjian internasional, seperti dari Hukum WTO dan Perjanjian Perdagangan Barang ASEAN (ATIGA) sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang yang baru saja diundangkan, UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
Penelitian ini menganalisis apakah Perdagangan ketentuan Barang dalam UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan sesuai dengan ketentuan dalam Hukum WTO/GATT dan Perjanjian Perdagangan Barang ASEAN (ATIGA) dan juga apakah Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 memungkinkan Indonesia untuk melindungi kepentingan nasionalnya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normative dengan sifat penjelasan-analisis. Secara normatif, penelitian ini akan mengkaji ketentuan Perdagangan Barang dibawah Hukum WTO / GATT dan Perjanjian Perdagangan Barang ASEAN (ATIGA) serta Undang-Undang No. 7 Tahun 2014.
Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan penelitian ini akan memberikan gambaran hingga sejauh mana UU No. 7 Tahun 2014 sesuai dengan kewajiban internasional dan hingga sejauh mana dapat perlindungan kepentingan nasional. Indonesia adalah negara besar yang berada ditengah-tengah persiapa pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada akhir 2015, sehingga kepastian hukum di sektor perdagangan penting untuk menjaga kompetisi kegiatan perdagangan yang adil antar negara dan juga memberikan perlindungan pada kepentingan nasional.

This research aims to get the descriptive idea of Indonesia?s commitment under its obligation in international agreements, such as from the WTO Law and ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) as formulated in the recently enacted law, Law No. 7 Year 2014 on Trade.
This research analyzes whether or not the Trade in Goods provisions in Law No. 7 Year 2014 on Trade in conformity with such provisions under the WTO Law/GATT and ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) and also whether or not the Law No. 7 Year 2014 enable Indonesia to protect its national interest.
This research paper will use the juridical-normative approach with the nature of explanatory-analysis. Normatively, this research will examines the provisions of Trade in Goods under the WTO Law/GATT and the ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) also as the Law No. 7 Year 2014.
Based on the research result, it is hoped that this research will provide a description to what length that the Law No. 7 Year 2014 is in conformity with the international obligations and the national interest protection. Indonesia is a big country that is in the midst of preparing for the fully implementation of the ASEAN Economic Community by the end 2015, thus the legal certainty in trade sector is important to keep a fair competitiveness in trade activity between countries as well as providing protection to national interest.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S59415
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Artika Nuswaningrum
"Dalam perdagangan internasional, salah satu bentuk perlakuan yang wajib diberikan oleh negara anggota World Trade Organization ialah perlakuan berdasarkan prinsip National Treatment. Prinsip National Treatment dapat ditemukan pada berbagai perjanjian multilateral dalam WTO, salah satunya dalam Agreement on Technical Barriers to Trade. Persetujuan TBT rd. Namun berbeda dengan perjanjian multilateral dalam WTO lainnya, prinsip National Treatment dalam Persetujuan TBT tidak secara eksplisit diatur. Dengan menggunakan pendekatan normatif yuridis, penulis ingin mengetahui lebih lanjut unsur-unsur dari prinsip National Treatment dalam TBT Agreement serta penerapannya pada sengketa yang diselesaikan oleh Dispute Settlement Body-WTO. Penulis menyimpulkan bahwa meskipun tidak diatur secara eksplisit seperti perjanjian lainnya dalam WTO, perlakuan berdasarkan prinsip National Treatment dapat ditemukan pengaturannya dalam Pasal 2.1. Apabila seluruh unsur dalam pasal tersebut terpenuhi akan tercipta perlindungan berdasarkan prinsip National Treatment. Penulis menyarankan perlu adanya dokumen tambahan yang menjelaskan mengenai pengaturan-pengaturan yang tercantum dalam Persetujuan TBT, demi memudahkan penafsiran atas pengaturan tersebut.

In intertational trade realm, one of the principles that shall be upheld by World Trade Organization members is the National Treatment principle. National Treatment principle can be easily and explicitly found in numerous of WTO Agreements. But unlike another multilateral agreement in WTO, the Agreement on Technical Barriers to Trade does not explicitly regulate national treatment principle. This research is conducted with juridical normative approach, which author would like to find out the elements of National Treatment principle in TBT Agreement and its applicability in cases brought before the Dispute Settlement Body WTO. The author concludes that even though we can not find national treatment principle to be explicitly regulated in TBT Agreement, the protection based upon national treatment principle is used in Article 2.1. If every element in Article 2.1 is fulfilled it will create a protection based upon national treatment principle. The author suggests that a creation of document elaborating about the TBT Agreement is needed, as it will help to facilitate the interpretation of TBT Agreement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69612
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidya Nathasya Widyastika
"Dewasa ini, fasilitasi perdagangan merupakan elemen penting dalam proses ekspor-impor suatu negara. Fasilitasi perdagangan pertama kali dibahas dalam Singapore Ministerial Conference tahun 1996 dan kemudian dikategorikan sebagai salah satu Singapore Issues. Akan tetapi, negosiasi terhadap fasilitasi perdagangan antara negara-negara WTO sempat mengalami deadlock dan menghabiskan waktu yang cukup lama. Hingga akhirnya pada 22 Februari 2017, Perjanjian Fasilitasi Perdagangan mulai diberlakukan bagi negara-negara anggota WTO. Dimulainya penerapan single window system di Indonesia, atau yang lebih dikenal sebagai Indonesia National Single Window INSW pada tahun 2008 menandai bahwa Indonesia menjalankan komitmen dalam negosiasi fasilitasi perdagangan WTO. Hal yang menarik adalah dalam hal ini Indonesia sudah mulai menerapkan kebijakan single window system sebelum kesepakatan terhadap Perjanjian Fasilitasi Perdagangan dicapai. Penerapan sistem ini dinilai penting oleh Indonesia demi menunjang proses ekspor-impor yang lebih efektif dan efisien, sebab seringkali proses tersebut memakan banyak waktu dan biaya yang cukup besar. Namun demikian, sebagai negara berkembang Indonesia membutuhkan dukungan baik secara kebijakan maupun pendanaan untuk dapat membangun sistem ini. Tulisan ini kemudian melihat bagaimana keterlibatan atau pengaruh WTO dan Bank Dunia dalam pengembangan sistem INSW. Dalam hal ini, pengaruh WTO lebih ditekankan pada penetapan aturan perdagangan yang berkaitan dengan fasilitasi perdagangan. Kemudian, keterlibatan Bank Dunia adalah dari sisi pendanaan dan pengawasan melalui program Development Policy Loan DPL yang mendukung policy reform, khususnya dalam kebijakan pengembangan sistem INSW. Cognitive authority yang dibangun oleh keduanya menunjukkan terdapat strong institutional belief untuk mewujudkan terciptanya perekonomian negara-negara di dunia yang lebih terbuka.

Nowadays, trade facilitation is a prominent element in a country rsquo s export import process. Trade facilitation was first discussed at the Singapore Ministerial Conference in 1996 and subsequently categorized as one the ldquo Singapore Issues. However, the negotiations on trade facilitation had been deadlocked and took considerable time to reach the conclusion. On February 22, 2017, the Trade Facilitation Agreement was finally applied to all of the WTO member countries. The commencement of the implementation of single window system in Indonesia, or Indonesia National Single Window INSW in 2008, indicates that Indonesia is committed to WTO trade facilitation negotiations. Indonesia has implemented this system even long before the Trade Facilitation Agreement is reached, which is considered unique as Indonesia is categorized as a developing country. Implementation of this system is considered crucial for Indonesia in order to promote the efficiency and effectivity of trade process, because sometimes this process takes a lot of time and costly indeed. Nevertheless, as a developing country Indonesia needs both policy support and funding to build this system. This paper explains the involvement of WTO and The World Bank in developing INSW system. In this case, the involvement of WTO is more emphasized on setting trade rules, especially relating to trade facilitation. The World Banks involvement is more on funding and monitoring through Development Policy Loan DPL program that promotes policy reform, particularly in the development of INSW system. Their cognitive authority shows there is strong institutional belief to stimulate more liberalized world."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilman Hakim
"Kebijakan SPS dan TBT tidak hanya mendorong trade-reducing effect dengan meningkatnya biaya perdagangan bagi eksportir namun dapat juga mendorong demand-enhancing effect melalui peningkatan kualitas produk dan keselamatan konsumen. Penelitian ini dilakukan untuk mengestimasi dampak kebijakan non-tarif Indonesia khususnya Sanitary and Phytosanitary dan Technical Barriers to Trade terhadap impor pada periode 2006-2015. Analisa dilakukan dengan menggunakan metode yang dikembangkan Kee et al. 2009 dan hasil estimasi kemudian dikonversi menjadi ad-valorem equivalent AVE untuk melihat dampaknya terhadap harga. Inventory measures menunjukkan bahwa Indonesia memiliki coverage ratio yang cukup tinggi pada sektor produk hewan, produk tumbuhan, makanan dan tekstil. Studi ini menemukan bahwa secara umum kebijakan SPS dan TBT berpengaruh terhadap penuruan impor. Namun, dampaknya dapat berbeda-beda pada level sub-sektor HS 2 digit baik yang bersifat trade-reducing maupun demand-enhancing.

Technical regulations such as SPS dan TBT measures do not only induce trade reducing effect by rising the exporters trade cost but could be able to induce demand enhancing effect by certifying quality and safety to consumer. The purpose of this study is to estimate the impact of Indonesia non tariff measures, especially Sanitary and Phytosanitary and Technical Barriers to Trade on import for the period 2006 2015. This study employs the method which is developed by Kee et al. 2009 and the estimated results are converted into ad valorem equivalent AVE to identify the price effect. The inventory measures suggest that Indonesia has a substantial coverage ratio on animal product, vegetable product, foodstuff and textile. This study found that SPS and TBT are significantly reduce Indonesian import on agregat level. However, the impact on disagragated level HS 2 digit can be different either trade reducing or demand enhancing."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T49948
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1996
337 ASE (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abdillah Bimo
"Di balik perannya dalam meningkatkan perekonomian dunia, perdagangan internasional dianggap berkontribusi pada kerusakan lingkungan, kelangkaan sumber daya, hingga ketimpangan sosial. Kritik-kritik ilmu lingkungan atas perdagangan internasional kemudian berevolusi menjadi konsep perdagangan berkelanjutan yang menggabungkan motif ekonomi manusia dengan batasan-batasan tertentu guna mengurangi risiko terhadap kehidupan manusia, kerusakan lingkungan, serta ketersediaan sumber daya di masa depan. Meskipun topik ini memiliki prospek yang sangat baik, topik ini masih belum banyak dibahas dan terdisintegrasi dalam berbagai disiplin ilmu yang berbeda. Tinjauan literatur ini memetakan dan menggambarkan ragam pandangan dalam perdagangan berkelanjutan dari 26 literatur yang berbeda. Tinjauan literatur ini dibuat dengan metode taksonomi yang mengategorisasikan topik bahasan menjadi tiga tema besar, yakni konseptualisasi, norma dan tata kelola, serta pandangan dan kritik terhadap perdagangan berkelanjutan. Penulis memiliki temuan bahwa: (1) meskipun poin keberlanjutan berhasil disepakati Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), adopsi isu perdagangan di dalam World Trade Organization (WTO) masih terhambat. Alih-alih, aktor-aktor tertentu menggunakan kesepakatan dagang sebagai instrumen mendorong keberlanjutan; (2) terdapat pandangan yang berseberangan terkait peran, kontribusi, dan prospek adopsi konsep keberlanjutan dalam perdagangan internasional oleh WTO. Adapun, celah penelitian yang penulis identifikasi berkaitan dengan kajian perdagangan berkelanjutan yang masih harus lebih spesifik, terutama dalam menggambarkan interaksi antar aktor dalam sistem internasional. Penelitian selanjutnya harus ditujukan kepada isu yang spesifik, seperti difusi norma dan politik domestik.

Behind its role in improving the world economy, international trade is considered to have contributed to environmental damage, resource scarcity, and social inequality. Environmental critics of international trade then evolved into the concept of sustainable trade, which combines human economic motives with certain limitations to reduce risks to human life, environmental damage, and the availability of resources in the future. Scholars from various academic disciplines began to research the concept of sustainability to reduce the negative excesses of trade on the environment and human life. Even though this topic has very good prospects, it is still not widely discussed and has disintegrated in many different academic disciplines. This literature review maps and describes the various views on sustainable trade from 26 different works of literature. This literature review was made using a taxonomic method that categorizes the discussion topics into three major themes: conceptualization, norms and governance, and views and criticism of sustainable trade. The author argues that: (1) even though sustainability provisions have been agreed by the United Nations, the adoption of sustainability in trade- related issues is still hampered in the World Trade Organization (WTO). Instead, certain actors use preferential trade agreements as instruments to promote sustainability in the trade context; (2) there are opposing views regarding the role, contribution, and prospects for sustainable trade concept adoption by the WTO. Meanwhile, the author reflects that the study of sustainable trade in the context of international relations needs to be more specific, especially in describing interactions between actors in the international system. Further research must be directed to specific IR issues, such as norms diffusion and domestic politics."
2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>