Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 121195 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mangkuto, Rizki A.
"Standar Nasional Indonesia tentang pencahayaan alami pada bangunan gedung yang berlaku pada saat ini, SNI 03-2396-2001, merekomendasikan penggunaan faktor langit dari langit berawan seragam sebagai indikator ketersediaan pencahayaan alami dalam ruangan. Untuk menghitung faktor langit sebagai fungsi dari posisi relatif (L/D and H/D) dari suatu lubang cahaya vertikal tanpa kaca, disediakan tabel referensi yang dapat digunakan. Meskipun demikian, akurasi dari nilai-nilai yang terdapat dalam tabel tersebut tidak diketahui. Tulisan ini memaparkan akurasi dari nilai-nilai tersebut dibandingkan terhadap nilai analitisnya. Dari perhitungan, ditemukan bahwa dari 11 dari 361 nilai yang ada dalam tabel memiliki galat relatif sebesar 10% atau lebih besar. Beberapa contoh hasil yang didapat menggunakan interpolasi nilai-nilai pada tabel dibandingkan dengan hasil yang didapat menggunakan persamaan analitik. Berdasarkan analisis, disarankan untuk menggunakan tabel referensi hanya untuk nilai L/D dan H/D yang berada di dalam rentang 0,1 ~ 6,0. Untuk nilai-nilai di luar rentang tersebut, disarankan untuk menggunakan persamaan analitik untuk menentukan faktor langit."
Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2016
728 JUPKIM 11:2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mangkuto, Rizki A.
"ABSTRAK
The current Indonesian standard for daylighting in buildings, SNI 03-2396-2001, recommends the use of sky component from a sky as the metric for indicating indoor daylight availability. To calculate sky component as a function of the relative position (L/D and H/D) of an unglazed, vertical daylight aperture, a reference table are provided; however, the accuracy of the tabulated values are unknown. This article reports the accuracy of the provided values compared to the analytical ones. It is found that 11 from 361 provided values have relative errors of 10% or larger. Comparisons between results of some worked examples obtained from interpolating the table values and from solving the analytical expression are also reported. based on analisis that recommended to use the reference table only if the L/D and H/D ratios are within the tabulated range of 0.1 ~ 6.0. otherwise, the use of analytical expression to determine the sky component is strongly suggested. "
Jakarta: Pusat Litbang Perumahan dan Permukiman, 2016
728 JURPEM 11:2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Wuryanti
"ABSTRAK
Reliability building inspection should be done for every building according to laws and regulations. the inspection encompasses four criteria, safety, health, comfort, and convenience (4K). the assessment result should be displayed in simple way to decide a building condition. Reliable condition which covers whole criteria are difficult to be achieved due to the ability of the owner. The authors propose a model assessment of building inspection by combining two methods. Dichotomy method for assessment safety and score method for three other. this paper applies the importance or Analytic Hierarchy Process (AHP) for implementation score method. these researchis specific a certain building function: office, mall, and hotel. the building is reliable if it have two assessment requirements: (1) needs all the safety criteria with obtain P score, and (2) score criteria health, comfort and convenience, Ss, Sn, Sm for, more bigger than 60. in average the importance for the first level is obtained 51% for the comfort criteria, followed by 29% for the health criteria, and 20% for the convenience criteria. based on the absolute score for sub criteria, the importance weight with the highest rank for office and hotel building is addressed for the comfort criteria especially for air condition in room with the weight 20% and for mall building is addressed for the comfort criteria in space area and connecting rooms with weight 20%."
Jakarta: Pusat Litbang Perumahan dan Permukiman, 2016
728 JURPEM 11:2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Enny Supriati Sardiyarso
"Berbagai tipe bangunan telah dibangun pada masa kini. Satu di antaranya yang banyak bermunculan akhir-akhir ini khususnya di Jakarta, adalah bangunan bertingkat banyak yang dibungkus dinding kaca. Ide pertama membangun bangunan tinggi yang berasal dari negara-negara Barat, didasari oleh pemikiran praktis, ekonomis, adanya makna fungsional dan pengutamaan nilai kegunaan. Menurut seorang pakar bangunan bertingkat banyak, Hartono Poerbo{988). Pembangunan bangunan bertingkat banyak semakin perlu dilakukan mengingat semakin tingginya harga lahan perkotaan di mana bangunan tinggi itu biasa didirikan. Bangunan bertingkat banyak merupakan alternatif
penyelesaian masalah keterbatasan lahan perkotaan yang tidak seimbang dengan kebutuhan papan pemukiman. Makin banyak penduduk yang memerlukan lahan guna papan pemukimannya, tetapi luas lahan perkotaan tidak bertambah banyak. Oleh sebab itu dengan perhitungan-perhitungan tertentu yang didasari oleh pertimbangan atau kriteria tekno ekonomi, membangun bangunan bertingkat banyak pada lokasi lahan mahal akan menghasilkan rancangan yang baik layak dipandang dari sudut ekonomi, dan memenuhi syarat dipandang dari segi kegunaan.
Namun dalam kenyataan pelaksanaannya, kecuali pertimbangan fungsional tadi, ada juga pertimbangan pertimbangan lain. Hal itu mengacu pada makna-makna lain yang ikut terangkum di dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan, baik secara sadar atau tidak. Makna bangunan bertingkat banyak World Trade Centre 2 yang akan dibangun di Jalan Sudirman, misalnya, menurut salah satu pembangunnya, didasari tujuan untuk mempertunjukkan pemikiran masyarakat Indonesia yang siap mengikuti perkembangan peradaban dunia masa depan dan memperlihatkan kesanggupan untuk mewujudkan bangunan yang sesuai bagi kegiatan dunia maju. Pembangunan Hotel Indonesia yang diprakarsai oleh Bung Karno dimaksudkan untuk menonjolkan rasa kebangsaan melalui bidang arsitektur, di samping memberi kesempatan bagi putra-putri Indonesia untuk mencipta bangunan. Bangunan yang dikenal sebagai salah satu Proyek Mercu Suar itu dimaksudkan sebagai tanda adanya hal baru dan pertama bagi bangsa Indonesia (Sumintardja, 1981). "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Komposit Fiber dan Resin Plastic menjadi salah satu alternatif dalam pembuatan Instalasi Pengolahan Air, yang dikenal dengan IPA-FRP. Hal ini dikarenakan dari beberapa keunggulan Struktur Komposit FRP seperti tahan terhadap korosi, tahan terhadap konsentrasi bahan kimia tertentu, mudah dibentuk sesuai dengan yang direncanakan, sehingga relatif lebih mudah untuk membuat ukuran yang diperlukan. Komponen instalasi dapat dicetak dan diproduksi secara modular di pabrik dan di lapangan. Pembuatan di pabrik/workshop dapat di lakukan dengan kriteria teknis struktur dan konstruksi IPA-FRP sesuai standar antara lain seperti ukuran IPA secara detail dapat dibuat sesuai dengan rencana kapasitasi instalasi dan kekuatan struktur tertentu pula. Untuk merancang IPA-FRP yang mempunyai kapasitas dan kekuatan tertentu, susunan serat gelas, jumlah lapisan, penguat pada dinding dan sambungan antara panel, sambungan pipa dengan dinding dan dudukan instalasi harus mendapat perhatian khusus dalam penentuan kriteria teknisnya serta diperlukan keahlian pekerja dan pengawasan yang memadai. "
Bandung: pusat penelitian dan pengembangan permukiman, badan penelitian dan pengembangan, kementrian pekerjaan umum , 2020
690 MBA
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Tangoro
Jakarta: UI-Press, 2005
690 DWI i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hendri Sriyanto
"Semakin terbatasnya lahan dan mahalnya harga tanah di lokasi-lokasi strategis di kota-kota besar seperti di Jakarta ini, mengakibatkan dibangunnya gedunggedung tinggi untuk memanfaatkan semaksimal mungkin lahan yang ada dan semakin tinggi suatu gedung dibangun, akan semakin Was Pula kebutuhan parkir yang harus disediakan. Untuk memenuhi kebutuhan parkir tersebut basemen merupakan altematif penyelesaian yang tidak dapat dihindarkan, walaupun dalam pelaksanaanya sering kali menimbulkan berbagai macam masalah. Kebutuhan basemen yang Was dan dalam, kondisi tanah yang lunak, letak tanah keras yang relatif dalam dari permukaan tanah dan muka air tanah yang relatif tinggi membutuhkan penanganan tersendiri dalam pelaksanaannya. Masalah utama yang sering dihadapi adalah adanya bangunan-bangunan tinggi di sekitamya sehingga dibutuhkan stru.ktur dinding penahan tanah dan penunjangnya yang kokoh, karena dalam pelaksanaan galian basemen pada suatu proyek pada prinsipnya harus menjaga stabilitas tanah yang artinya tidak diperbolehkan adanya pergeseran, pergerakan ataupun deformasi tak terduga pada gedung-gedung di sekitarnya yang dapat mengakibatkan keretakan atau krusakan bahkan keruntuhan gedung tersebut. Untuk mengatasi masalah tersebut di atas, digtinakan dinding diafragma yang merupakan dinding beton bertulang yang umumnya dicor secara in-situ dan terns menerus sepanjang tepi galian yang direncanakan, setelah terlebih dahulu dipersiapkan lobang berbentuk jalur memanjang sampai kedalaman yang direncanakan serta dipersiapkan juga baja tulangannya yang umumnya berbentuk kurungan. Walaupun dinding diafragma bukan merupakan hal Baru tetapi dianggap sebagai dinding penahan tanah yang merupakan system yang tepat untuk kondisi seperti tersebut di atas dibandingkan dengan turap beton, turap Baja ataupun bored pile menerus 1 soldier pile. Sasaran dalam penelitian pada proyek Pembangunan Gedung Teater Besar Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marcuki yang berlokasi di R. Mini Raya No. 73 - Jakarta ini akan dibahas khususnya mengenai analisa stabilitas dinding diafragma sebagai dinding penahan tanah untuk mendapatkan suatu struktur yang kuat, aman dan ekonomis sesuai dengan fungsinya yaitu menjaga stabilitas bangunan yang berdekatan dengan lokasi proyek tersebut. Dinding penahan tanah yang digunakan pada proyek tersebut terdapat dua jenis yaitu sheet pile beton yang digunakan sebagai dinding penahan tanah untuk lokasi yang relatif jauh dari gedung bertingkat sehingga beban yang ditahan relatif kecil dan dinding diafragma yang digunakan sebagai dinding penahan tanah yang dekat dengan gedung Planetarium Jakarta karena menahan beban yang relatif besar. Pengguna n dua jenis dinding penahan tanah ini dimaksudkan untuk mendapatkan efisiensi biaya pelaksanaan dengan menyesuaikan pembebanan yang tedadi, karena bagaimanapun biaya merupakan komponen terpenting dalam pelaksanaan proyek dan merupakan sumber Jaya yang terbatas jwnlahnya."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2004
S35689
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuskar Lase
"Gaya-gaya horizontal seperti gempa maupun angin menghasilkan efek yang berbahaya terhadap sebuah bangunan karena kekakuan gesernya relatif rendah serta karena karakteristik maupun arah sumber gaya masih sulit diduga. Sekalipun demikian, sampai sekarang ini penentuan arah kritis horizontal bangunan masih lebih bersifat praktis dan kualitatif. Karya tulis ini menyajikan analisa arah kritis bangunan terhadap gaya-gaya horizontal yang ditinjau secara komprehensif kuantitatif. Analisa ini berdasarkan atas kriteria kinematik (lendutan) dan kriteria energie dimana rumusan matematisnya terhadap berbagai tipe gaya horizontal disajikan sedemikian rupa sehingga cukup sederhana dalam aplikasi praktis. Kedua kriteria akan dibandingkan serta dianalisa dalam contoh perhitungan bangunan secara tiga dimensi."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Afra Ghaniy Yoko Putri
"Istana Ali Marhum Kantor di Pulau Penyengat merupakan bangunan cagar budaya peninggalan masa Kesultanan Riau-Lingga (1900–1912) yang belum pernah difungsikan kembali secara permanen sejak ditinggalkan oleh Kesultanan Riau-Lingga. Bangunan ini mengalami degradasi fisik ringan secara konstan seperti pengelupasan cat bangunan, lepasnya lantai-lantai kayu, serta kotornya dinding yang ditutupi lumut-lumut dan jamur yang dibiarkan dan dibersihkan menyeluruh ketika ada pemugaran (biasanya setiap 10 tahun sekali). Bangunan ini juga memiliki riwayat pemugaran yang menyalahi panduan pelestarian karena menghilangkan ornamen Melayu pada fasad bangunan. Artinya, dengan tidak dimanfaatkannya bangunan ini mengancam pelestarian dan otentisitas bangunan itu sendiri. Oleh karena itu, melalui pendekatan manajemen sumber daya, sebuah bentuk alternatif pemanfaatan diajukan sebagai upaya optimalisasi bangunan Cagar Budaya. Penelitian terapan ini menggunakan tahapan penelitian Sharer dan Ashmore (2010), yakni formulasi, implementasi, pengumpulan data, pengolahan data, analisis, dan interpretasi. Alternatif pemanfaatan dikaji berdasarkan rekomendasi pengelolaan Cagar Budaya yang dirumuskan oleh UU CB (2010) dan BPCB Sumbar (2017) serta studi komparatif dengan Istana Kampong Gelam Singapura. Keduanya merupakan bangunan cagar budaya tingkat nasional yang memiliki keterkaitan latar belakang sejarah dan budaya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk alternatif pemanfaatan sebagai Pusat Informasi Kebudayaan Melayu dapat diterapkan di Istana Ali Marhum Kantor.

The Istana Ali Marhum Kantor, a cultural heritage building on Penyengat Island, dates back to the Riau-Lingga Sultanate era (1900-1912). Despite its historical significance, the structure has remained unused since the Sultanate's departure. It has experienced gradual physical degradation, including peeling paint, detached wooden floors, and moss-covered walls. Past restoration efforts have removed Malay ornaments from the facade, further jeopardizing its preservation and authenticity. To address these challenges, a resource management approach is proposed for the optimal utilization of the Cultural Heritage building. Following the research stages by Sharer and Ashmore (2010), an alternative utilization plan is developed. It aligns with recommendations for Cultural Heritage management, adhering to the Cultural Heritage Law (2010) and the Regional Center for Cultural Heritage Preservation of West Sumatra (2017). A comparative study is conducted with the Istana Kampong Gelam in Singapore, another national-level cultural heritage building. The results of this study indicate that an alternative form of utilization as an Information Center for Malay Culture can be implemented at the Ali Marhum Palace Office."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Sobari
"ABSTRAK
Perhatian terhadap polusi udara ruangan meningkat karena adanya fakta bahwa polusi yang terjadi di dalam ruangan tidak mudah untuk disebar atau diencerkan, sehingga polusi yang terjadi dapat lebih besar dibanding dengan polusi yang terjadi di udara bebas (outdoor). Faktor lain yang turut mendukung meningkatnya perhatian terhadap polusi udara ruangan adalah kenyataan bahwa manusia menghabiskan waktunya 93% dalam ruangan, 5% dihabiskan dalam perjalanan, dan hanya 2% dihabiskan di udara bebas (Nriagu, 1992).
Faktor panting lain yang menyebabkan menurunnya kualitas udara ruangan adalah karena adanya sifat toksis kontaminan yang ada, baik berupa gas maupun partikulat kecil. Kontaminan toksis ini dapat berasal dari materi penghias ruangan, furnitur, peralatan kantor, adanya kebocoran senyawa kimia yang berbahaya, adanya kontaminasi pada bagian gedung, atau dari luar gedung, hasil pembakaran seperti asap rokok, pemakaian gas (asap dapur), adanya bioefluen dari manusia, dan materi dari produk-produk perawatan gedung.
Environmental Protection Agency (1988) menyatakan bahwa, Sick Building Syndrome (SBS) merupakan fenomena yang berkaitan dengan masalah kesehatan dan kenyamanan bekerja atau berada di dalam sebuah gedung. Istilah SBS biasanya digunakan dalam hubungannya dengan masalah-masalah yang terkait dengan polusi udara ruangan.
Rendahnya kualitas udara ruangan yang menimbulkan fenomena SBS disebabkan oleh sejumlah faktor utama yang saling berinteraksi, yaitu : a. ventilasi udara yang tidak baik, b. adanya polusi yang terjadi di dalam gedung, c. kontaminasi dari luar gedung, serta d. kontaminasi biologi. Faktor-faktor tersebut berinteraksi dengan kondisi lingkungan fisis seperti suhu yang kurang sesuai, kelembaban yang tidak memadai, dan kurangnya penerangan (Baechler et al, 1991).
Sebuah gedung dikatakan sakit tergantung kepada prevalensi SBS pada populasi penghuni gedung tersebut. Menurut WHO, keluhan-keluhan pada kasus SBS sangat luas, yaitu meliputi iritasi mata, hidung tenggorokan, saluran pernafasan, reaksi pada kulit, reaksi hipersensitivitas yang kurang spesifik, kelelahan mental, sakit kepala, mual, dan pusing-pusing (Lenvik, 1993; Aditama, 1992). Sedangkan Jackson et al (1991), menyatakan bahwa keluhan-keluhan SBS sangat samar, dan sering diabaikan karena dianggap sebagai pilek atau flu biasa.
Prevalensi SBS dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan juga faktor individu. Faktor-faktor lingkungan adalah kondisi ruangan yang bersifat fisis seperti kelembaban, suhu, dan pencahayaan, atau karena adanya materi toksis, adanya partikulat, serta kondisi mikrobiologis ruangan. Faktor-faktor individu yang dapat mempengaruhi besarnya angka prevalensi SBS antara lain adalah umur, seks, pendidikan, status gizi, status kesehatan, ada tidaknya penyakit alergi, kebiasaan merokok, jenis pekerjaan dan lain-lain (Baechler et al, 1991; Lenvik, 1993).
Gedung Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII) Jakarta merupakan salah satu gedung perkantoran di Jalan Jenderal Gatot Subroto yang memakai sistem pengatur udara (AC) sentral. Gedung perkantoran berlantai lima ini pada awal bulan Agustus tahun 1994 mulai mengalami pekerjaan renovasi struktur, serta pergantian komponen-komponen gedung yang perlu.
Dengan adanya kegiatan renovasi, lingkungan dalam gedung PDII mengalami perubahan fisik yang cukup besar. Pada pertengahan tahun 1995, seluruh pegawai PDII Jakarta telah mengalami perubahan lingkungan tempat kerja karena mereka menempati ruangan-ruangan yang telah selesai direnovasi atau ruangan-ruangan darurat.
Para pegawai tidak bisa lepas dari gangguan yang timbul akibat kegiatan renovasi tersebut. Beberapa keluhan berupa gangguan kenyamanan dan kesehatan di lingkungan kerja pernah terjadi. Di samping itu, kondisi udara AC juga pernah dikeluhkan oleh para pegawai. Namun demikian, angka kejadian timbulnya kesakitan dan keluhan-keluhan akibat kondisi ruang kerja di gedung PDII sampai sekarang belum ada dokumentasi yang jelas.
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui prevalensi SBS yang dialami oleh para pegawai yang bekerja di gedung PDII.
2. Untuk mengetahui apakah prevalensi SBS di gedung PDII mempunyai hubungan dengan karakteristik sosial individu pegawai yang meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan, hipersensitivitas, kebiasaan merokok, kebiasaan olah raga, pola perjalanan, dan kondisi psikososial.
3. Untuk mengetahui apakah prevalensi SBS di gedung PDII mempunyai hubungan dengan faktor-faktor lingkungan tempat kerja yang meliputi tingkat ventilasi, kadar partikulat, kadar C02, kadar NCx, aliran kecepatan udara, kelembaban, dan suhu ruangan.
4. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh faktor-faktor risiko tertentu secara relatif menyebabkan munculnya SBS.
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologik dengan pendekatan cross-sectional untuk mencari hubungan antara faktor risiko dengan prevalensi SBS. Faktor risiko dapat berupa faktor lingkungan dan faktor individu.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan menggunakan kuesioner, dan pengukuran variabel kondisi lingkungan fisik dengan menggunakan alat ukur yang telah ditetapkan. Analisis data yang dilakukan adalah distribusi frekuensi, rasio prevalensi, uji Chi-Square, dan koefisien kontingensi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi SBS di gedung PDII Jakarta adalah sebesar 53,62%. Sedangkan prevalensi SBS sesuai dengan kelompok gejala adalah keluhan pada mata 19,56%, hidung 32,61%, tenggorokan 34,78%, kulit 13,04%, dan umum 39,14%.
Prevalensi SBS mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan jenis kelamin dan kondisi psikososial responden, dan tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan umur, pendidikan, hipersensitivitas, kebiasaan olah raga, kebiasaan merokok, lama perjalanan, dan jenis kendaraan responden.
Prevalensi SBS mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan kelembaban, dan suhu kering ruangan kerja gedung PDII Jakarta, dan mempunyai hubungan yang signifikan dengan kadar partikulat dan kadar CO2 di dalam ruangan kerja gedung PDII Jakarta. Prevalensi SBS tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan tingkat ventilasi, kadar NOx, kecepatan aliran udara, dan suhu basah ruangan gedung PDII Jakarta.
Rasio prevalensi faktor risiko karakteristik sosial responden masing-masing adalah jenis kelamin 1,57, umur 1,18, pendidikan 0,78, status atopi 1,42, kebiasaan olah raga 1,28, kebiasaan merokok 0,70, lama perjalanan 1,02, jenis kendaraan 1,13, dan kondisi psikososial 1,79.
Rasio prevalensi faktor risiko lingkungan fisik masing-masing adalah tingkat ventilasi 1,14, kadar partikulat 1,55, kadar CO02 0,86, kadar NOx 1,46, kelembaban 0,82, kecepatan aliran udara 1,70, suhu kering 1,72, dan suhu basah 1,42,

ABSTRACT
The attention towards indoor air pollution is increasing due to the fact that indoor air pollution is not easy to be diluted. It makes the pollution could be greater indoor than outdoor. Another factor supported that argument was the fact that the people spend their time 93% indoor, 5% traveling, and approximately 2% outdoor (Nriagu, 1992).
The most important factor that caused of decreased indoor air quality is the toxicity of contaminants such as gaseous or particulate form from a variety of sources, including the building materials, furnishings, office equipments and incidental spill of hazardous chemical substances, contaminants generated from other parts of the building or outdoors, tobacco smoke, gas appliances, and human's bioeffluents (Godish, 1991).
Environmental Protection Agency (EPA) declared that Sick Building Syndrome (SBS) refered to health and comfort problems associated with working in a particular building. The term generally applied to problems related to indoor air pollution.The poor indoor air quality that cause SBS phenomenon, may caused by a number of factors, such as : (a) inadequate ventilation; (b) pollution; (c) contamination from outside sources; and (d) biological contamination. These factors will interact with other environmental factors such as temperature, humidity, or lighting (Baechler et al, 1991).
A building will be classified as a sick building on the basis of the prevalence of the symptoms of population in the building. According to WHO, the Sick Building Syndrome (SBS) includes a broad range of symptoms such as eyes, nose, throat, and lower airways irritation, skin reaction, unspecific hypersensitive reactions, mental fatigue, head-ache, nausea, and dizziness (Lenvik, 1993; Aditama, 1992). Jackson et al (1991) described in his paper that SBS were so vague, and it disparaged because it was considered as ordinary flu symptoms.
The prevalence of each SBS can be influenced by several environmental and individual factors. Environmental factors were physical room condition such as humidity, temperature, and lighting, or the content of toxic substance, particulate, and microbiological condition of the room. The individual factors were age, sex, education, nutritional status, health status, allergic condition, smoking habits, job categories, etc. (Baechler et al, 1991; Lenvik, 1993).
Centre for Scientific Documentation and Information (PDII) Building Jakarta has five floors located at J'1. Jenderal Gatot Subroto Jakarta using central air conditioning (AC) system, at early of August 1994 was being renovation and changing of building component. This activity was carried out with office activities remain in that building. At the middle of 1995, all of office workers move to newly renovation room with some of them still worked in the emergency rooms.
Due to this conditions some of office workers complain of discomfort and health problems in the workplace, included the air from AC system. However, the prevalence of sickness and complaints caused by workplace environment condition in PDII building has not been clearly documented.
The objectives of this research :
1. to identify the prevalence of SBS among the office workers in PDII building.
2. to identify the association between SBS and the individual caracteristics of office workers including sex, age, education, hypersensitivity, smoking habits, exercising habits, traveling mode, and psychosocial condition.
3. to identify the association between the prevalence of SBS and workplace environment factors included ventilation rate, respirable suspended particulate, C02, NOx consentration, air flow rate, humidity, and temperature of the room.
4. to identify how far certain risk factors relatively cause SBS.
The study method used is survey, using questionnaire and measurements of physical environmental condition variable using pre-determined measurement tools. Data analysis carried out were frequency distribution, prevalence ratio, Chi-Square test, and Coefficient Contingency.
This was cross-sectional epidemiologic study looking for the associations between risk factors and the prevalence of SBS. The risk factor can be in the form of individual or environmental factors.
The result of the study showed that the prevalence of SBS in PDII building is 53.62%. According to symptom group are 19.56% for eyes; 32.61% for nose, 34.78% for throat, 13.04% for skin symptoms, and 39.14% for general symptoms.
The prevalence of SBS was highly significant in association with sex and psychosocial condition of respondences, and there is no significant association with age, education, hypersensitivity, exercising habits, length of transportation transportation, and the type of responden's vehicle.
The prevalence of SBS was highly significant association with humidity and dry temperature of workplace of PDII building Jakarta, and has significant association with concentration of respirable suspended particulate and CO2 in workplace of PDII building Jakarta.
The prevalence of SBS does not show a significant association with ventilation rate, concentration of NOx, air flow rate, and wet temperature of workplace in PDII building Jakarta.
The prevalence ratio of risk factors from despondence?s social caracteristics respectively : sex 1.57; age 1.18; education 0.78; hypersensitivity 1.42; smoking habits 0.70; exercising habits 1.28; length of transportation 1.02; the type of responden's vehicle 1.13; and psychosocial condition 1.79. The prevalence ratio of risk factors from physical environmental condition respectively ventilation 1.14; concentration of respirable suspended particulate 1.55; concentration of CO2 0.86; concentration of NOx 1.46; air flow rate 1.70, humidity 0.82; dry temperature 1.72; and wet temperature 1.42.
E. Total of References : 45 (1957 - 1995).
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>